"Ana menurutlah padaku!" Gerald mencengkram dagu Ana dengan sangat erat.
"Apa uang yang ku berikan kepadamu belum cukup sampai kau menjual badanmu!" mata hitam Gerald menampakkan kemarahan laki-laki itu yang sedang berkobar.
Gerald menatap gadis di depannya yang hanya diam tanpa memberontak. Ana bahkan tidak menangis ataupun terlihat kesal. Mata gadis itu bahkan tidak memperlihatkan emosi apapun. Tapi hal itu malah membuat Gerald semakin emosi karena sikap tak acuh Ana.
"Berapa yang pria tua itu berikan kepadamu hah?" Gerald melepaskan cengkraman di dagu Ana dengan kuat sehingga membuat kepala Ana berputar sembilan puluh derajat.
"Sepuluh juta? Lima puluh juta?" senyum sinis terpatri di wajah Gerald.
"Bukan urusanmu brengsek." ujar Ana penuh penekanan.
Bukannya tersulut emosi karena perkataan Ana yang mengatainya brengsek, Gerald malah tertawa keras. Ternyata gadis kecilnya itu sudah berani mengumpatinya. Sudah tidak ada lagi Ana yang polos atau Ana yang kekanakan. Gadis kecilnya itu tumbuh menjadi gadis yang keras kepala dan berani.
"Kevin!" teriakan Gerald memenuhi seisi kamar.
Seorang pria berpakaian serba hitam berlari tergopoh-gopoh menghampiri Gerald. Badan pria itu lebih besar dan berotot. Tapi badan Gerald juga tak kalah berotot. Gerald memiliki bentuk tubuh yang indah yang selalu di idam-idamkan oleh semua perempuan.
"Jaga dia jangan sampai kabur." ujar Gerald berlalu pergi dari kamar.
"Baik tuan." Kevin menunduk patuh.
"Aku mohon biarkan aku keluar!" Ana berjalan susah payah menggapai pintu kamarnya. Tapi sayang Kevin sudah lebih dulu mengunci kamarnya dari luar. Sekarang ia benar-benar terjebak di kamar ini.
Ana berjalan mendekati jendela kamar. Ia melihat Gerald yang baru saja memasuki mobilnya dan pergi bersama supir dan juga asistennya. Ana memeluk lututnya dengan bahu bergetar. Ini bukan kali pertama ia terkurung di dalam kamar ini, tapi tetap saja ia merasa asing dengan semuanya.
Ana menatap pigura foto yang ada di nakas samping tempat tidur. Disana difoto itu ia terlihat tersenyum bahagia bersama neneknya. Ah Ana jadi teringat bagaimana keadaan neneknya sekarang. Neneknya itu selama ini selalu hidup bersamanya, tapi sekarang neneknya itu pasti merasa kesepian karena hidup seorang diri. Banyak pemikiran kekhawatirannya tentang neneknya, apa neneknya makan dengan baik? Apa neneknya hidup dengan bahagia? Apa neneknya dalam keadaan sehat? Ana sangat ingin bertemu dengan neneknya.
Ana berlari ke arah pintu kamar. Ia menggedor-gedor pintu kamar dengan tidak sabaran. Ana mengabaikan rasa sakit di tangannya. Ia mengabaikan tangannya yang sudah berwarna merah.
"Buka pintunya! Buka pintunya!" tak henti-hentinya Ana berteriak sambil menggedor pintu dengan keras.
"Kevin buka pintunya!" nafas Ana terengah-engah, tidak ada seseorang yang membukakan pintu kamarnya.
"Nona tenanglah jangan sampai membuat tuan Gerald marah." terdengar suara Kevin dari luar kamar, itu artinya Kevin menjaga kamarnya.
"Aku tidak peduli dengan tuan brengsek mu itu Kevin!" teriak Ana mengumpati Gerald. Saat Gerald tidak ada, Ana akan dengan senang hati mengumpati pria itu dengan berani ke pembantu di rumah atau dengan Kevin.
"Buka pintunya Kevin!"
"Maaf nona saya tidak bisa membukakan pintu untuk nona, saya hanya menjalankan perintah dari tuan Gerald." ujar Kevin menolak membukakan pintu kamar Ana.
Ana merasa kesal mendengar Kevin yang tidak mau membukakan pintu kamarnya. Ana menendang pintu kamarnya dengan keras. Ia tidak peduli jika pintu kamar itu akan rusak. Bagus jika pintu kamar itu bisa terbuka, ia jadi bisa kabur dari neraka ini. Lagian jika pintu itu rusak Gerald juga tidak akan mempermasalahkannya, laki-laki itu punya banyak uang yang tidak akan langsung habis jika hanya untuk memperbaiki satu pintu.
Dua jam berlalu. Ana menghabiskan waktu dua jam hanya dengan duduk dan berjalan bolak-balik memikirkan cara agar ia dapat keluar dari sini. Jendela kamar ini dipasangi teralis jadi ia tidak bisa kabur lewat jendela. Semua jendela di kamar ini dipasangi teralis karena dulu Ana pernah mencoba kabur lewat jendela dan itu diketahui oleh Gerald. Al hasil keesokan harinya Gerald langsung menyuruh orang mengunci semua jendela agar ia tidak bisa kabur.
Ana merasa hidupnya seperti Rapunzel yang terjebak di menara tinggi dan tak bisa keluar. Tapi perbedaannya Rapunzel adalah seorang putri raja, sedangkan ia hanya putri dari seorang pemabuk. Ana tertawa miris mengingat bagaimana ayahnya itu menjualnya kepada Gerald untuk mendapatkan uang satu miliar.
Ceklek
Ana terkesiap saat pintu kamarnya terbuka menampilkan Gerald dengan wajah lelahnya. Ana menatap waspada ke arah Gerald yang berjalan mendekatinya. Ana memundurkan badannya saat Gerald duduk di sampingnya.
"Ada apa Ana? Kau masih takut denganku?" Gerald tersenyum sinis melihat sikap waspada Ana setiap ia mendekati perempuan itu.
"Menjauhlah." ujar Ana pelan.
"Huh kau siapa berani mengaturku." Gerald menaikkan satu alisnya.
"Kau pasti belum makan kan, ayo ikut aku makan." Gerald menarik lengan Ana, tapi gadis itu masih terduduk diam di tempatnya.
"Ana jangan memancing emosiku!" ujar Gerald tajam. Ia mengendurkan dasi yang terasa mencekiknya, apalagi ditambah dengan sikap Ana yang selalu berhasil memancing emosinya.
"Kau ingin makan makananmu di kamar?" tawar Gerald dengan baik hati.
"Aku tidak lapar." jawab Ana dengan cuek.
Gerald mengusap wajahnya dengan kasar. Tangannya menarik dasi di lehernya dengan satu tarikan. Sial! Ana memang selalu suka memancing emosinya. Sebanyak apapun ia berusaha bersikap baik pada gadis itu, tapi tetap saja Ana menganggapnya seperti iblis. Gerald mungkin akan jadi iblis saat keinginannya tidak terpenuhi, tapi ia juga bisa bersikap baik. Tapi sepertinya itu tidak berlaku pada Ana. Gadis itu sepertinya lebih suka ia berbuat kasar kepadanya.
"Baik jika kau tidak lapar, tapi aku merasa lapar Ana." Gerald menggeram sambil menatap Ana intens.
"Dan aku ingin memakanmu sebagai makan malam ku." suara Gerald terdengar memberat.
Gerald mendorong bahu Ana. Hanya dengan dorongan pelan tubuh Ana sudah terlentang di atas tempat tidur. Gerald tersenyum miring menatap tubuh Ana dari atas sampai bawah. Ana tidak pernah tidak membuatnya merasa panas dibawah sana. Gadis itu selalu bisa membuatnya bergairah hanya dengan ciuman dibibir.
"Call my name Ana." bisik Gerald tepat di samping telinga Ana. Gerald dapat merasakan tubuh perempuan itu menegang.
Cup
Gerald mulai mencium Ana dengan pelan. Kedua tangannya menggenggam tangan Ana di samping kepala perempuan itu. Gerald menggeram saat Ana tidak membalas ciumannya.
"Lempaskan aku breingsiek mphh." Ana berteriak kesal disela-sela ciuman mereka. Ana menggerakkan kepalanya kekanan-kekiri menghindari ciuman Gerald.
Plak
"Diamlah Ana!" teriak Gerald kesal setelah menampar pipi Ana hingga menimbulkan suara nyaring.
"Aku tidak akan melukaimu jika kau mau menurut denganku." desis Gerald. Ia sangat kesal karena Ana terus-terusan menolak ciumannya.
Gerald kembali mencium Ana dengan pelan. Ia dapat mendengar isakan pelan dari suara Ana. Tapi Gerald abaikan itu, ia masih tetap fokus dengan kegiatannya di bibir Ana. Bibir Ana bagaikan candu untuknya. Jika Ana mau lunak dengannya maka ia tidak akan capek-capek bersikap kasar dengan perempuan itu. Tapi ya namanya Ana perempuan dengan semua keras kepalanya.
"Balas ciumanku Ana." ujar Gerald disela ciuman mereka.
Ana masih saja diam tidak membalas ciuman Gerald. Gerald dibuat emosi dengan keras kepala yang Ana miliki. Gerald melampiaskan amarahnya dengan mencium Ana dengan rakus. Sudah tidak ada kelembutan di dalam ciuman mereka. Lidah Gerald menjelajahi setiap inci mulut Ana. Gerald menggeram menahan gairahnya yang semakin memuncak.
"Shit! Fuck you Ana!" umpat Gerald pada bibir Ana yang terasa sangat manis sehingga membuatnya tidak ingin berhenti mencium bibir itu.
Satu tangan Gerald menuntun tangan Ana ke atas kepala perempuan itu. Diikatnya kedua tangan Ana dengan dasi yang ia lemparkan di samping badan Ana. Gerald kembali mencium bibir Ana tanpa mempedulikan air mata perempuan itu yang sudah mengalir deras.
Gerald menghentikan ciumannya. Ia menatap Ana yang menangis dalam diam. Tangannya terulur menghapus air mata Ana yang keluar. Tetapi Ana langsung memalingkan wajahnya seperti enggan disentuh oleh tangan Gerald. Gerald tersenyum miring melihat sikap angkuh Ana. Perempuan itu masih bisa angkuh walaupun ia sudah kalah darinya.
Gerald kembali melanjutkan aktivitasnya. Ia menurunkan ciumannya ke leher putih Ana yang terlihat sangat menggiurkan untuk meninggalkan jejak disana. Kecupan basah Gerald berikan di leher putih bersih milik Ana. Tidak lupa juga Gerald meninggalkan beberapa kissmark buatannya disana.
"Aku akan membuatmu mendesahkan namaku Ana." Gerald menatap tajam tepat di kedua bola mata Ana.
Tangan Gerald menaikkan ujung bawah kaos Ana. Gerald tersenyum miring melihat Ana yang mulai menggeliatkan badannya berusaha lepas dari cengkramannya. Tapi sayangnya sudah terlambat karena ia tidak akan melepaskan Ana begitu saja. Ia masih ingin meneruskan kegiatan ini. Tangan Gerald mulai meraba perut rata Ana yang membuat Ana merasakan gelenyar aneh pada tubuhnya.
"Berhe....nti." ujar Ana terbata-bata menahan desahan agar tidak keluar dari mulutnya.
Bukannya berhenti, Gerald malah semakin bersemangat meneruskan kegiatannya. Ia akan membuat Ana mendesahkan namanya bagaimanapun caranya. Tangan Gerald bergerak semakin naik menyusuri perut Ana. Gerald dapat merasakan kulit Ana yang sangat lembut. Perempuan itu benar-benar pintar merawat tubuhnya.
"Ahh...." Ana langsung menutup mulutnya. Ia mengumpat berkali-kali didalam hati karena mulutnya dengan tidak tahu dirinya mengeluarkan suara menjijikan itu.
"Call my name." ujar Gerald penuh penekanan.
Tangan Gerald bergerak ke punggung Ana melepaskan tali bra milik Ana. Gerald sedikit kesusahan saat melepas tali bra Ana karena Ana terus menggerakan badannya. Hingga sepuluh detik kemudian Gerald berhasil melepaskan ikatan bra Ana.
"Mphh." Ana menggigit bibirnya berusaha menahan suara desahan yang lolos dari bibirnya.
Ciuman bibir Gerald turun menyusuri perut Ana. Tangan Gerald yang menganggur meremas dada kanan Ana dengan gemas.
"Ahh stophh." Ana berteriak meminta Gerald untuk menghentikan kegiatannya.
Seakan tuli Gerald tetap melakukan kegiatan menyenangkannya. Apalagi desahan yang lolos dari bibir Ana membuatnya bertambah semangat untuk membuat gadis itu tunduk kepadanya.
"Ahh shit!" umpat Gerald. Kaki Ana menendang miliknya keras hingga membuatnya merasa ngilu. Gerald memejamkan matanya menahan rasa sakit dibawah sana.
Gerald bangkit dan melepas ikatan tangan Ana dengan kasar. Ia menatap tajam Ana penuh kekesalan. Mood nya tiba-tiba buruk karena Ana menendang miliknya.
"Hari ini aku membebaskanmu, tapi tidak untuk besok. Kau harus mendapat hukuman atas kesalahan yang kau lakukan Ana." desis Gerald di depan wajah Ana.
"Aku tidak akan bermain lembut lagi padamu. Kita lihat besok apa kau masih bisa menolakku?" Gerald menunjukkan senyum iblisnya yang membuat tubuh Ana merinding.
***
Ana mengerjapkan matanya menyesuaikan cahaya matahari yang masuk kedalam kamarnya. Ia menatap jendela kamarnya yang tirainya terbuka menyebabkan silau. Ah sepertinya semalam ia lupa menutup tirai jendela kamarnya. Bahkan ia juga lupa untuk makan semalam. Alexa berjalan masuk kedalam kamar mandi. Kedua tangannya bertumpu di atas wastafel menyangga badannya. Matanya menatap pantulan dirinya di cermin. Ana menghela nafas melihat bercak merah di lehernya. Ia tidak pernah menyukai bercak merah ini karena ia memang tidak menginginkannya. Saat ia keluar kamar pasti semua orang di rumah ini akan membicarakan tentang bercak merah di lehernya. Ia benar-benar membenci seorang Gerald Sleeve.Ana berjalan menuju shower dan mulai menanggalkan satu persatu pakaiannya. Tak butuh waktu lama untuk Ana membersihkan dirinya. Ia memilih dres warna kuning pastel tanpa lengan. Hampir semua baju di lemari ini adalah dres. Jika kalian berpikir mungkin Ana menyukai memakai dres.
Ana terdiam di depan pintu kamar neneknya. Senyum terlukis indah di bibirnya. Seorang wanita paruh baya sedang duduk termenung menatap jendela kamar. Ana sangat begitu merindukan neneknya."Nenek." panggil Ana sambil berjalan pelan mendekati neneknya."Ana, apa itu kau?" nenek langsung membalikkan badannya. Nenek terlihat sangat bahagia, tangannya meraba-raba apa saja di sekitarnya."Nenek aku di sini." Ana memegang tangan neneknya mengarahkan badan neneknya untuk menghadap ke arah nya.Ana mengerutkan keningnya, sepertinya ada yang salah dengan kondisi mata neneknya. Neneknya seperti tidak bisa melihatnya. Jadi benar yang dikatakan oleh bi Ami jika mata neneknya sedang tidak baik-baik saja."Apa nenek bisa melihatku?" tanya Ana. Matanya mulai berkaca-kaca melihat keadaan neneknya."Mungkin nenek tidak bisa melihatmu, tapi nenek selalu ingat wajah cucu kesayangan nenek. Mendengar suaramu itu sudah cu
"Aww sakit." Ana merintih kesakitan sambil memegangi pergelangan tangannya.Sesampainya di rumah, Gerald langsung menarik tangan Ana dengan kasar. Bahkan Ana harus terseok-seok karena Gerald berjalan dengan cepat. Ia sudah seperti sapi yang dipaksa untuk bekerja. "Aku mohon lepaskan tanganku." Ana terus-terusan merintih kesakitan. Ia menatap pergelangan tangannya yang membiru akibat cengkraman kuat jari Gerald. Semua orang yang ada di rumah hanya menatap Ana dengan wajah prihatin. Tapi berbeda dengan Asti yang menatap jengah ke arah Ana, seolah-olah hal ini sudah sangat biasa di rumah ini.Sesampainya di kamar Ana, Gerald langsung menghempaskan tubuh Ana ke atas ranjang. Sedikit terdengar suara dentuman saat tubuh Ana memantul di ranjang. Gerald berjalan mendekat, satu kakinya menekuk ke atas ranjang. Tangan Gerald mencengkram dagu Ana agar gadis itu menatap ke arahnya. "Aku sudah memberikanmu peringatan berulang kali tapi kau selalu tak mengindahkannya."
"Sir hari ini kita ada rapat dengan tuan Peter pukul dua siang." ujar Jack asisten Gerald.Jari Gerald yang sedang menggeser layar tablet berhenti seketika saat mendengar nama ayahnya disebutkan. "Apa anda ingin meng cancel nya sir?" tanya Jack memastikan. Ia sangat tahu bagaimana hubungan antara kedua orang ayah dan anak itu. "Tidak perlu." tolak Gerald. Entah sudah berapa lama ia tidak bertemu ayahnya itu. Apa Gerald merindukan ayahnya? Jawabannya tidak, ia tidak pernah merindukan laki-laki tua itu.Tiba-tiba Gerald tersenyum ketika ia mengingat kejadian kemarin. Sepertinya kemarin ia membuat Ana sangat kelelahan. Ia ingat setelah melakukannya ia tertidur di atas badan Ana. Ia yakin jika perempuan itu pasti merasa sangat berat saat tubuh besarnya menindih tubuh mungilnya. Bahkan saat ia terbangun dari tidurnya ia masih dalam posisi yang sama. Karena tidak tega melihat Ana yang kelelahan, akhirnya Gerald menyingkir dari tubuh Ana dan melepaskan tali di tangan
Gerald berdecak kesal karena pagi ini kondisi meja makan yang biasanya terhidang berbagai makanan lezat terlihat sepi. "Bi Asri!" masih pagi Gerald sudah harus mengeluarkan tenaganya."Ya tuan." Gerald mengerutkan keningnya, ia memanggil bi Asri tapi malah Asti yang datang. "Dimana bi Asri?" tanya Gerald dengan wajah datarnya."Bibi sedang istirahat di kamarnya karena sakit tuan." ujar Asti.Gerald menganggukkan kepalanya tanda mengerti. "Buatkan sarapannya." perintah Gerald."Baik tuan." Asti beranjak kembali ke dapur.Gerald menduduki salah satu kursi yang ada di meja makan. Seperti sudah kebiasaan pagi, Gerald membuka beberapa berita mengenai bisnis dan perekonomian negara dan dunia. Tangannya yang sedang sibuk menggeser layar tablet tiba-tiba harus berhenti karena kedatangan seseorang yang menarik salah satu kursi di hadapannya.Gerald menatap Ana yang
Ana berjalan memasuki dapur ia merasa bosan berada di kamar terus menerus. Sesampainya di dapur ia tidak melihat Asti berada di sana. Ana mengedikkan bahunya tak acuh, tidak ada Asti disana malah membuatnya bebas berada di dapur. Ana membuka kulkas yang ternyata terisi penuh macam-macam makanan dan minuman. Ana beralih membuka rak dapur yang juga terisi dengan berbagai makanan dan bahan-bahan. Ana ingin membuat sesuatu untuk dirinya sendiri tetapi ia bingung harus membuat apa. Akhirnya Ana memutuskan untuk membuat spaghetti marinara. Kurang dari setengah jam ia berkutat di dapur membuat spaghetti dan akhirnya jadi. Ana tersenyum mencium bau harum dari spaghetti buatannya. Ia jadi tidak sabar untuk memakan spaghetti buatannya. Ana membawa piring spaghetti ke meja makan."Ah lupa! aku sedang membuat kue." Ana menepuk keningnya, ia melupakan kue nya yang masih ada di dalam oven. Ana beranjak kembali ke dapur meninggalkan spaghe
Ana membawa sepotong kue matcha buatannya untuk diberikan ke Gerald. Ia tidak salah dengarkan jika tadi Gerald menyuruhnya untuk mengantarkan kue ke kamarnya. Bukankah pria itu tidak suka jika ada orang yang masuk ke wilayahnya di lantai tiga? Ana jadi bimbang untuk naik ke lantai tiga. Bagaimana jika Gerald tiba-tiba memarahinya dan lupa dengan apa yang dikatakannya tadi.Ah sudahlah Ana meyakinkan dirinya sendiri jika lebih baik ia mengantarkan kue ini ke kamar Gerald. Sejak tiga bulan ia tinggal di rumah ini, ini pertama kalinya ia menginjakkan kakinya di lantai tiga kawasan kekuasaan milik Gerald. Di lantai tiga ini tidak terlalu banyak barang, hanya ada beberapa rak dan sofa. Dan di lantai tiga ini hanya ada dua pintu yang artinya hanya ada dua ruangan. Ana tidak tahu yang mana kamar Gerald karena kedua pintu tersebut memiliki warna dan corak yang sama. Ana mendekat ke salah satu pintu yang ada di dekat balkon. Ana mengetuk pintu di depannya beberap
"Apa yang kau lakukan." Ana menatap Gerald dengan takut. Ia kembali waspada dengan setiap gerakan Gerald. "Kenapa kau sangat terburu-buru sekali." ujar Gerald sambil tangannya menyingkirkan rambut Ana hingga memperlihatkan leher putih gadis itu."Kau harusnya merasa beruntung karena kau orang satu-satunya yang ku perbolehkan untuk masuk ke dalam kamarku." ujar Gerald dengan nada sombong.Ana bahkan berpikir ia sama sekali tidak berminat untuk masuk ke dalam kamar pria itu, dan dimana ia harus merasa bangga jika ia sama sekali tidak menginginkannya. Saat ini di pikiran Ana hanyalah bagaimana agar ia lepas dari cengkraman singa di depannya dan segera keluar dari kamar ini. Setelah ini ia tidak ingin menginjakkan kaki di daerah kekuasaan Gerald lagi. "Apa kau baru saja mandi?" tanya Gerald yang terdengar ambigu."Aku suka bau sabun mu." sekarang Ana berpikir jika Gerald benar-benar laki-laki mesum. Awalnya Gerald mengendus wangi sabun Ana di leher g