"Sayang." Gerald menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Ana. Sesekali ia menghisap atau menggigit gemas leher Ana. Ana memutar bola matanya jengah. Sudah kelima kalinya Gerald hanya memanggilnya tanpa mengatakan apa-apa. Ana menjauhkan tubuhnya dari jangkauan suaminya itu."Aku lagi dandan, jangan ganggu ah." kesal Ana karena sedari tadi Gerald terus menempel padanya dan tidak mau melepaskan pelukannya."Habisnya kamu wangi." ujar Gerald sambil terus menciumi leher Ana."Kamu aja yang bau karena belum mandi." ejek Ana."Kamu mau kemana sih pagi-pagi gini udah cantik aja." Gerald menatap dari pantulan cermin dengan pandangan tidak suka."Mau ke sekolahannya Aron ambil rapot." "Eve ikut?" Ana menggelengkan kepalanya. "Kamu hari ini liburkan, tolong jagain Eve ya." Gerald mencabikkan bibirnya dengan kesal. "Kenapa nggak diajak aja, masa aku harus nemen
"Ana menurutlah padaku!" Gerald mencengkram dagu Ana dengan sangat erat."Apa uang yang ku berikan kepadamu belum cukup sampai kau menjual badanmu!" mata hitam Gerald menampakkan kemarahan laki-laki itu yang sedang berkobar.Gerald menatap gadis di depannya yang hanya diam tanpa memberontak. Ana bahkan tidak menangis ataupun terlihat kesal. Mata gadis itu bahkan tidak memperlihatkan emosi apapun. Tapi hal itu malah membuat Gerald semakin emosi karena sikap tak acuh Ana."Berapa yang pria tua itu berikan kepadamu hah?" Gerald melepaskan cengkraman di dagu Ana dengan kuat sehingga membuat kepala Ana berputar sembilan puluh derajat."Sepuluh juta? Lima puluh juta?" senyum sinis terpatri di wajah Gerald.&nbs
Ana mengerjapkan matanya menyesuaikan cahaya matahari yang masuk kedalam kamarnya. Ia menatap jendela kamarnya yang tirainya terbuka menyebabkan silau. Ah sepertinya semalam ia lupa menutup tirai jendela kamarnya. Bahkan ia juga lupa untuk makan semalam. Alexa berjalan masuk kedalam kamar mandi. Kedua tangannya bertumpu di atas wastafel menyangga badannya. Matanya menatap pantulan dirinya di cermin. Ana menghela nafas melihat bercak merah di lehernya. Ia tidak pernah menyukai bercak merah ini karena ia memang tidak menginginkannya. Saat ia keluar kamar pasti semua orang di rumah ini akan membicarakan tentang bercak merah di lehernya. Ia benar-benar membenci seorang Gerald Sleeve.Ana berjalan menuju shower dan mulai menanggalkan satu persatu pakaiannya. Tak butuh waktu lama untuk Ana membersihkan dirinya. Ia memilih dres warna kuning pastel tanpa lengan. Hampir semua baju di lemari ini adalah dres. Jika kalian berpikir mungkin Ana menyukai memakai dres.
Ana terdiam di depan pintu kamar neneknya. Senyum terlukis indah di bibirnya. Seorang wanita paruh baya sedang duduk termenung menatap jendela kamar. Ana sangat begitu merindukan neneknya."Nenek." panggil Ana sambil berjalan pelan mendekati neneknya."Ana, apa itu kau?" nenek langsung membalikkan badannya. Nenek terlihat sangat bahagia, tangannya meraba-raba apa saja di sekitarnya."Nenek aku di sini." Ana memegang tangan neneknya mengarahkan badan neneknya untuk menghadap ke arah nya.Ana mengerutkan keningnya, sepertinya ada yang salah dengan kondisi mata neneknya. Neneknya seperti tidak bisa melihatnya. Jadi benar yang dikatakan oleh bi Ami jika mata neneknya sedang tidak baik-baik saja."Apa nenek bisa melihatku?" tanya Ana. Matanya mulai berkaca-kaca melihat keadaan neneknya."Mungkin nenek tidak bisa melihatmu, tapi nenek selalu ingat wajah cucu kesayangan nenek. Mendengar suaramu itu sudah cu
"Aww sakit." Ana merintih kesakitan sambil memegangi pergelangan tangannya.Sesampainya di rumah, Gerald langsung menarik tangan Ana dengan kasar. Bahkan Ana harus terseok-seok karena Gerald berjalan dengan cepat. Ia sudah seperti sapi yang dipaksa untuk bekerja. "Aku mohon lepaskan tanganku." Ana terus-terusan merintih kesakitan. Ia menatap pergelangan tangannya yang membiru akibat cengkraman kuat jari Gerald. Semua orang yang ada di rumah hanya menatap Ana dengan wajah prihatin. Tapi berbeda dengan Asti yang menatap jengah ke arah Ana, seolah-olah hal ini sudah sangat biasa di rumah ini.Sesampainya di kamar Ana, Gerald langsung menghempaskan tubuh Ana ke atas ranjang. Sedikit terdengar suara dentuman saat tubuh Ana memantul di ranjang. Gerald berjalan mendekat, satu kakinya menekuk ke atas ranjang. Tangan Gerald mencengkram dagu Ana agar gadis itu menatap ke arahnya. "Aku sudah memberikanmu peringatan berulang kali tapi kau selalu tak mengindahkannya."
"Sir hari ini kita ada rapat dengan tuan Peter pukul dua siang." ujar Jack asisten Gerald.Jari Gerald yang sedang menggeser layar tablet berhenti seketika saat mendengar nama ayahnya disebutkan. "Apa anda ingin meng cancel nya sir?" tanya Jack memastikan. Ia sangat tahu bagaimana hubungan antara kedua orang ayah dan anak itu. "Tidak perlu." tolak Gerald. Entah sudah berapa lama ia tidak bertemu ayahnya itu. Apa Gerald merindukan ayahnya? Jawabannya tidak, ia tidak pernah merindukan laki-laki tua itu.Tiba-tiba Gerald tersenyum ketika ia mengingat kejadian kemarin. Sepertinya kemarin ia membuat Ana sangat kelelahan. Ia ingat setelah melakukannya ia tertidur di atas badan Ana. Ia yakin jika perempuan itu pasti merasa sangat berat saat tubuh besarnya menindih tubuh mungilnya. Bahkan saat ia terbangun dari tidurnya ia masih dalam posisi yang sama. Karena tidak tega melihat Ana yang kelelahan, akhirnya Gerald menyingkir dari tubuh Ana dan melepaskan tali di tangan
Gerald berdecak kesal karena pagi ini kondisi meja makan yang biasanya terhidang berbagai makanan lezat terlihat sepi. "Bi Asri!" masih pagi Gerald sudah harus mengeluarkan tenaganya."Ya tuan." Gerald mengerutkan keningnya, ia memanggil bi Asri tapi malah Asti yang datang. "Dimana bi Asri?" tanya Gerald dengan wajah datarnya."Bibi sedang istirahat di kamarnya karena sakit tuan." ujar Asti.Gerald menganggukkan kepalanya tanda mengerti. "Buatkan sarapannya." perintah Gerald."Baik tuan." Asti beranjak kembali ke dapur.Gerald menduduki salah satu kursi yang ada di meja makan. Seperti sudah kebiasaan pagi, Gerald membuka beberapa berita mengenai bisnis dan perekonomian negara dan dunia. Tangannya yang sedang sibuk menggeser layar tablet tiba-tiba harus berhenti karena kedatangan seseorang yang menarik salah satu kursi di hadapannya.Gerald menatap Ana yang
Ana berjalan memasuki dapur ia merasa bosan berada di kamar terus menerus. Sesampainya di dapur ia tidak melihat Asti berada di sana. Ana mengedikkan bahunya tak acuh, tidak ada Asti disana malah membuatnya bebas berada di dapur. Ana membuka kulkas yang ternyata terisi penuh macam-macam makanan dan minuman. Ana beralih membuka rak dapur yang juga terisi dengan berbagai makanan dan bahan-bahan. Ana ingin membuat sesuatu untuk dirinya sendiri tetapi ia bingung harus membuat apa. Akhirnya Ana memutuskan untuk membuat spaghetti marinara. Kurang dari setengah jam ia berkutat di dapur membuat spaghetti dan akhirnya jadi. Ana tersenyum mencium bau harum dari spaghetti buatannya. Ia jadi tidak sabar untuk memakan spaghetti buatannya. Ana membawa piring spaghetti ke meja makan."Ah lupa! aku sedang membuat kue." Ana menepuk keningnya, ia melupakan kue nya yang masih ada di dalam oven. Ana beranjak kembali ke dapur meninggalkan spaghe