"Sir hari ini kita ada rapat dengan tuan Peter pukul dua siang." ujar Jack asisten Gerald.Jari Gerald yang sedang menggeser layar tablet berhenti seketika saat mendengar nama ayahnya disebutkan. "Apa anda ingin meng cancel nya sir?" tanya Jack memastikan. Ia sangat tahu bagaimana hubungan antara kedua orang ayah dan anak itu. "Tidak perlu." tolak Gerald. Entah sudah berapa lama ia tidak bertemu ayahnya itu. Apa Gerald merindukan ayahnya? Jawabannya tidak, ia tidak pernah merindukan laki-laki tua itu.Tiba-tiba Gerald tersenyum ketika ia mengingat kejadian kemarin. Sepertinya kemarin ia membuat Ana sangat kelelahan. Ia ingat setelah melakukannya ia tertidur di atas badan Ana. Ia yakin jika perempuan itu pasti merasa sangat berat saat tubuh besarnya menindih tubuh mungilnya. Bahkan saat ia terbangun dari tidurnya ia masih dalam posisi yang sama. Karena tidak tega melihat Ana yang kelelahan, akhirnya Gerald menyingkir dari tubuh Ana dan melepaskan tali di tangan
Gerald berdecak kesal karena pagi ini kondisi meja makan yang biasanya terhidang berbagai makanan lezat terlihat sepi. "Bi Asri!" masih pagi Gerald sudah harus mengeluarkan tenaganya."Ya tuan." Gerald mengerutkan keningnya, ia memanggil bi Asri tapi malah Asti yang datang. "Dimana bi Asri?" tanya Gerald dengan wajah datarnya."Bibi sedang istirahat di kamarnya karena sakit tuan." ujar Asti.Gerald menganggukkan kepalanya tanda mengerti. "Buatkan sarapannya." perintah Gerald."Baik tuan." Asti beranjak kembali ke dapur.Gerald menduduki salah satu kursi yang ada di meja makan. Seperti sudah kebiasaan pagi, Gerald membuka beberapa berita mengenai bisnis dan perekonomian negara dan dunia. Tangannya yang sedang sibuk menggeser layar tablet tiba-tiba harus berhenti karena kedatangan seseorang yang menarik salah satu kursi di hadapannya.Gerald menatap Ana yang
Ana berjalan memasuki dapur ia merasa bosan berada di kamar terus menerus. Sesampainya di dapur ia tidak melihat Asti berada di sana. Ana mengedikkan bahunya tak acuh, tidak ada Asti disana malah membuatnya bebas berada di dapur. Ana membuka kulkas yang ternyata terisi penuh macam-macam makanan dan minuman. Ana beralih membuka rak dapur yang juga terisi dengan berbagai makanan dan bahan-bahan. Ana ingin membuat sesuatu untuk dirinya sendiri tetapi ia bingung harus membuat apa. Akhirnya Ana memutuskan untuk membuat spaghetti marinara. Kurang dari setengah jam ia berkutat di dapur membuat spaghetti dan akhirnya jadi. Ana tersenyum mencium bau harum dari spaghetti buatannya. Ia jadi tidak sabar untuk memakan spaghetti buatannya. Ana membawa piring spaghetti ke meja makan."Ah lupa! aku sedang membuat kue." Ana menepuk keningnya, ia melupakan kue nya yang masih ada di dalam oven. Ana beranjak kembali ke dapur meninggalkan spaghe
Ana membawa sepotong kue matcha buatannya untuk diberikan ke Gerald. Ia tidak salah dengarkan jika tadi Gerald menyuruhnya untuk mengantarkan kue ke kamarnya. Bukankah pria itu tidak suka jika ada orang yang masuk ke wilayahnya di lantai tiga? Ana jadi bimbang untuk naik ke lantai tiga. Bagaimana jika Gerald tiba-tiba memarahinya dan lupa dengan apa yang dikatakannya tadi.Ah sudahlah Ana meyakinkan dirinya sendiri jika lebih baik ia mengantarkan kue ini ke kamar Gerald. Sejak tiga bulan ia tinggal di rumah ini, ini pertama kalinya ia menginjakkan kakinya di lantai tiga kawasan kekuasaan milik Gerald. Di lantai tiga ini tidak terlalu banyak barang, hanya ada beberapa rak dan sofa. Dan di lantai tiga ini hanya ada dua pintu yang artinya hanya ada dua ruangan. Ana tidak tahu yang mana kamar Gerald karena kedua pintu tersebut memiliki warna dan corak yang sama. Ana mendekat ke salah satu pintu yang ada di dekat balkon. Ana mengetuk pintu di depannya beberap
"Apa yang kau lakukan." Ana menatap Gerald dengan takut. Ia kembali waspada dengan setiap gerakan Gerald. "Kenapa kau sangat terburu-buru sekali." ujar Gerald sambil tangannya menyingkirkan rambut Ana hingga memperlihatkan leher putih gadis itu."Kau harusnya merasa beruntung karena kau orang satu-satunya yang ku perbolehkan untuk masuk ke dalam kamarku." ujar Gerald dengan nada sombong.Ana bahkan berpikir ia sama sekali tidak berminat untuk masuk ke dalam kamar pria itu, dan dimana ia harus merasa bangga jika ia sama sekali tidak menginginkannya. Saat ini di pikiran Ana hanyalah bagaimana agar ia lepas dari cengkraman singa di depannya dan segera keluar dari kamar ini. Setelah ini ia tidak ingin menginjakkan kaki di daerah kekuasaan Gerald lagi. "Apa kau baru saja mandi?" tanya Gerald yang terdengar ambigu."Aku suka bau sabun mu." sekarang Ana berpikir jika Gerald benar-benar laki-laki mesum. Awalnya Gerald mengendus wangi sabun Ana di leher g
Gerald sedang menikmati teh nya di sore hari. Matanya tidak dapat lepas menatap Alexa yang sedang duduk di dekat jendela sambil membaca buku. Sepertinya perempuan itu sangat bosan sampai bingung ingin melakukan apa. Gerald langsung pura-pura mengalihkan perhatiannya pada ponsel saat Ana tiba-tiba menutup bukunya. Gerald mencuri lirik gerakan Ana tanpa sepengetahuan gadis itu. Ana berjalan mendekati bi Asri yang baru saja melewati ruang tengah. "Bibi mau kemana?" tanya Ana."Bibi mau menyiram tanaman non." "Kenapa bibi yang menyiram? Tukang kebunnya kemana?" Ana mengerutkan keningnya, bi Asri sebelumnya tidak pernah melakukan tugas tukang kebun setaunya. "Kebetulan tukang kebunnya lagi libur non." balas bi Asri."Biar aku bantu ya bi, bibi kan masih belum sehat banget." Alexa dengan senang hati menawarkan bantuan kepada bi Asri."Aduh nggak perlu non." ujar bi Asri merasa tidak enak.
Ana sedang tiduran di atas kasur sambil bermain ponsel. Setelah selesai menyiram tanaman ia hanya berada di kamar. Saat jarinya sedang sibuk menekan berbagai tombol di layar ponsel. Untuk mengusir rasa penatnya Ana memutuskan untuk bermain game. Tak perlu khawatir masalah kuota karena di rumah ini memiliki beberapa wifi di setiap lantai. Dan itu semua sinyalnya sangat cepat tidak perlu takut loading lama.CeklekAna refleks menegakkan badannya ketika pintu kamarnya tiba-tiba dibuka. Ana mengerutkan melihat dua orang perempuan masuk ke dalam kamarnya dengan membawa banyak pakaian yang digantung. "Selamat sore nona Ana." sapa salah satu perempuan dengan seragam seperti seorang pramugari dengan menunduk hormat."Kami ditugaskan oleh tuan Sleeve untuk membawakan beberapa baju untuk di pilih." ujar perempuan itu sambil menunjukkan berbagai model pakaian yang mereka bawa.Ana masih dalam keadaan kebingungan, ia tidak t
Ana tengah duduk di depan meja rias untuk melihat penampilannya. Ia bahkan kagum sendiri dengan riasannya. Sebelum-sebelumnya ia belum pernah berdandan seperti ini, paling kalau pergi hanya memakai riasan seadanya dan baju seadanya.Ting tongApa itu Gerald? Ana beranjak ke luar kamar. Ia berjalan ke arah pintu untuk melihat siapa yang datang. Tapi jika Gerald yang datang kenapa harus menekan bel rumah. Laki-laki itu kan biasanya langsung masuk seperti biasanya. Ana berpapasan dengan Asti yang baru saja membuka pintu."Siapa yang datang?" tanya Ana ke Asti.Asti terlihat menatap Ana dari atas sampai bawah. Senyum sinis terukir di bibir Asti. Asti melenggang begitu saja tanpa berniat membalas pertanyaan dari Ana.Ana ingin memanggil Asti tapi ia urungkan. Asti sepertinya sangat membencinya entah apa alasannya. Ana mengedikkan bahunya berusaha untuk tidak ambil pusing sikap Asti kepadanya. Ana melanju
"Sayang." Gerald menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Ana. Sesekali ia menghisap atau menggigit gemas leher Ana. Ana memutar bola matanya jengah. Sudah kelima kalinya Gerald hanya memanggilnya tanpa mengatakan apa-apa. Ana menjauhkan tubuhnya dari jangkauan suaminya itu."Aku lagi dandan, jangan ganggu ah." kesal Ana karena sedari tadi Gerald terus menempel padanya dan tidak mau melepaskan pelukannya."Habisnya kamu wangi." ujar Gerald sambil terus menciumi leher Ana."Kamu aja yang bau karena belum mandi." ejek Ana."Kamu mau kemana sih pagi-pagi gini udah cantik aja." Gerald menatap dari pantulan cermin dengan pandangan tidak suka."Mau ke sekolahannya Aron ambil rapot." "Eve ikut?" Ana menggelengkan kepalanya. "Kamu hari ini liburkan, tolong jagain Eve ya." Gerald mencabikkan bibirnya dengan kesal. "Kenapa nggak diajak aja, masa aku harus nemen
Waktu berlalu dengan begitu cepat sampai sulit untuk menyadarinya. Hari demi hari terus berganti, bulan demi bulan terus berganti, hingga tahun demi tahun terus berganti. Sudah hampir tujuh tahun usia pernikahan Ana dan Gerald tanpa terasa. Tidak banyak yang berubah dari tahun-tahun sebelumnya. Hanya saja Gerald yang dulu telah berubah menjadi seorang Gerald yang lebih baik lagi. Hari-harinya dipenuhi oleh Ana yang selalu ada di sampingnya."Emmmh faster…" Ana terengah-engah dalam kegiatan panas mereka. "Jangan keluar dulu, tunggu aku." ujar Gerald sambil terus memompa tubuhnya."Aahhh akuhhh su daahh tidakkhh tahan." Ana memejamkan matanya menahan sesuatu yang ingin keluar dari bawah sana."Bersamahhh ahhhhkhhhkh." Gerald mengerang saat milik Ana Benar-benar menjepitnya dengan sangat erat.Cupp"Ahhh I love you." Gerald membaringkan badannya ke samping badan Ana dan menarik selimut untuk menut
"Arabella?" Rachel langsung berlari menghampiri Gerald begitu mendengar nama putrinya disebut oleh laki-laki itu."Dimana putriku? Katakan dimana putriku?" Rachel terlihat tak sabaran mendengar keberadaan putrinya itu. "Katakan dimana putriku!" Rachel berteriak seperti orang kesetanan karena tidak mendapat respon dari Gerald atas pertanyaannya."Arabella telah tiada." Ana menatap ke arah Gerald dengan pandangan tidak percaya. Ia tidak percaya jika laki-laki itu akan mengatakannya langsung tanpa berpikir panjang. Rachel tertawa keras mendengarnya. Sedangkan Peter terduduk di atas lantai karena terlalu terkejut."Tidak mungkin, putriku masih hidup hahahaha dia masih hidup. Kau berbohong!" Rachel mendorong tubuh Gerald hingga tubuh Gerald mundur beberapa langkah."Putriku masih hiduppp." Rachel berjalan kesana kemari dengan senyum dibibirnya."Kau tidak apa-apa?" Ana menanyakan kead
Ana menggeliat dalam tidurnya. Matanya masih ingin terpejam meski cahaya matahari berusaha menerobos kamarnya untuk mengganggu tidur nyenyaknya. Semalam ia baru tertidur pukul tiga pagi hingga akhirnya hari ini membuatnya ia bangun kesiangan. Untungnya hari ini hari minggu jadi Ana bisa bermalas-malasan di tempat tidurnya. Ana menepuk-nepuk samping tempat tidurnya. Ia tersenyum mengingat makan malam romantisnya dengan Gerald. Mereka sangat menikmatinya semalam. Mereka memakan steak, kemudian dilanjut berdansa di bawah sinar bulan, dan kemudian mereka melanjutkan kegiatan malam mereka dikamar.Wajah Ana memerah seperti tomat kala mengingat bagaimana ia menjadi sangat agresif semalam. Tidak, sepertinya sejak ia hamil ia menjadi lebih agresif ketika mereka melakukannya. Ana selalu ingin memimpin dan Gerald dengan senang hati memberikan kendali kepadanya."Morning honey." Cupp"Morning." "Kau masih ingin tidur?
Ana bergerak mendekat ke arah Gerald. Dipeluknya laki-laki itu dengan tulus. Ia tahu Gerald sebenarnya orang yang baik. Hanya saja karena hatinya tertutup oleh dendam membuatnya jadi seperti ini. Setiap orang memiliki kesempatan dalam merubah hidupnya menjadi lebih baik, dan Ana yakin Gerald akan menjadi orang yang lebih baik setelah ia menyadari semua kesalahannya. "Aku ingin menjadi seorang ayah yang dibanggakan oleh anakku dimasa depan, bukannya dibenci oleh anakku." gumam Gerald sambil terisak di pelukan Ana. Tangan Ana mengusap punggung Gerald untuk menenangkan suaminya itu. Ini bukan pertama kalinya bagi Ana melihat Gerald yang menangis. Tapi setiap Ana melihat Gerald menangis, ia seperti melihat sisi lain yang selama ini Gerald coba sembunyikan. Selama ini Gerald selalu terlihat galak, dingin, dan tegas, tapi sebenarnya Gerald memiliki sisi yang lembut juga."Terimakasih sudah mengatakan semuanya." ujar Ana sambil tersenyum. Ia menghargai keberanian Gerald yang mau berkata ju
Setelah makan malam Ana langsung pergi ke kamar. Ia langsung mengambil buku novel yang beberapa hari ini ia baca. Malam ini rencananya ia akan menamatkan novelnya itu. Hanya kurang empat bab maka satu buku novel berhasil ia tamatkan selama satu minggu. Ana tetap terfokus pada buku di tangannya ketika Gerald masuk kedalam kamar. Perempuan itu enggan melirik meski sebentar saja. Ana memang selalu begitu jika sudah asyik membaca, maka dunianya akan terfokus pada satu titik.Gerald berpura-pura mencari sesuatu di dekat Ana untuk menarik perhatian perempuan itu. Tapi sayangnya Ana tidak tertarik dengan apa yang Gerald lakukan. Gerald mendengus melihat Ana yang sibuk dengan buku novelnya. Gerald mengintip apa yang membuat Ana sampai begitu mengabaikannya. Gerald melihat buku novel yang Ana baca, tidak ada yang menarik hanya berisi tulisan yang berupa paragraf saja. Gerald menaiki tempat tidur dengan pelan. Ia dengan sengaja merebahkan kepalanya ke atas paha Ana. Dan benar yang ia lakukan l
Gerald berjalan menghampiri Ana. Satu tangannya langsung melingkar posessive di pinggang Ana. Dengan sengaja ia memanas-manasi Jane yang sedang menatap ke arah ia dan Ana. Gerald memang berniat mengusir Jane dari ruangannya. Jika perempuan itu tidak bisa diusir secara halus, maka Gerald akan menggunakan caranya sendiri untuk mengusir perempuan itu."Kau bisa pergi sekarang, atau perlu aku panggilkan satpam kesini?" ujar Gerald kepada Jane."Gak bisa Ge, ada yang mau aku bicarakan sama kamu." balas Jane yang tetap kekeh dengan pendiriannya."Nggak ada yang perlu dibicarakan lagi. Ini terakhir kalinya kita bertemu dan terakhir kalinya saya melihat wajah kamu." ujar Gerald datar.Jane tercengang mendengar penuturan Gerald. "Maksud kamu apa?" "Kerjasama kita sudah selesai dan saya sudah memutuskan untuk tidak melanjutkan kerjasama kita." jelas Gerald.Jane benar-benar terkejut mendengar keputusan Gerald yang tiba-tiba. Benar-benar sebuah kesialan untuknya, ia baru saja ingin memulai mend
"Nggak mungkin!" Jane menatap foto di depannya dengan pandangan tidak percaya. Selama dua hari ini ia menyuruh seorang mata-mata untuk mencari keberadaan Arabella. Dan alangkah terkejutnya saat mengetahui apa yang terjadi pada perempuan itu. Ia mendapati berita jika Arabella telah tiada. Dan orang yang telah membunuh Arabella adalah Gerald kakak tirinya sendiri. Wajah Jane berubah menjadi pucat, ia memikirkan bagaimana jika Gerald mengetahui kalau selama ini ia juga ikut terlibat membantu Arabella untuk menghancurkan hubungannya dengan Ana. Apa Gerald juga akan membunuhnya dan membakarnya seperti dia membunuh Arabella? Jika Gerald dengan mudahnya bisa membunuh adik tirinya sendiri yang memiliki ikatan darah dengannya, tentu saja Gerald akan dengan mudah membunuhnya bukan?Jane berjalan mondar-mandir memikirkan cara agar dirinya tidak ketahuan kalau ia juga terlibat. Ia menjentikkan jarinya, sebuah ide terlintas di kepalanya. Jika ia berhasil membuat Gerald kembali jatuh cinta padanya
"Bagaimana dok keadaan istri saya?" tanya Gerald dengan wajah ingin tahu."Bisa beritahu saya keluhan apa saja yang bu Ana rasakan?" tanya dokter perempuan itu.Benar, Gerald memang sengaja mencari dokter perempuan untuk memeriksa Ana. Padahal yang seharusnya saat ini bekerja adalah dokter laki-laki. Gerald keras kepala dan akhirnya ia menawarkan untuk membayar lima kali lipat dengan syarat jika dokter yang memeriksa Ana harus berjenis kelamin perempuan."Mual, pusing, lemas, tapi mual saya hanya air saja dok." keluh Ana.Dokter itu tersenyum penuh arti. "Untuk memastikan keadaan ibu Ana, saya menyarankan untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan dokter Hana." dokter tersebut menulis sesuatu di atas kertas yang entah berisi apa Ana sendiri sulit membacanya."Dokter Hana? Apa saya ada penyakit dalam dok? Apa saya akan di operasi?" tanya Ana dengan perasaan takut jika dirinya harus sampai di operasi.Gerald mengusap tangan Ana mencoba menenangkan perempuan itu. Ia juga jadi khawat