Setelah mengirim pesan tersebut, Alya menunggu di toilet untuk beberapa menit, tetapi orang itu tidak membalasnya.Dia menunggu lagi sejenak, tetapi orang itu masih tidak membalasnya. Dia pun terpaksa menyerah.Ketika dia keluar dari toilet, dia menemukan Rizki yang sudah menunggu di luar. Hanya saja dibandingkan dengan sebelumnya, Rizki tampak agak aneh. Aura yang dipancarkannya telah menjadi dingin, pria itu berdiri di sana bagaikan mesin pendingin alami.Meskipun penampilan Rizki sangat menonjol dan tampan, tetapi auranya yang hampir dapat membekukan orang pun membuat orang lain mundur sekitar 1 meter.Hingga akhirnya, Alya datang dan aura dingin di sekitarnya pun sedikit menghilang.Tatapan dinginnya mendarat pada wajah Alya. Bibirnya terus terkatup rapat, menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak berniat untuk berbicara dengan Alya.Alya telah menyelesaikan urusannya di sini, jadi dia pun langsung membawa tasnya dan pergi tanpa menyapa Rizki. Ketika dia berjalan ke pintu, Rizki lagi
Arti dari penolakannya sudah sangat jelas.Akan tetapi, setelah terdiam untuk cukup lama, suara Irfan masih sangat lembut."Alya, apa yang terjadi? Kalau kamu nggak mau aku menemanimu, apa aku suruh saja Pak Hasan menemanimu? Dia tahu banyak. Jadi saat memilih mobil, kamu nggak akan tertipu oleh para penjual mobil itu ...."Namun, sebelum dia dapat menyelesaikan kalimatnya, Alya dengan tak sabar menyela, "Apa aku terlihat bodoh? Begitu bodoh hingga bisa ditipu oleh penjual mobil?""Bukan itu maksudku.""Kalau bukan itu maksudmu, kenapa kamu mau menyuruh Pak Hasan ke sini? Aku bilang nggak usah, apa kamu nggak mengerti?"Tidak terdengar jawaban dari ujung telepon.Setelah berbicara cukup kasar, Alya agak menyesal.Lagi pula, orang di ujung telepon ini sudah sangat baik padanya selama 5 tahun ini. Akan tetapi, jika dia melunak padanya, maka dia hanya akan menyakitinya.Daripada membiarkan hal ini berlarut-larut, lebih baik dia segera memutusnya.Karena tidak mendengar jawaban dari ujung
Seorang pria yang tegas, serius, dingin dan tampan. Dengan keberadaan yang sangat kuat, kelopak mata tipis, juga mulut yang tidak banyak bicara.Itulah kesan pertama yang didapat Alya. Setelah mendengar deskripsi Citra, dia pun juga tahu bahwa orang itu gila kerja.Sepertinya wajar saja jika kata-kata sebenar itu keluar dari mulutnya."Jadi setelah mengetahui prinsip tersebut, kamu langsung menerapkannya?"Citra tersenyum dengan manis. "Tentu saja.""Wah, jadi sekarang kamu nggak berpikir kalau bosmu itu bermasalah?""Tentu saja dia bermasalah, tapi itu nggak akan menghentikanku untuk menggunakan kata-katanya demi menghiburmu. Bukankah menurutmu perkataannya ini masuk akal?""Ya, cukup masuk akal."Alya terkekeh. Meskipun Citra sering mengeluh tentang bosnya, Alya menyadari sesuatu saat melihat sahabatnya menggunakan kata-kata bosnya untuk menghiburnya.Setidaknya sampai tingkat tertentu, Citra sangat memercayai bosnya hingga langsung menggunakan kata-kata tersebut.Kemudian yang terpe
Meskipun dia tidak ingin mengakuinya, tetapi bukankah ini terlalu kebetulan?Katakanlah kejadian 2 hari ini hanya kebetulan semata. Akan tetapi, orang itu juga bertemu dengan anak-anaknya di bandara luar negeri dan di pesawat? Hal ini sungguh tidak bisa dijelaskan.Jadi, inikah alasan orang itu ingin menemuinya?Namun ... kenapa orang itu tidak muncul?"Mama, ada apa?"Melihat ibunya yang tengah melamun, Maya pun langsung memeluk Alya."Mama, apa Mama khawatir Paman RezekiMalam itu orang jahat? Mama, Paman RezekiMalam bukan orang jahat kok."Ucapannya yang lembut dan menggemaskan ini membuat Alya menatapnya dan tersenyum dengan tak berdaya."Kalaupun dia orang jahat, nggak mungkin ada tulisan 'orang jahat' di wajahnya. Dia juga nggak akan memberitahumu kalau dia orang jahat.""Uh?"Maya menunjukkan ekspresi bingung, seolah-olah dia mengerti tetapi juga tidak mengerti.Wajahnya yang kebingungan terlihat sangat menggemaskan bagi Alya, Alya pun menyentuh hidung kecil anak itu. "Anak bodoh
"Oke, terima kasih Paman Irfan."Alya menggandeng tangan Satya dan berjalan mendekat. Satya melirik ekspresi ibunya, akhirnya dia bergumam, "Paman Irfan, halo."Irfan lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil lain dan memberikannya pada Satya."Nih, ini hadiah punya Satya."Namun, Satya tampak sedang memikirkan sesuatu dan merapatkan bibir kecilnya, dia tidak mengambil hadiah tersebut.Melihatnya tidak bergerak, Irfan memanggilnya, "Satya?"Satya pun melihat ke arah ibunya.Alya tersenyum. "Bilang terima kasih pada Paman Irfan."Kata-kata kejam itu tidak bisa Alya katakan di depan Satya dan Maya.Dengan dorongan Alya, Satya akhirnya berani menerima hadiah Irfan dan berterima kasih.Alya melirik putranya.Anak ini benar-benar terlalu sensitif, apakah Satya bisa merasakan emosinya?Melihat Satya akhirnya mau menerima hadiah tersebut, senyum gembira pun kembali muncul di wajah Irfan. Dia mengelus kepala Satya dan berkata, "Ayo, Paman akan mengantar kalian pulang."Karena pria ini sudah sampai
Kedua anak itu dengan patuh masuk ke rumah.Alya pun menutup pintunya lagi.Kemudian Alya berdiri diam, terdapat keheningan di antara mereka berdua.Setelah cukup lama, Alya akhirnya menoleh dan tersenyum pada Irfan."Bukankah kamu belum makan malam? Aku ingat ada restoran kecil di dekat sini, mau ke sana?"Entah apakah Irfan tidak terpengaruh olehnya atau karena ada alasan lain, begitu mendengar saran Alya, dia segera mengangguk dengan senyum tipis di wajahnya."Ayo."Mereka berdua pun turun ke lantai bawah bersama.Sementara itu di dalam rumah, begitu masuk ke dalam, kedua anak itu segera berbaring di depan pintu dan berusaha mendengarkan suara di luar. Akan tetapi, kekedapan suara pintu ini terlalu bagus. Mau menggunakan posisi apa pun, mereka tidak bisa mendengar sedikit pun suara di luar.Beberapa waktu kemudian, Maya menoleh dan memandang wajah serius kakaknya."Kakak, apakah Mama dan Paman Irfan bertengkar?"Kata "bertengkar" membuat alis Satya sedikit berkerut, lalu dia berkata
Irfan menurunkan pandangannya."Sore tadi kamu nggak mau aku menemanimu lihat-lihat mobil, apakah itu karena kamu mau mengatakan hal-hal ini padaku?""Nggak, aku hanya tiba-tiba nggak ingin ditemani olehmu."Saat ini Alya terdiam sejenak, lalu melanjutkan dengan dingin, "Seandainya kamu nggak datang ke gerbang sekolah anak-anak, aku nggak akan pulang naik mobilmu. Sekarang aku juga nggak akan duduk di sini dan berbicara denganmu. Aku ... sangat kesal padamu."Mendengar ini, ekspresi terkejut muncul di wajah Irfan yang biasanya lembut."Kesal?""Ya, aku nggak mencintaimu. Sebelumnya aku sudah bilang padamu, tapi kamu terus menggangguku. Setiap hari, aku harus menghabiskan waktuku untuk berurusan denganmu. Aku sangat kesal. Terutama setelah kembali ke negara ini, aku sudah nggak punya kesabaran lagi untuk berurusan denganmu. Jadi, bisakah kamu berhenti membuang-buang waktumu dan cari orang lain saja?"Sebuah rasa dingin melintas di mata Irfan, seolah-olah dia tidak dapat memercayai apa y
Setelah dibantu Irfan berdiri, pelayan itu melihat ekspresi khawatir Irfan. Seketika dia pun menjadi bingung.Apakah pria lembut di depannya ini sama dengan pria kasar yang tadi?"A ... aku nggak apa-apa."Namun, pria itu tidak melepaskannya. Sebaliknya, pria itu membantahnya, lalu menarik lengan bajunya untuk memeriksa.Begitu lengan bajunya diangkat, Irfan dapat melihat bahwa tangan gadis ini sangat merah.Raut wajah Irfan berubah, dengan suara beratnya dia berkata, "Ayo dinginkan dulu dengan air dingin.""Oke ...."Kemudian Irfan pun menemani gadis itu ke belakang restoran. Sementara pelayan itu membasuh tangannya dengan air dingin, Irfan terus bersandar di samping dan menunggunya.Berkat air dingin, rasa sakit dari luka bakarnya dengan cepat berkurang. Karena cuaca yang dingin, tangannya hampir mati rasa setelah dibasuh air dingin.Begitu dia keluar, Irfan berdiri di depannya."Aku benar-benar minta maaf, aku akan mengantarmu ke rumah sakit.""Nggak ... nggak usah, ini hanya luka b