Wira tidak berani memercayainya."Kamu nggak menipu kami, 'kan? Kamu bukan agen real estat yang sedang mencoba menipu kami untuk membeli rumah yang mahal, 'kan?"Sesaat kemudian, Cahya langsung menyodorkan akta kepemilikan rumah ke depan mereka."Rumahnya sudah dibayar lunas, kalian tinggal pindah."Dua puluh menit kemudian, suami istri itu dengan sopan mengantar Cahya pergi. Mereka bilang, siang ini mereka akan mengundurkan diri dari pekerjaan mereka dan mengeluarkan anak mereka dari sekolah, juga memastikan bahwa besok mereka akan melapor ke sekolah yang baru.Cahya sangat puas. "Ingat, jangan sampai terlambat. Besok pagi aku akan menemui kalian.""Ya, nggak masalah. Malam ini kami akan pindah, bahkan kami nggak akan tidur untuk pindah."Setelah menyelesaikan urusannya, Cahya akhirnya pergi dengan puas....Alya pergi ke bank untuk menarik uang tunai sejumlah 100 juta.Karena dia harus membawa barang untuk anak-anaknya, dia sudah lama menggantikan tas kecil cantik yang dipakainya wak
Ketika marah, rasionalitas seseorang sering kali tertutupi atau bahkan tergantikan oleh emosi.Saat menyangkut wanita yang dicintainya, Rizki juga bukan pengecualian.Namun, begitu mendengar ucapan Cahya, dia pun tersadarkan.Amarahnya dalam sekejap menghilang.Dia menurunkan pandangannya, menyembunyikan kegelapan yang ada di matanya.Benar, hak apa yang dia miliki untuk marah pada Alya?Seperti yang asistennya katakan, 5 tahun sudah berlalu. Seharusnya dia bersyukur Alya belum menikah lagi, sehingga dia masih memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya seperti ini. Identitas yang digunakannya tidaklah penting selama pria yang Alya temui bukan pria lain.Memikirkan hal ini, Rizki melirik Cahya."Boleh juga, tak kusangka kamu cukup berguna.""Ya, 'kan?" Melihat Rizki memujinya, Cahya pun segera meminta imbalan dengan berkata, "Kalau begitu Pak Rizki, bisakah kamu memberiku kenaikan gaji tahun ini?"Mendengar ini, Rizki mendengus."Nanti kita bicarakan lagi.""Apa kamu sudah membereskan
Lupakan saja, dia harus tetap tenang. Lagi pula, pria yang Alya temui adalah "dia".Alya berjalan masuk ke restoran dengan tasnya.Seorang staf segera menghampirinya."Halo Bu, selamat datang.""Halo, aku sudah memesan meja di ...."Setelah Alya mengatakan bahwa dia sudah memesan meja, staf itu segera mengantarnya masuk ke dalam.Saat ini, Rizki yang duduk di lantai atas pun memperhatikannya dengan mata dingin.Meja yang dipesan Alya untuk pertemuan nanti berada di samping jendela.Wajah Rizki tadinya tampak dingin. Akan tetapi, dia melihat staf itu tidak membawa Alya ke meja di samping jendela, melainkan membawanya ke arah sebaliknya.Ada apa ini?Apa staf itu melakukan kesalahan? Atau Alya sendiri yang lupa?Saat sedang berpikir, staf itu sudah membawa Alya ke arah tangga.Raut wajah Rizki berubah, dia mendengar Cahya yang berseru di sampingnya, "Aduh, staf itu nggak akan membawanya ke atas sini, 'kan? Pak Rizki, bagaimana ini?"Lantai atas dan bawah hanya dipisahkan oleh beberapa an
Rizki sangat tinggi. Dia berdiri hampir tepat di sisi Alya, sehingga aura dinginnya dalam sekejap menyelimuti wanita itu.Meskipun dingin, auranya sangat kuat.Alya refleks melangkah mundur, dia ingin menjauh dari Rizki.Sayangnya, dia kurang beruntung. Pergelangan kakinya terputar saat dia mundur, sehingga dia pun tersandung dan hendak jatuh.Rizki segera mengulurkan tangannya, menangkap pinggang Alya dan menarik wanita itu ke arahnya.Tubuh Alya pun mengikuti kekuatan yang menangkapnya itu dan jatuh ke dalam pelukan Rizki.Buk!Hidung Rizki mencium keharuman yang samar dari tubuh Alya.Tubuh Alya terasa lembut di dalam pelukannya, bahkan pinggang di bawah tangannya terasa sangat lembut. Bibir tipis Rizki sedikit melengkung, lalu dia mengangkat alisnya dengan menggoda."Kamu segugup itu saat melihatku?"Setelah berdiri dengan benar, Alya refleks mendorong Rizki."Lepaskan aku."Namun, pria itu mengeratkan lengannya di pinggang Alya. Setelah didorong pun, Rizki masih tetap tidak berger
Setelah Rizki melepasnya, pinggang Alya seketika bebas. Alya mundur dua langkah dan menjaga jaraknya dari Rizki.Tatapan Rizki masih terpaku padanya."Nona Alya, bagaimana kalau duduk bersama kita saja? Ayo kita semua berbaikan, oke?"Alya menatap Cahya, sulit baginya untuk berkata kasar pada orang yang bersikap sopan seperti ini. Alya hanya bisa menjelaskan, "Nggak usah, aku ada janji.""Dengan siapa?" tanya Rizki."Apa urusanmu?" balas Alya."Dengan seorang pria?""Apa hubungannya denganmu?"Meskipun Rizki tahu siapa yang akan ditemui Alya, dia masih tidak dapat mengendalikan kecemburuannya. Cahya yang mendengar percakapan ini pun merasa malu.Apa yang sedang Rizki lakukan?Sebelumnya, mereka sudah setuju untuk tetap tenang, tetapi kenapa begitu bertemu ....Akan tetapi, memikirkan sikap Alya yang terus melawan dan ingin pergi tanpa mengatakan apa pun, bila dirinya adalah Rizki, dia pasti juga akan kesulitan untuk bersikap tenang.RIzki mendengus dingin. "Apa kamu ada janji dengan Ir
Begitu nama Hana disebutkan, suasana di dalam mobil menjadi sunyi senyap.Seolah-olah, terdapat sebuah jurang yang tak dapat dilewati di antara mereka berdua.Setelah mendengar nama Hana, Rizki menyipitkan matanya. "Aku dan dia ...."Alya menoleh dan berkata dengan dingin, "Aku nggak peduli dengan kamu dan dia, aku hanya ingin kamu berhenti menggangguku."Mendengar ini, raut wajah Rizki menjadi dingin."Siapa yang waktu itu bilang mau pisah baik-baik? Alya, apakah ini pisah baik-baik yang kamu maksud? Atau mungkin, ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku sehingga kamu nggak ingin berpisah baik-baik denganku?"Setelah mengatakan ini, Rizki menatap Alya dalam-dalam.Tentu saja, meskipun wajah Alya masih tampak tenang, rasa panik dengan cepat melintas di matanya. Begitu cepat hingga Rizki tidak akan melihatnya bila dia tidak benar-benar memperhatikannya.Setelah menenangkan diri, Alya menoleh dan menatap ke arahnya."Apa aku bilang begitu? Kenapa aku nggak ingat?"Alya sangat tenang dan
Perjanjian mereka yang awalnya sudah ditentukan, meskipun Alya tiba lebih awal, bila orang itu tidak dapat menemukannya setelah tiba di sana, orang itu seharusnya akan menelepon.Kemudian nanti, di dalam mobil ....Jika Rizki yang tiba-tiba muncul ini bersikeras untuk mengikutinya, maka hari ini Alya sama sekali tidak bisa menyerahkan uang tunai ini pada orang itu.Namun, tidak ada jalan lain, dibandingkan dengan orang itu, kedua anaknya masih lebih penting.Oleh karena itu, Alya pun diam-diam juga menyalakan mode senyap pada ponselnya....Toko mobil.Sebenarnya, Alya sudah lebih dulu memilih mobil yang akan digunakannya.Mobil yang dia incar tidak mahal, hanya sebuah mobil biasa untuk transportasi. Performanya tidak terlalu bagus, tetapi mobil ini adalah yang terbaik di antara harga-harga yang dia lihat.Tentu saja, begitu melihat mobil tersebut, Rizki langsung menolaknya."Mobil yang kamu lihat ini nggak bagus, performanya terlalu jelek."Kemudian, dia menyebutkan sebuah merek mobil
Setelah memandangnya cukup lama, Alya akhirnya duduk di kursi pengemudi, menutup pintu dan memakai sabuk pengamannya. Semua ini hampir terjadi dalam sesaat.Setelah itu, dia memasukkan kunci mobilnya ke lubang kunci dan memelototi Rizki dengan dingin."Kamu yakin mau naik mobilku?"Rizki tersenyum. "Kenapa? Memangnya aku bisa mati?"Alya tidak membalas perkataannya. Dia menyalakan mesin, lalu menginjak rem sambil memutar setirnya. Jendela mobil diturunkan, staf penjual tadi berdiri di luar dan menatap mereka dengan khawatir."Bu, Pak."Alya tersenyum tipis padanya. "Tenang saja, aku punya pengalaman mengemudi."Melihat staf itu tidak percaya, Alya pun memberikan SIM-nya. Staf itu menghela napas lega saat melihatnya."Baguslah.""Setelah mencobanya, aku akan segera kembali."Dengan wajah tanpa ekspresi, Rizki menatap Alya yang sedang mengemudi di sampingnya.Sebenarnya, 5 tahun yang lalu Alya juga sudah belajar mengemudi. Dia sering naik mobil untuk pergi dan pulang kerja.Namun, kemamp