Bahkan Rizki tidak menyadari, betapa jelasnya kepedulian yang muncul di matanya ketika dia mengucapkan kalimat itu."Kamu sudah menyimpan nomor teleponnya?" tanya Rizki tiba-tiba.Hana tersadar kembali dan menjawab, "Ya, sudah kusimpan. Bolehkah nanti aku mengajaknya bermain?""Boleh, supaya dia nggak terus-menerus terfokus pada pekerjaannya."Hana hanya bisa tersenyum dengan canggung. Namun, begitu dia berbalik, dirinya yang selalu lemah lembut, memiliki sedikit kegelapan di dalam matanya....Keesokan harinya.Ketika Alya terbangun, dia menemukan bahwa matanya agak bengkak.Untuk menghindari orang lain mengetahuinya, dia pun mengompres matanya dengan es untuk meredakan bengkak.Dia melirik ponselnya dan melihat beberapa pesan teks dari orang-orang.Wisnu mengirimnya pesan: "Aku sudah membereskan pekerjaanmu, kamu nggak usah khawatir. Kalau kamu nggak enak badan, kamu harus pergi ke rumah sakit.""Apa kamu sudah bangun? Bagaimana kondisimu? Kalau perlu, aku akan menemanimu ke rumah sa
Mendengar kata aborsi, Citra terdiam sejenak. Lalu, dia cepat-cepat bereaksi."Eh ... kenapa?""Apa lagi?""Tapi ...."Namun, Citra masih tidak bisa menerimanya dan berkata, "Dua tahun, kalian telah bersama selama dua tahun. Apakah dia sama sekali nggak memiliki perasaan terhadapmu? Selain itu, ini bukan anak orang lain, melainkan anaknya sendiri. Sebagai seorang suami dan seorang ayah, apakah dia nggak punya rasa iba?"Alya terdiam.Jika sebelum mengirim pesan tersebut dia masih memiliki khayalan tentang Rizki, sekarang khayalan-khayalan tersebut sudah menghilang.Ada sebuah pepatah yang tersebar di internet, bagaimana bunyinya?Oh, benar ....Hanya ketika dia mencintaimu, anakmu baru benar-benar anak.Ketika dia tidak mencintaimu, jangankan anak, bahkan dirimu pun bukan apa-apa.Citra masih melanjutkan, "Bahkan tanpa 2 tahun itu, kalian berdua telah tumbuh bersama. Apakah benar-benar nggak ada perasaan di antara kalian yang berteman sejak kecil? Alya, sudahkah kamu menjelaskannya pad
Pantas saja dia terbangun di dalam mobil Rizki."Kak Alya, kamu nggak tahu. Hari itu, saat aku memberi tahu Pak Rizki kalau kamu mungkin pingsan, dia sangat panik."Ketika Tiara mengatakan hal ini, Alya tidak tahu maksud dari ucapannya. Mungkinkah anak ini mencoba membuatnya senang atau ....Jadi, dia pun dengan hati-hati berkata, "Benarkah? Sepanik apa dia?"Tiara tersenyum dengan agak malu."Selama bertahun-tahun aku bekerja di perusahaan ini, kecuali kemarin, aku nggak pernah melihat raut wajah Pak Rizki seperti itu. Saat itu sedang ada eksekutif yang melaporkan pekerjaan padanya, tapi begitu mendengar bahwa kamu pingsan, dia bahkan mengabaikan eksekutif itu dan segera berlari menghampirimu. Kemudian, dia menggendongmu ke mobil. Dia tampak sangat panik."Di akhir cerita, Tiara mengedipkan mata padanya. "Pak Rizki pasti sangat peduli padamu.""Oh ya?"Alya menatapnya dan tiba-tiba bertanya, "Apa kemarin kamu nggak melihat wanita lain di sisinya?"Hanya dengan satu kalimat, Alya seger
"Wow, kalau kamu mengatakannya seperti itu, aku pun merasa itu mungkin.""Tentu saja seperti itu. Di mana lagi ada nyonya besar keluarga kaya yang bekerja sebagai sekretaris perusahaan?""Tapi aku nggak mengerti, kenapa harus sampai memalsukan pernikahan?""Sepertinya ada alasan tertentu. Aku dengar, Bu Alya dan Pak Rizki merupakan teman sejak kecil. Ketika Keluarga Kartika bangkrut, sepertinya Pak Rizki menikahi Bu Alya untuk menolongnya. Oleh karena itu, sekarang nggak ada yang berani mengganggu Bu Alya.""Ternyata begitu. Pak Rizki benar-benar orang yang baik, ya.""Aku juga dengar bahwa Pak Rizki terus menunggu Hana yang pergi ke luar negeri itu. Seorang pria dengan kesetiaan dan cinta yang mendalam, itulah Pak Rizki."Ketika orang-orang itu berbicara, Alya hanya berdiri di belakang dan mendengarkan. Dia sama sekali tidak menghindari mereka. Ekspresi di wajahnya tampak tenang, seolah-olah subjek pembicaraan orang-orang itu bukanlah dirinya.Akhirnya, mobil Wisnu berhenti di depan m
Wisnu tidak menyelesaikan kalimatnya, tetapi nada bicaranya telah menunjukkan emosinya dengan cukup jelas.Dia merasa kesal dengan keras kepalanya Alya.Alya hanya bisa bersyukur pria ini tidak mengetahui kehamilannya. Kalau tidak, nada bicaranya akan menjadi jauh lebih parah.Mungkin karena Alya terus terdiam, Wisnu tidak mengatakan apa-apa lagi. Pria itu membawanya ke sebuah restoran, lalu setelah memesan makanan, dia berkata, "Kamu tunggu di sini sebentar, aku akan kembali dalam 10 menit.""Baik." Alya mengangguk, sama sekali tidak memiliki tenaga untuk menanyakan ke mana Wisnu mau pergi.Sepuluh menit kemudian, Wisnu kembali dengan sebungkus plastik di tangannya."Ambillah.""Apa ini?"Wisnu menjawab, "Obat. Kamu sakit, 'kan? Sebagai orang dewasa, seharusnya kamu selalu membawa obat-obatan bersamamu. Ketika kamu sakit, minumlah obatnya."Alya menatap plastik itu untuk beberapa saat dan berkata, "Tapi aku sudah nggak apa-apa.""Kalau begitu simpan saja untuk lain waktu.""Baiklah."
Pikiran Wisnu pun kembali terfokus ke saat ini.Dia melirik gadis di hadapannya.Gadis ini berpakaian dengan sangat sederhana, rambut panjangnya yang tergerai hanya diselipkan di belakang telinganya. Hari ini, Alya bahkan tidak mengenakan riasan wajah, sehingga dia tampak memancarkan kecantikan yang rapuh.Hal ini membuat orang-orang merasa kasihan ketika melihatnya.Wisnu adalah orang yang tahu diri.Dia tahu bahwa dirinya tidak bisa dibandingkan dengan Rizki, pantas untuk dibandingkan pun tidak.Ketika Keluarga Kartika bangkrut, dia bepergian ke banyak tempat. Sayangnya, dia bukanlah orang penting, sehingga kata-kata yang diucapkannya tidak memiliki banyak arti. Dia sama sekali tidak bisa membantu.Bahkan CEO sebuah perusahaan berterus terang padanya dengan berkata, "Wisnu, kamu luar biasa, aku pun sangat menghargai kemampuanmu. Tapi, sekarang Keluarga Kartika sudah jatuh. Orang cerdas seharusnya tahu bagaimana cara membuat pilihan, kamu bisa bergabung dengan perusahaanku."Waktu itu
Alya membalas: "Aku akan kembali begitu jam makan siang berakhir."Setelah itu, Rizki tidak membalas pesannya lagi.Dia meletakkan kembali ponselnya dan berkata pada Wisnu, "Aku mengerti, Kak Wisnu."Tatapan Wisnu untuk beberapa saat tertuju pada ponselnya, pria itu bertanya, "Pesan dari Rizki?"Alya terdiam sejenak, lalu mengangguk.Wisnu pun tidak mengatakan apa pun lagi. Mereka berdua lalu menghabiskan makanan yang tersisa dalam diam dan membayar tagihannya. Kemudian, Wisnu mengantar Alya kembali.Ketika Alya memasuki lift, dia menyadari bahwa Wisnu juga mengikutinya masuk.Dia pun agak terkejut. "Kamu juga mau naik?"Kantor tempat mereka bekerja tidak berada di tempat yang sama.Satu tangan Wisnu berada di dalam sakunya, ekspresinya tampak tenang. "Aku mau menemui Pak Rizki, kebetulan ada yang perlu aku laporkan."Setelah keluar dari lift, Wisnu mengecek waktu di jam tangannya. Kemudian, dia menatap Alya dan berkata, "Masih ada 10 menit sebelum jam kerja dimulai, nggak sopan kalau
Di bawah tatapannya yang seperti itu, Alya tidak tahu harus berbuat apa.Lagi pula ketika Alya keluar siang tadi, bukankah Rizki datang ke kantor bersama Hana? Kenapa Alya tidak ada di dalam ruang kantornya?Alya tenggelam dalam pikirannya. Wisnu menanyakannya sesuatu, dia pun tersadar kembali dan cepat-cepat merespons.Ketika laporan kerjanya sudah selesai, Wisnu lalu bersiap untuk pergi.Rizki dengan dingin mengangguk.Begitu Wisnu berjalan pergi, tatapan Rizki seketika jatuh pada Alya. Sebelumnya dia berdiri di belakang Wisnu, sehingga dirinya agak tertutupi dari pandangan Rizki.Sekarang, dia sama sekali tidak bisa menghindar.Saat ini, Wisnu yang hampir mencapai pintu ruang kantor tiba-tiba menoleh dan memandang Alya. "Alya, besok siang bagaimana kalau aku juga menjemputmu?"Mendengar ini, Alya tertegun sejenak.Rizki juga menyadari sesuatu dan mengangkat alisnya."Pak Rizki, apa kamu keberatan bila aku berbicara sebentar dengan Bu Alya?"Alya mengangkat alis indahnya.Apa yang ma
Biasanya dalam situasi seperti ini, Hana akan berbalik dan pergi.Namun, sekarang Hana tidak punya apa-apa lagi. Dia maju beberapa langkah, lalu menggigit bibirnya dan berkata, "Apa maksudmu dengan bercanda menggunakan perasaanmu? Kamu nggak berpikir kalau perasaanmu padanya tulus, 'kan? Begitu tulus sampai-sampai kamu nggak peduli kalau dia jatuh ke dalam pelukan pria lain?"Irfan melihat ke arah asistennya. "Bawa dia keluar.""Irfan, Alya akan bersama dengan Rizki. Apa kamu akan membiarkan mereka bersama begitu saja? Aku tahu bahwa selama 5 tahun ini kamu terus menemani Alya, kamu telah menunggunya selama 5 tahun. Bukankah kamu ingin bersama dengannya? Apa kamu bersedia kalau hari ini dia diambil oleh orang lain?"Hana berteriak seperti orang gila dan hampir histeris, tetapi orang di depannya masih tetap tenang."Sudah cukup bicaranya?"Hana tercengang.Apa maksudnya? Dia sudah berbicara panjang lebar, tetapi Irfan bahkan tidak peduli sedikit pun?Ini tidak masuk akal. Bukankah pria
Setelah ibunya pergi, Hana jatuh ke tempat tidur rumah sakit, menutupi pipinya yang memar dan menangis kesakitan.Jangankan ibunya, dia bahkan ingin menampar dirinya sendiri.Baru sekaranglah dia sadar, bahwa dia harusnya berhenti sejak dulu ....Namun, tampaknya, sekarang sudah terlambat untuk melakukan apa pun.Apakah ada seseorang yang bisa menolongnya?Mungkin ... ada seseorang yang bisa menolongnya.Hana terpikirkan seseorang dan melompat turun dari tempat tidur. "Nanda, cepat, bawa aku mencari taksi."Malam ini adalah malam yang sibuk.Di teras yang hening.Hasan menuangkan secangkir teh panas untuk Irfan, uap teh mengepul di udara yang dingin. Hana berdiri di hadapannya, dengan Nanda yang menopangnya di samping.Dia sudah cukup lama berdiri sana, tetapi Irfan sama sekali tidak berbicara ataupun mempersilakannya duduk.Bahkan Hasan yang berada di sisinya hanya menuangkan secangkir teh panas.Dia berlari keluar dengan terburu-buru, sehingga dia masih mengenakan gaun rumah sakit da
"Sebenarnya apa yang terjadi?"Nanda secara singkat menjelaskan apa yang dia tahu."Apa? Rizki datang?" Kegembiraan melintas di mata Tesa, dia maju dan menggenggam tangan Hana. "Hana, kenapa kamu nggak memberitahuku kalau Rizki datang? Dia datang menjengukmu, 'kan?"Sayangnya, mata Hana penuh dengan keputusasaan. Dia terlihat seperti pecundang. Tesa memanggilnya berkali-kali, tetapi dia tidak merespons."Hana? Cepat bicara!"Melihatnya yang seperti ini membuat Tesa kesal.Kemudian barulah Hana mendongak, matanya penuh dengan air mata."Ibu, dia tahu, dia sudah tahu. Selanjutnya dia nggak akan membiarkanku, dia juga nggak akan membiarkan Keluarga Adelia."Tesa mengerutkan keningnya."Tahu apa? Bicaralah yang jelas.""Alya, Alya Kartika, ingatan dia sudah kembali. Dia memberi tahu Rizki kebenarannya. Sekarang Rizki sudah tahu bahwa bukan aku yang menyelamatkannya. Dia akan membereskanku, selanjutnya dia pasti akan membereskan kita. Ibu, kita harus bagaimana?"Meskipun perkataan Hana agak
Sekarang Hana pun gelisah.Namun, sekarang dia sudah menenangkan dirinya. Malam ini Rizki datang untuk mempermainkannya.Selama dia menolak untuk mengakuinya, tidak ada yang bisa melakukan apa pun padanya.Memikirkan hal ini, Hana menatap Rizki dan berkata, "Bukankah kamu nggak tahu terima kasih? Apa kamu ke sini untuk mempermainkanku dan memberikan bukti pada Alya? Rizki, biar kuberi tahu kamu, aku nggak akan memberimu apa yang kamu mau. Kamu diselamatkan olehku yang telah mempertaruhkan nyawa. Waktu itu, aku hampir tenggelam di sungai demi menyelamatkanmu. Sementara mengenai Alya, dia bukan urusanku. Tapi, nggak ada satu pun orang yang bisa merebut jasaku. Kalau kamu mau menjadi orang yang nggak tahu terima kasih, silakan. Tapi jangan harap kamu bisa memaksa atau menyogokku untuk mendapatkan bukti apa pun."Setelah mengatakan itu, Hana langsung berbalik dan berjalan ke tepi tempat tidur, dia melepaskan sepatunya, lalu naik ke tempat tidur."Selama belasan tahun ini, akulah yang telah
Jawaban ini membuat Hana benar-benar panik.Tadinya, dia kira Rizki menanyakan hal ini karena ingin mendengarnya menceritakan ulang kejadiannya. Namun, ternyata ....Begitu menyadari betapa buruknya nasib yang harus dia hadapi bila Rizki sampai mengetahui kebenarannya, Hana pun seketika menjadi panik dan mulai berbicara dengan tidak jelas."Rizki, waktu itu benar-benar aku yang menyelamatkanmu. Jangan dengarkan omong kosong Alya, dia hanya ingin membohongimu dan membuatmu membuangku."Dari ucapannya ini, Rizki akhirnya mendapatkan kata kunci yang dia cari-cari. Matanya menyipit dengan mengancam, suaranya juga menjadi sangat dingin."Memangnya aku sudah bilang siapa yang mengatakannya?"Hana pun tercengang."Waktu itu, bukankah hanya ada aku dan kamu di tepi sungai? Kenapa kamu mengira Alya yang mengatakan sesuatu padaku? Kalau dia nggak di sana, apa perkataannya itu penting?"Sampai di sini, nada bicara Rizki seketika berubah menjadi tajam."Atau maksudmu, waktu itu bukan hanya ada kit
Hana tertegun oleh pertanyaannya dan membeku di tempat, dia menatap Rizki dengan bingung.Setelah waktu yang lama, barulah dia menyadari sesuatu.Mungkinkah Rizki sudah mengetahui kebohongannya?Tidak, itu tidak mungkin.Saat diselamatkan, Rizki masih tidak sadarkan diri. Alya juga telah kehilangan ingatannya. Rizki tidak mungkin mengetahuinya, kecuali Alya mendapatkan ingatannya kembali.Namun, bertahun-tahun telah berlalu, jika Alya ingin mendapatkan kembali ingatannya dia pasti sudah lama melakukannya, kenapa harus menunggu sampai sekarang?Apalagi, jika Alya benar-benar telah mendapatkan kembali ingatannya, apakah dia bisa menahan diri untuk tidak segera datang ke sini dan menemuinya? Dia mungkin sudah memberi tahu seluruh dunia bahwa dialah yang menyelamatkan Rizki.Setelah memikirkan hal ini, Hana merasa bahwa dirinya mungkin hanya terlalu sensitif dan curiga karena mimpinya.Rizki yang sekarang menanyakan hal-hal ini, sebenarnya memberikan kesempatan yang sangat bagus untuknya.
Karena di depan Rizki, dia selalu tampil ramah dan lembut, tidak pernah bertingkah seperti perempuan jahat seperti sekarang.Hana panik, dia segera menyibakkan selimutnya dan turun dari tempat tidur."Rizki, kenapa kamu ke sini?"Sebelum Hana selesai bicara, air mata sudah mengalir di pipinya. Dia menangis dan bergegas menghampiri Rizki."Aku kira kamu nggak mau berbicara denganku lagi."Rizki menurunkan matanya, memandang pergelangan tangan Hana."Kenapa kamu marah sekali?"Mendengar ini, Hana buru-buru menjelaskan, "A ... aku kira kamu mengabaikanku, jadi suasana hatiku sangat jelek. Maaf ... aku nggak bermaksud begitu. Nanda, apa kamu baik-baik saja?"Nanda menggeleng. Sambil melangkah mundur, dia membenci Hana yang bermuka dua ini di dalam hatinya. "Kalau begitu aku keluar dulu, kalian berdua silakan mengobrol."Dia segera pergi, bahkan menutup pintu kamar tersebut untuk Hana.Hana tidak tahu sekarang pukul berapa, tetapi seharusnya sudah malam sekali. Dia tidak menyangka Rizki aka
Setelah Rizki pergi, Alya berdiri seorang diri di depan pintu, berusaha menenangkan napas dan perasaannya.Beberapa waktu kemudian, dia mengangkat tangan dan menyentuh pipinya.Masih hangat ....Jelas-jelas tadi hanya sebuah pelukan.Akan tetapi, dia tidak menyangka Rizki benar-benar memercayainya dan sama sekali tidak mempertanyakannya.Bukankah ini artinya, hati Rizki selalu lebih condong kepadanya?"Mama?"Tiba-tiba, terdengar suara anak kecil dari belakangnya.Alya kaget dan berbalik, menemukan bahwa Satya sudah bangun entah sejak kapan dan sedang berdiri di sana menatapnya.Melihat putranya, Alya pun terkejut."Satya, kenapa kamu bangun?"Bukankah dia sudah tidur?Mata Alya menghindari putranya. Sudah berapa lama Satya berdiri di sana? Barusan dia tidak melihatnya, 'kan?Sambil memikirkan hal itu, Alya berjalan menghampiri Satya, lalu berjongkok di depannya dan menggendongnya. "Kamu keluar tanpa pakai baju tebal, bagaimana kalau nanti kamu sakit?"Setelah digendong, Satya memeluk
"Ya sudahlah." Alya berbalik. "Lagi pula kejadian itu sudah sangat lama berlalu. Kalau aku nggak mengingatnya, siapa pun pasti akan mengira dia yang menyelamatkanmu."Melihat punggungnya, Rizki merapatkan bibir."Kamu tenang saja, aku nggak akan membiarkan pencapaianmu dicuri oleh orang lain tanpa alasan."Alya tertawa dengan dingin."Apa gunanya kamu mengatakan itu sekarang? Semua orang sudah mengira dia yang menyelamatkanmu, kejadiannya juga terjadi bertahun-tahun yang lalu. Apa sekarang kamu akan keluar dan berkata bahwa yang menyelamatkanmu adalah aku dan bukan dia? Apa kamu punya bukti?""Nggak.""Jadi ...."Bahunya terasa berat, Rizki tiba-tiba memegang bahunya dan menariknya, membuatnya bertatap muka dengan pria itu."Bukti adalah sesuatu yang, selama aku inginkan, pasti ada."Alya tertegun. "Apa?"Rizki berkata, "Tadinya, aku hanya ingin memutus hubungan dengannya, lagi pula dia telah menyelamatkanku. Tapi sekarang karena dia nggak menyelamatkanku, ini bukan lagi hanya tentang