Rendy berjalan menjauh tanpa menoleh sedikit pun, meninggalkan Cindy di belakangnya. Ada beban berat yang menekan dadanya, sebuah rasa hampa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. "Apa aku benar-benar jatuh cinta pada Cindy?" gumamnya dalam hati, berusaha meraba perasaannya yang teraduk-aduk.Tak terasa, skuter bututnya mengarungi jalanan hingga berhenti di depan Kafe Kupi, sebuah kafe terkenal di Kota Buitenzorg. Nama kafe itu sederhana, hanya mengganti huruf ‘o’ pada kopi menjadi ‘u.’ Rendy datang dengan satu tujuan ... meredakan keresahan hatinya sebelum kembali ke Resor Lotus Merah di Underground City.Begitu memasuki halaman Kafe Kupi, pandangan tak ramah segera menyambutnya. Halaman luas itu penuh dengan mobil-mobil mewah yang terparkir rapi, seolah-olah kafe ini hanya terbuka bagi mereka yang mampu berkendara dengan mobil mahal. Tak ada ruang untuk skuter tua seperti milik Rendy, yang terlihat bagaikan benda asing di tengah parade kemewahan."Kenapa kaf
Suasana di halaman Kafe Kupi berubah tegang. Petugas keamanan yang tersisa saling melirik, tidak yakin harus bertindak seperti apa. Mereka baru saja menyaksikan satu dari mereka roboh dengan satu pukulan, dan kini pria yang berdiri di depan mereka memancarkan aura yang tak biasa—lebih dari sekadar tamu yang marah. Rendy berdiri tegak, dengan tatapan yang kini lebih tajam dan dingin. Hawa di sekitar terasa berat, menekan, seolah udara di tempat itu menjadi sulit dihirup.Salah seorang petugas memberanikan diri melangkah maju, meskipun ragu. "Kau pasti orang gila! Beraninya kau buat kekacauan di sini! Kami akan lapor pada Tuan Brawijaya, dan dia takkan memaafkanmu!" serunya, meski ada getar ketakutan di suaranya.Baru kali ini petugas keamanan merasakan nyawa mereka terancam walaupun mereka unggul dalam jumlah apabila terjadi pertarungan dengan Rendy.Rendy tak menanggapi. Ia hanya mendengus pelan sambil memandangi pria itu dengan tatapan seperti elang mengi
Setelah kepergian Rendy, Bram berdiri kaku di halaman Kafe Kupi. Ketegangan perlahan mereda, namun rasa takut yang tertinggal dalam dadanya tak mudah hilang. Tangan Bram masih gemetar saat ia masih memegang ponsel canggih dengan desain yang sederhana namun elegan yang tadi masuk notifikasi Bank dan pesan singkat Naga Perang. Jemarinya seolah berat untuk bergerak, namun ia tahu bahwa insiden ini tak boleh diabaikan. Setelah beberapa tarikan napas dalam, Bram mulai mengetik pesan singkat yang hanya memuat satu kalimat ...[Sang Naga Perang sudah kembali]Pesan itu ditujukan kepada satu nomor yang tidak memiliki nama di ponselnya. Tidak ada tanda penerima. Hanya serangkaian kode yang tidak dimengerti orang biasa. Setelah dikirim, Bram menunggu dengan gelisah. Hatinya berdebar keras, seperti ia menunggu vonis atas nasibnya sendiri. Tak butuh waktu lama sebelum layar ponselnya bergetar pelan, menampilkan balasan yang hanya terdiri dari satu kata saja ...[Segera data
Setelah insiden di Kafe Kupi, Rendy—yang dikenal juga sebagai Naga Perang—memacu skuternya melewati jalan-jalan kota Buitenzorg dengan tatapan kosong. Hatinya masih diliputi amarah yang tersisa dari bentrokan tadi, namun rasa lelah dan kegelisahan mengalir deras dalam pikirannya. Kafe Kupi tidak memberinya ketenangan yang ia butuhkan, sebaliknya, hanya menambah keruwetan yang sudah lama menumpuk.Angin malam menghempas wajahnya ketika ia akhirnya tiba di Underground City, sebuah distrik bawah tanah yang tersembunyi dari hiruk pikuk permukaan. Tempat ini seakan menjadi ruang pelarian bagi mereka yang mencari suasana berbeda, di mana lampu neon berkilauan dan musik elektronik menggema dari dinding-dinding batu. Rendy, tanpa perlu berpikir panjang, melaju menuju salah satu tempat favoritnya, Equator Cafe & Resto.Equator Cafe & Resto berbeda jauh dari Kafe Kupi. Di sini, suasana terasa lebih tenang, meski tetap mewah dengan interior modern dan suasana nyaman. Peng
Rendy menghela napas pelan, kebingungan masih melingkupi benaknya. Ia berdiri di hadapan Inez yang menatapnya dengan pandangan penuh rahasia, senyum samar di wajahnya seakan menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar percakapan ringan. Namun, Rendy tak bisa menebak apakah ia hanya berkhayal, atau apakah ini benar-benar Clara yang telah berubah, atau mungkin seseorang yang memiliki kaitan dengan wanita yang hilang dari kehidupannya itu.“Maaf, aku cuma... terkejut,” ujar Rendy pelan, sambil menarik kursi di hadapan Inez dan duduk tanpa menunggu undangan lebih lanjut. “Kamu benar-benar mirip dengan seseorang yang dulu sangat dekat denganku."Inez tersenyum, tapi di balik senyuman itu ada sesuatu yang membuat Rendy semakin waspada. Apakah dia sedang menyembunyikan sesuatu? Atau ini hanyalah kebetulan belaka?"Kadang-kadang hidup mempertemukan kita dengan cerminan masa lalu," Inez berkata, suaranya lembut namun penuh makna, mengalir di antara dentin
Suara lembut yang begitu akrab mengalun di telinga Rendy, menggugah perhatiannya sebelum ia menyadarinya. "Senang melihatmu masih sehat, Dewa Perang," sapa seorang wanita, suaranya bagai angin malam yang menyentuh kulit. Tanpa menunggu jawaban, dia dengan anggun duduk di sebelahnya, tubuhnya memancarkan kepercayaan diri yang tak tergoyahkan."Kau tidak ingin membelikanku segelas minuman?" tanyanya dengan nada menggoda, senyumnya menawan, matanya berbinar penuh misteri.Rendy menoleh, pandangannya bertemu dengan sosok Sheila, wanita bergaun merah yang duduk di sampingnya. Tidak ada keterkejutan di wajahnya, seolah kedatangan Sheila adalah sesuatu yang sudah dia perkirakan."Sheila... Apa yang membawamu ke Khatulistiwa?" tanyanya dengan nada datar, menyembunyikan ketegangan yang berusaha diatasi. "Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak saling mengganggu?"Sheila tersenyum lebar, senyum yang penuh teka-teki. "Apa aku mengganggumu, Rendy?" balasnya manja, nadanya lembut tapi penuh tipu d
Rendy Wang, yang dikenal sebagai Dewa Perang, adalah sosok legendaris yang tak terkalahkan di medan pertempuran. Selama bertahun-tahun, ia menjaga perbatasan Khatulistiwa dari serangan negara-negara tetangga dengan kehebatannya yang luar biasa. Namun, satu-satunya yang berhasil mengalahkannya adalah Pewaris dari Negeri Malam—Sheila Tanoto.Sheila bukan hanya lawan terberat Rendy, tetapi juga menyimpan dendam yang membara. Ayahnya terbunuh di tangan Rendy, dan hal itu membuat Sheila bertekad untuk membalaskan dendamnya. Namun, di balik amarahnya, terselip kekaguman pada pria yang dijuluki Dewa Perang karena selalu menang dalam pertempuran.Setelah lengah karena masalah perceraian dengan Cindy, Rendy terbangun di sebuah bangunan tak selesai di Kota Javali. Tubuhnya terikat erat pada kursi besi yang tertanam kuat di lantai beton. Rasa pusing dan lemahnya tubuh menandakan bahwa Sheila telah berhasil menjebaknya dengan pil ajaib, yang membuatnya tak sadarkan diri. Jika bukan karena masalah
Bayangan putih itu bergerak dengan kecepatan luar biasa, melampaui kecepatan pandangan manusia biasa. Gerakannya begitu cepat hingga sulit dibedakan apakah itu sosok nyata atau ilusi. Keahlian meringankan tubuh yang digunakan berasal dari Kitab Kuno, sebuah seni yang nyaris punah di zaman modern ini. Tidak banyak orang yang masih mempraktikkan ilmu langka seperti itu, dan dari gerakannya yang elegan serta tubuhnya yang ramping, bisa dipastikan bahwa sosok ini adalah seorang wanita muda.Saat bayangan putih mendekati bangunan kosong setengah jadi, tempat Rendy Wang—Dewa Perang yang tak terkalahkan—ditahan, sebuah suara lembut namun penuh kecemasan terdengar di udara."Kak Rendy..." suara itu terdengar jelas, meski samar, menggema di sekitar bangunan yang sepi.Sosok bayangan itu adalah Renata Zhang, seorang wanita muda yang selama ini mengagumi Naga Perang dan merupakan salah satu Elemental Naga. Walet Putih, burung yang menjadi legenda di Khatulistiwa karena kecepatannya yang melampau
Rendy menggertakkan giginya, rahangnya mengeras saat api di telapak tangannya berkobar semakin besar. Panasnya menusuk kulitnya sendiri, tetapi ia tidak peduli. Matanya terpaku pada dua zombie es yang semakin mendekat. Mata biru mereka bersinar tajam seperti kristal, menyiratkan kehampaan yang menakutkan.Tanpa menunggu lebih lama, Rendy melemparkan bola api itu dengan gerakan cepat dan penuh tenaga. Suara mendesis terdengar ketika api meluncur menembus udara yang dingin. Namun, harapannya hancur seketika. Salah satu zombie mengangkat pedangnya, membelah bola api itu menjadi dua. Api yang terpisah berkedip sejenak sebelum lenyap dalam pusaran hawa dingin yang membungkus mereka."Sial! Mereka menyerap panas!" Rendy mengumpat, rahangnya semakin mengencang.Tiba-tiba, keduanya bergerak serentak, menerjang dengan kecepatan yang tidak seharusnya dimiliki oleh makhluk mati. Rendy melompat ke belakang, nyaris tergelincir di atas es yang licin. Sebuah hembusan napas tajam lolos dari bibirnya
Rendy melangkah ke dalam Formasi Kutub Es Kelima, dan seketika hawa dingin yang brutal menerpa kulitnya seperti ribuan jarum tajam menembus daging. Napasnya berubah menjadi kabut tebal yang bergelayut di udara, membentuk awan putih setiap kali ia menghembuskan napas. Kakinya hampir terpeleset di atas lapisan es licin yang berkilauan redup di bawah cahaya remang.Kabut putih pekat menggantung di sekelilingnya, menggulung seperti tirai yang menyembunyikan ancaman tak kasat mata. Setiap langkah terasa berat, bukan hanya karena dingin yang menggigit, tetapi juga ketegangan yang mengendap di dadanya. Instingnya berteriak, menuntut kewaspadaan."Ini lebih buruk dari yang kuduga," gumamnya, merapatkan mantel bulunya lebih erat. Tubuhnya menggigil, tetapi ia memaksakan diri untuk tetap bergerak.Tiba-tiba, suara mendesing membelah kesunyian seperti pisau mengiris udara. Mata Rendy membelalak, tubuhnya bereaksi lebih cepat dari pikirannya. Ia melompat ke samping, berguling di atas permukaan es
Rendy melangkah mantap ke dalam wilayah beku Formasi Kutub Es Keempat. Saat ia melintasi ambang batas, udara pun berubah drastis. Dulu, dingin hanya terasa menusuk kulit; kini, suhu menggigit hingga menembus tulang, seolah setiap partikel udara menghantam sumsumnya. Setiap butir salju yang jatuh bukan lagi sekadar kelembutan yang menenangkan, melainkan pecahan es tajam yang berkilauan di bawah cahaya redup, menari liar seolah menantang keberaniannya.Langkah demi langkah, Rendy mendengar deru gemuruh yang semakin mendekat. Matanya menyapu cakrawala, dan di balik tirai kabut es, dinding-dinding beku mulai bergerak perlahan, seolah hidup dan ingin menuntut nyawanya. “Ini bukan lagi pertarungan biasa,” gumamnya dalam hati, “ini adalah medan perang yang bernyawa.”Tak lama kemudian, tanah di depannya bergejolak. Pilar-pilar es mencuat tiba-tiba, menyerang dengan kejam dan hampir meremukkan kakinya. "Bangsat!” teriak Rendy sambil melompat ke samping. Namun, tak hanya itu yang menunggunya—
Angin berputar makin kencang, menciptakan pusaran es yang berputar liar di sekeliling mereka. Rendy tetap berdiri tegap, matanya tajam menatap sosok terakhir yang kini berdiri di hadapannya. Pria tanpa senjata itu mengangkat tangannya, dan dengan satu gerakan halus, formasi es di sekitarnya mulai bergerak, membentuk tombak-tombak runcing yang melayang di udara, siap menghujam ke arah Rendy kapan saja."Kau memang berbeda dari yang lain," ucapnya, nada suaranya masih setenang sebelumnya. "Tapi apakah bara kecil itu cukup untuk menghadapi kehampaan ini?"Rendy tidak menjawab. Ia hanya menarik napas dalam, merasakan aliran panas yang mengalir dalam tubuhnya. Tidak ada lagi nyala api yang membakar, tidak ada semburan liar yang menghanguskan. Yang ada hanyalah kehangatan yang menyatu dengan dirinya, mengalir dalam setiap gerakan dan nafasnya.Dalam sekejap, tombak-tombak es itu meluncur ke arahnya dengan kecepatan yang mengerikan. Rendy melompat ke samping, tubuhnya berputar di udara, meng
Alih-alih melepaskan semburan api besar seperti yang biasa ia lakukan, Rendy memejamkan mata. Napasnya tertarik dalam-dalam, dada naik dan turun seirama dengan denyut nadi yang semakin membara. Di dalam pikirannya, nyala api bukan lagi letusan liar yang menghanguskan segalanya, melainkan bara yang mengendap tenang, meresap ke dalam otot-ototnya, menjalar ke tulang dan mengisi setiap pori-pori kulitnya dengan panas yang tak tertahankan. Saat kelopak matanya terbuka kembali, pandangannya jernih dan tajam. Udara di sekelilingnya bergetar, tidak lagi karena kobaran api, tetapi karena gelombang panas yang keluar dari tubuhnya sendiri. Tanah di bawah kakinya menghangat, udara di sekitarnya beriak seperti fatamorgana di atas gurun pasir. Rendy merasakan sesuatu yang berbeda—sebuah kekuatan yang lebih terkendali, lebih dalam, dan lebih dahsyat dari sebelumnya. Tanpa ragu, ia menerjang ke depan. Gerakannya nyaris tak terlihat, seperti bayangan yang melesat dalam sekejap. Kecepatan itu bukan
Rendy melangkah mantap ke dalam pusaran badai es yang berputar liar di belakangnya. Setiap pijakan kakinya menghasilkan bunyi berderak, merambat ke seluruh permukaan es yang retak seperti suara tulang yang patah. Angin dingin menampar wajahnya dengan kasar, membekukan tiap tarikan napas yang keluar dari bibirnya. Butiran salju yang tajam seperti pecahan kaca menari di udara, menyayat kulitnya hingga perih. Namun, di balik semua itu, tekadnya tetap membara.Di hadapannya, Formasi Kutub Es Ketiga berdiri menjulang, dinding-dindingnya yang runcing seolah hendak menusuk langit kelam. Bayangannya yang megah dan menyeramkan menebarkan aura dingin yang membuat dada Rendy terasa sesak. Setiap langkah yang ia ambil semakin menegaskan keberadaannya di tempat terlarang ini. Suara samar bergema di udara, entah dari mana asalnya, seolah ada sesuatu yang mengamati setiap gerak-geriknya dengan mata tak terlihat.Saat ujung kakinya melewati batas wilayah beku itu, tanah di bawahnya mendadak memancark
Rendy menarik napas dalam-dalam, udara dingin menusuk paru-parunya, sementara matanya yang tajam menyapu badai salju yang mengamuk di sekelilingnya. Setiap butir salju yang beterbangan seakan menceritakan ancaman, namun tekadnya tak tergoyahkan. Setelah berhasil menaklukkan prajurit es pertama yang menyerang dengan keberanian setara badai itu, ia melangkah ke dalam kegelapan beku Formasi Kutub Es Tujuh Langkah. Angin mengaum lebih liar, menyembunyikan jebakan mematikan di balik tirai putih yang terus berputar.Saat langkah pertamanya menuju formasi kedua, tanah di bawahnya tiba-tiba bergetar hebat, mengirimkan getaran menakutkan ke seluruh tubuhnya. Tanah itu runtuh, menciptakan celah besar seakan ingin menelannya hidup-hidup. Dengan refleks instan, Rendy melompat ke samping, namun matanya menangkap gerakan kilat ... dinding es raksasa melesat dari bawah dan atas, berusaha menjepitnya dalam pelukan maut."Sial!" teriak Rendy, suara yang tertiup angin seolah menyatu dengan rintihan bad
Angin menderu tanpa ampun, menerjang wajah Rendy dengan suhu yang menusuk, seakan ribuan jarum es menyusup ke dalam kulitnya. Di sekelilingnya, salju menari liar, berputar-putar membentuk pusaran putih yang seakan ingin menelan segala sesuatu yang berada di lintasan badai. Di tengah kekacauan itu, dua sosok prajurit es meluncur bak bayangan, melangkah tanpa jejak di atas permukaan salju yang telah membeku kaku.Rendy, yang tengah berlari menyusuri medan yang terselimuti badai, tiba-tiba mengayunkan tubuhnya ke samping. Tepat di saat itulah, sebuah pedang es berkilauan meluncur mendekat, hampir saja menyapu bahunya dengan kecepatan yang mematikan. Udara di sekitar pedang itu bergetar, menampakkan efek membekukan yang menyeramkan pada setiap hal yang disentuhnya."Dekat sekali!" seru Rendy dengan nada terkejut, namun ia tak sempat mengeluh. Dalam satu gerakan refleks, ia memutar badannya dan melayangkan tendangan ke arah bayang-bayang prajurit itu. Namun, tendangannya hanya menyentuh ke
Di balik tirai salju tebal yang menutupi setiap sudut Pegunungan Es Abadi, dunia terlihat seperti lukisan sunyi yang menyimpan keindahan dan kematian sekaligus. Namun, Rendy, dengan tatapan waspada dan langkah yang terukur, tahu bahwa di balik pesona dingin itu tersimpan jebakan mematikan yang dirancang oleh Keluarga Besar Bai. Setiap langkah yang diambilnya terasa bagai melangkah di atas kristal pecah; dingin yang menusuk hingga ke dalam tulang, diiringi oleh ketidakpastian medan yang licin dan berbahaya. Angin kencang menyusup lewat celah-celah antara puncak gunung, mendesis seperti bisikan kematian. Butiran es kecil yang tersapu angin menghantam wajahnya, meninggalkan rasa perih yang membakar, sementara jubah hitamnya menari liar di tengah pusaran salju, kontras dengan hamparan putih yang tak berujung. Rendy menatap sekeliling dengan mata tajam, menyusuri setiap bayangan dan jejak samar yang tertutup salju. Tiba-tiba, ia berhenti. Di bawah langkahnya, ada sebuah bekas jejak yang