“Ugh, Mas…”
Marcella mendesah berat seraya tubuhnya yang setengah polos itu berguncang pelan di atas pangkuan Putra.
Suasana kabin mobil yang pengap tak menyurutkan kedua insan itu untuk tetap bercinta dengan panas.
Napas mereka menderu cepat saat kenikmatan datang, sampai-sampai mereka tak kuasa menjerit puas.
Masih dengan napas terengah, Putra memeluk erat tubuh Marcella, yang hanya dibalut pakaian dalam.
“Kamu benar-benar luar biasa,” puji Putra.
Marcella membalas dengan senyuman tipis karena wanita itu masih ingin menikmati ledakan-ledakan kecil yang mendera tubuhnya.
Rasanya sungguh menyenangkan, tapi sayangnya semua kenikmatan ini tak bertahan lama.
Mereka harus segera berpisah.
“Mas, bisa enggak sih kita menghabiskan waktu bersama seharian?” Marcella pindah ke kursi samping lalu mengenakan kemeja kantornya kembali.
“Yah, aku juga pengennya begitu, Cella. Tapi, kamu tahu sendiri kan, pekerjaanku lagi banyak-banyaknya,” balas Putra.
Bibir merah Marcella mengerucut kecewa.
“Kalau ngambek gitu, kamu jadi tambah imut deh, Sayang,” goda Putra sambil kembali menyosor bibir ranum Marcella.
Namun kali ini Marcella mengelak.
“Udah deh Mas, jangan mulai lagi. Kita cuma punya waktu lima belas menit sebelum istirahat makan siang selesai,” tukas Marcella.
Kini giliran Putra yang nampak kecewa.
Tiba-tiba saja ponsel Putra berdering kencang.
Nama Hana muncul di layar. Putra pun menghela napas pelan.
“Dari istriku. Jangan bicara dulu ya,” pinta Putra pada wanita di sampingnya itu.
Tak punya pilihan lain, Marcella hanya bisa bersedekap jengkel sambil memutar kedua bola matanya.
“Ya, Hanna. Kenapa kamu tiba-tiba nelpon?” Putra pun mengangkat teleponnya.
“Ada masalah apa?” tanya Marcella setelah sambungan telepon itu berakhir.
“Dia minta aku menemaninya ke dokter kandungan besok,” jawab Putra.
“Jadi, kalian benar-benar akan menjalani semacam program bayi tabung?” Tanya Marcella.
Putra memang sudah menceritakan soal keadaan istrinya yang sulit hamil karena mengidap PCOS.
“Begitulah. Sudah tiga tahun kami menikah, jadi kurasa ini saat yang tepat. Lagi pula, ibuku sangat menginginkan seorang cucu,” balas Putra.
“Kurasa aku bisa memberikanmu seorang anak,” tandas Marcella tiba-tiba.
Bola mata Putra langsung melebar. “A-apa?”
Lantas, tawa Marcella berderai.
“Astaga, Mas. Wajahmu sampai kaget begitu. Memangnya kamu enggak mau anak dariku?” Marcella mengerlingkan matanya dengan menggoda.
“Ka-kamu enggak bercanda kan? Hubungan kita hanya sebatas–”
“Kamu bisa ceraikan istrimu itu, Mas. Beres,” sela Marcella cepat.
“Cerai? Oh, enggak mungkin, Cella. Hanna istri yang baik. Enggak ada alasan bagiku untuk menceraikannya,” Putra menggelengkan kepalanya.
Tak bisa dipungkiri, mendengar Putra memuji istrinya sendiri membuat hati Marcella panas.
Wanita itu mendengus.
“Sebaik apapun istrimu itu, tetap saja dia mandul,” ucap Marcella ketus.
“Dia enggak mandul, Cella. Hanya sulit hamil,” bela Putra.
“Hah, terserahlah.” Kali ini suara Marcella terdengar kesal.
Dia segera turun dari mobil Putra dan membanting pintunya keras-keras.
“Cella, tunggu. Jangan ngambek begini dong, Sayang…”
Marcella menghempaskan tangan Putra yang hendak meraih lengannya. Wanita itu pun bergerak cepat memasuki area lobby basement, meninggalkan Putra yang hanya bisa garuk-garuk kepala dengan pasrah.
***
“Lho, Hanna? Kamu belum tidur?” Kening Putra sontak mengernyit begitu mendapati istrinya yang masih duduk di ruang tengah.
“Aku nungguin kamu, Mas.”
Jam dinding di ruangan itu sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
“Seharusnya kamu enggak usah nungguin aku. Aku sudah bilang bakalan lembur kan?”
Hanna bangkit. “Aku panasin makan malamnya ya? Kita makan sama-sama.”
“Jadi, kamu belum makan malam?”
Hanna menggeleng. “Sudah kubilang aku nungguin Mas.”
“Astaga, buat apa sih, Han? Kalau maag-mu kambuh gimana? Nanti aku lagi yang repot,” Putra terdengar sedikit marah.
“Sudah lama kita enggak pernah ngobrol, Mas.”
“Sudah, sudah, enggak usah dipanasin makanannya. Aku enggak laper.”
“Tapi, Mas–”
“Aku capek, Hanna. Lembur sampai malam begini. Aku lebih milih tidur daripada harus ngobrol sama kamu.”
Putra lantas berlalu begitu saja.
Tanpa Hanna sadari air matanya jatuh. Entah kenapa, omongan suaminya tadi terdengar sangat menyakitkan di kuping Hanna.
Tiga tahun pernikahan mereka kini semua terasa begitu dingin.
Apa mungkin karena dirinya belum bisa memberikan Putra seorang anak? Ya, mungkin saja.
Tapi besok mereka akan konsultasi bayi tabung untuk yang pertama kalinya. Dan Hanna berharap semua akan berjalan lancar.
***
“Delapan puluh juta?” Kedua mata Nena membulat tidak percaya. “Kamu harus mengeluarkan uang sebanyak itu untuk punya anak?”
“Iya, Bu. Itu masih kisaran awalnya dan belum tentu juga langsung berhasil,” balas Putra saat dia dan Hanna berkunjung ke rumah ibunya di akhir pekan.
Nena menatap sekilas ke arah menantunya yang tertunduk lesu.
Hanna pun merasa bersalah. Dirinya tidak bisa dengan mudah memberi keturunan bagi Putra.
Begitu Putra keluar, Nena langsung mendekati menantunya itu.
“Delapan puluh juta itu angka yang besar lho,” ucap Nena. “Kalau kalian mulai program itu, maka Putra harus memangkas uang bulanan untuk Ibu. Kamu tahu sendiri kan, Sarah masih kuliah?”
Hanna mengangguk pelan. “Maafkan aku, Bu. Tapi itu sudah jadi kesepakatan kami. Bayi tabung ini salah satu usaha kami untuk punya anak.”
Nena berdecak pelan.
“Gini aja. Gimana kalau kamu kerja lagi, Han? Yah, hitung-hitung bantu suami kamu. Jangan terus-terusan jadi bebannya Putra,” terang Nena.
“Be-bebannya Mas Putra?” Hanna heran mendengarnya.
“Putra masih harus membiayai adiknya, Han. Kamu harus paham itu. Lagi pula, kamu ini kan lulusan sarjana. Sayang kalau gelarnya enggak dipakai. Nanti, kalau kamu punya gaji sendiri, kamu bisa membiayai program bayi tabung itu tanpa harus membebani suamimu.”
Kening Hanna mengernyit semakin dalam.
“Sejak awal menikah, Mas Putra enggak memperbolehkanku kerja. Dan Ibu tahu itu,” balas Hanna lagi.
“Yah, itu kan dulu. Ternyata sekarang kondisinya berbeda. Kamu sulit hamil, Hanna. Kalau saja dirimu baik-baik saja, Ibu enggak akan menyarankan ini.”
Hanna menelan ludahnya dalam-dalam.
Ucapan ibu mertuanya itu memang selalu menusuk hatinya.
“Jadi, pertimbangkan saran Ibu, ya? Kerja lagi sana dan jangan cuma jadi beban buat suamimu.”
Kedua bibir Hanna hanya mengatup rapat. Jujur, dia tidak tahu harus membalas apa ucapan ibu mertuanya yang tajam itu.
“Kenapa murung, Mas?” Tanya Marcella pada Putra yang sedang memandangi langit malam dari jendela kamar apartemen Marcella.Rambut wanita itu masih basah dan wangi sabun menyeruak begitu Marcella mendekati Putra.Namun, Putra masih terdiam.“Ada masalah apa sih? Kerjaan?” desak Marcella.“Bukan, Cell. Tapi soal… Hanna.”“Kenapa lagi dengan dia? Jangan-jangan dia mengetahui hubungan kita, Mas?” Tanya Marcella lagi.Putra menggeleng. “Dia pengen kerja lagi. Katanya dia mau membiayai program bayi tabung itu dengan uangnya sendiri.”Marcella menghempaskan tubuhnya yang hanya dibalut jubah mandi di samping Putra.“Lho, bagus dong, Mas. Itu artinya dia tahu diri.”“Aku enggak akan membiarkan dia kembali kerja, Cell.”“Kenapa?”“Enggak apa-apa. Sebagai suami, aku merasa bertanggung jawab penuh atas dirinya. Lagian, kata dokter dia juga enggak boleh capek.”“Huh, aku beneran iri sama istrimu. Bisa punya suami yang bertanggung jawab kayak kamu, Mas. Kapan ya aku bisa ketemu laki-laki yang mau m
“Thanks ya, Mas!” Marcella tersenyum lebar setelah memeluk Putra erat-erat.“Kamu suka tasnya?” Tanya Putra, melirik ke paper bag besar yang ditenteng wanita itu“Suka banget! Ini tas impianku sejak lama,” balas Marcella dengan nada manja.“Syukurlah kalau begitu.”Lantas, mereka bergandengan tangan, menyusuri selasar mall yang tak terlalu ramai.“Kita harus segera kembali ke kantor. Ada meeting mendadak,” Putra melirik pergelangan tangannya.“Oh, tadi bosmu yang nelpon?”“Iya, makan siangnya kita take away aja ya, Sayang?” Pinta Putra, melempar senyum tipis.Mau tak mau, Marcella hanya bisa mengedikkan bahunya pasrah.Sementara itu, dari kejauhan dada Hanna terasa begitu sesak. Sedari tadi, tubuhnya gemetar hebat.Sebisa mungkin, dia mengendalikan emosinya agar tidak menghambur dan menjambak rambut panjang wanita itu. Namun, matanya terus saja menggenang.Langkahnya melambat saat melihat suaminya dan wanita itu masuk ke dalam restoran.Dari luar restoran, Hanna terus memata-matai me
“Silakan, Mas,” Hanna tersenyum ramah.Semangkuk bubur ayam hangat tersaji di hadapan suaminya.“Dan ini kopinya,” lanjut Hanna lagi.Kedua alis tebal Putra sontak terangkat. ‘Tumben.’ Batinnya.“Kamu sudah enggak marah lagi sama aku?” Tanya Putra setelah menyisip kopi buatan Hanna.“Maafkan aku ya, Mas…” Hanna membelai pundak Putra yang kini sedang mencicipi bubur buatan dirinya. “Kemarin-kemarin tuh aku lagi bad mood aja.”Putra manggut-manggut sambil memuji bubur buatan Hanna yang lezat dalam hati.“Nanti lembur lagi atau gimana? Kalau Mas lembur, aku enggak usah bikin makan malam.”“Yah… sepertinya lembur lagi, Han.”“Baiklah kalau gitu. Oh iya, Mas…”Kedua tangan Hanna kini mulai memijat bahu Putra.Entah kenapa bulu kuduk Putra seakan merinding sesaat. Ini seperti bukan kebiasaan Hanna. Putra merasa istrinya agak aneh.“Terima kasih ya, sudah bekerja keras untuk keluarga kita,” lanjut Hanna. “Maafkan aku kalau aku jadi istri yang mengecewakan untukmu.”Putra menggenggam satu tan
Sepertinya, ini akan jadi akhir dari segalanya.Perselingkuhannya dengan Marcella bakal terungkap. Tidak mungkin Hanna percaya kalau Putra bilang wanita itu adalah rekan kerja biasa.Bagaimana mungkin seorang rekan kerja biasa ditemukan setengah telanjang di kamar mandi mereka?!Putra mengumpat kesal dari balik punggung Hanna. Karirnya bisa hancur, apalagi dirinya dan Marcella berada di satu perusahaan yang sama.“Hanna, tunggu!”Namun istrinya keburu masuk ke dalam kamar mandi.“Aku bisa jelaskan–”“Jelaskan apa, Mas?” Hanna menatap Putra dengan heran.Putra termangu. Bola matanya bergerak memandangi sekeliling kamar mandi.Kosong.“Mas? Kamu mau jelasin soal apa?” Hanna mengambil sabun cuci mukanya yang berada di atas wastafel.“I-Itu… soal…” suara Putra kini terdengar parau.“Aa!” Putra terperanjat begitu telapak tangan istrinya menempel di dahinya.“Kamu sakit, Mas? Sikapmu aneh,” tandas Hanna. “Tapi badanmu enggak panas. Apa sebaiknya aku batalkan saja liburanku dengan Andin?”“E
“Nak, kamu belum transfer uang bulanan Ibu ya? Jangan lupa, uang semesterannya adikmu juga harus dibayarkan bulan ini lho. Ibu sudah kehabisan uang. Harga-harga sekarang pada naik semua, belum lagi Ibu harus bayar uang arisan. Jadi, kapan kamu mau transfer, Putra?”Nena mengoceh panjang lebar dari seberang sana.Putra melirik ke kalender kecil yang ada di atas nakas. Dia lupa, seharusnya kemarin dia mentransfer uang bulanan untuk ibunya sekaligus uang semesteran adiknya.“Aku transfer sekarang, Bu. Kemarin kerjaanku lagi banyak-banyaknya,” balas Putra.“Ibumu?” Tanya Marcella tanpa bersuara. Tak bisa dipungkiri wajah wanita itu nampak jengkel saat Putra mengangguk.Baru saja mereka hendak bergumul panas di atas ranjang, gangguan kembali datang.Marcella lalu menghela napas keras sambil bersandar di kepala ranjang.“Putra,” sahut Nena lagi, “soal program bayi tabung itu…”“Kenapa soal itu, Bu?”“Apa enggak sebaiknya kamu mempertimbangkannya lagi? Delapan puluh juta, Putra. Itu uang yan
Dengan sangat hati-hati Hanna memutar langkahnya dan masuk melalui pintu dapur.Sambil mengendap-endap, perempuan itu melesat bersembunyi di balik tembok pembatas antara dapur dengan ruang tengah rumahnya.Jantungnya seolah berhenti begitu dia menangkap dengan jelas perselingkuhan suaminya dengan wanita yang bernama Marcella itu.Rasanya dia ingin menangis kencang melihat tubuh telanjang kedua orang itu saling bertindih satu sama lain.Pinggul Putra menghentak-hentak sambil mendesis penuh kenikmatan. Sesekali bibir pria itu mengucapkan kata-kata nakal yang membuat Marcella nampak semakin bergairah.Tanpa ada rasa bersalah sedikit pun, wanita sialan itu terus melenguh. Lehernya yang jenjang menggantung di lengan sofa sehingga ujung-ujung rambutnya menyentuh lantai.“Tega kamu, Mas…” gumam Hanna lirih. Tak kuasa air matanya berderai jatuh.Sesak memenuhi relung dadanya. Terasa begitu menyakitkan.Selama ini Hanna berpikir Putra adalah segalanya. Perempuan itu bahkan rela melepas karirny
Hanna menyeringai penuh kemenangan saat menyadari bahwa raut wajah Putra dan selingkuhanya itu nampak menegang.“Hanna, jangan bertindak bodoh,” pinta suaminya dengan nada memohon. “Dengan menyebarkan rekaman itu kamu sama saja menyebar aib suami sendiri.”Rasanya Hanna ingin tertawa terbahak-bahak mendengarnya.“Menyebarkan aib? Aku bahkan bisa menyeret kalian berdua ke penjara dengan pasal perzinahan,” tandas Hanna. “Tapi kurasa aku hanya akan minta cerai darimu, Mas. Dan menyebarkan video ini supaya karir kalian berdua hancur!”“Dasar wanita sialan…” geram Marcella. Wanita itu tertatih-tatih bergerak mendekat ke Putra.“Wanita sialan?” Ulang Hanna. “Yang sialan itu dirimu, Marcella. Wanita perusak rumah tangga orang.”Tiba-tiba saja, Putra menghambur ke arah Hanna, bersimpuh di kedua kaki istrinya.Hanna agak terkesiap. Namun, genggaman tangan Putra yang begitu erat melingkar di sekitar kakinya, membuat Hanna kesulitan bergerak.“Hanna… maafkan aku,” punggung Putra mulai berguncang
“Hanna… Anakku…” Tubuh Lidya, ibunya Hanna, lunglai di selasar rumah sakit.Wanita setengah baya itu terus saja terisak, meratapi nasib putri tunggalnya yang mengenaskan.Dini hari, Lidya dihubungi Putra, memberi tahu kabar buruk itu bahwa Hanna terlibat kecelakaan di jalanan yang sepi.Polisi menduga ini tabrak lari. Sayangnya, tidak ada saksi mata maupun CCTV di daerah tersebut.“Tenang, Ma…” Putra berusaha mengendalikan tangis ibu mertuanya yang semakin menjadi. “Kita berdoa saja agar semuanya berjalan baik.”“Baik bagaimana? Putriku terbaring koma di dalam sana, Putra! Lagian, kenapa kamu bisa membiarkan istrimu pergi sendirian di tengah malam begitu, naik motor pula?!” Lidya menukas murka. Awalnya, Putra heran dari mana istrinya mendapatkan motor itu? Tetapi akhirnya diketahui bahwa motor itu milik Andin, sahabatnya Hanna.‘Jadi, Hanna memang sudah merencanakan semua ini,’ pikir Putra dalam hati. ‘Dia memang ingin menangkap basah diriku dengan Marcella…’“Kamu harus bertanggung
Marcella mematung di tempat. Kalimat yang barusan meluncur dari mulut suaminya itu masih menggantung di kepalanya. Namun sebagian dari dirinya berusaha untuk tak mempercayainya.“Ha-Hanna? Kamu bilang kamu dijebak oleh Hanna?” Marcella tercekat.Putra mengangguk dengan sorot mata yang tak tergoyahkan.Satu alis Marcella naik sebelah. “Tapi kamu bahkan menyangkal kalau Hanna masih hidup, Mas.”“Awalnya memang begitu, tapi…”“Tapi apa?” Desak Marcella.“Tapi sekarang aku yakin kalau Hanni adalah Hanna. Dia masih hidup, Cella. Dan dia sedang merencanakan sesuatu pada kita,” Putra memicingkan matanya tajam.***Marcella menutup pintu ruangannya. Dirinya langsung melempar tasnya ke atas meja.“Lantas, apa yang harus kita lakukan?” Wanita itu menyugar rambutnya.Putra berjalan sambil bersedekap menuju ke jendela. Matanya memandang ke hamparan langit biru.“Untuk saat ini, kita harus berhati-hati pada wanita itu. Hanni–atau Hanna,” tandas Putra. “Dan juga Erik.”“Erik?”Putra lantas mencerit
“Katakan, Cella. Apa kamu ada hubungannya dengan penyekapan Hanni?” Desak Putra tajam.Dengan satu gerakan cepat, Marcella melepaskan dirinya dari cengkraman Putra.Wanita itu mendengus keras, mendongakkan dagunya sambil memandang suaminya dengan tatapan tak percaya.“Pelecehan? Penyekapan Hanni??” Kedua alis Marcella bertautan. “Aku bahkan enggak mengerti dengan ucapanmu. Tapi satu yang pasti, kamu sudah berbohong, Mas. Ternyata kamu membuntuti wanita sialan itu! Hah, kamu bahkan menuduhku yang enggak-enggak!”“Aku yakin seratus persen pria itu adalah teman SMA-mu. Aku ingat betul, Cella.”“Lantas?” Kedua bola mata Marcella melebar, menantang ucapan suaminya tadi. “Jika memang pria itu temanku, bukan berarti aku terlibat, Mas!”Marcella tertawa sinis. “Jangan-jangan, semalam kamu tidur dengan wanita sialan itu kan? Oh, astaga! Ternyata seleramu memang rendahan, Mas…”Putra hanya mematung. Kenapa Hanni tega mengirim foto-foto itu pada istrinya, pikir Putra. Untuk apa wanita itu menje
“Ayo, buka pakaian dalammu, Hanna. Boleh kan aku memanggilmu dengan sebutan itu?” Sepasang mata Putra menyorot penuh gairah ke arah tubuh indah itu.Lantas, Hanna berjalan ke arah Putra, mendorong tubuh pria itu.“Tapi sebelumnya,” tangan Hanna bergerak pelan membuka satu per satu kancing kemeja Putra, “kamu juga harus menanggalkan pakaianmu.”Putra menyeringai begitu Hanna mulai melempar kemejanya ke sembarang arah, lalu lanjut melepas ikat pinggangnya.Hanna melirik nakal, melihat sesuatu yang menyembul di antara kedua kaki Putra.“Apa istrimu enggak pernah melakukan ini?” Tanya Hanna, menarik celana Putra. “Apa dia kurang menarik di atas ranjang?”“Sebenarnya dia cukup liar, tapi akhir-akhir ini kami sering bertengkar. Hubungan kami jadi dingin,” napas Putra mulai terdengar berat.Seketika, Putra menguap lebar. Sementara Hanna merangkak naik ke atas pangkuan Putra.Dada Hanna berdebar begitu kencang sekarang. Dia hanya bisa berharap obat tidur itu segera bekerja.“Duh, kok aku jadi
Suara sorak sorai serta tepukan yang meriah dari para tamu terdengar begitu, Hanna dan Putra berciuman setelah sah menjadi suami istri.Hanna tak bisa menyembunyikan pipinya yang merona saat ciuman manis itu usai.Putra yang berdiri di depannya, menatap Hanna hangat. Raut wajah bahagia terpancar karena akhirnya dia sah memiliki Hanna sepenuhnya.“Istriku…” panggil Putra pelan. “Akhirnya kamu menjadi istriku, Hanna.”Hanna menyunggingkan senyumnya, mengangguk. Dadanya berdebar bahagia. Bagi Hanna, menikah dengan Putra adalah impiannya.Dia sangat mencintai pria ini. Di matanya, Putra adalah sosok yang sempurna, pekerja keras dan penyayang.Tiga tahun mereka pacaran, banyak rintangan yang harus dilalui, termasuk penolakan keras dari ibunya Hanna, Lidya.Tapi kini rintangan itu sudah mereka lewati. Sambil memegang buku nikah, mereka akan mengarungi hidup baru yang menyenangkan.“Sekarang, hadap ke kamera ya. Buku nikahnya tunjukkin,” titah fotorgrafer itu. “Jangan lupa senyum. Satu, dua,
Erik menggeram kesal.Sudah seminggu setelah kejadian itu, tetapi pihak berwajib belum juga menemukan keberadaan Jordan.Yang membuat Erik tambah naik pitam adalah kemungkinan besar keterlibatan salah satu anak buahnya, Marcella.“Haruskah kita menyewa orang sendiri untuk mencari keberadaan pria sialan itu?” Erik melempar kedua tangannya ke udara. “Atau aku akan introgasi Marcella?”“Jangan, Erik.” Sergah Hanna. “Biarkan Marcella merasa bahwa dirinya aman, sampai Jordan tertangkap dan menyeret namanya.”“Tapi aku bahkan enggak tahan untuk melabraknya, Hanna,” geram Erik. “Dan plis, Hanna. Selalu beri tahu aku kalau kamu punya rencana. Aku enggak mau hal seperti ini terjadi.”“Maafkan aku, Erik…”Erik menghela napas pelan, berdiri di depan wanita itu. “Aku mencemaskamu. Apa… aku batalkan saja perjalananku kali ini?”“Hei!” kedua mata Hanna melebar. “Ini perjalanan dinas penting, Erik. Lagian, aku baik-baik saja kok.”“Tapi kalau aku enggak ada, kamu harus pulang-pergi sendiri. Gimana k
“Uh..” Jordan mendesah pelan. “Aku enggak menyangka tubuhmu seindah ini, Hanni…”Sebelum menarik turun pakaian dalam bagian bawah itu, ujung hidung Jordan menyentuh paha Hanna menyesap tubuh wanita itu dalam-dalam.Mau tak mau, Hanna menggeliat takut.“Pantas saja Marcella cemburu padamu…” tukasnya lagi. “Kamu tenang saja, Hanni. Aku akan memperlakukanmu dengan lembut kok. Aku ahli dalam hal ini.”Jordan mendongak sambil melempar senyum nakal ke arah Hanna.Hanna terus saja terisak, berharap keajaiban datang.Jordan mengecup pinggul Hanna, menjilatnya pelan. “Hanni, Sayang… kamu enggak akan menyesal, karena aku akan membuatmu melayang…”Dada Hanna terasa begitu sesak. Napasnya tersengal berat saat merasakan pakaian dalam bagian bawah itu perlahan turun.Pipinya benar-benar basah sekarang.Sampai tiba-tiba…BRAK!Suara pintu yang mendobrak keras itu terdengar.‘Erik!’ Kedua mata Hanna membelalak penuh harap. “Hei! Brengsek!!!” Suara lelaki itu menggelegar.Jordan tersentak dan langsun
Angin malam berembus kencang, seiring dengan motor yang dikendarai Jordan melaju begitu cepat.Sesekali Hanna mendengar suara gemuruh dari atas sana. Sepertinya akan turun hujan.“Jordan, kapan kita sampai?” Tanya Hanna, suaranya nyaris tertelan kilatan petir yang seketika menyambar.“Masih beberapa kilometer lagi,” balas pria itu. Dari jalan besar yang ramai, lama-lama motor mereka memasuki kawasan yang sepi.Kini motor itu melaju di jalanan yang remang. Lampu-lampu jalan berpendar suram dengan kesunyian yang mencekam malam.Dada Hanna jadi berdebar kencang. Pelipisnya sedikit berkeringat karena gelisah.Sepertinya dia sudah melakukan kesalahan fatal dengan mengikuti permainan pria ini.Diam-diam, Hanna merogoh ke dalam tasnya. Dengan jari-jari yang gemetar dia mengirim pesan pada Erik.‘Sepertinya aku dalam bahaya.’Hanna pun menyalakan aplikasi GPS di ponselnya dan mengirimkannya pada Erik.“Jordan, aku berubah pikiran,” ucap Hanna.“Apa?”“Aku berubah pikiran!” Hanna menaikkan n
Malam itu, Hanna baru saja keluar dari gedung Beauty Inc. ketika sebuah motor tiba-tiba melipir di depannya.Langkah Hanna terhenti. Keningnya mengerut memperhatikan siapa sosok di balik helm itu.“Jordan?” Hidung Hanna mengerut terkejut begitu Jordan menampakkan wajahnya.Dia tersenyum. “Kebetulan aku lewat sini dan melihatmu baru keluar dari gedung. Mau kuantar?”Rambut sebahu Hanna bergerak pelan. “Aku bisa pulang sendiri.”“Ayolah, anggap saja ini sebagai bentuk terima kasihku karena kamu bersedia jadi modelku,” desak Jordan lagi. “Aku bawa helm lagi kok.”Belum sempat Hanna mengiyakan ajakan itu, Jordan sudah keburu menjulurkan helm di hadapan Hanna.Hanna menghela napas pelan lalu menerima tumpangan itu. Sekalian, dia mau menggali lebih dalam soal pria ini. Siapa tahu Jordan keceplosan menyebut nama Marcella.Tak jauh dari situ, Putra memperhatikan mereka dengan curiga dari dalam mobilnya.‘Hanni. Dengan siapa dia pulang? Pacarnya?’ batin Putra penasaran. ‘Tapi tunggu, sepertiny
Pagi ini, Hanna sudah berdiri di depan kasir kopi langganan anak-anak kantor sambil menatap catatannya, mengecek ulang pesanan mereka.Tugas seperti sudah biasa baginya.“Tiga es americano, dua vanilla latte sama satu kopi susu. Semua less sugar ya,” tukas Hanna pada kasir yang berdiri di hadapannya.Saat sedang menunggu, seketika ada seseorang yang berdiri di sebelahnya.“Espresso, double shot,” suara barito pria itu membuat Hanna menoleh.Pria itu tinggi, mengenakan kaus hitam dan celana selutut sehingga terlihat begitu santai, dengan potongan rambut cepak.Pria itu tiba-tiba menoleh ke arahnya yang membuat Hanna terkesiap.Sial, dia tertangkap basah mencuri pandang ke pria itu!Cepat- cepat, Hanna memalingkan tatapannya.Lantas, kening pria itu mengernyit. “Kamu… kamu model produk kecantikan itu kan?”Hanna nampak terkejut.“Aku lihat videonya di media sosial. Cukup viral lho. Jadi, video itu bukan settingan ya?” Pria itu balik memperhatikan Hanna. “Kamu benar-benar seorang office