“Silakan, Mas,” Hanna tersenyum ramah.
Semangkuk bubur ayam hangat tersaji di hadapan suaminya.
“Dan ini kopinya,” lanjut Hanna lagi.
Kedua alis tebal Putra sontak terangkat. ‘Tumben.’ Batinnya.
“Kamu sudah enggak marah lagi sama aku?” Tanya Putra setelah menyisip kopi buatan Hanna.
“Maafkan aku ya, Mas…” Hanna membelai pundak Putra yang kini sedang mencicipi bubur buatan dirinya. “Kemarin-kemarin tuh aku lagi bad mood aja.”
Putra manggut-manggut sambil memuji bubur buatan Hanna yang lezat dalam hati.
“Nanti lembur lagi atau gimana? Kalau Mas lembur, aku enggak usah bikin makan malam.”
“Yah… sepertinya lembur lagi, Han.”
“Baiklah kalau gitu. Oh iya, Mas…”
Kedua tangan Hanna kini mulai memijat bahu Putra.
Entah kenapa bulu kuduk Putra seakan merinding sesaat. Ini seperti bukan kebiasaan Hanna. Putra merasa istrinya agak aneh.
“Terima kasih ya, sudah bekerja keras untuk keluarga kita,” lanjut Hanna. “Maafkan aku kalau aku jadi istri yang mengecewakan untukmu.”
Putra menggenggam satu tangan istrinya. “Jangan bilang begitu, Hanna.”
Hanna lantas mendesah.
“Ibu bilang aku ini beban bagimu, Mas…”
“Sudah, jangan dengarkan perkataan Ibu. Beliau kalau ngomong memang begitu, tapi sebenarnya niatnya baik kok.”
Hanna pun mengangguk pelan.
“Oh ya, Mas. Aku boleh minta izin enggak?”
“Izin apa?”
“Akhir pekan ini, Andin ngajakin aku staycation di Bandung. Sudah lama aku enggak liburan kan? Habis Mas sibuk terus sih.”
“Oke, aku enggak masalah kok. Seminggu juga enggak apa-apa. Yang penting kamu senang. Ingat, dokter bilang kamu enggak boleh stres kan? Dan liburan ini mungkin bisa menghilangkan segala pikiran-pikiran burukmu itu.”
“Beneran boleh, Mas?”
Putra mengangguk yakin.
“Makasih ya, Mas. Tapi sebenernya aku lebih kepengen liburan bareng kamu…”
“Nantilah kalau itu… Pekerjaanku lagi banyak-banyak, Hanna. Oh ya, berapa hari kamu di Bandung? Seminggu?”
Hanna tertawa kecil. “Enggak mungkin selama itulah, Mas. Aku kan harus ngurusin kamu. Hanya dua hari aja kok.”
“Oh…oke.”
Lantas Hanna memutar tubuhnya ke arah dapur dan senyum yang sedari tadi mengembang di wajahnya kini lenyap.
***
Marcella tentu saja senang saat Putra mengajak dirinya menginap di rumah pria itu.
Ini kali pertama wanita itu menginjakkan kaki di rumah Putra.
Rumah kecil yang nyaman dengan halaman belakang yang asri.
Perabotannya nampak minimalis, dengan foto-foto Putra dan Hanna yang menggantung di dinding.
Tawa mereka bahagia di foto itu dan Hanna juga terlihat sangat cantik. Rasa cemburu pun menyeruak dalam diri Marcella.
Seharusnya dirinya-lah yang bersanding dengan Putra, bukan Hanna.
Seketika tubuh Marcella menggeliat begitu Putra merangkulnya dari belakang. Pria itu menghirup dalam-dalam wangi tubuh Marcella yang manis.
Dengan cepat tangan Putra menggerayangi setiap lekukan tubuh Marcella.
“Mas…” Marcella mendesah manja.
Putra langsung memutar tubuh Marcella dan kedua bibir mereka pun bertautan.
Napas Marcella menderu begitu Putra mendorongnya ke atas sofa di ruang tengah. Rok mini wanita itu lantas tersingkap, memperlihatkan kakinya yang jenjang.
Dengan sengaja, Marcella membuka kedua kakinya lebar-lebar, menggoda Putra.
“Ah!”
Marcella tertawa kecil begitu Putra menghambur, menindih tubuhnya.
Kepala Putra bergerak liar, memberi bekas di dada selingkuhannya.
“Astaga, Mas… belum apa-apa kamu sudah begitu liar…” ucap Marcella sambil menarik rambut Putra.
“Yah, itu gara-gara kamu yang ikutan-ikutan ngambek dan nyuekin aku…” Putra menengadah, menatap wajah Marcella yang nampak merona.
Tiba-tiba sebuah ide gila terlintas di benak Marcella.
“Mas, aku kepengen kita melakukannya di kamar tidurmu.”
“Kamar tidurku?”
“Iya.”
Putra nampak terdiam sesaat.
“Gimana?” Tanya Marcella lagi.
“Kalau itu maumu, kenapa enggak?” Putra lalu tersenyum nakal dan langsung menggendong Marcella menuju kamar tidurnya, lebih tepatnya kamar tidur Hanna dan dirinya.
***
Rambut panjang Marcella terurai di atas permukaan spring bed.
Sembari Putra melucuti pakaian yang melekat di tubuh Marcella, wanita itu mulai membayangkan sensasi bercinta di atas ranjang istri sahnya Putra.
Dadanya pun berdebar keras, dipenuhi rasa yang menggebu.
Tubuh Putra kini menjulang di atasnya, tanpa sehelai benang. Pundaknya yang bidang, serta wajahnya yang tampan selalu bisa memantik hasrat Marcella.
Bagaimana mungkin Marcella melepas Putra begitu saja?
Pria ini milikku, sampai kapan pun, batin wanita itu dalam hati.
Marcella mulai menggeliat begitu kepala Putra bermain-main di perutnya.
Kecupan demi kecupan membasahi setiap jengkal badan Marcella. Dia tak kuasa mengerang, menjambak rambut Putra dengan kuat.
Sprei ranjang itu mulai kusut tak karuan.
Namun saat Putra hendak menuju ke permainan utamanya, tiba-tiba saja terdengar ketukan pintu.
Dok, dok, dok.
“Shit!” Purta menukas kesal.
“Siapa itu, Mas?” Kening Marcella mengernyit.
“Entahlah. Biarkan saja.”
“Mas? Mas Putra? Buka, Mas.” Suara Hanna terdengar di pintu depan.
Sontak kedua mata Putra dan Marcella membelalak lebar.
“Ha-Hanna?!” Mulut Putra menganga. Cepat-cepat dia melompat dari ranjang dengan keadaan panik. “Cella! Cepat sembunyi!” Pintanya dengan setengah berbisik.
“Dimana?”
“Terserah kamu! Pokoknya jangan sampai Hanna memergoki dirimu di sini!”
Putra hampir saja tersandung saat sedang mengenakan celananya.
“Tasmu, Cella!” Bisik Putra lagi begitu Marcella hendak bersembunyi di kamar mandi.
“Mas Putra? Mas?” Panggil Hanna.
“Ya! Sebentar.”
Bergegas Putra membukakan pintu rumah untuk istrinya itu.
“Sayang? Kok udah pulang aja?” Putra coba tersenyum.
“Sayang?” Kedua alis Hanna bertautan melihat suaminya yang nampak terengah. “Tumben manggil aku dengan sebutan Sayang?”
“Sebenarnya, aku merindukanmu!” Seketika Putra memeluk tubuh Hanna. “Padahal kamu bahkan belum pergi lama,” lanjut Putra sambil terkekeh.
“Ada yang ketinggalan,” Hanna melepas pelukan aneh suaminya itu.
“Ketinggalan?”
“Iya, sabun cuci mukaku.”
Deg.
Putra menelan ludahnya dalam-dalam. Tubuhnya gemetar saat mengikuti Hanna yang masuk ke kamar mereka.
Langkah Hanna terhenti, memandang sprei yang berantakan.
“Tadi aku lagi tidur siang, Sayang,” ucap Putra buru-buru. “Kamu tahu sendiri kan, aku kalau tidur suka gerak kesana-kemari.”
“Oh…” balas Hanna sambil menuju ke kamar mandi.
‘Sial! Apa yang harus kulakukan?’ Batin Putra panik.
Jelas-jelas, Marcella bersembunyi di sana!
Otak Putra pun berputar cepat mencari alasan seiring dengan tangan Hanna yang menjulur ke arah gagang pintu kamar mandi itu.
Sepertinya, ini akan jadi akhir dari segalanya.Perselingkuhannya dengan Marcella bakal terungkap. Tidak mungkin Hanna percaya kalau Putra bilang wanita itu adalah rekan kerja biasa.Bagaimana mungkin seorang rekan kerja biasa ditemukan setengah telanjang di kamar mandi mereka?!Putra mengumpat kesal dari balik punggung Hanna. Karirnya bisa hancur, apalagi dirinya dan Marcella berada di satu perusahaan yang sama.“Hanna, tunggu!”Namun istrinya keburu masuk ke dalam kamar mandi.“Aku bisa jelaskan–”“Jelaskan apa, Mas?” Hanna menatap Putra dengan heran.Putra termangu. Bola matanya bergerak memandangi sekeliling kamar mandi.Kosong.“Mas? Kamu mau jelasin soal apa?” Hanna mengambil sabun cuci mukanya yang berada di atas wastafel.“I-Itu… soal…” suara Putra kini terdengar parau.“Aa!” Putra terperanjat begitu telapak tangan istrinya menempel di dahinya.“Kamu sakit, Mas? Sikapmu aneh,” tandas Hanna. “Tapi badanmu enggak panas. Apa sebaiknya aku batalkan saja liburanku dengan Andin?”“E
“Nak, kamu belum transfer uang bulanan Ibu ya? Jangan lupa, uang semesterannya adikmu juga harus dibayarkan bulan ini lho. Ibu sudah kehabisan uang. Harga-harga sekarang pada naik semua, belum lagi Ibu harus bayar uang arisan. Jadi, kapan kamu mau transfer, Putra?”Nena mengoceh panjang lebar dari seberang sana.Putra melirik ke kalender kecil yang ada di atas nakas. Dia lupa, seharusnya kemarin dia mentransfer uang bulanan untuk ibunya sekaligus uang semesteran adiknya.“Aku transfer sekarang, Bu. Kemarin kerjaanku lagi banyak-banyaknya,” balas Putra.“Ibumu?” Tanya Marcella tanpa bersuara. Tak bisa dipungkiri wajah wanita itu nampak jengkel saat Putra mengangguk.Baru saja mereka hendak bergumul panas di atas ranjang, gangguan kembali datang.Marcella lalu menghela napas keras sambil bersandar di kepala ranjang.“Putra,” sahut Nena lagi, “soal program bayi tabung itu…”“Kenapa soal itu, Bu?”“Apa enggak sebaiknya kamu mempertimbangkannya lagi? Delapan puluh juta, Putra. Itu uang yan
Dengan sangat hati-hati Hanna memutar langkahnya dan masuk melalui pintu dapur.Sambil mengendap-endap, perempuan itu melesat bersembunyi di balik tembok pembatas antara dapur dengan ruang tengah rumahnya.Jantungnya seolah berhenti begitu dia menangkap dengan jelas perselingkuhan suaminya dengan wanita yang bernama Marcella itu.Rasanya dia ingin menangis kencang melihat tubuh telanjang kedua orang itu saling bertindih satu sama lain.Pinggul Putra menghentak-hentak sambil mendesis penuh kenikmatan. Sesekali bibir pria itu mengucapkan kata-kata nakal yang membuat Marcella nampak semakin bergairah.Tanpa ada rasa bersalah sedikit pun, wanita sialan itu terus melenguh. Lehernya yang jenjang menggantung di lengan sofa sehingga ujung-ujung rambutnya menyentuh lantai.“Tega kamu, Mas…” gumam Hanna lirih. Tak kuasa air matanya berderai jatuh.Sesak memenuhi relung dadanya. Terasa begitu menyakitkan.Selama ini Hanna berpikir Putra adalah segalanya. Perempuan itu bahkan rela melepas karirny
Hanna menyeringai penuh kemenangan saat menyadari bahwa raut wajah Putra dan selingkuhanya itu nampak menegang.“Hanna, jangan bertindak bodoh,” pinta suaminya dengan nada memohon. “Dengan menyebarkan rekaman itu kamu sama saja menyebar aib suami sendiri.”Rasanya Hanna ingin tertawa terbahak-bahak mendengarnya.“Menyebarkan aib? Aku bahkan bisa menyeret kalian berdua ke penjara dengan pasal perzinahan,” tandas Hanna. “Tapi kurasa aku hanya akan minta cerai darimu, Mas. Dan menyebarkan video ini supaya karir kalian berdua hancur!”“Dasar wanita sialan…” geram Marcella. Wanita itu tertatih-tatih bergerak mendekat ke Putra.“Wanita sialan?” Ulang Hanna. “Yang sialan itu dirimu, Marcella. Wanita perusak rumah tangga orang.”Tiba-tiba saja, Putra menghambur ke arah Hanna, bersimpuh di kedua kaki istrinya.Hanna agak terkesiap. Namun, genggaman tangan Putra yang begitu erat melingkar di sekitar kakinya, membuat Hanna kesulitan bergerak.“Hanna… maafkan aku,” punggung Putra mulai berguncang
“Hanna… Anakku…” Tubuh Lidya, ibunya Hanna, lunglai di selasar rumah sakit.Wanita setengah baya itu terus saja terisak, meratapi nasib putri tunggalnya yang mengenaskan.Dini hari, Lidya dihubungi Putra, memberi tahu kabar buruk itu bahwa Hanna terlibat kecelakaan di jalanan yang sepi.Polisi menduga ini tabrak lari. Sayangnya, tidak ada saksi mata maupun CCTV di daerah tersebut.“Tenang, Ma…” Putra berusaha mengendalikan tangis ibu mertuanya yang semakin menjadi. “Kita berdoa saja agar semuanya berjalan baik.”“Baik bagaimana? Putriku terbaring koma di dalam sana, Putra! Lagian, kenapa kamu bisa membiarkan istrimu pergi sendirian di tengah malam begitu, naik motor pula?!” Lidya menukas murka. Awalnya, Putra heran dari mana istrinya mendapatkan motor itu? Tetapi akhirnya diketahui bahwa motor itu milik Andin, sahabatnya Hanna.‘Jadi, Hanna memang sudah merencanakan semua ini,’ pikir Putra dalam hati. ‘Dia memang ingin menangkap basah diriku dengan Marcella…’“Kamu harus bertanggung
‘Tidak… Aku enggak mau mati dulu!’ Hanna menjerit dalam hati.Jemarinya bergerak-gerak dengan gelisah. Bibirnya yang pucat pun gemetar.“Sia-sia Hanna, Sayang…” desis Marcella lembut seolah tahu isi hati Hanna. “Kamu sudah tidak berdaya. Selamat tinggal. Mudah-mudahan kamu masuk surga…”Marcella tersenyum licik penuh kemenangan.“Cella?”Suara Putra sontak menghentikan pergerakan tangan Marcella yang hendak menyuntikkan sesuatu ke selang infus itu.“Ma-Mas?” Marcella tergagap, segera menarik tubuhnya menjauh dari samping ranjang Hanna.“Sedang apa kamu di sini?” Dahi Putra mengernyit dalam.“Tentu saja aku ingin menjenguk Hanna,” balas Marcella sambil tersenyum kaku.“Untuk apa? Bagaimana kalau sampai ada yang memergokimu?” Mata Putra melotot tidak senang.“Ya ampun, Mas… Santai saja,” Marcella membenarkan kerah kemeja lelaki itu. “Enggak ada yang mengetahui hubungan kita selain istrimu yang sudah tak berdaya itu.”“Tetap saja, kita harus hati-hati. Orang-orang pasti curiga kalau kamu
Dua bulan berlalu sejak kejadian nahas yang menimpa Hanna.Sayangnya, kondisi Hanna stagnan.Makin lama, tagihan rumah sakit semakin menumpuk. Kepala Putra rasanya ingin pecah memikirkannya.Perkataan ibunya pun terus terngiang di kepalanya.“Lepaskan Hanna. Tanda tangani surat yang menyatakan kalau kamu akan melepas alat-alat bantu itu,” ucap Nena tempo lalu. “Atau ceraikan saja dia dan mulai hidup yang baru.”Bercerai? Yah, mungkin itu pilihan yang akan diambil Putra.Lagi pula, rumah dan mobil yang dia pakai selama ini sudah jatuh ke tangan Lidya.Wanita itu bersikukuh untuk menjualnya demi mempertahankan kelangsungan hidup Hanna.Putra memandangi sekeliling ruang tengah yang nyaman. Sebentar lagi, dia harus keluar dari sini.Saat Putra sedang merenungi nasibnya, tiba-tiba ada orang yang mengetuk pintu rumahnya.“Marcella?” Bola mata Putra melebar begitu mendapati wanita itu berdiri dari balik pintu rumahnya. “Masuklah.”Cepat-cepat Putra mengunci pintu rumah.“Kenapa kamu enggak b
“Ini enggak adil, Putra,” Nena terlihat masam begitu mengetahui bahwa Lidya, besannya yang menyebalkan itu, seenak jidat mengusir anak lelaki kesayangannya keluar dari rumah yang seharusnya juga milik Putra.“Setelah menikah, seharusnya rumah ini juga jadi milikmu,” tandas Nena lagi dengan penuh emosi.Putra memasukkan beberapa barang miliknya ke dalam kardus.“Ada perjanjian pranikah, Bu, yang menyatakan kalau rumah dan mobil pemberian dari ayahnya Hanna memang milik Hanna sepenuhnya,” terang Putra.Dahi Nena mengerut. “Ibu enggak tahu kalau kalian membuat perjanjian semacam itu. Kalau saja Ibu tahu, Ibu bakal mencegah Hanna membuat perjanjian konyol seperti itu!”“Yah, s
Marcella mematung di tempat. Kalimat yang barusan meluncur dari mulut suaminya itu masih menggantung di kepalanya. Namun sebagian dari dirinya berusaha untuk tak mempercayainya.“Ha-Hanna? Kamu bilang kamu dijebak oleh Hanna?” Marcella tercekat.Putra mengangguk dengan sorot mata yang tak tergoyahkan.Satu alis Marcella naik sebelah. “Tapi kamu bahkan menyangkal kalau Hanna masih hidup, Mas.”“Awalnya memang begitu, tapi…”“Tapi apa?” Desak Marcella.“Tapi sekarang aku yakin kalau Hanni adalah Hanna. Dia masih hidup, Cella. Dan dia sedang merencanakan sesuatu pada kita,” Putra memicingkan matanya tajam.***Marcella menutup pintu ruangannya. Dirinya langsung melempar tasnya ke atas meja.“Lantas, apa yang harus kita lakukan?” Wanita itu menyugar rambutnya.Putra berjalan sambil bersedekap menuju ke jendela. Matanya memandang ke hamparan langit biru.“Untuk saat ini, kita harus berhati-hati pada wanita itu. Hanni–atau Hanna,” tandas Putra. “Dan juga Erik.”“Erik?”Putra lantas mencerit
“Katakan, Cella. Apa kamu ada hubungannya dengan penyekapan Hanni?” Desak Putra tajam.Dengan satu gerakan cepat, Marcella melepaskan dirinya dari cengkraman Putra.Wanita itu mendengus keras, mendongakkan dagunya sambil memandang suaminya dengan tatapan tak percaya.“Pelecehan? Penyekapan Hanni??” Kedua alis Marcella bertautan. “Aku bahkan enggak mengerti dengan ucapanmu. Tapi satu yang pasti, kamu sudah berbohong, Mas. Ternyata kamu membuntuti wanita sialan itu! Hah, kamu bahkan menuduhku yang enggak-enggak!”“Aku yakin seratus persen pria itu adalah teman SMA-mu. Aku ingat betul, Cella.”“Lantas?” Kedua bola mata Marcella melebar, menantang ucapan suaminya tadi. “Jika memang pria itu temanku, bukan berarti aku terlibat, Mas!”Marcella tertawa sinis. “Jangan-jangan, semalam kamu tidur dengan wanita sialan itu kan? Oh, astaga! Ternyata seleramu memang rendahan, Mas…”Putra hanya mematung. Kenapa Hanni tega mengirim foto-foto itu pada istrinya, pikir Putra. Untuk apa wanita itu menje
“Ayo, buka pakaian dalammu, Hanna. Boleh kan aku memanggilmu dengan sebutan itu?” Sepasang mata Putra menyorot penuh gairah ke arah tubuh indah itu.Lantas, Hanna berjalan ke arah Putra, mendorong tubuh pria itu.“Tapi sebelumnya,” tangan Hanna bergerak pelan membuka satu per satu kancing kemeja Putra, “kamu juga harus menanggalkan pakaianmu.”Putra menyeringai begitu Hanna mulai melempar kemejanya ke sembarang arah, lalu lanjut melepas ikat pinggangnya.Hanna melirik nakal, melihat sesuatu yang menyembul di antara kedua kaki Putra.“Apa istrimu enggak pernah melakukan ini?” Tanya Hanna, menarik celana Putra. “Apa dia kurang menarik di atas ranjang?”“Sebenarnya dia cukup liar, tapi akhir-akhir ini kami sering bertengkar. Hubungan kami jadi dingin,” napas Putra mulai terdengar berat.Seketika, Putra menguap lebar. Sementara Hanna merangkak naik ke atas pangkuan Putra.Dada Hanna berdebar begitu kencang sekarang. Dia hanya bisa berharap obat tidur itu segera bekerja.“Duh, kok aku jadi
Suara sorak sorai serta tepukan yang meriah dari para tamu terdengar begitu, Hanna dan Putra berciuman setelah sah menjadi suami istri.Hanna tak bisa menyembunyikan pipinya yang merona saat ciuman manis itu usai.Putra yang berdiri di depannya, menatap Hanna hangat. Raut wajah bahagia terpancar karena akhirnya dia sah memiliki Hanna sepenuhnya.“Istriku…” panggil Putra pelan. “Akhirnya kamu menjadi istriku, Hanna.”Hanna menyunggingkan senyumnya, mengangguk. Dadanya berdebar bahagia. Bagi Hanna, menikah dengan Putra adalah impiannya.Dia sangat mencintai pria ini. Di matanya, Putra adalah sosok yang sempurna, pekerja keras dan penyayang.Tiga tahun mereka pacaran, banyak rintangan yang harus dilalui, termasuk penolakan keras dari ibunya Hanna, Lidya.Tapi kini rintangan itu sudah mereka lewati. Sambil memegang buku nikah, mereka akan mengarungi hidup baru yang menyenangkan.“Sekarang, hadap ke kamera ya. Buku nikahnya tunjukkin,” titah fotorgrafer itu. “Jangan lupa senyum. Satu, dua,
Erik menggeram kesal.Sudah seminggu setelah kejadian itu, tetapi pihak berwajib belum juga menemukan keberadaan Jordan.Yang membuat Erik tambah naik pitam adalah kemungkinan besar keterlibatan salah satu anak buahnya, Marcella.“Haruskah kita menyewa orang sendiri untuk mencari keberadaan pria sialan itu?” Erik melempar kedua tangannya ke udara. “Atau aku akan introgasi Marcella?”“Jangan, Erik.” Sergah Hanna. “Biarkan Marcella merasa bahwa dirinya aman, sampai Jordan tertangkap dan menyeret namanya.”“Tapi aku bahkan enggak tahan untuk melabraknya, Hanna,” geram Erik. “Dan plis, Hanna. Selalu beri tahu aku kalau kamu punya rencana. Aku enggak mau hal seperti ini terjadi.”“Maafkan aku, Erik…”Erik menghela napas pelan, berdiri di depan wanita itu. “Aku mencemaskamu. Apa… aku batalkan saja perjalananku kali ini?”“Hei!” kedua mata Hanna melebar. “Ini perjalanan dinas penting, Erik. Lagian, aku baik-baik saja kok.”“Tapi kalau aku enggak ada, kamu harus pulang-pergi sendiri. Gimana k
“Uh..” Jordan mendesah pelan. “Aku enggak menyangka tubuhmu seindah ini, Hanni…”Sebelum menarik turun pakaian dalam bagian bawah itu, ujung hidung Jordan menyentuh paha Hanna menyesap tubuh wanita itu dalam-dalam.Mau tak mau, Hanna menggeliat takut.“Pantas saja Marcella cemburu padamu…” tukasnya lagi. “Kamu tenang saja, Hanni. Aku akan memperlakukanmu dengan lembut kok. Aku ahli dalam hal ini.”Jordan mendongak sambil melempar senyum nakal ke arah Hanna.Hanna terus saja terisak, berharap keajaiban datang.Jordan mengecup pinggul Hanna, menjilatnya pelan. “Hanni, Sayang… kamu enggak akan menyesal, karena aku akan membuatmu melayang…”Dada Hanna terasa begitu sesak. Napasnya tersengal berat saat merasakan pakaian dalam bagian bawah itu perlahan turun.Pipinya benar-benar basah sekarang.Sampai tiba-tiba…BRAK!Suara pintu yang mendobrak keras itu terdengar.‘Erik!’ Kedua mata Hanna membelalak penuh harap. “Hei! Brengsek!!!” Suara lelaki itu menggelegar.Jordan tersentak dan langsun
Angin malam berembus kencang, seiring dengan motor yang dikendarai Jordan melaju begitu cepat.Sesekali Hanna mendengar suara gemuruh dari atas sana. Sepertinya akan turun hujan.“Jordan, kapan kita sampai?” Tanya Hanna, suaranya nyaris tertelan kilatan petir yang seketika menyambar.“Masih beberapa kilometer lagi,” balas pria itu. Dari jalan besar yang ramai, lama-lama motor mereka memasuki kawasan yang sepi.Kini motor itu melaju di jalanan yang remang. Lampu-lampu jalan berpendar suram dengan kesunyian yang mencekam malam.Dada Hanna jadi berdebar kencang. Pelipisnya sedikit berkeringat karena gelisah.Sepertinya dia sudah melakukan kesalahan fatal dengan mengikuti permainan pria ini.Diam-diam, Hanna merogoh ke dalam tasnya. Dengan jari-jari yang gemetar dia mengirim pesan pada Erik.‘Sepertinya aku dalam bahaya.’Hanna pun menyalakan aplikasi GPS di ponselnya dan mengirimkannya pada Erik.“Jordan, aku berubah pikiran,” ucap Hanna.“Apa?”“Aku berubah pikiran!” Hanna menaikkan n
Malam itu, Hanna baru saja keluar dari gedung Beauty Inc. ketika sebuah motor tiba-tiba melipir di depannya.Langkah Hanna terhenti. Keningnya mengerut memperhatikan siapa sosok di balik helm itu.“Jordan?” Hidung Hanna mengerut terkejut begitu Jordan menampakkan wajahnya.Dia tersenyum. “Kebetulan aku lewat sini dan melihatmu baru keluar dari gedung. Mau kuantar?”Rambut sebahu Hanna bergerak pelan. “Aku bisa pulang sendiri.”“Ayolah, anggap saja ini sebagai bentuk terima kasihku karena kamu bersedia jadi modelku,” desak Jordan lagi. “Aku bawa helm lagi kok.”Belum sempat Hanna mengiyakan ajakan itu, Jordan sudah keburu menjulurkan helm di hadapan Hanna.Hanna menghela napas pelan lalu menerima tumpangan itu. Sekalian, dia mau menggali lebih dalam soal pria ini. Siapa tahu Jordan keceplosan menyebut nama Marcella.Tak jauh dari situ, Putra memperhatikan mereka dengan curiga dari dalam mobilnya.‘Hanni. Dengan siapa dia pulang? Pacarnya?’ batin Putra penasaran. ‘Tapi tunggu, sepertiny
Pagi ini, Hanna sudah berdiri di depan kasir kopi langganan anak-anak kantor sambil menatap catatannya, mengecek ulang pesanan mereka.Tugas seperti sudah biasa baginya.“Tiga es americano, dua vanilla latte sama satu kopi susu. Semua less sugar ya,” tukas Hanna pada kasir yang berdiri di hadapannya.Saat sedang menunggu, seketika ada seseorang yang berdiri di sebelahnya.“Espresso, double shot,” suara barito pria itu membuat Hanna menoleh.Pria itu tinggi, mengenakan kaus hitam dan celana selutut sehingga terlihat begitu santai, dengan potongan rambut cepak.Pria itu tiba-tiba menoleh ke arahnya yang membuat Hanna terkesiap.Sial, dia tertangkap basah mencuri pandang ke pria itu!Cepat- cepat, Hanna memalingkan tatapannya.Lantas, kening pria itu mengernyit. “Kamu… kamu model produk kecantikan itu kan?”Hanna nampak terkejut.“Aku lihat videonya di media sosial. Cukup viral lho. Jadi, video itu bukan settingan ya?” Pria itu balik memperhatikan Hanna. “Kamu benar-benar seorang office