Dengan sangat hati-hati Hanna memutar langkahnya dan masuk melalui pintu dapur.
Sambil mengendap-endap, perempuan itu melesat bersembunyi di balik tembok pembatas antara dapur dengan ruang tengah rumahnya.
Jantungnya seolah berhenti begitu dia menangkap dengan jelas perselingkuhan suaminya dengan wanita yang bernama Marcella itu.
Rasanya dia ingin menangis kencang melihat tubuh telanjang kedua orang itu saling bertindih satu sama lain.
Pinggul Putra menghentak-hentak sambil mendesis penuh kenikmatan. Sesekali bibir pria itu mengucapkan kata-kata nakal yang membuat Marcella nampak semakin bergairah.
Tanpa ada rasa bersalah sedikit pun, wanita sialan itu terus melenguh. Lehernya yang jenjang menggantung di lengan sofa sehingga ujung-ujung rambutnya menyentuh lantai.
“Tega kamu, Mas…” gumam Hanna lirih. Tak kuasa air matanya berderai jatuh.
Sesak memenuhi relung dadanya. Terasa begitu menyakitkan.
Selama ini Hanna berpikir Putra adalah segalanya. Perempuan itu bahkan rela melepas karirnya yang gemilang demi menjadi istri Putra.
Tapi inikah balasan dari segala pengorbanannya?
‘Sialan!’ pekik Hanna.
Tangan Hanna bergetar hebat saat mengarahkan kamera ponselnya ke arah sofa itu.
Kini giliran Marcella yang mengambil alih. Rambut wanita itu tergerai-gerai indah saat berada di atas tubuh Putra.
Kepala Putra menengadah. Kedua tangan kekar pria itu merangkul pinggul ramping Marcella. Jelas, tatapan Putra begitu kagum dengan keindahan tubuh Marcella yang polos itu.
Hati Hanna semakin tertusuk-tusuk, apalagi saat melihat suaminya mulai mendesah, menikmati setiap gerakan sensual wanita itu.
Momen demi momen di atas sofa itu berhasil direkam dengan sempurna oleh Hanna.
Hati Hanna yang sakit kini berubah jadi amarah.
Rekaman ini akan jadi senjatanya untuk menghancurkan hidup suaminya juga wanita selingkuhannya itu.
Lenguhan mereka semakin menjadi-jadi.
Hanna tahu ini saat yang tepat untuk menyeruak dan menampakkan diri. Dia tidak rela membiarkan dua sejoli sialan itu mencapai kenikmatan di depan matanya, di atas sofa miliknya dan di rumahnya!
“Ah… baby, aku mau keluar…” Putra mendesis.
“A-aku juga, Sayang…”
“MAS PUTRA?!”
Suara Hanna menggelegar seperti petir yang menyambar di tengah hujan lebat.
Sontak Marcella menjerit kaget begitu melihat sosok Hanna yang bak hantu muncul dari arah dapur.
Tubuh Marcella sedikit oleng dan hampir jatuh kalau saja Putra tak menahannya dengan siaga.
Kedua bola mata Putra seakan hampir keluar dari rongga saat pria itu menoleh dan mendapati istrinya yang berdiri tak jauh darinya.
‘Ini bukan mimpi kan?’ batin Putra sambil mengerjap-ngerjapkan matanya.
“Brengsek kalian!” Jerit Hanna lagi. Wajahnya nampak merah padam. Pipinya basah sementara dada wanita itu naik-turun penuh emosi.
Tanpa disadari, Putra malah mendorong tubuh Marcella begitu saja sehingga wanita itu tersentak ke ujung sofa sambil meringis pelan.
“Ha-Hanna?” Putra tergagap.
Sorot mata istrinya memancarkan amarah yang tak terbendung.
“Brengsek kamu, Mas! Kenapa kamu tega bercinta dengan orang lain di rumah kita! Di sofa kita! Kenapa?! Kenapa kamu tega selingkuh dariku?!”
Hanna terisak kencang.
“Mana janji setiamu saat kita menikah, Mas? Mana?!” teriak Hanna lagi.
“Ha-Hanna… dengarkan aku dulu…” Dada Putra kini berdegup dua kali lebih cepat. Diambilnya celananya yang ada di bawah meja. “A-Aku…”
“Apa?!” Bentak Hanna lagi. “Jangan pikir kalian bisa menipuku!”
Telunjuk Hanna menuding bergantian ke arah Putra dan Marcella yang berlindung di balik punggung Putra.
“Aku bisa saja memanggil para tetangga agar menyaksikan perbuatan menjijikkan kalian ini!” ancam Hanna.
“Hanna, dengarkan penjelasanku dulu…” pinta Putra dengan wajah memelas.
Hanna berdecak, mundur menjauh saat Putra berusaha mendekatinya.
“Penjelasan apa? Penjelasan kalau wanita murahan itu bernama Marcella, yang juga rekan satu kantormu, hah? Aku tahu, Mas!”
“Plis, Hanna. Jangan gegabah,” lanjut Putra.
Kedua alis Hanna menyatu heran. “Gegabah? Kamu yang gegabah, Mas! Kamu sudah mengkhianatiku! Kalian harus membayar semua ini!”
“Aku dan Mas Putra saling mencintai!” Tiba-tiba Marcella angkat bicara.
Sejenak suasana jadi hening sesaat.
Putra nampak kaget dengan ucapan Marcella, begitu pula Hanna. Dia tidak menyangka, wanita sialan itu punya keberanian untuk menyela omongannya.
Kedua mata Hanna memicing tajam, mengarah pada Marcella yang menutupi tubuhnya dengan bantal sofa.
Marcella menelan ludahnya dalam-dalam.
Tatapan tajam istri sahnya Putra benar-benar membuat nyalinya ciut.
Sialan, seharusnya dia tidak harus takut seperti ini. Dirinya dan Putra memang saling mencintai dan Hanna harus tahu itu.
Tidak ada yang bisa mengalahkan yang namanya cinta walaupun caranya salah. Cinta akan selalu menang, pikir Marcella.
“Berani-beraninya kamu bicara seperti itu,” desis Hanna. “Kamu sudah merusak rumah tangga kami!”
“Itu salahmu,” suara Marcella sedikit tercekat. “Kamu enggak bisa memberi kepuasan pada suamimu sehingga dia memilihku.”
“Apa?” kening Hanna sontak mengernyit. Bisa-bisanya wanita sialan ini menyalahkan dirinya?!
Tanpa berpikir panjang, Hanna menghambur ke arah Marcella.
PLAK!
Satu tamparan keras mendarat di pipi wanita selingkuhan suaminya itu.
Mata Marcella membelalak lebar. Belum sempat mempertahankan diri, Hanna keburu mendorong tubuh setengah telanjang Marcella sehingga wanita itu terkapar di atas lantai yang dingin.
Marcella menjerit begitu Hanna hendak menerjang dirinya lagi.
Tetapi, Putra keburu menahan pergerakan istrinya.
“Hanna, hentikan.”
“Lepaskan aku, Mas! Aku jijik bersentuhan denganmu!” Hanna menepis kedua tangan suaminya.
“Ini semua salahku. Salahku, Hanna. Aku minta maaf…” lanjut Putra.
Hanna berdecak. “Ha, sekarang kamu baru sadar, setelah aku menampar selingkuhanmu itu? Ceraikan aku, Mas! Aku enggak sudi hidup bersamamu lagi!”
Putra mengusap wajahnya yang panik. “Hanna, dengarkan aku dulu…”
“Tidak,” Hanna menggeleng tegas. “Aku enggak butuh penjelasan apapun dari mulutmu yang penuh kebohongan itu. Aku minta cerai.”
Dari bawah sana, Marcella menyeringai penuh kemenangan. Dengan begitu, Putra akan jadi miliknya sepenuhnya.
“Hanna–”
“Tapi, jangan harap aku akan melepas kalian begitu saja,” satu alis Hanna naik ke atas. “Ini,” Hanna mengeluarkan ponsel miliknya. “Aku merekam semua adegan perselingkuhan kalian. Dan aku akan menyerahkan ini sebagai bukti di persidangan cerai kita nanti. Oh, atau haruskah aku menyebarkan ini ke publik?”
Napas Putra dan Marcella mendadak tertahan.
Ha, tidak seharusnya mereka meremehkan seorang Hanna.
Hanna menyeringai penuh kemenangan saat menyadari bahwa raut wajah Putra dan selingkuhanya itu nampak menegang.“Hanna, jangan bertindak bodoh,” pinta suaminya dengan nada memohon. “Dengan menyebarkan rekaman itu kamu sama saja menyebar aib suami sendiri.”Rasanya Hanna ingin tertawa terbahak-bahak mendengarnya.“Menyebarkan aib? Aku bahkan bisa menyeret kalian berdua ke penjara dengan pasal perzinahan,” tandas Hanna. “Tapi kurasa aku hanya akan minta cerai darimu, Mas. Dan menyebarkan video ini supaya karir kalian berdua hancur!”“Dasar wanita sialan…” geram Marcella. Wanita itu tertatih-tatih bergerak mendekat ke Putra.“Wanita sialan?” Ulang Hanna. “Yang sialan itu dirimu, Marcella. Wanita perusak rumah tangga orang.”Tiba-tiba saja, Putra menghambur ke arah Hanna, bersimpuh di kedua kaki istrinya.Hanna agak terkesiap. Namun, genggaman tangan Putra yang begitu erat melingkar di sekitar kakinya, membuat Hanna kesulitan bergerak.“Hanna… maafkan aku,” punggung Putra mulai berguncang
“Hanna… Anakku…” Tubuh Lidya, ibunya Hanna, lunglai di selasar rumah sakit.Wanita setengah baya itu terus saja terisak, meratapi nasib putri tunggalnya yang mengenaskan.Dini hari, Lidya dihubungi Putra, memberi tahu kabar buruk itu bahwa Hanna terlibat kecelakaan di jalanan yang sepi.Polisi menduga ini tabrak lari. Sayangnya, tidak ada saksi mata maupun CCTV di daerah tersebut.“Tenang, Ma…” Putra berusaha mengendalikan tangis ibu mertuanya yang semakin menjadi. “Kita berdoa saja agar semuanya berjalan baik.”“Baik bagaimana? Putriku terbaring koma di dalam sana, Putra! Lagian, kenapa kamu bisa membiarkan istrimu pergi sendirian di tengah malam begitu, naik motor pula?!” Lidya menukas murka. Awalnya, Putra heran dari mana istrinya mendapatkan motor itu? Tetapi akhirnya diketahui bahwa motor itu milik Andin, sahabatnya Hanna.‘Jadi, Hanna memang sudah merencanakan semua ini,’ pikir Putra dalam hati. ‘Dia memang ingin menangkap basah diriku dengan Marcella…’“Kamu harus bertanggung
“Ugh, Mas…”Marcella mendesah berat seraya tubuhnya yang setengah polos itu berguncang pelan di atas pangkuan Putra.Suasana kabin mobil yang pengap tak menyurutkan kedua insan itu untuk tetap bercinta dengan panas.Napas mereka menderu cepat saat kenikmatan datang, sampai-sampai mereka tak kuasa menjerit puas.Masih dengan napas terengah, Putra memeluk erat tubuh Marcella, yang hanya dibalut pakaian dalam.“Kamu benar-benar luar biasa,” puji Putra.Marcella membalas dengan senyuman tipis karena wanita itu masih ingin menikmati ledakan-ledakan kecil yang mendera tubuhnya.Rasanya sungguh menyenangkan, tapi sayangnya semua kenikmatan ini tak bertahan lama. Mereka harus segera berpisah.“Mas, bisa enggak sih kita menghabiskan waktu bersama seharian?” Marcella pindah ke kursi samping lalu mengenakan kemeja kantornya kembali.“Yah, aku juga pengennya begitu, Cella. Tapi, kamu tahu sendiri kan, pekerjaanku lagi banyak-banyaknya,” balas Putra.Bibir merah Marcella mengerucut kecewa.“Kalau
“Kenapa murung, Mas?” Tanya Marcella pada Putra yang sedang memandangi langit malam dari jendela kamar apartemen Marcella.Rambut wanita itu masih basah dan wangi sabun menyeruak begitu Marcella mendekati Putra.Namun, Putra masih terdiam.“Ada masalah apa sih? Kerjaan?” desak Marcella.“Bukan, Cell. Tapi soal… Hanna.”“Kenapa lagi dengan dia? Jangan-jangan dia mengetahui hubungan kita, Mas?” Tanya Marcella lagi.Putra menggeleng. “Dia pengen kerja lagi. Katanya dia mau membiayai program bayi tabung itu dengan uangnya sendiri.”Marcella menghempaskan tubuhnya yang hanya dibalut jubah mandi di samping Putra.“Lho, bagus dong, Mas. Itu artinya dia tahu diri.”“Aku enggak akan membiarkan dia kembali kerja, Cell.”“Kenapa?”“Enggak apa-apa. Sebagai suami, aku merasa bertanggung jawab penuh atas dirinya. Lagian, kata dokter dia juga enggak boleh capek.”“Huh, aku beneran iri sama istrimu. Bisa punya suami yang bertanggung jawab kayak kamu, Mas. Kapan ya aku bisa ketemu laki-laki yang mau m
“Thanks ya, Mas!” Marcella tersenyum lebar setelah memeluk Putra erat-erat.“Kamu suka tasnya?” Tanya Putra, melirik ke paper bag besar yang ditenteng wanita itu“Suka banget! Ini tas impianku sejak lama,” balas Marcella dengan nada manja.“Syukurlah kalau begitu.”Lantas, mereka bergandengan tangan, menyusuri selasar mall yang tak terlalu ramai.“Kita harus segera kembali ke kantor. Ada meeting mendadak,” Putra melirik pergelangan tangannya.“Oh, tadi bosmu yang nelpon?”“Iya, makan siangnya kita take away aja ya, Sayang?” Pinta Putra, melempar senyum tipis.Mau tak mau, Marcella hanya bisa mengedikkan bahunya pasrah.Sementara itu, dari kejauhan dada Hanna terasa begitu sesak. Sedari tadi, tubuhnya gemetar hebat.Sebisa mungkin, dia mengendalikan emosinya agar tidak menghambur dan menjambak rambut panjang wanita itu. Namun, matanya terus saja menggenang.Langkahnya melambat saat melihat suaminya dan wanita itu masuk ke dalam restoran.Dari luar restoran, Hanna terus memata-matai me
“Silakan, Mas,” Hanna tersenyum ramah.Semangkuk bubur ayam hangat tersaji di hadapan suaminya.“Dan ini kopinya,” lanjut Hanna lagi.Kedua alis tebal Putra sontak terangkat. ‘Tumben.’ Batinnya.“Kamu sudah enggak marah lagi sama aku?” Tanya Putra setelah menyisip kopi buatan Hanna.“Maafkan aku ya, Mas…” Hanna membelai pundak Putra yang kini sedang mencicipi bubur buatan dirinya. “Kemarin-kemarin tuh aku lagi bad mood aja.”Putra manggut-manggut sambil memuji bubur buatan Hanna yang lezat dalam hati.“Nanti lembur lagi atau gimana? Kalau Mas lembur, aku enggak usah bikin makan malam.”“Yah… sepertinya lembur lagi, Han.”“Baiklah kalau gitu. Oh iya, Mas…”Kedua tangan Hanna kini mulai memijat bahu Putra.Entah kenapa bulu kuduk Putra seakan merinding sesaat. Ini seperti bukan kebiasaan Hanna. Putra merasa istrinya agak aneh.“Terima kasih ya, sudah bekerja keras untuk keluarga kita,” lanjut Hanna. “Maafkan aku kalau aku jadi istri yang mengecewakan untukmu.”Putra menggenggam satu tan
Sepertinya, ini akan jadi akhir dari segalanya.Perselingkuhannya dengan Marcella bakal terungkap. Tidak mungkin Hanna percaya kalau Putra bilang wanita itu adalah rekan kerja biasa.Bagaimana mungkin seorang rekan kerja biasa ditemukan setengah telanjang di kamar mandi mereka?!Putra mengumpat kesal dari balik punggung Hanna. Karirnya bisa hancur, apalagi dirinya dan Marcella berada di satu perusahaan yang sama.“Hanna, tunggu!”Namun istrinya keburu masuk ke dalam kamar mandi.“Aku bisa jelaskan–”“Jelaskan apa, Mas?” Hanna menatap Putra dengan heran.Putra termangu. Bola matanya bergerak memandangi sekeliling kamar mandi.Kosong.“Mas? Kamu mau jelasin soal apa?” Hanna mengambil sabun cuci mukanya yang berada di atas wastafel.“I-Itu… soal…” suara Putra kini terdengar parau.“Aa!” Putra terperanjat begitu telapak tangan istrinya menempel di dahinya.“Kamu sakit, Mas? Sikapmu aneh,” tandas Hanna. “Tapi badanmu enggak panas. Apa sebaiknya aku batalkan saja liburanku dengan Andin?”“E
“Nak, kamu belum transfer uang bulanan Ibu ya? Jangan lupa, uang semesterannya adikmu juga harus dibayarkan bulan ini lho. Ibu sudah kehabisan uang. Harga-harga sekarang pada naik semua, belum lagi Ibu harus bayar uang arisan. Jadi, kapan kamu mau transfer, Putra?”Nena mengoceh panjang lebar dari seberang sana.Putra melirik ke kalender kecil yang ada di atas nakas. Dia lupa, seharusnya kemarin dia mentransfer uang bulanan untuk ibunya sekaligus uang semesteran adiknya.“Aku transfer sekarang, Bu. Kemarin kerjaanku lagi banyak-banyaknya,” balas Putra.“Ibumu?” Tanya Marcella tanpa bersuara. Tak bisa dipungkiri wajah wanita itu nampak jengkel saat Putra mengangguk.Baru saja mereka hendak bergumul panas di atas ranjang, gangguan kembali datang.Marcella lalu menghela napas keras sambil bersandar di kepala ranjang.“Putra,” sahut Nena lagi, “soal program bayi tabung itu…”“Kenapa soal itu, Bu?”“Apa enggak sebaiknya kamu mempertimbangkannya lagi? Delapan puluh juta, Putra. Itu uang yan
“Hanna… Anakku…” Tubuh Lidya, ibunya Hanna, lunglai di selasar rumah sakit.Wanita setengah baya itu terus saja terisak, meratapi nasib putri tunggalnya yang mengenaskan.Dini hari, Lidya dihubungi Putra, memberi tahu kabar buruk itu bahwa Hanna terlibat kecelakaan di jalanan yang sepi.Polisi menduga ini tabrak lari. Sayangnya, tidak ada saksi mata maupun CCTV di daerah tersebut.“Tenang, Ma…” Putra berusaha mengendalikan tangis ibu mertuanya yang semakin menjadi. “Kita berdoa saja agar semuanya berjalan baik.”“Baik bagaimana? Putriku terbaring koma di dalam sana, Putra! Lagian, kenapa kamu bisa membiarkan istrimu pergi sendirian di tengah malam begitu, naik motor pula?!” Lidya menukas murka. Awalnya, Putra heran dari mana istrinya mendapatkan motor itu? Tetapi akhirnya diketahui bahwa motor itu milik Andin, sahabatnya Hanna.‘Jadi, Hanna memang sudah merencanakan semua ini,’ pikir Putra dalam hati. ‘Dia memang ingin menangkap basah diriku dengan Marcella…’“Kamu harus bertanggung
Hanna menyeringai penuh kemenangan saat menyadari bahwa raut wajah Putra dan selingkuhanya itu nampak menegang.“Hanna, jangan bertindak bodoh,” pinta suaminya dengan nada memohon. “Dengan menyebarkan rekaman itu kamu sama saja menyebar aib suami sendiri.”Rasanya Hanna ingin tertawa terbahak-bahak mendengarnya.“Menyebarkan aib? Aku bahkan bisa menyeret kalian berdua ke penjara dengan pasal perzinahan,” tandas Hanna. “Tapi kurasa aku hanya akan minta cerai darimu, Mas. Dan menyebarkan video ini supaya karir kalian berdua hancur!”“Dasar wanita sialan…” geram Marcella. Wanita itu tertatih-tatih bergerak mendekat ke Putra.“Wanita sialan?” Ulang Hanna. “Yang sialan itu dirimu, Marcella. Wanita perusak rumah tangga orang.”Tiba-tiba saja, Putra menghambur ke arah Hanna, bersimpuh di kedua kaki istrinya.Hanna agak terkesiap. Namun, genggaman tangan Putra yang begitu erat melingkar di sekitar kakinya, membuat Hanna kesulitan bergerak.“Hanna… maafkan aku,” punggung Putra mulai berguncang
Dengan sangat hati-hati Hanna memutar langkahnya dan masuk melalui pintu dapur.Sambil mengendap-endap, perempuan itu melesat bersembunyi di balik tembok pembatas antara dapur dengan ruang tengah rumahnya.Jantungnya seolah berhenti begitu dia menangkap dengan jelas perselingkuhan suaminya dengan wanita yang bernama Marcella itu.Rasanya dia ingin menangis kencang melihat tubuh telanjang kedua orang itu saling bertindih satu sama lain.Pinggul Putra menghentak-hentak sambil mendesis penuh kenikmatan. Sesekali bibir pria itu mengucapkan kata-kata nakal yang membuat Marcella nampak semakin bergairah.Tanpa ada rasa bersalah sedikit pun, wanita sialan itu terus melenguh. Lehernya yang jenjang menggantung di lengan sofa sehingga ujung-ujung rambutnya menyentuh lantai.“Tega kamu, Mas…” gumam Hanna lirih. Tak kuasa air matanya berderai jatuh.Sesak memenuhi relung dadanya. Terasa begitu menyakitkan.Selama ini Hanna berpikir Putra adalah segalanya. Perempuan itu bahkan rela melepas karirny
“Nak, kamu belum transfer uang bulanan Ibu ya? Jangan lupa, uang semesterannya adikmu juga harus dibayarkan bulan ini lho. Ibu sudah kehabisan uang. Harga-harga sekarang pada naik semua, belum lagi Ibu harus bayar uang arisan. Jadi, kapan kamu mau transfer, Putra?”Nena mengoceh panjang lebar dari seberang sana.Putra melirik ke kalender kecil yang ada di atas nakas. Dia lupa, seharusnya kemarin dia mentransfer uang bulanan untuk ibunya sekaligus uang semesteran adiknya.“Aku transfer sekarang, Bu. Kemarin kerjaanku lagi banyak-banyaknya,” balas Putra.“Ibumu?” Tanya Marcella tanpa bersuara. Tak bisa dipungkiri wajah wanita itu nampak jengkel saat Putra mengangguk.Baru saja mereka hendak bergumul panas di atas ranjang, gangguan kembali datang.Marcella lalu menghela napas keras sambil bersandar di kepala ranjang.“Putra,” sahut Nena lagi, “soal program bayi tabung itu…”“Kenapa soal itu, Bu?”“Apa enggak sebaiknya kamu mempertimbangkannya lagi? Delapan puluh juta, Putra. Itu uang yan
Sepertinya, ini akan jadi akhir dari segalanya.Perselingkuhannya dengan Marcella bakal terungkap. Tidak mungkin Hanna percaya kalau Putra bilang wanita itu adalah rekan kerja biasa.Bagaimana mungkin seorang rekan kerja biasa ditemukan setengah telanjang di kamar mandi mereka?!Putra mengumpat kesal dari balik punggung Hanna. Karirnya bisa hancur, apalagi dirinya dan Marcella berada di satu perusahaan yang sama.“Hanna, tunggu!”Namun istrinya keburu masuk ke dalam kamar mandi.“Aku bisa jelaskan–”“Jelaskan apa, Mas?” Hanna menatap Putra dengan heran.Putra termangu. Bola matanya bergerak memandangi sekeliling kamar mandi.Kosong.“Mas? Kamu mau jelasin soal apa?” Hanna mengambil sabun cuci mukanya yang berada di atas wastafel.“I-Itu… soal…” suara Putra kini terdengar parau.“Aa!” Putra terperanjat begitu telapak tangan istrinya menempel di dahinya.“Kamu sakit, Mas? Sikapmu aneh,” tandas Hanna. “Tapi badanmu enggak panas. Apa sebaiknya aku batalkan saja liburanku dengan Andin?”“E
“Silakan, Mas,” Hanna tersenyum ramah.Semangkuk bubur ayam hangat tersaji di hadapan suaminya.“Dan ini kopinya,” lanjut Hanna lagi.Kedua alis tebal Putra sontak terangkat. ‘Tumben.’ Batinnya.“Kamu sudah enggak marah lagi sama aku?” Tanya Putra setelah menyisip kopi buatan Hanna.“Maafkan aku ya, Mas…” Hanna membelai pundak Putra yang kini sedang mencicipi bubur buatan dirinya. “Kemarin-kemarin tuh aku lagi bad mood aja.”Putra manggut-manggut sambil memuji bubur buatan Hanna yang lezat dalam hati.“Nanti lembur lagi atau gimana? Kalau Mas lembur, aku enggak usah bikin makan malam.”“Yah… sepertinya lembur lagi, Han.”“Baiklah kalau gitu. Oh iya, Mas…”Kedua tangan Hanna kini mulai memijat bahu Putra.Entah kenapa bulu kuduk Putra seakan merinding sesaat. Ini seperti bukan kebiasaan Hanna. Putra merasa istrinya agak aneh.“Terima kasih ya, sudah bekerja keras untuk keluarga kita,” lanjut Hanna. “Maafkan aku kalau aku jadi istri yang mengecewakan untukmu.”Putra menggenggam satu tan
“Thanks ya, Mas!” Marcella tersenyum lebar setelah memeluk Putra erat-erat.“Kamu suka tasnya?” Tanya Putra, melirik ke paper bag besar yang ditenteng wanita itu“Suka banget! Ini tas impianku sejak lama,” balas Marcella dengan nada manja.“Syukurlah kalau begitu.”Lantas, mereka bergandengan tangan, menyusuri selasar mall yang tak terlalu ramai.“Kita harus segera kembali ke kantor. Ada meeting mendadak,” Putra melirik pergelangan tangannya.“Oh, tadi bosmu yang nelpon?”“Iya, makan siangnya kita take away aja ya, Sayang?” Pinta Putra, melempar senyum tipis.Mau tak mau, Marcella hanya bisa mengedikkan bahunya pasrah.Sementara itu, dari kejauhan dada Hanna terasa begitu sesak. Sedari tadi, tubuhnya gemetar hebat.Sebisa mungkin, dia mengendalikan emosinya agar tidak menghambur dan menjambak rambut panjang wanita itu. Namun, matanya terus saja menggenang.Langkahnya melambat saat melihat suaminya dan wanita itu masuk ke dalam restoran.Dari luar restoran, Hanna terus memata-matai me
“Kenapa murung, Mas?” Tanya Marcella pada Putra yang sedang memandangi langit malam dari jendela kamar apartemen Marcella.Rambut wanita itu masih basah dan wangi sabun menyeruak begitu Marcella mendekati Putra.Namun, Putra masih terdiam.“Ada masalah apa sih? Kerjaan?” desak Marcella.“Bukan, Cell. Tapi soal… Hanna.”“Kenapa lagi dengan dia? Jangan-jangan dia mengetahui hubungan kita, Mas?” Tanya Marcella lagi.Putra menggeleng. “Dia pengen kerja lagi. Katanya dia mau membiayai program bayi tabung itu dengan uangnya sendiri.”Marcella menghempaskan tubuhnya yang hanya dibalut jubah mandi di samping Putra.“Lho, bagus dong, Mas. Itu artinya dia tahu diri.”“Aku enggak akan membiarkan dia kembali kerja, Cell.”“Kenapa?”“Enggak apa-apa. Sebagai suami, aku merasa bertanggung jawab penuh atas dirinya. Lagian, kata dokter dia juga enggak boleh capek.”“Huh, aku beneran iri sama istrimu. Bisa punya suami yang bertanggung jawab kayak kamu, Mas. Kapan ya aku bisa ketemu laki-laki yang mau m
“Ugh, Mas…”Marcella mendesah berat seraya tubuhnya yang setengah polos itu berguncang pelan di atas pangkuan Putra.Suasana kabin mobil yang pengap tak menyurutkan kedua insan itu untuk tetap bercinta dengan panas.Napas mereka menderu cepat saat kenikmatan datang, sampai-sampai mereka tak kuasa menjerit puas.Masih dengan napas terengah, Putra memeluk erat tubuh Marcella, yang hanya dibalut pakaian dalam.“Kamu benar-benar luar biasa,” puji Putra.Marcella membalas dengan senyuman tipis karena wanita itu masih ingin menikmati ledakan-ledakan kecil yang mendera tubuhnya.Rasanya sungguh menyenangkan, tapi sayangnya semua kenikmatan ini tak bertahan lama. Mereka harus segera berpisah.“Mas, bisa enggak sih kita menghabiskan waktu bersama seharian?” Marcella pindah ke kursi samping lalu mengenakan kemeja kantornya kembali.“Yah, aku juga pengennya begitu, Cella. Tapi, kamu tahu sendiri kan, pekerjaanku lagi banyak-banyaknya,” balas Putra.Bibir merah Marcella mengerucut kecewa.“Kalau