“Hanna… Anakku…” Tubuh Lidya, ibunya Hanna, lunglai di selasar rumah sakit.
Wanita setengah baya itu terus saja terisak, meratapi nasib putri tunggalnya yang mengenaskan.
Dini hari, Lidya dihubungi Putra, memberi tahu kabar buruk itu bahwa Hanna terlibat kecelakaan di jalanan yang sepi.
Polisi menduga ini tabrak lari. Sayangnya, tidak ada saksi mata maupun CCTV di daerah tersebut.
“Tenang, Ma…” Putra berusaha mengendalikan tangis ibu mertuanya yang semakin menjadi. “Kita berdoa saja agar semuanya berjalan baik.”
“Baik bagaimana? Putriku terbaring koma di dalam sana, Putra! Lagian, kenapa kamu bisa membiarkan istrimu pergi sendirian di tengah malam begitu, naik motor pula?!” Lidya menukas murka.
Awalnya, Putra heran dari mana istrinya mendapatkan motor itu? Tetapi akhirnya diketahui bahwa motor itu milik Andin, sahabatnya Hanna.
‘Jadi, Hanna memang sudah merencanakan semua ini,’ pikir Putra dalam hati. ‘Dia memang ingin menangkap basah diriku dengan Marcella…’
“Kamu harus bertanggung jawab kalau sampai terjadi apa-apa pada Hanna!” Air mata Lidya terus turun dari pelupuk matanya. “Seharusnya kamu bisa menjaga dia, Putra. Dia anakku satu-satunya…”
“Ma-Maafkan aku, Ma… Tapi…”
“Tapi apa?” Tanya Lidya sambil sesenggukan.
Putra terdiam sejenak sebelum akhirnya angkat bicara. “Semua ini bukan salahku. Sebenarnya… Hanna bilang di hari itu dia pergi liburan dengan sahabatnya, Andin. Jadi, aku sendiri bingung kenapa tiba-tiba dia bisa mengendarai motor itu.”
Kening Lidya nampak mengerut dalam. Dia tak mengerti apa yang dimaksud menantunya.
“Putra!”
Suara seorang wanita terdengar panik dari ujung selasar.
“Gimana keadaan Hanna?” Napas Andin begitu terengah-engah. Wajahnya terlihat pucat. “Apa yang sebenarnya terjadi pada Hanna?”
“Seharusnya aku yang bertanya seperti itu padamu, Ndin,” balas Putra tajam.
“Maksudmu?”
“Motor yang dipakai Hanna saat kecelakaan adalah milikmu. Untuk apa dia pinjam motormu?” desak Putra. “Dan satu lagi, dia bilang padaku bahwa di hari ini dia berlibur ke Bandung bersamamu.”
Kedua mata Andin menyipit heran. “Berlibur denganku?”
Putra mengembuskan napas pendek. “Berarti Hanna sudah berbohong padaku. Dia enggak pergi denganmu…”
“Beberapa hari ini Hanna memang meminjam motorku, tapi dia enggak menjelaskan untuk apa,” terang Andin. “Lantas, bagaimana keadaan Hanna?” Suara Andin terdengar gemetar, menatap pintu ruangan tempat sahabatnya dirawat.
“Dia kehilangan banyak darah. Tapi untungnya Hanna sudah mendapatkan transfusi darah. Hanya saja… dia masih belum sadarkan diri…” ucap Putra lirih. “Aku akan mengganti kerusakan motormu, Ndin. Tenang saja.”
Namun ucapan itu bagai angin lalu di telinga Andin.
Baginya, motor itu tidak penting. Yang terpenting adalah keselamatan sahabatnya, Hanna.
*
“Jadi, bagaimana?” Tanya Marcella cemas dari ujung telepon.
“Hanna koma,” terang Putra saat dirinya menyingkir ke kafetaria rumah sakit, membeli secangkir kopi hitam agar dirinya terjaga.
“Lantas handphone-nya?”
“Rusak parah, polisi sudah menemukannya.”
“Hah… bagus. Berarti rencana kita berjalan lancar, Sayang.”
“Kamu gila, Cella!” Desis Putra. “Kamu hampir saja membunuh Hanna!” Putra berujar dengan nada berbisik.
“Dia enggak mati, Mas.”
“Tapi dia koma!” Tekan Putra lagi sambil setengah berbisik.
“Kalau aku enggak menabrak motornya, video mesum kita bakal tersebar luas. Kamu mau hal itu terjadi, hah?!”
“Tapi bukan seperti ini caranya!” Bisik Putra lagi.
Pria itu tak habis pikir saat Marcella mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi dan menabrak motor istrinya, lalu meninggalkan Hanna yang sekarat di pinggir jalan begitu saja.
Saat itu Putra berteriak histeris, namun Marcella mengabaikannya. Wanita itu tetap melajukan mobilnya meninggalkan TKP.
“Memangnya kamu punya rencana apa? Enggak ada kan? Sudahlah, Mas. Untuk sekarang kita aman. Video itu lenyap,” tandas Marcella sambil menghela napas panjang.
“Tapi setelah Hanna sadar, dia tetap akan mengungkap perselingkuhan kita.”
Marcella mendengus cepat. “Tapi dia enggak punya bukti apa-apa, Mas. Orang enggak akan percaya begitu saja. Bilang saja dia melantur gara-gara benturan keras di kepalanya.”
“Astaga…” Putra menekan pelipisnya yang berdenyut-denyut.
“Sayangku, kita aman. Jangan sesali apa yang menimpa Hanna. Dengan keadaan Hanna yang koma, kita malah bisa bersenang-senang!”
Putra hanya termenung.
Dia merasa ini semua salah. Dia hampir saja membunuh istrinya sendiri.
“Mas?” Suara Marcella membuyarkan pikiran Putra. “Ingat, aku melakukan ini demi kita. Aku mencintaimu, Mas Putra.”
Putra hanya bisa bisa menghela napas panjang lalu memutus sambungan teleponnya begitu saja.
***
Sepuluh hari kemudian, Hanna sadar dari komanya.
Kini Hanna sudah dipindah ke ruang rawat khusus, di mana dirinya masih terbaring lemah dengan berbagai alat yang menopang kelangsungan hidupnya.
Dokter bilang Hanna mengalami kerusakan syaraf yang membuat sebagian besar tubuhnya tak bisa bergerak dengan normal, atau hampir bisa dikatakan lumpuh.
Benturan yang begitu keras juga menyisakan trauma pada Hanna, sehingga perempuan malang itu bahkan sulit untuk berbicara.
Yang Hanna bisa lakukan adalah mengedipkan matanya, tanpa bisa berbuat lebih.
Tiba-tiba saja pintu ruangan Hanna menderik terbuka.
Benturan sepatu hak terdengar mendekat ke pinggir ranjangnya.
“Selamat pagi, Hanna…” suara itu mengalun lembut namun terasa mematikan.
Marcella berdiri di sampingnya, memamerkan senyumnya yang licik.
Jemari Marcella menyentuh pipi Hanna yang dingin.
“Kasihan sekali dirimu… terbaring tak berdaya bak putri tidur. Sayangnya enggak ada pangeran yang menciummu karena pangeran itu sekarang jadi milikku…”
Detak jantung Hanna di monitor yang ada di samping ranjang bergerak cepat.
“Oh, kamu lagi marah ya?” Sahut Marcella lagi. “Detak jantungmu naik dua kali lipat.”
Lantas, wanita itu tertawa pelan. Wangi manis pun menyerbak, menusuk hidung Hanna saat Marcella mencondongkan wajahnya ke samping telinga Hanna.
“Apa yang dikatakan Putra benar. Kamu wanita enggak berguna, parasit. Masih hidup saja kamu sudah menyusahkan banyak orang. Apa kamu tahu, Putra bingung tujuh keliling mencari biaya perawatanmu di RS ini? Jadi sebaiknya kamu mati saja, Hanna…”
Kedua kelopak mata Hanna berkedip cepat.
“Dengan begitu, aku bisa hidup bahagia dengan Mas Putra-ku…”
Dada Hanna nampak kembang kempis. Jemarinya bergerak-gerak. Tapi semuanya sia-sia. Dia benar-benar akan mati di tangan selingkuhan suaminya.
“Selamat tinggal, Hanna…”
Marcella menyunggingkan bibirnya yang merah seraya satu tangannya hendak menyuntikkan cairan ke selang infus Hanna.
‘Tidak… Aku enggak mau mati dulu!’ Hanna menjerit dalam hati.Jemarinya bergerak-gerak dengan gelisah. Bibirnya yang pucat pun gemetar.“Sia-sia Hanna, Sayang…” desis Marcella lembut seolah tahu isi hati Hanna. “Kamu sudah tidak berdaya. Selamat tinggal. Mudah-mudahan kamu masuk surga…”Marcella tersenyum licik penuh kemenangan.“Cella?”Suara Putra sontak menghentikan pergerakan tangan Marcella yang hendak menyuntikkan sesuatu ke selang infus itu.“Ma-Mas?” Marcella tergagap, segera menarik tubuhnya menjauh dari samping ranjang Hanna.“Sedang apa kamu di sini?” Dahi Putra mengernyit dalam.“Tentu saja aku ingin menjenguk Hanna,” balas Marcella sambil tersenyum kaku.“Untuk apa? Bagaimana kalau sampai ada yang memergokimu?” Mata Putra melotot tidak senang.“Ya ampun, Mas… Santai saja,” Marcella membenarkan kerah kemeja lelaki itu. “Enggak ada yang mengetahui hubungan kita selain istrimu yang sudah tak berdaya itu.”“Tetap saja, kita harus hati-hati. Orang-orang pasti curiga kalau kamu
Dua bulan berlalu sejak kejadian nahas yang menimpa Hanna.Sayangnya, kondisi Hanna stagnan.Makin lama, tagihan rumah sakit semakin menumpuk. Kepala Putra rasanya ingin pecah memikirkannya.Perkataan ibunya pun terus terngiang di kepalanya.“Lepaskan Hanna. Tanda tangani surat yang menyatakan kalau kamu akan melepas alat-alat bantu itu,” ucap Nena tempo lalu. “Atau ceraikan saja dia dan mulai hidup yang baru.”Bercerai? Yah, mungkin itu pilihan yang akan diambil Putra.Lagi pula, rumah dan mobil yang dia pakai selama ini sudah jatuh ke tangan Lidya.Wanita itu bersikukuh untuk menjualnya demi mempertahankan kelangsungan hidup Hanna.Putra memandangi sekeliling ruang tengah yang nyaman. Sebentar lagi, dia harus keluar dari sini.Saat Putra sedang merenungi nasibnya, tiba-tiba ada orang yang mengetuk pintu rumahnya.“Marcella?” Bola mata Putra melebar begitu mendapati wanita itu berdiri dari balik pintu rumahnya. “Masuklah.”Cepat-cepat Putra mengunci pintu rumah.“Kenapa kamu enggak b
“Ini enggak adil, Putra,” Nena terlihat masam begitu mengetahui bahwa Lidya, besannya yang menyebalkan itu, seenak jidat mengusir anak lelaki kesayangannya keluar dari rumah yang seharusnya juga milik Putra.“Setelah menikah, seharusnya rumah ini juga jadi milikmu,” tandas Nena lagi dengan penuh emosi.Putra memasukkan beberapa barang miliknya ke dalam kardus.“Ada perjanjian pranikah, Bu, yang menyatakan kalau rumah dan mobil pemberian dari ayahnya Hanna memang milik Hanna sepenuhnya,” terang Putra.Dahi Nena mengerut. “Ibu enggak tahu kalau kalian membuat perjanjian semacam itu. Kalau saja Ibu tahu, Ibu bakal mencegah Hanna membuat perjanjian konyol seperti itu!”“Yah, s
Suasana di ruang tamu kali ini memang terasa agak canggung.Di hadapan Nena, Marcella duduk sambil terus memamerkan senyumnya.Sementara Nena masih heran, kenapa anaknya tiba-tiba saja membawa wanita ini ke rumahnya.“Begini Bu…” Putra berujar gugup. “Sebenarnya Marcella adalah teman spesialku.”“Maksudmu?” Mata Nena menyipit.“Dia pacarku.”“Bukannya kamu bilang kalian rekan kerja?”“Yah, rekan kerja sekaligus pacar, Bu.” Tukas Putra.Dahi wanita setengah baya itu tambah mengerut dalam. “Kamu bahkan belum
Sepatu kulit yang mengkilap itu menahan laju pintu lift yang hendak menutup.Sosok pria tampan dengan tubuh tegap melangkah ke dalam lift.Sontak Putra dan Marcella terkesiap dengan kehadiran CEO baru Beauty Inc., Erik Mahendra Soemardja, di depan mata mereka.Kehadiran Erik yang sedekat ini ternyata membuat Marcella gugup.Dia tidak menyangka, Erik begitu mempesona! Wangi pria itu, rambutnya yang klimis, serta lihat, urat-urat di punggung tangannya.Sungguh menggoda, pikiran Marcella melanglang buana dengan liar.‘Siapa wanita beruntung yang bisa bersanding dengan pria sempurna ini?’ batin Marcella sambil terus mencuri pandang ke arah bos barunya itu.
Derap langkah Abraham menggema di selasar rumah sakit yang sepi.Pria itu sengaja datang tengah malam, sebelum besok pagi dirinya terbang ke Singapura dan memulai perjalanan liburan kapal pesiarnya dari sana.Di tengah kesunyian, Abraham menatap wajah putrinya itu lekat-lekat.Hanna terlihat pucat dengan mata yang terpejam. Wajah putrinya itu memang lebih mirip ibunya, namun Abraham menyadari dia mewarisi hidung mancungnya pada Hanna.“Aku dengar putra pertamamu akan menikah,” ujar Lidya saat mereka berada di luar kamar Hanna.“Ya, besok pagi aku akan pergi. Oleh karena itu, aku menyempatkan diri untuk menjenguk Hanna.”Lidya merapatkan kardigan tebal yang
“Dasar tidak tahu malu,” cibir Lidya begitu melihat menantunya berdiri dihadapannya. “Mau apa kamu ke sini?”“Menjenguk istriku,” balas Putra enteng.“Masih berani kamu menganggap Hanna sebagai istrimu, hah? Kamu bahkan enggak membiayai perawatannya lagi.”“Walau bagaimanapun, kami belum bercerai.”Mata Lidya memicing tajam. “Aku tahu alasan sebenarnya kamu tidak menceraikan Hanna.”“Itu karena aku memang mencintainya, Ma.”Lidya tertawa getir di selasar rumah sakit, menggelengkan kepalanya heran. Dia pikir Putra bisa membodohinya dengan kalimat tadi?&
Degup jantung Hanna semakin menjadi-jadi.Dia panik karena tahu Marcella hendak membunuhnya. Wanita itu kini sedang tersenyum licik di hadapannya sambil memegang selang oksigen yang melintang di wajah Hanna.Jemari Hanna bergerak-gerak. Dadanya pun nampak naik turun.“Ya ampun, kayaknya kamu sedang ketakutan ya?” Ledek Marcella. Lantas tawanya berderai. “Hanna, Hanna… Kamu pikir aku akan membunuhmu?”Marcella menarik pelan selang oksigen itu.Seketika dada Hanna sesak. Kedua ujung bibirnya bergetar hebat dengan bola mata yang melebar.Marcella tertawa lagi. Astaga, dia benar-benar puas melihat pemandangan Hanna yang sekarat.
Marcella mematung di tempat. Kalimat yang barusan meluncur dari mulut suaminya itu masih menggantung di kepalanya. Namun sebagian dari dirinya berusaha untuk tak mempercayainya.“Ha-Hanna? Kamu bilang kamu dijebak oleh Hanna?” Marcella tercekat.Putra mengangguk dengan sorot mata yang tak tergoyahkan.Satu alis Marcella naik sebelah. “Tapi kamu bahkan menyangkal kalau Hanna masih hidup, Mas.”“Awalnya memang begitu, tapi…”“Tapi apa?” Desak Marcella.“Tapi sekarang aku yakin kalau Hanni adalah Hanna. Dia masih hidup, Cella. Dan dia sedang merencanakan sesuatu pada kita,” Putra memicingkan matanya tajam.***Marcella menutup pintu ruangannya. Dirinya langsung melempar tasnya ke atas meja.“Lantas, apa yang harus kita lakukan?” Wanita itu menyugar rambutnya.Putra berjalan sambil bersedekap menuju ke jendela. Matanya memandang ke hamparan langit biru.“Untuk saat ini, kita harus berhati-hati pada wanita itu. Hanni–atau Hanna,” tandas Putra. “Dan juga Erik.”“Erik?”Putra lantas mencerit
“Katakan, Cella. Apa kamu ada hubungannya dengan penyekapan Hanni?” Desak Putra tajam.Dengan satu gerakan cepat, Marcella melepaskan dirinya dari cengkraman Putra.Wanita itu mendengus keras, mendongakkan dagunya sambil memandang suaminya dengan tatapan tak percaya.“Pelecehan? Penyekapan Hanni??” Kedua alis Marcella bertautan. “Aku bahkan enggak mengerti dengan ucapanmu. Tapi satu yang pasti, kamu sudah berbohong, Mas. Ternyata kamu membuntuti wanita sialan itu! Hah, kamu bahkan menuduhku yang enggak-enggak!”“Aku yakin seratus persen pria itu adalah teman SMA-mu. Aku ingat betul, Cella.”“Lantas?” Kedua bola mata Marcella melebar, menantang ucapan suaminya tadi. “Jika memang pria itu temanku, bukan berarti aku terlibat, Mas!”Marcella tertawa sinis. “Jangan-jangan, semalam kamu tidur dengan wanita sialan itu kan? Oh, astaga! Ternyata seleramu memang rendahan, Mas…”Putra hanya mematung. Kenapa Hanni tega mengirim foto-foto itu pada istrinya, pikir Putra. Untuk apa wanita itu menje
“Ayo, buka pakaian dalammu, Hanna. Boleh kan aku memanggilmu dengan sebutan itu?” Sepasang mata Putra menyorot penuh gairah ke arah tubuh indah itu.Lantas, Hanna berjalan ke arah Putra, mendorong tubuh pria itu.“Tapi sebelumnya,” tangan Hanna bergerak pelan membuka satu per satu kancing kemeja Putra, “kamu juga harus menanggalkan pakaianmu.”Putra menyeringai begitu Hanna mulai melempar kemejanya ke sembarang arah, lalu lanjut melepas ikat pinggangnya.Hanna melirik nakal, melihat sesuatu yang menyembul di antara kedua kaki Putra.“Apa istrimu enggak pernah melakukan ini?” Tanya Hanna, menarik celana Putra. “Apa dia kurang menarik di atas ranjang?”“Sebenarnya dia cukup liar, tapi akhir-akhir ini kami sering bertengkar. Hubungan kami jadi dingin,” napas Putra mulai terdengar berat.Seketika, Putra menguap lebar. Sementara Hanna merangkak naik ke atas pangkuan Putra.Dada Hanna berdebar begitu kencang sekarang. Dia hanya bisa berharap obat tidur itu segera bekerja.“Duh, kok aku jadi
Suara sorak sorai serta tepukan yang meriah dari para tamu terdengar begitu, Hanna dan Putra berciuman setelah sah menjadi suami istri.Hanna tak bisa menyembunyikan pipinya yang merona saat ciuman manis itu usai.Putra yang berdiri di depannya, menatap Hanna hangat. Raut wajah bahagia terpancar karena akhirnya dia sah memiliki Hanna sepenuhnya.“Istriku…” panggil Putra pelan. “Akhirnya kamu menjadi istriku, Hanna.”Hanna menyunggingkan senyumnya, mengangguk. Dadanya berdebar bahagia. Bagi Hanna, menikah dengan Putra adalah impiannya.Dia sangat mencintai pria ini. Di matanya, Putra adalah sosok yang sempurna, pekerja keras dan penyayang.Tiga tahun mereka pacaran, banyak rintangan yang harus dilalui, termasuk penolakan keras dari ibunya Hanna, Lidya.Tapi kini rintangan itu sudah mereka lewati. Sambil memegang buku nikah, mereka akan mengarungi hidup baru yang menyenangkan.“Sekarang, hadap ke kamera ya. Buku nikahnya tunjukkin,” titah fotorgrafer itu. “Jangan lupa senyum. Satu, dua,
Erik menggeram kesal.Sudah seminggu setelah kejadian itu, tetapi pihak berwajib belum juga menemukan keberadaan Jordan.Yang membuat Erik tambah naik pitam adalah kemungkinan besar keterlibatan salah satu anak buahnya, Marcella.“Haruskah kita menyewa orang sendiri untuk mencari keberadaan pria sialan itu?” Erik melempar kedua tangannya ke udara. “Atau aku akan introgasi Marcella?”“Jangan, Erik.” Sergah Hanna. “Biarkan Marcella merasa bahwa dirinya aman, sampai Jordan tertangkap dan menyeret namanya.”“Tapi aku bahkan enggak tahan untuk melabraknya, Hanna,” geram Erik. “Dan plis, Hanna. Selalu beri tahu aku kalau kamu punya rencana. Aku enggak mau hal seperti ini terjadi.”“Maafkan aku, Erik…”Erik menghela napas pelan, berdiri di depan wanita itu. “Aku mencemaskamu. Apa… aku batalkan saja perjalananku kali ini?”“Hei!” kedua mata Hanna melebar. “Ini perjalanan dinas penting, Erik. Lagian, aku baik-baik saja kok.”“Tapi kalau aku enggak ada, kamu harus pulang-pergi sendiri. Gimana k
“Uh..” Jordan mendesah pelan. “Aku enggak menyangka tubuhmu seindah ini, Hanni…”Sebelum menarik turun pakaian dalam bagian bawah itu, ujung hidung Jordan menyentuh paha Hanna menyesap tubuh wanita itu dalam-dalam.Mau tak mau, Hanna menggeliat takut.“Pantas saja Marcella cemburu padamu…” tukasnya lagi. “Kamu tenang saja, Hanni. Aku akan memperlakukanmu dengan lembut kok. Aku ahli dalam hal ini.”Jordan mendongak sambil melempar senyum nakal ke arah Hanna.Hanna terus saja terisak, berharap keajaiban datang.Jordan mengecup pinggul Hanna, menjilatnya pelan. “Hanni, Sayang… kamu enggak akan menyesal, karena aku akan membuatmu melayang…”Dada Hanna terasa begitu sesak. Napasnya tersengal berat saat merasakan pakaian dalam bagian bawah itu perlahan turun.Pipinya benar-benar basah sekarang.Sampai tiba-tiba…BRAK!Suara pintu yang mendobrak keras itu terdengar.‘Erik!’ Kedua mata Hanna membelalak penuh harap. “Hei! Brengsek!!!” Suara lelaki itu menggelegar.Jordan tersentak dan langsun
Angin malam berembus kencang, seiring dengan motor yang dikendarai Jordan melaju begitu cepat.Sesekali Hanna mendengar suara gemuruh dari atas sana. Sepertinya akan turun hujan.“Jordan, kapan kita sampai?” Tanya Hanna, suaranya nyaris tertelan kilatan petir yang seketika menyambar.“Masih beberapa kilometer lagi,” balas pria itu. Dari jalan besar yang ramai, lama-lama motor mereka memasuki kawasan yang sepi.Kini motor itu melaju di jalanan yang remang. Lampu-lampu jalan berpendar suram dengan kesunyian yang mencekam malam.Dada Hanna jadi berdebar kencang. Pelipisnya sedikit berkeringat karena gelisah.Sepertinya dia sudah melakukan kesalahan fatal dengan mengikuti permainan pria ini.Diam-diam, Hanna merogoh ke dalam tasnya. Dengan jari-jari yang gemetar dia mengirim pesan pada Erik.‘Sepertinya aku dalam bahaya.’Hanna pun menyalakan aplikasi GPS di ponselnya dan mengirimkannya pada Erik.“Jordan, aku berubah pikiran,” ucap Hanna.“Apa?”“Aku berubah pikiran!” Hanna menaikkan n
Malam itu, Hanna baru saja keluar dari gedung Beauty Inc. ketika sebuah motor tiba-tiba melipir di depannya.Langkah Hanna terhenti. Keningnya mengerut memperhatikan siapa sosok di balik helm itu.“Jordan?” Hidung Hanna mengerut terkejut begitu Jordan menampakkan wajahnya.Dia tersenyum. “Kebetulan aku lewat sini dan melihatmu baru keluar dari gedung. Mau kuantar?”Rambut sebahu Hanna bergerak pelan. “Aku bisa pulang sendiri.”“Ayolah, anggap saja ini sebagai bentuk terima kasihku karena kamu bersedia jadi modelku,” desak Jordan lagi. “Aku bawa helm lagi kok.”Belum sempat Hanna mengiyakan ajakan itu, Jordan sudah keburu menjulurkan helm di hadapan Hanna.Hanna menghela napas pelan lalu menerima tumpangan itu. Sekalian, dia mau menggali lebih dalam soal pria ini. Siapa tahu Jordan keceplosan menyebut nama Marcella.Tak jauh dari situ, Putra memperhatikan mereka dengan curiga dari dalam mobilnya.‘Hanni. Dengan siapa dia pulang? Pacarnya?’ batin Putra penasaran. ‘Tapi tunggu, sepertiny
Pagi ini, Hanna sudah berdiri di depan kasir kopi langganan anak-anak kantor sambil menatap catatannya, mengecek ulang pesanan mereka.Tugas seperti sudah biasa baginya.“Tiga es americano, dua vanilla latte sama satu kopi susu. Semua less sugar ya,” tukas Hanna pada kasir yang berdiri di hadapannya.Saat sedang menunggu, seketika ada seseorang yang berdiri di sebelahnya.“Espresso, double shot,” suara barito pria itu membuat Hanna menoleh.Pria itu tinggi, mengenakan kaus hitam dan celana selutut sehingga terlihat begitu santai, dengan potongan rambut cepak.Pria itu tiba-tiba menoleh ke arahnya yang membuat Hanna terkesiap.Sial, dia tertangkap basah mencuri pandang ke pria itu!Cepat- cepat, Hanna memalingkan tatapannya.Lantas, kening pria itu mengernyit. “Kamu… kamu model produk kecantikan itu kan?”Hanna nampak terkejut.“Aku lihat videonya di media sosial. Cukup viral lho. Jadi, video itu bukan settingan ya?” Pria itu balik memperhatikan Hanna. “Kamu benar-benar seorang office