Sebelum warga merespons, Alyn melangkah maju dengan penuh percaya diri dan menunjuk ke arah CCTV yang terpasang di sudut ruangan."Kalian bisa cek CCTV di sana," lanjutnya dengan nada tegas. "Tidak ada yang terjadi di sini seperti yang kalian tuduhkan. Jika kalian masih bersikeras ingin memfitnah kami, biar saya ingatkan, kalian bisa dikenakan hukuman."Warga yang semula ribut mulai terlihat gugup, beberapa dari mereka saling melirik, bisik-bisik cemas. Namun Alyn tidak berhenti."Menurut Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pencemaran nama baik itu ada konsekuensinya. Dan jangan lupa, kalian masuk tanpa izin ke dalam rumah saya. Itu pelanggaran privasi. Pasal 167 KUHP menyatakan, masuk atau tetap berada di pekarangan atau rumah orang lain tanpa izin pemiliknya adalah perbuatan melawan hukum."Rio yang berdiri di sampingnya menatap dengan kagum, dia tidak menyangka Alyn akan berbuat seperti itu."Jika memang kalian khawatir dengan sesuatu, ada jalur
"Apa! Menyerahkan semuanya pada Felix?" Rio berseru, suaranya penuh dengan kemarahan dan rasa kecewa. "Ayah lupa? Aku yang sudah membangun perusahaan ini dari nol, dengan keringat dan kerja keras. Felix tidak tahu apa-apa soal perusahaan ini!"Pak Putra menatapnya dengan dingin, tanpa sedikit pun goyah oleh kata-kata Rio. “Tidak peduli siapa yang membangun perusahaan ini, Rio. Selama kamu masih bergantung pada Wijaya Group, sebaiknya kamu menurut pada keputusan ini!”Rio menghela napas berat, namun amarahnya semakin membara. “Ini tidak adil, Ayah. Aku sudah melakukan semuanya untuk perusahaan ini. Bahkan, kursi yang Felix duduki sekarang seharusnya adalah milikku!”Pak Putra mengangkat tangan, menghentikan protes Rio. “Kemasi barang-barangmu dan pindah ke kantor pusat. Kamu bisa menjadi wakil CEO, kenapa harus membuat huru hara?” suaranya tegas, memberikan perintah yang tak bisa ditawar.Alyn, yang berdiri di ambang pintu, merasakan ketegangan di antara mereka. Kata-
Pak Putra keluar dari ruangan Rio dengan langkah cepat, wajahnya memerah, amarah masih terpancar jelas di raut wajahnya. Alyn, yang berdiri di dekat pintu, segera membungkuk hormat sebagai bentuk penghormatan.Namun, Pak Putra meliriknya dengan dingin, tanpa sedikit pun merespons atau menghentikan langkahnya. Sikapnya seolah menunjukkan ketidakpedulian, seakan Alyn tak layak mendapatkan perhatian.Alyn berdiri kaku, perasaan canggung dan bingung menguasainya. Di balik keheningan itu, suasana tegang antara keluarga Wijaya tampak semakin terasa nyata.Setelah memastikan Pak Putra telah benar-benar pergi, Alyn menghela napas sejenak sebelum melangkah menuju ruangan Rio. Dia mengetuk pintu dengan pelan, lalu membukanya sedikit. Di balik celah pintu, terlihat Rio yang tertunduk di kursinya, tampak kelelahan, dengan bahunya yang sedikit gemetar."Pak Rio..." panggil Alyn pelan, suaranya lembut namun penuh kekhawatiran. Rio tidak langsung merespons. Dia hanya terdiam, seakan masih tenggelam
Alyn terdiam sejenak, membiarkan dirinya menikmati kehangatan pelukan Rio yang jarang terlihat rapuh. "Rio... ini bukan salahmu," kata Alyn dengan lembut, mencoba menenangkannya. Rio menatap Alyn dengan intens, masih memegang bahunya. "Alyn," katanya dengan suara tegas namun lembut, "Aku tidak ingin kau kembali ke kantor Felix. Aku tidak bisa membayangkan kau harus bertemu dengannya setiap hari, terutama setelah semua yang dia lakukan."Alyn menatap balik dengan bingung. "Rio, ini pekerjaan. Aku sudah terbiasa menghadapi Felix, ini bukan masalah besar.""Tapi itu masalah besar bagiku," jawab Rio cepat. "Aku tidak bisa melihatmu berada di dekat dia, apalagi dengan cara dia memimpin perusahaan. Dia tidak pantas mendapatkan kesempatan untuk terus mengendalikan hidupmu."Alyn terdiam sejenak, merasakan kekhawatiran dalam nada suaranya. "Aku mengerti apa yang kau rasakan, tapi aku bisa menjaga diriku sendiri. Ini bukan hanya soal Felix, ini juga soal karirku dan juga dir
Alyn terkejut melihat Felix berdiri di depannya. Tubuhnya seolah membeku sesaat, namun dia segera menguatkan diri. Suaranya tenang, meskipun hatinya berdebar kencang.Baginya, alasan untuk berpisah sudah terlalu jelas. Pengkhianatan Felix, pernikahannya dengan Ericka, dan yang paling menghancurkan hati Alyn, Bu Chintya yang menjadi penyebab kegugurannya. Tidak ada lagi alasan untuk bertahan."Felix," kata Alyn dengan nada dingin namun terkendali, "Kau sudah tahu jawabannya, dan kau masih bertanya kenapa aku ingin bercerai?"Felix mengalihkan pandangannya sejenak, terlihat berusaha menahan sesuatu di dalam dirinya. "Pernikahan dengan Ericka... itu tidak seperti yang kau kira. Itu hanya soal bisnis—""Bisnis?" potong Alyn tajam. "Kau menghancurkan rumah tangga kita untuk sesuatu yang kau sebut bisnis? Dan bagaimana dengan Bu Chintya? Dia menyebabkan aku kehilangan anak kita, Felix. Kau tahu itu, tapi kau tidak melakukan apa-apa."Mata Felix menyipit sejenak, tanda
Alyn dan Rio tiba di depan kontrakan Alyn dengan suasana yang sedikit canggung namun penuh keakraban. Malam sudah mulai merayap, dan lampu-lampu jalan memberikan cahaya redup yang memantul di trotoar basah akibat hujan gerimis sebelumnya.Alyn mengeluarkan kunci dari tas kecilnya, lalu tersenyum tipis ke arah Rio yang berdiri di sampingnya."Maaf, rencana makan malam kita batal," ucap Alyn dengan nada bersalah. "Sepertinya semuanya jadi kacau gara-gara masalah di kantor tadi."Rio menatap Alyn lembut, lalu menggelengkan kepala. "Tidak apa-apa, Alyn. Aku mengerti. Yang penting, kau baik-baik saja."Alyn menatap mata Rio yang penuh perhatian itu. Ada rasa hangat yang menjalar dalam dirinya, meskipun tadi emosinya masih berantakan akibat pertemuan dengan Felix. Dia menghela napas, lalu mendongak ke pintu kontrakannya yang sederhana."Kalau kau tidak keberatan," lanjut Alyn sambil memasukkan kunci ke lubang pintu, "aku bisa memasak sesuatu sebagai gantinya. Mungkin ini tidak sebagus makan
"Alyn bilang mereka hanya rekan kerja," gumam Rio pelan pada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan hatinya. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."Rio menghela napas panjang, berusaha meredakan rasa tidak nyaman yang tiba-tiba menyelimuti hatinya. Alyn memang selalu mengatakan bahwa Bryan hanya rekan kerja, tetapi Rio tak bisa menepis perasaan bahwa mungkin ada lebih dari sekadar itu.Setiap kali nama Bryan muncul, ada semacam dorongan kuat dalam dirinya yang ingin tahu lebih banyak, ingin mengungkap sejauh mana hubungan mereka sebenarnya."Kenapa Bryan harus datang ke rumah Alyn?" pikir Rio, matanya menatap kosong ke depan. "Apakah mereka sedekat itu sampai Bryan merasa bisa datang kapan saja?"Ketika Rio akhirnya sampai di mobilnya, dia membuka pintu dan duduk di kursi pengemudi, tetapi tak langsung menyalakan mesin. Dia hanya duduk di sana sejenak, mengamati jalan yang basah karena gerimis yang baru saja reda. Suasana malam yang hening semakin mempertegas rasa resah yang mulai merayap
Alyn menatap bayangannya di cermin, matanya penuh dengan kebingungan dan kelelahan. Sinar matahari pagi yang masuk melalui jendela kamarnya tidak cukup untuk mengusir rasa kacau yang berputar-putar di dalam dirinya."Alyn, kamu baru saja terlepas dari Felix. Dan sekarang? Kamu menjalin hubungan dengan Rio yang jelas-jelas adalah adik dari mantan suamimu? Ini gila!" gumam Alyn, berbicara pada dirinya sendiri seolah-olah bayangan di cermin akan memberikan jawaban yang ia cari.Pikirannya tak bisa berhenti memutar ulang kejadian-kejadian dalam hidupnya yang terasa begitu rumit akhir-akhir ini. Lepas dari Felix, ia pikir segalanya akan menjadi lebih sederhana dan tenang. Tapi, di sinilah dia sekarang, berada di tengah hubungan yang lebih rumit lagi, dengan adik mantan suaminya sendiri.Rio. Nama itu menggema di kepalanya. Adik dari Felix, pria yang selama ini memperlakukannya dengan penuh perhatian, bertolak belakang dengan sifat kakaknya yang dingin dan tak tersentuh.
Senja perlahan menyelimuti langit dengan semburat jingga keemasan, menciptakan suasana yang tenang dan hangat di tepi pantai. Angin sepoi-sepoi berhembus lembut, membelai rambut Alyn yang tergerai. Mereka berjalan berdampingan di sepanjang pasir putih yang halus, sementara ombak bergulung pelan di kejauhan, seolah menyanyikan lagu lembut yang hanya mereka berdua bisa dengar.Rio menghentikan langkahnya. Alyn yang menyadari bahwa Rio tak lagi berjalan di sampingnya berbalik.“Ada apa, Rio?” tanyanya, suaranya lembut namun penuh tanya.Rio menatap Alyn dalam-dalam, seolah ingin memastikan setiap detik yang mereka habiskan bersama di tempat itu akan abadi dalam ingatannya. Wajahnya tegang, namun di matanya ada kehangatan yang tak biasa.“Alyn,” katanya perlahan, suaranya terdengar lebih rendah dan dalam dari biasanya. “Ada sesuatu yang sudah lama ingin aku sampaikan.”Alyn merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Entah mengapa, tatapan Rio kali ini berbeda. Ada se
Suara gesekan pintu sel yang berat bergema di ruangan yang suram. Seorang penjaga melangkah maju, membuka pintu sel perlahan."Ericka Hartono, Anda dibebaskan," katanya dengan nada datar, seolah pembebasan ini hanyalah rutinitas lain baginya.Ericka, yang duduk termenung di sudut ruangan, mendongak dengan ekspresi terkejut. Matanya yang sebelumnya kosong kini menyala dengan campuran perasaan kebingungan, kelegaan, dan sedikit ketakutan. Setelah segala yang terjadi, dia tidak pernah membayangkan bahwa hari ini akan datang begitu cepat.Dia berdiri, merapikan pakaiannya yang kusut, lalu melangkah keluar dari sel dengan ragu-ragu. Udara dingin dari luar menyambutnya, membawa serta kenyataan baru yang sulit ia terima. Saat dia berjalan keluar dari penjara, pikirannya dipenuhi dengan banyak pertanyaan. Siapa yang membebaskannya?Di luar, sinar matahari menyilaukan matanya, kontras dengan gelapnya sel yang selama ini menjadi tempatnya. Ericka melangkah ke dunia luar dengan langkah berat, ti
Hakim menatap kedua terdakwa, Bu Ratna dan Bryan, dengan tatapan dingin. Setelah mendengar semua kesaksian dan bukti yang diajukan selama persidangan, suasana di ruang sidang terasa tegang, seolah menunggu vonis yang tak terelakkan. "Setelah mempertimbangkan semua fakta yang disampaikan di persidangan ini," kata hakim dengan suara tegas, "pengadilan memutuskan bahwa terdakwa, Ratna Anggara, terbukti bersalah atas tuduhan percobaan pembunuhan terhadap Ny. Anggara beberapa tahun yang lalu, serta upaya menghilangkan nyawa Alyn baru-baru ini." Suara berbisik terdengar dari para pengunjung sidang, tetapi hakim tidak terpengaruh dan melanjutkan, "Selain itu, terdakwa juga terbukti bersalah karena merencanakan serangkaian manipulasi dan tindakan kriminal lainnya untuk mempertahankan posisinya dan kekuasaan di Anggara Group." Hakim beralih pada Bryan yang kini tampak pucat. "Bryan Wijaya, Anda juga terbukti bersalah atas berbagai kejahatan, termasuk fitnah terhadap Rio Putra Wijaya, mela
Saat Jinu dipanggil ke depan sebagai saksi, suasana ruang sidang semakin tegang. Jinu, dengan sikap tenang namun tegas, berdiri di depan para hakim. Dia mengangkat sumpah dengan penuh kesadaran bahwa apa yang akan dia katakan akan menjadi kunci dalam kasus ini."Nama saya Jinu," ia memulai, "dan selama ini, saya adalah tangan kanan Bryan. Saya diutus untuk memata-matai keluarga Ericka, serta menjaga agar semuanya tetap berjalan sesuai rencana Bryan dan Bu Ratna."Desas-desus di antara hadirin mulai terdengar. Mata Felix tampak terbelalak, seakan tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Keluarga Wijaya saling bertukar pandang, menyadari bahwa mereka juga telah menjadi bagian dari permainan yang lebih besar.Pengacara yang mewakili Alyn berdiri dan mulai bertanya. "Bisa Anda jelaskan lebih lanjut, apa yang Anda maksud dengan memata-matai keluarga Ericka?"Jinu menghela napas sebelum melanjutkan. "Bryan dan Bu Ratna merencanakan segalanya. Mereka memanipulasi hubungan
Keesokan harinya, sidang dilanjutkan dengan suasana yang jauh lebih tegang. Ruang sidang dipenuhi oleh orang-orang yang telah mengikuti perkembangan kasus ini, termasuk anggota keluarga Wijaya yang hadir dengan wajah serius. Felix duduk di barisan depan bersama keluarganya, matanya tajam menatap ke depan, mencoba mencerna segala sesuatu yang terjadi. Hakim mengetukkan palunya dengan tegas, meminta ketenangan di ruang sidang yang mulai riuh setelah bukti baru disampaikan. “Pengacara, apakah Anda memiliki saksi yang bisa mendukung bukti yang baru saja diajukan?” tanyanya dengan nada serius. Pengacara Alyn berdiri dengan tenang. "Yang Mulia, kami memang memiliki saksi yang relevan untuk memperkuat tuduhan terhadap terdakwa. Kami ingin memanggil Dokter MJ ke hadapan persidangan." Ruang sidang hening sesaat ketika pintu terbuka dan Dokter MJ masuk. Dia berjalan menuju mimbar saksi, menundukkan kepala sebentar sebelum duduk di kursi yang disediakan. Semua mat
Ruangan sidang dipenuhi keheningan yang tegang. Para hadirin duduk di barisan bangku kayu, menahan napas menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Di depan, hakim duduk dengan sikap tenang, meski ketegangan terasa mengental di udara.Di sisi lain ruang, Alyn berdiri dengan tegas di meja penggugat, diapit oleh Rio dan Jinu. Di seberang, Bryan tampak duduk dengan wajah penuh ketegangan, ditemani oleh Bu Ratna yang berusaha menjaga wibawanya meski suasana terasa semakin tak terkendali.Sidang ini bukan sekadar pertempuran hukum biasa. Ini adalah puncak dari segala tipu daya, pengkhianatan, dan rahasia yang selama bertahun-tahun tersembunyi. Alyn tahu bahwa semua yang terjadi selama ini bermuara pada hari ini. Hari di mana kebenaran akan membebaskannya, atau menghancurkannya.Pengacara Alyn maju ke depan, membawa sebuah amplop putih yang disegel dengan rapi. "Yang Mulia," katanya dengan suara lantang. "Kami telah melakukan tes DNA dan hasilnya jelas. Bryan bukan anak kandu
Rio mengerutkan kening, mencoba memahami situasi yang semakin rumit. Alyn yang sejak tadi begitu bersemangat terdiam, dia mulai berpikir keras. Ada sesuatu yang mengganjal di benaknya. Lalu tiba-tiba, sebuah pemikiran muncul, membuatnya terhenyak."Jangan-jangan..." Alyn berhenti, menatap Rio dan Jinu dengan mata melebar. “Bryan bukan anak kandung Bu Ratna?”Suasana seketika hening. Rio menatap Alyn, terkejut dengan dugaan itu. “Maksudmu?”“Pikirkan, Rio. Jika Bryan memang anak kandung Bu Ratna dan Tuan Anggara, seharusnya dia tahu siapa aku dari awal. Tapi kalau dia bukan anak kandung, mungkin ada alasan lain kenapa dia begitu terobsesi padaku.” Alyn mulai berbicara cepat, seakan mencoba mengejar pemikirannya sendiri. Jinu menatap Alyn dengan serius, wajahnya menunjukkan pemahaman yang baru. “Itu masuk akal,” katanya akhirnya. "Mungkin saja sejak awal, Bryan memang hanya anak pura-pura dan tahu permainan Bu Ratna. Tapi... dia malah terjebak dalam perasaannya sendiri pada Alyn.”Rio
“Aku tahu ini tidak gratis, kan?” tanya Alyn, suaranya terdengar rendah namun tegas. Dia tahu bahwa Jinu bukan tipe orang yang melakukan sesuatu tanpa alasan.Jinu tersenyum tipis, seolah sudah menunggu pertanyaan itu. "Kau tahu betul, Alyn. Aku ingin Ericka dibebaskan sebagai imbalannya."Mendengar permintaan itu, Rio langsung tersentak. "Tidak! Dia sudah mencelakai Alyn dan ibunya. Ericka tidak pantas dibiarkan begitu saja!" Rio membentak, kemarahan dan kebencian terhadap Ericka terpancar dari matanya.Namun, Jinu tetap tenang, seakan dia sudah memperkirakan reaksi Rio. "Kau salah, Rio..." ucap Jinu pelan tapi pasti. "Itu bukan Ericka... tapi ibu Bryan."Kata-kata Jinu membuat udara di antara mereka terasa berat. Rio menatap Jinu dengan tatapan bingung, mencoba memahami apa yang baru saja didengarnya.“Apa maksudmu? Ibu Bryan?”Jinu menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Ibu Bryan adalah dalang dari semua ini. Dialah yang selama ini menarik tali di balik layar, termasuk menjeb
Alyn terdiam, mencoba mencerna situasi yang baru saja terjadi. Rasanya seperti semakin banyak rahasia yang terungkap, namun semuanya masih kabur dan tidak jelas. Ia tahu, ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi, sesuatu yang jauh di luar kendalinya."Rio, kita harus menemukan cara untuk menghentikan ini semua sebelum segalanya semakin hancur. Aku tidak bisa membiarkan semua orang yang aku cintai terjebak dalam permainan ini," ucap Alyn, nadanya dipenuhi kegelisahan.Rio menggenggam tangan Alyn erat, matanya bersinar penuh ketegasan. "Kita akan hadapi ini bersama. Aku tahu Bryan sedang merencanakan sesuatu, dan sepertinya ini lebih dari sekadar menghancurkan Felix. Dia ingin lebih dari itu."Alyn memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan dirinya. Bryan, yang dulunya sahabat setia keluarga, kini berubah menjadi musuh dalam selimut. Perasaannya bercampur antara ketakutan dan kekecewaan. Bagaimana bisa orang yang begitu dekat dengannya berubah menjadi ancaman terbesar dalam hidupny