Alyn terkejut melihat Felix berdiri di depannya. Tubuhnya seolah membeku sesaat, namun dia segera menguatkan diri. Suaranya tenang, meskipun hatinya berdebar kencang.
Baginya, alasan untuk berpisah sudah terlalu jelas. Pengkhianatan Felix, pernikahannya dengan Ericka, dan yang paling menghancurkan hati Alyn, Bu Chintya yang menjadi penyebab kegugurannya. Tidak ada lagi alasan untuk bertahan."Felix," kata Alyn dengan nada dingin namun terkendali, "Kau sudah tahu jawabannya, dan kau masih bertanya kenapa aku ingin bercerai?"Felix mengalihkan pandangannya sejenak, terlihat berusaha menahan sesuatu di dalam dirinya. "Pernikahan dengan Ericka... itu tidak seperti yang kau kira. Itu hanya soal bisnis—""Bisnis?" potong Alyn tajam. "Kau menghancurkan rumah tangga kita untuk sesuatu yang kau sebut bisnis? Dan bagaimana dengan Bu Chintya? Dia menyebabkan aku kehilangan anak kita, Felix. Kau tahu itu, tapi kau tidak melakukan apa-apa."Mata Felix menyipit sejenak, tandaAlyn dan Rio tiba di depan kontrakan Alyn dengan suasana yang sedikit canggung namun penuh keakraban. Malam sudah mulai merayap, dan lampu-lampu jalan memberikan cahaya redup yang memantul di trotoar basah akibat hujan gerimis sebelumnya.Alyn mengeluarkan kunci dari tas kecilnya, lalu tersenyum tipis ke arah Rio yang berdiri di sampingnya."Maaf, rencana makan malam kita batal," ucap Alyn dengan nada bersalah. "Sepertinya semuanya jadi kacau gara-gara masalah di kantor tadi."Rio menatap Alyn lembut, lalu menggelengkan kepala. "Tidak apa-apa, Alyn. Aku mengerti. Yang penting, kau baik-baik saja."Alyn menatap mata Rio yang penuh perhatian itu. Ada rasa hangat yang menjalar dalam dirinya, meskipun tadi emosinya masih berantakan akibat pertemuan dengan Felix. Dia menghela napas, lalu mendongak ke pintu kontrakannya yang sederhana."Kalau kau tidak keberatan," lanjut Alyn sambil memasukkan kunci ke lubang pintu, "aku bisa memasak sesuatu sebagai gantinya. Mungkin ini tidak sebagus makan
"Alyn bilang mereka hanya rekan kerja," gumam Rio pelan pada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan hatinya. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."Rio menghela napas panjang, berusaha meredakan rasa tidak nyaman yang tiba-tiba menyelimuti hatinya. Alyn memang selalu mengatakan bahwa Bryan hanya rekan kerja, tetapi Rio tak bisa menepis perasaan bahwa mungkin ada lebih dari sekadar itu.Setiap kali nama Bryan muncul, ada semacam dorongan kuat dalam dirinya yang ingin tahu lebih banyak, ingin mengungkap sejauh mana hubungan mereka sebenarnya."Kenapa Bryan harus datang ke rumah Alyn?" pikir Rio, matanya menatap kosong ke depan. "Apakah mereka sedekat itu sampai Bryan merasa bisa datang kapan saja?"Ketika Rio akhirnya sampai di mobilnya, dia membuka pintu dan duduk di kursi pengemudi, tetapi tak langsung menyalakan mesin. Dia hanya duduk di sana sejenak, mengamati jalan yang basah karena gerimis yang baru saja reda. Suasana malam yang hening semakin mempertegas rasa resah yang mulai merayap
Alyn menatap bayangannya di cermin, matanya penuh dengan kebingungan dan kelelahan. Sinar matahari pagi yang masuk melalui jendela kamarnya tidak cukup untuk mengusir rasa kacau yang berputar-putar di dalam dirinya."Alyn, kamu baru saja terlepas dari Felix. Dan sekarang? Kamu menjalin hubungan dengan Rio yang jelas-jelas adalah adik dari mantan suamimu? Ini gila!" gumam Alyn, berbicara pada dirinya sendiri seolah-olah bayangan di cermin akan memberikan jawaban yang ia cari.Pikirannya tak bisa berhenti memutar ulang kejadian-kejadian dalam hidupnya yang terasa begitu rumit akhir-akhir ini. Lepas dari Felix, ia pikir segalanya akan menjadi lebih sederhana dan tenang. Tapi, di sinilah dia sekarang, berada di tengah hubungan yang lebih rumit lagi, dengan adik mantan suaminya sendiri.Rio. Nama itu menggema di kepalanya. Adik dari Felix, pria yang selama ini memperlakukannya dengan penuh perhatian, bertolak belakang dengan sifat kakaknya yang dingin dan tak tersentuh.
Alyn mundur selangkah, tubuhnya terasa lemas, seolah semua energi diserap oleh rasa kaget dan ketakutan yang menderanya. Ini tidak masuk akal. Ibunya sudah meninggal bertahun-tahun lalu. Dia ingat dengan jelas pemakaman itu. Hujan yang deras, tanah basah, dan suara doa yang berulang-ulang di kepalanya. Ini tidak bisa nyata.“Tapi… bagaimana bisa…?” Alyn bergumam, matanya masih terpaku pada sosok wanita yang kini berdiri di depan pintu rumahnya.Ibunya tersenyum, senyum yang dulu selalu memberi rasa nyaman, tapi sekarang hanya menambah rasa takut. Ada yang salah dengan semuanya. Tidak ada penjelasan yang logis untuk ini.“Alyn, sayang,” suara ibunya terdengar lagi, lembut namun mendesak. “Ada banyak yang harus kamu tahu. Banyak yang tidak kamu mengerti.”Alyn bergetar. "Apa maksud Ibu?" tanyanya dengan suara parau.Ibunya tidak menjawab langsung, malah melangkah lebih dekat, hampir melintasi ambang pintu. Alyn refleks mundur lebih jauh ke dalam rumah, nalurinya me
"Makanan sudah siap," panggil seorang pelayan.Mereka bertiga berjalan menuju meja makan, suasana rumah terasa lebih hening dari biasanya, seakan ada yang disembunyikan di balik dinding megah itu. Bryan melangkah pelan, sesekali melirik ke arah Alyn, seolah berusaha memastikan keadaannya.Saat mereka tiba di ruang makan, para pelayan segera menyambut dengan ramah. Salah satu dari mereka menarikan kursi untuk Tuan Anggara terlebih dahulu, lalu disusul Alyn dan Bryan. Gerakan mereka begitu halus dan terlatih, namun tidak ada yang bisa mengusir rasa tegang yang menggantung di udara."Terima kasih," ucap Alyn sebelum pelayan kembali ke tempatnya.Alyn duduk dengan anggun, mencoba menikmati suasana, tapi tatapannya terus tertuju pada Ayahnya, yang duduk di ujung meja. Wajah pria tua itu tetap tak terbaca, dingin dan penuh wibawa seperti biasanya. Tapi kali ini, Alyn bisa merasakan ada sesuatu yang disembunyikannya. Suara dentingan piring dan peralatan makan dari para
Suasana di apartemen Felix dan Ericka malam itu dipenuhi ketegangan yang halus namun nyata. Apartemen mewah mereka, yang biasanya tenang dan tertata rapi, kini terasa seolah-olah penuh dengan beban yang tak terlihat. Lampu-lampu lembut yang biasanya memberikan kesan hangat kini tampak lebih dingin, mencerminkan suasana hati penghuninya.Mereka baru saja menikah beberapa minggu yang lalu, dan seharusnya ini menjadi masa yang penuh kebahagiaan. Namun, realitas tidak selalu berjalan sesuai harapan. Felix sibuk dengan pekerjaannya, tenggelam dalam tanggung jawabnya sebagai CEO, sementara Ericka, yang awalnya mencoba memahami, kini mulai merasa kesal dengan keadaan yang terjadi.Ericka berdiri di depan jendela besar yang menghadap kota, pemandangan malam yang biasanya memukau tak lagi menarik perhatiannya. Tangannya menggenggam secangkir teh yang sudah lama mendingin. Di belakangnya, Felix duduk di sofa, matanya terpaku pada layar laptop, jari-jarinya terus mengetik cepat. Seolah
"Aku... akan mengambil alih kembali Wijaya Group, yang seharusnya menjadi milikku."Rio menatap bayangannya di cermin, matanya penuh amarah yang tak lagi bisa ia pendam. Tangannya mencengkeram sisi meja kuat-kuat, seolah itu adalah satu-satunya hal yang bisa menahan luapan emosinya."Aku yang seharusnya berada di posisi itu," gumamnya, matanya tak lepas dari pantulan dirinya sendiri. "Aku yang lebih layak memimpin."Rio merasa sesak setiap kali mengingat betapa Felix selalu dipuja oleh ayah mereka, Pak Putra, meski sikapnya dingin dan kaku. Semua itu hanya karena Felix adalah putra sulung, sementara Rio, meskipun lebih cakap dan punya visi yang lebih segar untuk Wijaya Group, selalu dianggap sebagai yang kedua.Dia menghela napas panjang, tatapan penuh amarah dan tekad yang mengakar di hatinya. Namun, tiba-tiba bayangan dari masa lalu menyeruak ke dalam pikirannya, menariknya kembali ke kebenaran kelam yang selama ini ia simpan rapat-rapat.Dulu, saat usianya bar
Malam semakin larut, suasana di rumah keluarga Anggara mulai sepi. Cahaya lampu kristal di ruang tamu memantulkan bayangan lembut, sementara suara denting jam dinding terasa menggema di setiap sudut ruangan. Alyn melirik jam tangannya, sudah hampir tengah malam. Dia merasa lelah, bukan hanya secara fisik, tapi juga mental, terutama setelah semua pertanyaan tentang ibunya dan masa lalu yang terus berkecamuk di pikirannya.Alyn menarik napas panjang dan memutuskan sudah waktunya untuk pergi. Ia berdiri dari kursinya, menghampiri ayahnya yang masih duduk di meja kerja dengan wajah yang terlihat lelah namun tetap penuh wibawa. Seolah, hidupnya hanya dia abdikan untuk pekerjaannya."Ayah," panggil Alyn dengan nada lembut namun tegas.Tuan Anggara mengangkat kepalanya, menatap Alyn dengan tatapan yang sulit dibaca. "Ya, Alyn? Ada yang ingin kau bicarakan?" tanyanya, suaranya rendah dan tenang, seperti biasa.Alyn menggelengkan kepalanya perlahan, mencoba tersenyum tipis. "
Senja perlahan menyelimuti langit dengan semburat jingga keemasan, menciptakan suasana yang tenang dan hangat di tepi pantai. Angin sepoi-sepoi berhembus lembut, membelai rambut Alyn yang tergerai. Mereka berjalan berdampingan di sepanjang pasir putih yang halus, sementara ombak bergulung pelan di kejauhan, seolah menyanyikan lagu lembut yang hanya mereka berdua bisa dengar.Rio menghentikan langkahnya. Alyn yang menyadari bahwa Rio tak lagi berjalan di sampingnya berbalik.“Ada apa, Rio?” tanyanya, suaranya lembut namun penuh tanya.Rio menatap Alyn dalam-dalam, seolah ingin memastikan setiap detik yang mereka habiskan bersama di tempat itu akan abadi dalam ingatannya. Wajahnya tegang, namun di matanya ada kehangatan yang tak biasa.“Alyn,” katanya perlahan, suaranya terdengar lebih rendah dan dalam dari biasanya. “Ada sesuatu yang sudah lama ingin aku sampaikan.”Alyn merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Entah mengapa, tatapan Rio kali ini berbeda. Ada se
Suara gesekan pintu sel yang berat bergema di ruangan yang suram. Seorang penjaga melangkah maju, membuka pintu sel perlahan."Ericka Hartono, Anda dibebaskan," katanya dengan nada datar, seolah pembebasan ini hanyalah rutinitas lain baginya.Ericka, yang duduk termenung di sudut ruangan, mendongak dengan ekspresi terkejut. Matanya yang sebelumnya kosong kini menyala dengan campuran perasaan kebingungan, kelegaan, dan sedikit ketakutan. Setelah segala yang terjadi, dia tidak pernah membayangkan bahwa hari ini akan datang begitu cepat.Dia berdiri, merapikan pakaiannya yang kusut, lalu melangkah keluar dari sel dengan ragu-ragu. Udara dingin dari luar menyambutnya, membawa serta kenyataan baru yang sulit ia terima. Saat dia berjalan keluar dari penjara, pikirannya dipenuhi dengan banyak pertanyaan. Siapa yang membebaskannya?Di luar, sinar matahari menyilaukan matanya, kontras dengan gelapnya sel yang selama ini menjadi tempatnya. Ericka melangkah ke dunia luar dengan langkah berat, ti
Hakim menatap kedua terdakwa, Bu Ratna dan Bryan, dengan tatapan dingin. Setelah mendengar semua kesaksian dan bukti yang diajukan selama persidangan, suasana di ruang sidang terasa tegang, seolah menunggu vonis yang tak terelakkan. "Setelah mempertimbangkan semua fakta yang disampaikan di persidangan ini," kata hakim dengan suara tegas, "pengadilan memutuskan bahwa terdakwa, Ratna Anggara, terbukti bersalah atas tuduhan percobaan pembunuhan terhadap Ny. Anggara beberapa tahun yang lalu, serta upaya menghilangkan nyawa Alyn baru-baru ini." Suara berbisik terdengar dari para pengunjung sidang, tetapi hakim tidak terpengaruh dan melanjutkan, "Selain itu, terdakwa juga terbukti bersalah karena merencanakan serangkaian manipulasi dan tindakan kriminal lainnya untuk mempertahankan posisinya dan kekuasaan di Anggara Group." Hakim beralih pada Bryan yang kini tampak pucat. "Bryan Wijaya, Anda juga terbukti bersalah atas berbagai kejahatan, termasuk fitnah terhadap Rio Putra Wijaya, mela
Saat Jinu dipanggil ke depan sebagai saksi, suasana ruang sidang semakin tegang. Jinu, dengan sikap tenang namun tegas, berdiri di depan para hakim. Dia mengangkat sumpah dengan penuh kesadaran bahwa apa yang akan dia katakan akan menjadi kunci dalam kasus ini."Nama saya Jinu," ia memulai, "dan selama ini, saya adalah tangan kanan Bryan. Saya diutus untuk memata-matai keluarga Ericka, serta menjaga agar semuanya tetap berjalan sesuai rencana Bryan dan Bu Ratna."Desas-desus di antara hadirin mulai terdengar. Mata Felix tampak terbelalak, seakan tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Keluarga Wijaya saling bertukar pandang, menyadari bahwa mereka juga telah menjadi bagian dari permainan yang lebih besar.Pengacara yang mewakili Alyn berdiri dan mulai bertanya. "Bisa Anda jelaskan lebih lanjut, apa yang Anda maksud dengan memata-matai keluarga Ericka?"Jinu menghela napas sebelum melanjutkan. "Bryan dan Bu Ratna merencanakan segalanya. Mereka memanipulasi hubungan
Keesokan harinya, sidang dilanjutkan dengan suasana yang jauh lebih tegang. Ruang sidang dipenuhi oleh orang-orang yang telah mengikuti perkembangan kasus ini, termasuk anggota keluarga Wijaya yang hadir dengan wajah serius. Felix duduk di barisan depan bersama keluarganya, matanya tajam menatap ke depan, mencoba mencerna segala sesuatu yang terjadi. Hakim mengetukkan palunya dengan tegas, meminta ketenangan di ruang sidang yang mulai riuh setelah bukti baru disampaikan. “Pengacara, apakah Anda memiliki saksi yang bisa mendukung bukti yang baru saja diajukan?” tanyanya dengan nada serius. Pengacara Alyn berdiri dengan tenang. "Yang Mulia, kami memang memiliki saksi yang relevan untuk memperkuat tuduhan terhadap terdakwa. Kami ingin memanggil Dokter MJ ke hadapan persidangan." Ruang sidang hening sesaat ketika pintu terbuka dan Dokter MJ masuk. Dia berjalan menuju mimbar saksi, menundukkan kepala sebentar sebelum duduk di kursi yang disediakan. Semua mat
Ruangan sidang dipenuhi keheningan yang tegang. Para hadirin duduk di barisan bangku kayu, menahan napas menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Di depan, hakim duduk dengan sikap tenang, meski ketegangan terasa mengental di udara.Di sisi lain ruang, Alyn berdiri dengan tegas di meja penggugat, diapit oleh Rio dan Jinu. Di seberang, Bryan tampak duduk dengan wajah penuh ketegangan, ditemani oleh Bu Ratna yang berusaha menjaga wibawanya meski suasana terasa semakin tak terkendali.Sidang ini bukan sekadar pertempuran hukum biasa. Ini adalah puncak dari segala tipu daya, pengkhianatan, dan rahasia yang selama bertahun-tahun tersembunyi. Alyn tahu bahwa semua yang terjadi selama ini bermuara pada hari ini. Hari di mana kebenaran akan membebaskannya, atau menghancurkannya.Pengacara Alyn maju ke depan, membawa sebuah amplop putih yang disegel dengan rapi. "Yang Mulia," katanya dengan suara lantang. "Kami telah melakukan tes DNA dan hasilnya jelas. Bryan bukan anak kandu
Rio mengerutkan kening, mencoba memahami situasi yang semakin rumit. Alyn yang sejak tadi begitu bersemangat terdiam, dia mulai berpikir keras. Ada sesuatu yang mengganjal di benaknya. Lalu tiba-tiba, sebuah pemikiran muncul, membuatnya terhenyak."Jangan-jangan..." Alyn berhenti, menatap Rio dan Jinu dengan mata melebar. “Bryan bukan anak kandung Bu Ratna?”Suasana seketika hening. Rio menatap Alyn, terkejut dengan dugaan itu. “Maksudmu?”“Pikirkan, Rio. Jika Bryan memang anak kandung Bu Ratna dan Tuan Anggara, seharusnya dia tahu siapa aku dari awal. Tapi kalau dia bukan anak kandung, mungkin ada alasan lain kenapa dia begitu terobsesi padaku.” Alyn mulai berbicara cepat, seakan mencoba mengejar pemikirannya sendiri. Jinu menatap Alyn dengan serius, wajahnya menunjukkan pemahaman yang baru. “Itu masuk akal,” katanya akhirnya. "Mungkin saja sejak awal, Bryan memang hanya anak pura-pura dan tahu permainan Bu Ratna. Tapi... dia malah terjebak dalam perasaannya sendiri pada Alyn.”Rio
“Aku tahu ini tidak gratis, kan?” tanya Alyn, suaranya terdengar rendah namun tegas. Dia tahu bahwa Jinu bukan tipe orang yang melakukan sesuatu tanpa alasan.Jinu tersenyum tipis, seolah sudah menunggu pertanyaan itu. "Kau tahu betul, Alyn. Aku ingin Ericka dibebaskan sebagai imbalannya."Mendengar permintaan itu, Rio langsung tersentak. "Tidak! Dia sudah mencelakai Alyn dan ibunya. Ericka tidak pantas dibiarkan begitu saja!" Rio membentak, kemarahan dan kebencian terhadap Ericka terpancar dari matanya.Namun, Jinu tetap tenang, seakan dia sudah memperkirakan reaksi Rio. "Kau salah, Rio..." ucap Jinu pelan tapi pasti. "Itu bukan Ericka... tapi ibu Bryan."Kata-kata Jinu membuat udara di antara mereka terasa berat. Rio menatap Jinu dengan tatapan bingung, mencoba memahami apa yang baru saja didengarnya.“Apa maksudmu? Ibu Bryan?”Jinu menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Ibu Bryan adalah dalang dari semua ini. Dialah yang selama ini menarik tali di balik layar, termasuk menjeb
Alyn terdiam, mencoba mencerna situasi yang baru saja terjadi. Rasanya seperti semakin banyak rahasia yang terungkap, namun semuanya masih kabur dan tidak jelas. Ia tahu, ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi, sesuatu yang jauh di luar kendalinya."Rio, kita harus menemukan cara untuk menghentikan ini semua sebelum segalanya semakin hancur. Aku tidak bisa membiarkan semua orang yang aku cintai terjebak dalam permainan ini," ucap Alyn, nadanya dipenuhi kegelisahan.Rio menggenggam tangan Alyn erat, matanya bersinar penuh ketegasan. "Kita akan hadapi ini bersama. Aku tahu Bryan sedang merencanakan sesuatu, dan sepertinya ini lebih dari sekadar menghancurkan Felix. Dia ingin lebih dari itu."Alyn memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan dirinya. Bryan, yang dulunya sahabat setia keluarga, kini berubah menjadi musuh dalam selimut. Perasaannya bercampur antara ketakutan dan kekecewaan. Bagaimana bisa orang yang begitu dekat dengannya berubah menjadi ancaman terbesar dalam hidupny