"Alyn bilang mereka hanya rekan kerja," gumam Rio pelan pada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan hatinya. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."Rio menghela napas panjang, berusaha meredakan rasa tidak nyaman yang tiba-tiba menyelimuti hatinya. Alyn memang selalu mengatakan bahwa Bryan hanya rekan kerja, tetapi Rio tak bisa menepis perasaan bahwa mungkin ada lebih dari sekadar itu.Setiap kali nama Bryan muncul, ada semacam dorongan kuat dalam dirinya yang ingin tahu lebih banyak, ingin mengungkap sejauh mana hubungan mereka sebenarnya."Kenapa Bryan harus datang ke rumah Alyn?" pikir Rio, matanya menatap kosong ke depan. "Apakah mereka sedekat itu sampai Bryan merasa bisa datang kapan saja?"Ketika Rio akhirnya sampai di mobilnya, dia membuka pintu dan duduk di kursi pengemudi, tetapi tak langsung menyalakan mesin. Dia hanya duduk di sana sejenak, mengamati jalan yang basah karena gerimis yang baru saja reda. Suasana malam yang hening semakin mempertegas rasa resah yang mulai merayap
Alyn menatap bayangannya di cermin, matanya penuh dengan kebingungan dan kelelahan. Sinar matahari pagi yang masuk melalui jendela kamarnya tidak cukup untuk mengusir rasa kacau yang berputar-putar di dalam dirinya."Alyn, kamu baru saja terlepas dari Felix. Dan sekarang? Kamu menjalin hubungan dengan Rio yang jelas-jelas adalah adik dari mantan suamimu? Ini gila!" gumam Alyn, berbicara pada dirinya sendiri seolah-olah bayangan di cermin akan memberikan jawaban yang ia cari.Pikirannya tak bisa berhenti memutar ulang kejadian-kejadian dalam hidupnya yang terasa begitu rumit akhir-akhir ini. Lepas dari Felix, ia pikir segalanya akan menjadi lebih sederhana dan tenang. Tapi, di sinilah dia sekarang, berada di tengah hubungan yang lebih rumit lagi, dengan adik mantan suaminya sendiri.Rio. Nama itu menggema di kepalanya. Adik dari Felix, pria yang selama ini memperlakukannya dengan penuh perhatian, bertolak belakang dengan sifat kakaknya yang dingin dan tak tersentuh.
Alyn mundur selangkah, tubuhnya terasa lemas, seolah semua energi diserap oleh rasa kaget dan ketakutan yang menderanya. Ini tidak masuk akal. Ibunya sudah meninggal bertahun-tahun lalu. Dia ingat dengan jelas pemakaman itu. Hujan yang deras, tanah basah, dan suara doa yang berulang-ulang di kepalanya. Ini tidak bisa nyata.“Tapi… bagaimana bisa…?” Alyn bergumam, matanya masih terpaku pada sosok wanita yang kini berdiri di depan pintu rumahnya.Ibunya tersenyum, senyum yang dulu selalu memberi rasa nyaman, tapi sekarang hanya menambah rasa takut. Ada yang salah dengan semuanya. Tidak ada penjelasan yang logis untuk ini.“Alyn, sayang,” suara ibunya terdengar lagi, lembut namun mendesak. “Ada banyak yang harus kamu tahu. Banyak yang tidak kamu mengerti.”Alyn bergetar. "Apa maksud Ibu?" tanyanya dengan suara parau.Ibunya tidak menjawab langsung, malah melangkah lebih dekat, hampir melintasi ambang pintu. Alyn refleks mundur lebih jauh ke dalam rumah, nalurinya me
"Makanan sudah siap," panggil seorang pelayan.Mereka bertiga berjalan menuju meja makan, suasana rumah terasa lebih hening dari biasanya, seakan ada yang disembunyikan di balik dinding megah itu. Bryan melangkah pelan, sesekali melirik ke arah Alyn, seolah berusaha memastikan keadaannya.Saat mereka tiba di ruang makan, para pelayan segera menyambut dengan ramah. Salah satu dari mereka menarikan kursi untuk Tuan Anggara terlebih dahulu, lalu disusul Alyn dan Bryan. Gerakan mereka begitu halus dan terlatih, namun tidak ada yang bisa mengusir rasa tegang yang menggantung di udara."Terima kasih," ucap Alyn sebelum pelayan kembali ke tempatnya.Alyn duduk dengan anggun, mencoba menikmati suasana, tapi tatapannya terus tertuju pada Ayahnya, yang duduk di ujung meja. Wajah pria tua itu tetap tak terbaca, dingin dan penuh wibawa seperti biasanya. Tapi kali ini, Alyn bisa merasakan ada sesuatu yang disembunyikannya. Suara dentingan piring dan peralatan makan dari para
Suasana di apartemen Felix dan Ericka malam itu dipenuhi ketegangan yang halus namun nyata. Apartemen mewah mereka, yang biasanya tenang dan tertata rapi, kini terasa seolah-olah penuh dengan beban yang tak terlihat. Lampu-lampu lembut yang biasanya memberikan kesan hangat kini tampak lebih dingin, mencerminkan suasana hati penghuninya.Mereka baru saja menikah beberapa minggu yang lalu, dan seharusnya ini menjadi masa yang penuh kebahagiaan. Namun, realitas tidak selalu berjalan sesuai harapan. Felix sibuk dengan pekerjaannya, tenggelam dalam tanggung jawabnya sebagai CEO, sementara Ericka, yang awalnya mencoba memahami, kini mulai merasa kesal dengan keadaan yang terjadi.Ericka berdiri di depan jendela besar yang menghadap kota, pemandangan malam yang biasanya memukau tak lagi menarik perhatiannya. Tangannya menggenggam secangkir teh yang sudah lama mendingin. Di belakangnya, Felix duduk di sofa, matanya terpaku pada layar laptop, jari-jarinya terus mengetik cepat. Seolah
"Aku... akan mengambil alih kembali Wijaya Group, yang seharusnya menjadi milikku."Rio menatap bayangannya di cermin, matanya penuh amarah yang tak lagi bisa ia pendam. Tangannya mencengkeram sisi meja kuat-kuat, seolah itu adalah satu-satunya hal yang bisa menahan luapan emosinya."Aku yang seharusnya berada di posisi itu," gumamnya, matanya tak lepas dari pantulan dirinya sendiri. "Aku yang lebih layak memimpin."Rio merasa sesak setiap kali mengingat betapa Felix selalu dipuja oleh ayah mereka, Pak Putra, meski sikapnya dingin dan kaku. Semua itu hanya karena Felix adalah putra sulung, sementara Rio, meskipun lebih cakap dan punya visi yang lebih segar untuk Wijaya Group, selalu dianggap sebagai yang kedua.Dia menghela napas panjang, tatapan penuh amarah dan tekad yang mengakar di hatinya. Namun, tiba-tiba bayangan dari masa lalu menyeruak ke dalam pikirannya, menariknya kembali ke kebenaran kelam yang selama ini ia simpan rapat-rapat.Dulu, saat usianya bar
Malam semakin larut, suasana di rumah keluarga Anggara mulai sepi. Cahaya lampu kristal di ruang tamu memantulkan bayangan lembut, sementara suara denting jam dinding terasa menggema di setiap sudut ruangan. Alyn melirik jam tangannya, sudah hampir tengah malam. Dia merasa lelah, bukan hanya secara fisik, tapi juga mental, terutama setelah semua pertanyaan tentang ibunya dan masa lalu yang terus berkecamuk di pikirannya.Alyn menarik napas panjang dan memutuskan sudah waktunya untuk pergi. Ia berdiri dari kursinya, menghampiri ayahnya yang masih duduk di meja kerja dengan wajah yang terlihat lelah namun tetap penuh wibawa. Seolah, hidupnya hanya dia abdikan untuk pekerjaannya."Ayah," panggil Alyn dengan nada lembut namun tegas.Tuan Anggara mengangkat kepalanya, menatap Alyn dengan tatapan yang sulit dibaca. "Ya, Alyn? Ada yang ingin kau bicarakan?" tanyanya, suaranya rendah dan tenang, seperti biasa.Alyn menggelengkan kepalanya perlahan, mencoba tersenyum tipis. "
Alyn membaca pesan dari Rio berulang kali, hatinya berdebar tak menentu. Ada sesuatu yang terasa mendesak dalam pesannya, sesuatu yang membuat Alyn merasa ini bukan hanya pertemuan biasa. Dengan tangan yang sedikit gemetar, dia mengetik balasan singkat."Di mana kita bisa bertemu?"Tak butuh waktu lama sebelum Rio membalas."Akan aku kirim lokasinya."Alyn menarik napas panjang, perasaannya campur aduk tentang apa yang akan ia dengar. Tapi, ia tahu ia tak bisa terus menunggu dalam ketidakpastian.Alyn berdiri, mengenakan jaket dan mengambil tasnya. Tak lama kemudian, dia melangkah keluar dari kontrakan, menuju pertemuan yang mungkin akan mengubah segalanya.Setibanya di kafe, Alyn melihat Rio duduk di sudut yang agak tersembunyi. Wajahnya tampak serius, jauh dari senyuman hangat yang biasa ia tunjukkan. "Alyn," Rio berdiri saat melihatnya mendekat, "Terima kasih sudah datang."Alyn duduk di hadapannya, mencoba menenangkan dirinya. "Apa yang ingin kamu bicarakan, Rio?"Rio menatap Aly