Alyn, yang merasa semakin tidak nyaman, tersenyum tipis ke arah Rio. “Aku akan ke toilet sebentar,” katanya, berusaha untuk tetap tenang.Rio mengangguk, meski jelas tampak khawatir. "Baiklah, aku tunggu di sini. Kalau kamu butuh sesuatu, beritahu aku."Alyn berdiri dan berjalan menuju toilet, merasa ada beban di dadanya yang semakin berat. Begitu sampai di dalam toilet, ia segera mengunci pintu dan berdiri di depan cermin. Tatapannya kosong, pikirannya melayang-layang, kembali pada kejadian di meja makan tadi."Apa sebenarnya yang sedang terjadi?" bisiknya kepada diri sendiri, suara di kepalanya penuh dengan pertanyaan.Kenapa pertemuannya dengan Rio terasa begitu canggung? Dan kenapa ia merasa seperti diawasi sejak pelayan itu menumpahkan minuman?Alyn menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Dia tahu harus berhati-hati sekarang, terutama karena rahasia yang ia simpan tentang keluarganya semakin berat. Tapi di sisi lain, Rio juga baru saja mengungka
"Dia cuma nambah beban keluarga aja!" tukas Bu Cintya dengan nada tinggi pada Felix, anak sulungnya.Mereka duduk di meja makan yang biasanya penuh kehangatan, kini berubah menjadi medan perdebatan.Di kamar sebelah, Alyn sedang melipat baju dengan teliti. Suara obrolan mertua dan suaminya itu samar-samar masuk ke telinganya, setiap kata terasa seperti duri yang menusuk.Felix menghela napas berat. Ini bukan kali pertama ibunya mengeluhkan Alyn. "Masa ibu suruh ke warung sayur beli beberapa bumbu dan sayuran aja gak bisa! Beres-beres rumah aja gak becus! Apa gunanya jadi wanita?" Suara Bu Cintya makin meninggi, seolah ingin seluruh rumah mendengarnya.Felix berusaha meredakan situasi. "Udahlah Bu, sabar aja. Dia kan lagi hamil. Suruh yang ringan-ringan aja, lumayan daripada sewa pembantu," ujarnya lembut, berharap bisa menenangkan ibunya.Dari kamar, Alyn mendengar semuanya. Kata-kata itu menembus jantungnya, mengoyak harga dirinya. Dalam diam, ia menahan amarah yang membara. Air mata
Dengan langkah cepat, Alyn masuk ke kamarnya. Mengemas sedikit baju-bajunya yang sudah lusuh dan usang, harta yang ia miliki sangat sedikit. Felix sangat perhitungan, ia hanya memberi uang bulanan pada ibunya, jadi Alyn tak pernah menerima uang untuk belanja dengan layak.Dia bilang memalukan? Tapi dia sendiri tak memberinya nafkah dengan benar. Dengan dendam yang membara di hati, Alyn melangkah keluar dari rumah itu, meninggalkan Felix dan Bu Cintya yang masih mengomel karena darah yang menggenang di lantai rumah lebih mereka perhatikan daripada kondisi Alyn.Alyn berjalan tertatih, darah mengalir di kakinya. Setiap langkah terasa berat, tetapi tekadnya lebih kuat dari rasa sakit yang ia rasakan. Alyn menghentikan sepeda motor yang lewat dihapannya."Tolong, saya ... Saya takut terjadi apa-apa dengan anak saya," sahut Alyn sambil menitikkan air mata. Suaranya bergetar, penuh rasa takut dan putus asa."Ayo, saya antar ke rumah sakit!" jawab pria itu cepat, penuh empati.Alyn pun dibon
Alyn menggenggam ponselnya dengan tangan yang bergetar. Suara di ujung telepon terasa seperti suara dari masa lalu yang tak pernah diharapkannya. "Apa benar ini ayah?" tanyanya dengan nada tak percaya.“Alyn? Kamu di rumah sakit?” Suara ayahnya terdengar tegas namun penuh kekhawatiran. Suara yang sangat familiar, namun sudah lama tidak ia dengar."Ya, Ayah. Aku di rumah sakit," jawab Alyn dengan suara yang hampir tak terdengar. Air mata membasahi pipinya, campuran antara kelegaan dan kesedihan. “Apa yang terjadi? Kenapa kamu tidak memberitahu Ayah sebelumnya?” tanya ayahnya, nada suaranya semakin penuh perhatian.Alyn menelan ludah, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. “Aku ... aku mengalami keguguran, Ayah. Felix dan keluarganya... mereka...” Suaranya pecah oleh isakan yang tak tertahan.“Alyn, tenanglah. Ayah akan segera ke sana. Kamu tidak perlu khawatir tentang apapun,” ujar ayahnya dengan nada lembut.“Ayah... kenapa Ayah menelepon? Setelah sekian lama...” Alyn tidak
Setelah kondisinya membaik, Alyn dibawa kembali ke rumah Anggara untuk beristirahat. Rumah yang sudah lama tidak ia kunjungi itu menyambutnya dengan kehangatan yang kontras dengan dinginnya kenangan bersama Felix. Rumah Anggara adalah lambang kemewahan dan keanggunan seorang pengusaha besar. Bangunan megah dengan arsitektur klasik modern dikelilingi oleh taman yang luas, dipenuhi bunga-bunga yang selalu mekar. Banyak pelayan sigap melayani setiap kebutuhan Alyn, memastikan ia merasa nyaman dan diperhatikan. Saat Alyn memasuki kamar yang sudah lama tidak ia tempati, ia merasakan kehangatan dan nostalgia masa kecilnya. Ibunya telah meninggal lama, sehingga ia dibesarkan sendirian oleh ayahnya. Meskipun Anggara keras dan tegas, perhatian dan kasih sayangnya tidak pernah hilang. Alyn berbaring di ranjang, menatap langit-langit kamar yang dikenalnya. Dengan hati yang penuh emosi, ia memikirkan masa lalu. “Ini semua terasa begitu jauh,” gumamnya pelan, tangannya memeluk bantal dengan era
Bryan adalah asisten kepercayaan Tuan Anggara, ayah Alyn. Sebagai asisten yang setia, Bryan selalu ada di sisi Tuan Anggara, membantu mengurus berbagai urusan bisnis dan pribadi. Dalam perjalanannya, ia sering bertemu dengan Alyn, anak tunggal majikannya. Mereka sering berbincang ringan, dan dari pertemuan-pertemuan itu, Bryan mulai menaruh hati pada Alyn. Ia terpesona oleh kelembutan dan keanggunan Alyn, tetapi ia sadar bahwa dirinya hanyalah seorang asisten. Tak mungkin ia menyukai anak majikannya. Namun, seiring berjalannya waktu, perasaan Bryan semakin dalam. Suatu hari, dia merasa sudah tidak bisa lagi menahan perasaannya. Bryan berniat untuk menyatakan cintanya kepada Alyn, berharap ia bisa memahami dan merasakan hal yang sama. Sore itu, Bryan melihat Alyn duduk di taman belakang, menangis terisak-isak. Ia merasa hatinya hancur melihat wanita yang dicintainya begitu terluka. Dengan langkah hati-hati, Bryan mendekati Alyn. "Alyn, ada apa? Kenapa kamu menangis?" tanyanya lembut
Satu sore yang tenang, saat Alyn baru saja selesai mengerjakan pekerjaan rumahnya, terdengar ketukan lembut di pintu kontrakannya. Alyn membuka pintu dan mendapati Bryan berdiri di sana, membawa beberapa kantong belanjaan.“Bryan?” Alyn terlihat terkejut. “Apa yang membawamu ke sini?”Bryan memberikan senyuman lembut dan melangkah masuk dengan izin. “Aku hanya ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja,” katanya sambil meletakkan kantong-kantong belanjaan di meja kecil di ruang tamu. “Aku membawa beberapa persediaan makanan dan barang-barang yang mungkin kau butuhkan.”Alyn merasa tersentuh oleh perhatian Bryan. “Terima kasih banyak, Bryan. Kau tidak perlu repot-repot begini.”Bryan mengangguk dan mulai mengeluarkan barang-barang dari kantong. “Aku tahu ini tidak banyak, tapi aku berharap ini bisa membantu. Ada beberapa bahan makanan segar dan beberapa makanan siap saji.”Alyn memperhatikan dengan rasa syukur saat Bryan menata barang-barang di meja. “Aku benar-benar menghargai ini. Sel
Dengan sorot matanya yang tajam, Felix Putra Wijaya duduk di kursi presiden di ruang rapat Wijaya Group. Layar komputer di depannya memantulkan cahaya biru yang tenang, kontras dengan kegelapan di luar jendela kaca besar yang menghadap ke kota metropolitan yang sibuk.Felix memeriksa laporan keuangan terbaru, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja kayu dengan irama yang hampir tidak terdengar di antara bisikan AC yang berdentum.Suasana tegang terasa di ruangan itu, bukan hanya karena kompetisi yang semakin ketat di industri, tetapi juga karena kehadiran yang tak terlihat tetapi sangat kuat: Pak Putra, sang ayah yang merupakan pendiri perusahaan ini."Bagaimana perkembangan proyek ekspansi kita, Pak?" tanya Felix, matanya tetap terpaku pada layar, mencoba mempertahankan sikapnya yang tegas sebagai pemimpin perusahaan.Pak Putra, seorang pria tua dengan rambut yang mulai memutih namun energinya masih membara, mengangguk pelan sambil memeriksa catatan yang dia bawa."Ka