Alyn mundur selangkah, tubuhnya terasa lemas, seolah semua energi diserap oleh rasa kaget dan ketakutan yang menderanya. Ini tidak masuk akal. Ibunya sudah meninggal bertahun-tahun lalu. Dia ingat dengan jelas pemakaman itu. Hujan yang deras, tanah basah, dan suara doa yang berulang-ulang di kepalanya. Ini tidak bisa nyata.
“Tapi… bagaimana bisa…?” Alyn bergumam, matanya masih terpaku pada sosok wanita yang kini berdiri di depan pintu rumahnya.Ibunya tersenyum, senyum yang dulu selalu memberi rasa nyaman, tapi sekarang hanya menambah rasa takut. Ada yang salah dengan semuanya. Tidak ada penjelasan yang logis untuk ini.“Alyn, sayang,” suara ibunya terdengar lagi, lembut namun mendesak. “Ada banyak yang harus kamu tahu. Banyak yang tidak kamu mengerti.”Alyn bergetar. "Apa maksud Ibu?" tanyanya dengan suara parau.Ibunya tidak menjawab langsung, malah melangkah lebih dekat, hampir melintasi ambang pintu. Alyn refleks mundur lebih jauh ke dalam rumah, nalurinya me"Makanan sudah siap," panggil seorang pelayan.Mereka bertiga berjalan menuju meja makan, suasana rumah terasa lebih hening dari biasanya, seakan ada yang disembunyikan di balik dinding megah itu. Bryan melangkah pelan, sesekali melirik ke arah Alyn, seolah berusaha memastikan keadaannya.Saat mereka tiba di ruang makan, para pelayan segera menyambut dengan ramah. Salah satu dari mereka menarikan kursi untuk Tuan Anggara terlebih dahulu, lalu disusul Alyn dan Bryan. Gerakan mereka begitu halus dan terlatih, namun tidak ada yang bisa mengusir rasa tegang yang menggantung di udara."Terima kasih," ucap Alyn sebelum pelayan kembali ke tempatnya.Alyn duduk dengan anggun, mencoba menikmati suasana, tapi tatapannya terus tertuju pada Ayahnya, yang duduk di ujung meja. Wajah pria tua itu tetap tak terbaca, dingin dan penuh wibawa seperti biasanya. Tapi kali ini, Alyn bisa merasakan ada sesuatu yang disembunyikannya. Suara dentingan piring dan peralatan makan dari para
Suasana di apartemen Felix dan Ericka malam itu dipenuhi ketegangan yang halus namun nyata. Apartemen mewah mereka, yang biasanya tenang dan tertata rapi, kini terasa seolah-olah penuh dengan beban yang tak terlihat. Lampu-lampu lembut yang biasanya memberikan kesan hangat kini tampak lebih dingin, mencerminkan suasana hati penghuninya.Mereka baru saja menikah beberapa minggu yang lalu, dan seharusnya ini menjadi masa yang penuh kebahagiaan. Namun, realitas tidak selalu berjalan sesuai harapan. Felix sibuk dengan pekerjaannya, tenggelam dalam tanggung jawabnya sebagai CEO, sementara Ericka, yang awalnya mencoba memahami, kini mulai merasa kesal dengan keadaan yang terjadi.Ericka berdiri di depan jendela besar yang menghadap kota, pemandangan malam yang biasanya memukau tak lagi menarik perhatiannya. Tangannya menggenggam secangkir teh yang sudah lama mendingin. Di belakangnya, Felix duduk di sofa, matanya terpaku pada layar laptop, jari-jarinya terus mengetik cepat. Seolah
"Aku... akan mengambil alih kembali Wijaya Group, yang seharusnya menjadi milikku."Rio menatap bayangannya di cermin, matanya penuh amarah yang tak lagi bisa ia pendam. Tangannya mencengkeram sisi meja kuat-kuat, seolah itu adalah satu-satunya hal yang bisa menahan luapan emosinya."Aku yang seharusnya berada di posisi itu," gumamnya, matanya tak lepas dari pantulan dirinya sendiri. "Aku yang lebih layak memimpin."Rio merasa sesak setiap kali mengingat betapa Felix selalu dipuja oleh ayah mereka, Pak Putra, meski sikapnya dingin dan kaku. Semua itu hanya karena Felix adalah putra sulung, sementara Rio, meskipun lebih cakap dan punya visi yang lebih segar untuk Wijaya Group, selalu dianggap sebagai yang kedua.Dia menghela napas panjang, tatapan penuh amarah dan tekad yang mengakar di hatinya. Namun, tiba-tiba bayangan dari masa lalu menyeruak ke dalam pikirannya, menariknya kembali ke kebenaran kelam yang selama ini ia simpan rapat-rapat.Dulu, saat usianya bar
Malam semakin larut, suasana di rumah keluarga Anggara mulai sepi. Cahaya lampu kristal di ruang tamu memantulkan bayangan lembut, sementara suara denting jam dinding terasa menggema di setiap sudut ruangan. Alyn melirik jam tangannya, sudah hampir tengah malam. Dia merasa lelah, bukan hanya secara fisik, tapi juga mental, terutama setelah semua pertanyaan tentang ibunya dan masa lalu yang terus berkecamuk di pikirannya.Alyn menarik napas panjang dan memutuskan sudah waktunya untuk pergi. Ia berdiri dari kursinya, menghampiri ayahnya yang masih duduk di meja kerja dengan wajah yang terlihat lelah namun tetap penuh wibawa. Seolah, hidupnya hanya dia abdikan untuk pekerjaannya."Ayah," panggil Alyn dengan nada lembut namun tegas.Tuan Anggara mengangkat kepalanya, menatap Alyn dengan tatapan yang sulit dibaca. "Ya, Alyn? Ada yang ingin kau bicarakan?" tanyanya, suaranya rendah dan tenang, seperti biasa.Alyn menggelengkan kepalanya perlahan, mencoba tersenyum tipis. "
Alyn membaca pesan dari Rio berulang kali, hatinya berdebar tak menentu. Ada sesuatu yang terasa mendesak dalam pesannya, sesuatu yang membuat Alyn merasa ini bukan hanya pertemuan biasa. Dengan tangan yang sedikit gemetar, dia mengetik balasan singkat."Di mana kita bisa bertemu?"Tak butuh waktu lama sebelum Rio membalas."Akan aku kirim lokasinya."Alyn menarik napas panjang, perasaannya campur aduk tentang apa yang akan ia dengar. Tapi, ia tahu ia tak bisa terus menunggu dalam ketidakpastian.Alyn berdiri, mengenakan jaket dan mengambil tasnya. Tak lama kemudian, dia melangkah keluar dari kontrakan, menuju pertemuan yang mungkin akan mengubah segalanya.Setibanya di kafe, Alyn melihat Rio duduk di sudut yang agak tersembunyi. Wajahnya tampak serius, jauh dari senyuman hangat yang biasa ia tunjukkan. "Alyn," Rio berdiri saat melihatnya mendekat, "Terima kasih sudah datang."Alyn duduk di hadapannya, mencoba menenangkan dirinya. "Apa yang ingin kamu bicarakan, Rio?"Rio menatap Aly
"Dia cuma nambah beban keluarga aja!" tukas Bu Cintya dengan nada tinggi pada Felix, anak sulungnya.Mereka duduk di meja makan yang biasanya penuh kehangatan, kini berubah menjadi medan perdebatan.Di kamar sebelah, Alyn sedang melipat baju dengan teliti. Suara obrolan mertua dan suaminya itu samar-samar masuk ke telinganya, setiap kata terasa seperti duri yang menusuk.Felix menghela napas berat. Ini bukan kali pertama ibunya mengeluhkan Alyn. "Masa ibu suruh ke warung sayur beli beberapa bumbu dan sayuran aja gak bisa! Beres-beres rumah aja gak becus! Apa gunanya jadi wanita?" Suara Bu Cintya makin meninggi, seolah ingin seluruh rumah mendengarnya.Felix berusaha meredakan situasi. "Udahlah Bu, sabar aja. Dia kan lagi hamil. Suruh yang ringan-ringan aja, lumayan daripada sewa pembantu," ujarnya lembut, berharap bisa menenangkan ibunya.Dari kamar, Alyn mendengar semuanya. Kata-kata itu menembus jantungnya, mengoyak harga dirinya. Dalam diam, ia menahan amarah yang membara. Air mata
Dengan langkah cepat, Alyn masuk ke kamarnya. Mengemas sedikit baju-bajunya yang sudah lusuh dan usang, harta yang ia miliki sangat sedikit. Felix sangat perhitungan, ia hanya memberi uang bulanan pada ibunya, jadi Alyn tak pernah menerima uang untuk belanja dengan layak.Dia bilang memalukan? Tapi dia sendiri tak memberinya nafkah dengan benar. Dengan dendam yang membara di hati, Alyn melangkah keluar dari rumah itu, meninggalkan Felix dan Bu Cintya yang masih mengomel karena darah yang menggenang di lantai rumah lebih mereka perhatikan daripada kondisi Alyn.Alyn berjalan tertatih, darah mengalir di kakinya. Setiap langkah terasa berat, tetapi tekadnya lebih kuat dari rasa sakit yang ia rasakan. Alyn menghentikan sepeda motor yang lewat dihapannya."Tolong, saya ... Saya takut terjadi apa-apa dengan anak saya," sahut Alyn sambil menitikkan air mata. Suaranya bergetar, penuh rasa takut dan putus asa."Ayo, saya antar ke rumah sakit!" jawab pria itu cepat, penuh empati.Alyn pun dibon
Alyn menggenggam ponselnya dengan tangan yang bergetar. Suara di ujung telepon terasa seperti suara dari masa lalu yang tak pernah diharapkannya. "Apa benar ini ayah?" tanyanya dengan nada tak percaya.“Alyn? Kamu di rumah sakit?” Suara ayahnya terdengar tegas namun penuh kekhawatiran. Suara yang sangat familiar, namun sudah lama tidak ia dengar."Ya, Ayah. Aku di rumah sakit," jawab Alyn dengan suara yang hampir tak terdengar. Air mata membasahi pipinya, campuran antara kelegaan dan kesedihan. “Apa yang terjadi? Kenapa kamu tidak memberitahu Ayah sebelumnya?” tanya ayahnya, nada suaranya semakin penuh perhatian.Alyn menelan ludah, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. “Aku ... aku mengalami keguguran, Ayah. Felix dan keluarganya... mereka...” Suaranya pecah oleh isakan yang tak tertahan.“Alyn, tenanglah. Ayah akan segera ke sana. Kamu tidak perlu khawatir tentang apapun,” ujar ayahnya dengan nada lembut.“Ayah... kenapa Ayah menelepon? Setelah sekian lama...” Alyn tidak