Tuan Anggara, sosok yang disegani, berdiri di ambang pintu. Dengan setelan jas hitam yang rapi dan aura otoritas yang tak terbantahkan, kehadirannya langsung menguasai ruangan.Keluarga Ericka memang telah mengundang Tuan Anggara, namun mereka tidak pernah menyangka bahwa pria berpengaruh ini akan turun tangan sendiri untuk menghadiri acara tersebut. Biasanya, undangan seperti ini hanya diwakili oleh salah satu staf atau perwakilannya, bukan oleh Tuan Anggara sendiri.Tatapan Tuan Anggara menyapu ruangan, seolah menilai setiap orang yang ada di dalamnya, sebelum akhirnya terhenti pada Alyn. Namun, tanpa menunjukkan hubungan pribadi mereka, ia melangkah lebih dekat ke tengah ruangan, menyapa tuan rumah dengan anggukan singkat.“Terima kasih atas undangannya,” ujar Tuan Anggara dengan nada yang dalam dan berwibawa. “Saya kebetulan sedang di kota, jadi saya memutuskan untuk hadir.”Keluarga Ericka, terutama Pak Hartono, terlihat kaget namun berusaha menyembunyikan kegugupannya. “Merupaka
Saat Rio bersiap untuk menghadiri resepsi pernikahan kakaknya, Felix, pikirannya dipenuhi rasa penasaran yang tak bisa ia abaikan. Meskipun mereka adalah saudara, hubungan Rio dengan Felix selalu terasa dingin dan jauh. Sampai-sampai, keluarganya sendiri pun merahasiakan soal pernikahan Felix sebelumnya.Apa terjadi sesuatu? Siapa sebenarnya perempuan itu dan kenapa Felix ingin menceraikannya? —pikir Rio.Rio membuka lemari pakaiannya, mendapati kemeja yang seharusnya ia kenakan belum rapi. "Aduh, bisa terlambat nih," gumamnya sambil bergegas ke kamar Felix. Pikirannya sederhana, hanya ingin meminjam kemeja."Felix pasti punya cadangan," pikir Rio sambil mendorong pintu kamar Felix yang sedikit terbuka.Kamar itu, seperti yang ia duga, rapi, teratur, dan... dingin. Sama seperti pemiliknya. Namun, di meja kerja yang biasanya tertata sempurna, Rio melihat sesuatu yang tak biasa, ada tumpukan berkas yang tampak tergesa-gesa diletakkan di sana. Biasanya, Felix adalah orang yang sangat ra
Suasana di lorong itu tiba-tiba terasa tegang ketika Tuan Anggara muncul, tepat saat Pak Putra berdiri di dekat Alyn dan Rio. Seolah nasib sengaja mempertemukan mereka berempat di tempat itu.Pak Putra, yang awalnya bersiap untuk meluapkan amarahnya saat melihat Rio dan Alyn bersama, langsung mengendalikan diri saat menyadari keberadaan Tuan Anggara. Wajahnya yang biasanya dingin kini menampilkan ekspresi tenang, meskipun ada ketegangan yang terlihat jelas di matanya.Dia tidak bisa menunjukkan emosi apa pun di depan Tuan Anggara, orang yang memiliki kekuasaan besar dalam dunia bisnis, dan tentu saja, seseorang yang harus dia jaga hubungan baiknya.Di sisi lain, Tuan Anggara juga berada dalam dilema. Melihat Alyn di sana bersama Rio dan Pak Putra membuatnya emosi, namun dia tahu bahwa mengungkap amarahnya hanya akan menimbulkan pertanyaan yang tidak diinginkannya. Identitas Alyn sebagai putrinya harus tetap tersembunyi.“Apa yang terjadi di sini?” suara Pak Putra terdengar tenang namu
“Jaga bicaramu!” seru Vya dengan tajam, tatapannya menusuk ke arah tamu tersebut. “Kau tampak lebih murahan dari yang terlihat! Bagaimana kau bisa bicara begitu keji tentang seseorang yang bahkan tidak kau kenal?”Di tengah aula, Vya berdiri dengan wajah merah karena marah, tangannya masih terangkat, sementara tamu yang tadi mengucapkan hinaan keji tentang Alyn memegang pipinya yang memerah akibat tamparan keras. Seluruh ruangan terdiam, terkejut oleh kejadian yang tak terduga itu.Ericka, yang berada tidak jauh dari sana, menahan senyumnya yang tadi penuh kemenangan. Kini, dia tampak tidak nyaman, dan bibirnya perlahan mengatup rapat. Tamparan dari Vya itu seolah tidak hanya mengenai si tamu, tapi juga menampar kesombongan Ericka yang sempat merasa puas saat Alyn dihina di depan semua orang.Alyn terdiam, memandangi Vya yang berdiri dengan penuh keberanian di tengah ruangan. Dia tidak pernah menyangka bahwa Vya, yang dikenal anggun dan penuh pengendalian diri, akan mela
Setelah tiba di depan kontrakan Alyn, Rio memarkir mobil dan keluar untuk membukakan pintu. Langit malam yang sebelumnya cerah tiba-tiba berubah kelam, dan sebelum mereka sempat mengucapkan selamat tinggal, hujan deras turun tanpa peringatan.Alyn menatap langit, lalu ke arah Rio yang berdiri di sampingnya, menggigil sedikit karena butiran hujan yang mulai membasahi pakaian mereka.“Sepertinya kamu tidak akan bisa pulang secepat itu,” ujarnya dengan nada canggung.Rio tersenyum samar, menggeleng pelan. “Sepertinya tidak. Hujan ini terlalu deras.”Alyn membuka pintu kontrakannya dan menoleh ke Rio. “Masuk saja dulu. Kamu bisa menunggu sampai hujan reda.”Rio ragu sejenak, namun akhirnya menerima tawaran Alyn. “Terima kasih,” katanya, berjalan masuk sambil mengibaskan beberapa tetes air dari rambutnya.Begitu mereka berada di dalam, suara hujan terdengar semakin deras, gemuruhnya memenuhi ruangan kecil itu. Alyn meletakkan tasnya di meja dan berjalan ke dapur.
Malam pertama Felix dan Ericka dimulai dengan penuh gairah dan kemewahan. Kamar tidur mereka telah dipersiapkan dengan sempurna untuk menciptakan suasana yang intim. Seprai sutra berwarna krem, lampu redup yang lembut, dan aroma harum dari lilin aromaterapi yang menyebar di seluruh ruangan. Musik lembut mengalun di latar belakang, menambah suasana romantis.Setelah makan malam yang mewah, Felix dan Ericka saling bertukar pandang dengan penuh gairah. Dengan senyum menggoda, mereka saling mendekat dan berbagi ciuman lembut yang perlahan-lahan berkembang menjadi penuh hasrat.Ketika tiba dikamarnya, Felix menarik Ericka mendekat dan berbisik di telinganya. "Kau tidak bisa membayangkan betapa lama aku menunggu malam ini."Ericka tersenyum menggoda, tangannya menjelajahi dada Felix dengan lembut. "Aku rasa, kau juga tahu betapa menawannya kau di mataku. Sekarang, tunjukkan padaku apa yang bisa kau lakukan," ujar Ericka sambil melepaskan satu persatu kancing kemeja yang diguna
Di kontrakan Alyn yang kecil dan sederhana, suasana pagi yang tenang tiba-tiba pecah oleh suara ketukan pintu yang keras. Alyn terbangun, jantungnya berdebar kencang, dan Rio yang tertidur di sampingnya di sofa langsung tersentak. Keduanya terkejut saat menyadari bahwa Rio masih berada di sampingnya, dengan kemeja yang terbuka, sementara mereka telah tertidur begitu saja setelah berbincang hingga larut malam.“Kita… tertidur?” bisik Alyn panik, suaranya gemetar.Rio hanya menatapnya dengan mata terbelalak, masih bingung dengan situasi yang sedang terjadi. Sebelum mereka bisa beranjak atau merapikan diri, suara ketukan itu semakin keras, disertai teriakan dari luar.“Alyn! Buka pintunya!” suara orang-orang dari luar terdengar marah.Pintu tiba-tiba terbuka dengan keras, tanpa memberi mereka waktu untuk bangkit. Sekelompok warga berdiri di sana, memandang mereka dengan tatapan penuh kecurigaan dan kemarahan. Beberapa dari mereka langsung masuk ke dalam kontrakan, mengamati situasi.“Kal
Sebelum warga merespons, Alyn melangkah maju dengan penuh percaya diri dan menunjuk ke arah CCTV yang terpasang di sudut ruangan."Kalian bisa cek CCTV di sana," lanjutnya dengan nada tegas. "Tidak ada yang terjadi di sini seperti yang kalian tuduhkan. Jika kalian masih bersikeras ingin memfitnah kami, biar saya ingatkan, kalian bisa dikenakan hukuman."Warga yang semula ribut mulai terlihat gugup, beberapa dari mereka saling melirik, bisik-bisik cemas. Namun Alyn tidak berhenti."Menurut Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pencemaran nama baik itu ada konsekuensinya. Dan jangan lupa, kalian masuk tanpa izin ke dalam rumah saya. Itu pelanggaran privasi. Pasal 167 KUHP menyatakan, masuk atau tetap berada di pekarangan atau rumah orang lain tanpa izin pemiliknya adalah perbuatan melawan hukum."Rio yang berdiri di sampingnya menatap dengan kagum, dia tidak menyangka Alyn akan berbuat seperti itu."Jika memang kalian khawatir dengan sesuatu, ada jalur
Senja perlahan menyelimuti langit dengan semburat jingga keemasan, menciptakan suasana yang tenang dan hangat di tepi pantai. Angin sepoi-sepoi berhembus lembut, membelai rambut Alyn yang tergerai. Mereka berjalan berdampingan di sepanjang pasir putih yang halus, sementara ombak bergulung pelan di kejauhan, seolah menyanyikan lagu lembut yang hanya mereka berdua bisa dengar.Rio menghentikan langkahnya. Alyn yang menyadari bahwa Rio tak lagi berjalan di sampingnya berbalik.“Ada apa, Rio?” tanyanya, suaranya lembut namun penuh tanya.Rio menatap Alyn dalam-dalam, seolah ingin memastikan setiap detik yang mereka habiskan bersama di tempat itu akan abadi dalam ingatannya. Wajahnya tegang, namun di matanya ada kehangatan yang tak biasa.“Alyn,” katanya perlahan, suaranya terdengar lebih rendah dan dalam dari biasanya. “Ada sesuatu yang sudah lama ingin aku sampaikan.”Alyn merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Entah mengapa, tatapan Rio kali ini berbeda. Ada se
Suara gesekan pintu sel yang berat bergema di ruangan yang suram. Seorang penjaga melangkah maju, membuka pintu sel perlahan."Ericka Hartono, Anda dibebaskan," katanya dengan nada datar, seolah pembebasan ini hanyalah rutinitas lain baginya.Ericka, yang duduk termenung di sudut ruangan, mendongak dengan ekspresi terkejut. Matanya yang sebelumnya kosong kini menyala dengan campuran perasaan kebingungan, kelegaan, dan sedikit ketakutan. Setelah segala yang terjadi, dia tidak pernah membayangkan bahwa hari ini akan datang begitu cepat.Dia berdiri, merapikan pakaiannya yang kusut, lalu melangkah keluar dari sel dengan ragu-ragu. Udara dingin dari luar menyambutnya, membawa serta kenyataan baru yang sulit ia terima. Saat dia berjalan keluar dari penjara, pikirannya dipenuhi dengan banyak pertanyaan. Siapa yang membebaskannya?Di luar, sinar matahari menyilaukan matanya, kontras dengan gelapnya sel yang selama ini menjadi tempatnya. Ericka melangkah ke dunia luar dengan langkah berat, ti
Hakim menatap kedua terdakwa, Bu Ratna dan Bryan, dengan tatapan dingin. Setelah mendengar semua kesaksian dan bukti yang diajukan selama persidangan, suasana di ruang sidang terasa tegang, seolah menunggu vonis yang tak terelakkan. "Setelah mempertimbangkan semua fakta yang disampaikan di persidangan ini," kata hakim dengan suara tegas, "pengadilan memutuskan bahwa terdakwa, Ratna Anggara, terbukti bersalah atas tuduhan percobaan pembunuhan terhadap Ny. Anggara beberapa tahun yang lalu, serta upaya menghilangkan nyawa Alyn baru-baru ini." Suara berbisik terdengar dari para pengunjung sidang, tetapi hakim tidak terpengaruh dan melanjutkan, "Selain itu, terdakwa juga terbukti bersalah karena merencanakan serangkaian manipulasi dan tindakan kriminal lainnya untuk mempertahankan posisinya dan kekuasaan di Anggara Group." Hakim beralih pada Bryan yang kini tampak pucat. "Bryan Wijaya, Anda juga terbukti bersalah atas berbagai kejahatan, termasuk fitnah terhadap Rio Putra Wijaya, mela
Saat Jinu dipanggil ke depan sebagai saksi, suasana ruang sidang semakin tegang. Jinu, dengan sikap tenang namun tegas, berdiri di depan para hakim. Dia mengangkat sumpah dengan penuh kesadaran bahwa apa yang akan dia katakan akan menjadi kunci dalam kasus ini."Nama saya Jinu," ia memulai, "dan selama ini, saya adalah tangan kanan Bryan. Saya diutus untuk memata-matai keluarga Ericka, serta menjaga agar semuanya tetap berjalan sesuai rencana Bryan dan Bu Ratna."Desas-desus di antara hadirin mulai terdengar. Mata Felix tampak terbelalak, seakan tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Keluarga Wijaya saling bertukar pandang, menyadari bahwa mereka juga telah menjadi bagian dari permainan yang lebih besar.Pengacara yang mewakili Alyn berdiri dan mulai bertanya. "Bisa Anda jelaskan lebih lanjut, apa yang Anda maksud dengan memata-matai keluarga Ericka?"Jinu menghela napas sebelum melanjutkan. "Bryan dan Bu Ratna merencanakan segalanya. Mereka memanipulasi hubungan
Keesokan harinya, sidang dilanjutkan dengan suasana yang jauh lebih tegang. Ruang sidang dipenuhi oleh orang-orang yang telah mengikuti perkembangan kasus ini, termasuk anggota keluarga Wijaya yang hadir dengan wajah serius. Felix duduk di barisan depan bersama keluarganya, matanya tajam menatap ke depan, mencoba mencerna segala sesuatu yang terjadi. Hakim mengetukkan palunya dengan tegas, meminta ketenangan di ruang sidang yang mulai riuh setelah bukti baru disampaikan. “Pengacara, apakah Anda memiliki saksi yang bisa mendukung bukti yang baru saja diajukan?” tanyanya dengan nada serius. Pengacara Alyn berdiri dengan tenang. "Yang Mulia, kami memang memiliki saksi yang relevan untuk memperkuat tuduhan terhadap terdakwa. Kami ingin memanggil Dokter MJ ke hadapan persidangan." Ruang sidang hening sesaat ketika pintu terbuka dan Dokter MJ masuk. Dia berjalan menuju mimbar saksi, menundukkan kepala sebentar sebelum duduk di kursi yang disediakan. Semua mat
Ruangan sidang dipenuhi keheningan yang tegang. Para hadirin duduk di barisan bangku kayu, menahan napas menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Di depan, hakim duduk dengan sikap tenang, meski ketegangan terasa mengental di udara.Di sisi lain ruang, Alyn berdiri dengan tegas di meja penggugat, diapit oleh Rio dan Jinu. Di seberang, Bryan tampak duduk dengan wajah penuh ketegangan, ditemani oleh Bu Ratna yang berusaha menjaga wibawanya meski suasana terasa semakin tak terkendali.Sidang ini bukan sekadar pertempuran hukum biasa. Ini adalah puncak dari segala tipu daya, pengkhianatan, dan rahasia yang selama bertahun-tahun tersembunyi. Alyn tahu bahwa semua yang terjadi selama ini bermuara pada hari ini. Hari di mana kebenaran akan membebaskannya, atau menghancurkannya.Pengacara Alyn maju ke depan, membawa sebuah amplop putih yang disegel dengan rapi. "Yang Mulia," katanya dengan suara lantang. "Kami telah melakukan tes DNA dan hasilnya jelas. Bryan bukan anak kandu
Rio mengerutkan kening, mencoba memahami situasi yang semakin rumit. Alyn yang sejak tadi begitu bersemangat terdiam, dia mulai berpikir keras. Ada sesuatu yang mengganjal di benaknya. Lalu tiba-tiba, sebuah pemikiran muncul, membuatnya terhenyak."Jangan-jangan..." Alyn berhenti, menatap Rio dan Jinu dengan mata melebar. “Bryan bukan anak kandung Bu Ratna?”Suasana seketika hening. Rio menatap Alyn, terkejut dengan dugaan itu. “Maksudmu?”“Pikirkan, Rio. Jika Bryan memang anak kandung Bu Ratna dan Tuan Anggara, seharusnya dia tahu siapa aku dari awal. Tapi kalau dia bukan anak kandung, mungkin ada alasan lain kenapa dia begitu terobsesi padaku.” Alyn mulai berbicara cepat, seakan mencoba mengejar pemikirannya sendiri. Jinu menatap Alyn dengan serius, wajahnya menunjukkan pemahaman yang baru. “Itu masuk akal,” katanya akhirnya. "Mungkin saja sejak awal, Bryan memang hanya anak pura-pura dan tahu permainan Bu Ratna. Tapi... dia malah terjebak dalam perasaannya sendiri pada Alyn.”Rio
“Aku tahu ini tidak gratis, kan?” tanya Alyn, suaranya terdengar rendah namun tegas. Dia tahu bahwa Jinu bukan tipe orang yang melakukan sesuatu tanpa alasan.Jinu tersenyum tipis, seolah sudah menunggu pertanyaan itu. "Kau tahu betul, Alyn. Aku ingin Ericka dibebaskan sebagai imbalannya."Mendengar permintaan itu, Rio langsung tersentak. "Tidak! Dia sudah mencelakai Alyn dan ibunya. Ericka tidak pantas dibiarkan begitu saja!" Rio membentak, kemarahan dan kebencian terhadap Ericka terpancar dari matanya.Namun, Jinu tetap tenang, seakan dia sudah memperkirakan reaksi Rio. "Kau salah, Rio..." ucap Jinu pelan tapi pasti. "Itu bukan Ericka... tapi ibu Bryan."Kata-kata Jinu membuat udara di antara mereka terasa berat. Rio menatap Jinu dengan tatapan bingung, mencoba memahami apa yang baru saja didengarnya.“Apa maksudmu? Ibu Bryan?”Jinu menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Ibu Bryan adalah dalang dari semua ini. Dialah yang selama ini menarik tali di balik layar, termasuk menjeb
Alyn terdiam, mencoba mencerna situasi yang baru saja terjadi. Rasanya seperti semakin banyak rahasia yang terungkap, namun semuanya masih kabur dan tidak jelas. Ia tahu, ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi, sesuatu yang jauh di luar kendalinya."Rio, kita harus menemukan cara untuk menghentikan ini semua sebelum segalanya semakin hancur. Aku tidak bisa membiarkan semua orang yang aku cintai terjebak dalam permainan ini," ucap Alyn, nadanya dipenuhi kegelisahan.Rio menggenggam tangan Alyn erat, matanya bersinar penuh ketegasan. "Kita akan hadapi ini bersama. Aku tahu Bryan sedang merencanakan sesuatu, dan sepertinya ini lebih dari sekadar menghancurkan Felix. Dia ingin lebih dari itu."Alyn memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan dirinya. Bryan, yang dulunya sahabat setia keluarga, kini berubah menjadi musuh dalam selimut. Perasaannya bercampur antara ketakutan dan kekecewaan. Bagaimana bisa orang yang begitu dekat dengannya berubah menjadi ancaman terbesar dalam hidupny