“Anya! Sini lo!” Bodyguard Feri berseru dengan mata menatap nyalang pada Zevanya yang masih bersembunyi di belakang punggung Raga.
“Ada apa ini, Om?” Walau sebenarnya takut, tapi Raga berusaha mencari tahu apa yang sedang terjadi. “Enggak usah ikut campur, enggak ada urusan sama lo!” seru bodyguard Agung. “Mas Raga … tolongin Anya, Mas Raga.” Zevanya mencengkram kemeja Raga di bagian pinggang, raut wajahnya begitu ketakutan. “Ada apa sih, Nya? Kok lo bisa kenal sama mereka?” Raga menghela tangan Zevanya di pinggangnya, tapi cengkraman tangan Zevanya ternyata cukup kuat sampai ujung-ujung kemeja Raga keluar dari batas pinggang celana. “Pokoknya tolongin Anya dulu.” Tentu saja Zevanya malu menjelaskan masalahnya dengan dua pria besar itu. Lengahnya Raga yang mencoba mencari tahu dengan menghadapkan sedikit tubuhnya pada Zevanya membuat bodyguard Feri berhasil menarik tubuh Zevanya. “Mas Raga!!!!“ Zevanya berseru panik. “Dia punya hutang sama Madam Rossy dan harus melakukan kewajibannya sekarang, jadi jangan coba-coba menghalangi!” Bodyguard Agung memberi ultimatum dengan tampang garang. Zevanya meronta ketika diseret oleh dua bodyguard berbadan besar itu. “Mas Raga tolongin Anya, please.” Suara Zevanya terdengar lemah, sorot mata gadis itu meredup. Salah satu pria berbadan besar mengatakan kalau Zevanya memiliki kewajiban yang harus ditunaikannya. Raga bisa apa? Raga menoleh pada Davanka yang berdiri di sebelahnya, sang sahabat malah mengangkat kedua bahu kemudian masuk ke dalam mobil. Sungguh tidak berkeprimanusiaan sekali. Sebelum masuk ke dalam mobil, mata Davanka tidak sengaja melihat ke arah Zevanya yang masih meronta dari cekalan tangan dua bodyguard. Mereka membawa Zevanya masuk ke dalam sebuah hotel. Suara klakson kendaraan dari arah belakang terdengar bersahutan dengan teriakan umpatan dari pengendara sepeda motor. Mobil Raga memang menghalangi jalan sehingga menyebabkan antrean kendaraan di belakang mobilnya. “Sorry … Sorry,” kata Raga pada wajah-wajah marah yang berhasil melewati mereka. Raga kembali ke belakang kemudi lalu menginjak pedal gas. “Gue harus tolongin Anya, Dav … gue kenal sama dia … dia anak guru ngaji gue dulu.” Raga bukan sedang meminta ijin tapi memberitahu Davanka karena mobilnya sekarang telah terparkir di depan hotel. Davanka membuang napas panjang bersama rotasi mata malas. “Turun, Dav … temenin gue,” pinta Raga sembari membuka pintu. Raga gentar juga melihat dua pria berperawakan seperti atlet angkat besi yang mengejar Zevanya tadi. “Om! Sebentar ….” Raga berteriak di loby hotel. Dua pria tadi menghentikan langkah termasuk Zevanya yang raut wajahnya tampak lega. Dia berharap Raga mau membantunya. Raga melangkah mendekat diikuti Davanka, dalam hati Davanka mengutuk dirinya sendiri yang mau saja menuruti perintah Raga untuk turun dari mobil dan membantu gadis itu. “Bisa kita bicarakan baik-baik? Siapa Madame Rossy? Boleh gue ketemu sama dia?” Dan pertanyaan Raga tadi mengantarkan dirinya beserta Davanka ke sebuah Night Club yang sebenarnya memang menjadi tujuan awal mereka. “Lo ngapain punya urusan sama Madame Rossy? Jual diri lo?” tanya Raga ketika menyusuri lorong di bagian belakang gedung Night Club. Raga berkesimpulan demikian karena mendengar sebutan Madame seperti nama Mucikari selain itu tadi dua pria bertubuh kekar mengatakan kalau Zevanya memiliki kewajiban lalu dibawa masuk ke dalam sebuah hotel. Zevanya yang berjalan di depannya pun menoleh. “Iyaaaa, Mas.” Raut wajahnya tampak menyesal. Ah, Raga juga jadi menyesal menolong gadis yang dia kenal berisik sekali itu. “Masuk!” titah Feri setelah membuka pintu, dia menatap bengis pada Zevanya, Raga dan Davanka. “Anyaaaa!!! Lo bikin malu gue, kenapa lo pake kabur segala, Hah? Pak Broto minta ganti rugi dua kali lipat kalau lo enggak balik ke hotel sekarang!!!” Suara melengking Madam Rossy membuat Zevanya menutup telinga dengan kedua tangan bersama pejaman mata erat. “Madam, dua pria ini temannya si Anya … mereka mau bicara dengan Madam.” Agung memberitahu, matanya memberi kode seakan mengatakan kalau dua pria itu sumber uang dan Madam bisa memeras mereka. Ternyata Agung dan Feri bisa menilai Raga dan Davanka dari pakaian, jam tangan, sepatu juga mobil yang dikemudikan Raga. Mereka tahu kalau Madam Rossy bisa mendapat lebih dari apa yang diberikan pak Broto. Madam Rossy menoleh pada Raga dan Davanka, matanya memindai kedua pria itu dari atas hingga bawah. Beberapa saat kemudian Madam Rossy tersenyum. “Lo kenal Anya?” Suara Madam Rossy berubah lembut. “Ya, gue kenal Anya … bisa tolong lepaskan dia?” “Lo siapa? Pacarnya? Ah, kayanya enggak mungkin … kalau si Anya punya pacar setajir ini enggak mungkin jual diri buat biaya berobat ibunya, iya ‘kan Anya?” Zevanya mengangguk-anggukan kepalanya. Raga menoleh pada Zevanya, dia menatap iba. Sekarang dia tahu alasan Zevanya menjual diri. “Gue kenal bokapnya Anya … berapa Anya menjual dirinya sama Madam?” Dalam hati Raga berdoa agar Zevanya menjual dirinya dengan harga murah. Yaaaah, sekitar belasan sampai puluhan juta lah. “Seratus lima puluh juta dan sekarang jadi lima ratus juta karena gue harus ganti rugi dua kali lipat ke Pak Broto!” “Eeeh, busyeeet!” Raga berjengit terkejut matanya membelalak. “Mahal banget Anyaaaa! Lo enggak bisa jual diri lo murah-murah aja, gitu?” Raga mengesah. “Iiih … Anya masih perawan, Mas … lagian Anya cuma dapet seratus juta aja itu juga buat bayar operasi sama rawat inap dan obat ibu, terus bayar kontrakan dan utang ke tetangga … uang kuliah Anya belum dibayar, rencananya Anya mau bayar uang kuliah pake tip yang dikasih Pak Broto.” Dengan santai dan lugas, Zevanya menjelaskan. “Dah lah … lo jual diri aja mending, enggak sanggup gue.” Raga menyerah semudah itu padahal tadi dia semangat sekali ingin membantu Zevanya. Ada yang tahu ke mana Davanka? Pria itu malah duduk di salah satu sofa tanpa dipersilahkan sambil mengotak-ngatik ponselnya memeriksa pekerjaan. Dia seakan tidak peduli dengan apa yang sedang terjadi di ruangan itu. Zevanya melorotkan bahunya, dia menunduk lesu. Wajah sedih Zevanya itu lagi-lagi membuat Raga iba.“Kalau harus ganti dua kali lipat ya jadi tiga ratus juta donk, Madam … bukan lima ratus juta.” Raga mencoba menawar.“Dua ratus jutanya buat gue, kenapa? Kalau mau … ambil! Enggak mau, ya sudah … kalian pergi sana … Anya harus kerja.” Madame Rossy bersikap acuh tak acuh.“Gini deh, empat ratus juta gimana? Kalau Madame kasih Anya ke Pak Broto itu, Madame cuma dapet lima puluh juta ‘kan? Tapi kalau Madame terima tawaran gue … Madame bisa bayar uang ganti rugi ke Pak Broto tiga ratus juta dan Madame dapat seratus juta.” Raga sedang bernegosiasi. Agung menyenggol lengan Feri, keduanya saling melempar senyum.Pantas saja tadi mereka dengan mudah membawa Zevanya dan dua pria yang mengenalnya itu ke Madame alih-alih mengembalikan Zevanya ke Pak Broto.Otak mereka licik sekali seperti majikannya.“Deal,” kata Madame Rossy secepat kilat.Karena sesungguhnya dia tidak perlu ganti rugi dua kali lipat bahkan dibayar pun belum oleh Pak Broto.Madam menggunakan uangnya dulu untuk membayar
“Terus … jadi gimana sekarang? Anya boleh pulang?” “Ceritain dulu ibu Nina sakit apa kenapa lo sampe harus jual diri gini?” Ibu Nina adalah ibunya Zevanya, Raga juga mengenal ibu Nina.Pernah sesekali Raga bertemu ibu Nina ketika berkunjung ke rumah Zevanya untuk mencari Pak Arya-ayahnya Zevanya.“Semenjak ayah meninggal, adik-adiknya ayah yang perempuan minta harta warisan ayah … mereka mengklaim banyak harta peninggalan ayah sampai Anya sama ibu harus jual rumah dan kami mengontrak ….” “Kok bisa? Kan ada hukum hak waris, mereka enggak bisa seenaknya donk.” Raga menyela.“Iya … tapi waktu itu Anya masih kecil … masih SMP kelas tiga, belum ngerti … dan mas Raga tahu sendiri kalau penghasilan ayah jadi dosen enggak besar karena ayah hanya dosen di Universitas kecil … ayah enggak punya banyak tabungan.” Zevanya melanjutkan.Ayahnya Zevanya memang dosen yang mengajar tentang Agama di salah satu Universitas swasta milik salah satu anggota DPR.Beliau juga seorang Ustad yang ser
“Mas Dava … Anya duduk di depan ya?” Anya berujar dalam bentuk kata tanya namun sebenarnya dia tidak butuh jawaban, dia sedang memberitahu Davanka.Dan seperti biasa Davanka tidak mau repot-repot mengeluarkan suara.Zevanya duduk di samping kemudi lalu memakai seatbelt setelah itu dia menoleh pada pria tampan yang sedari tadi diam saja tidak menganggapnya ada seakan Zevanya adalah makhluk tak kasat mata.“Mas Dava mau ‘kan anter Anya ke night club lagi?”Zevanya bertanya serius karena kalau tidak, dia akan pulang naik ojeg online saja.Dan lagi- lagi Davankan membungkam mulutnya rapat. “Iiihhh … gemeees, Anya cipok tuh bibir keritingnya baru tahu rasa.” Zevanya mengumpat kesal di dalam hati.Zevanya tidak bertanya lagi, terserah mau dibawa ke mana kalau perlu dia akan tidur di rumah pria itu jika Davanka membawanya pulang.“Ssshhh ….” Zevanya meringis.Luka yang dia dapatkan akibat terjatuh di aspal ternyata baru terasa sakit sekarang.Lutut dan bagian sisi telapak tangannya
“Anya … kamu pinjam uang ke siapa untuk bayar pengobatan ibu? Hutang kita ke bu RT aja belum dibayar.”Zevanya yang sedang memasukan barang-barang ibunya ke dalam tas kemudian membatu.Dia lantas menoleh menatap ibu Nina yang masih duduk di atas ranjang rumah sakit. Mereka tinggal menunggu perawat membawakan obat untuk ibu Nina yang akan dibawa pulang. “Anya dapet pinjaman dari mas Raga, Bu … ibu inget enggak mas Raga yang dulu murid ayah? Rumahnya di perumahan elit dekat komplek kita dulu, Bu.” Zevanya memang tidak bohong tapi tidak jujur juga kalau sebenarnya dia sempat ingin menjual diri untuk membayar pengobatan ibu Nina.Jangan sampai ibu Nina tahu karena bisa-bisa nanti beliau masuk rumah sakit lagi tapi dengan diagnosa stroke.“Oh … anaknya pak Adhitama?” Ternyata ibu Nina masih ingat.“Iya, Bu.” “Kok bisa kamu pinjam uang sama dia? Kalian udah lama enggak ketemu, kan?” Ibu Nina jadi curiga.“Anya pernah ketemu sama mas Raga beberapa kali di tempat kerja, Bu …
“Eh … anak Bunda udah pulang, tumben pulang cepet.” Suara bunda terdengar begitu hangat saat Davanka menginjakan kaki di ruang makan.Kedua orang tuanya sudah duduk di sana, baru akan memulai makan malam.“Biar bisa makan malam bareng Bunda sama ayah.” Davanka menjawab setelah mengecup pipi kiri dan kanan sang bunda.Dia beralih pada ayah, mengecup bagian punggung tangannya lalu duduk di samping kiri ayah yang menempati ujung meja.Davanka jadi bisa berhadapan dengan Bunda.Selama makan malam tidak ada perbincangan serius.Bunda bercerita kalau ketiga adiknya yang berkuliah di New York akan pulang untuk berlibur.Sampai ayah mengatakan atau lebih tepatnya meminta ijin kepada bunda untuk pergi golf. “Loh … kita ‘kan mau kedatangan tamunya Abang,” kata bunda saat ayah meminta ijin untuk golf besok pagi.Davanka mengangkat pandangannya menatap bunda.Dia seperti bingung mendengar ucapan sang bunda.“Abang ‘kan janji sama bunda mau bawa cewek yang akan Abang jadiin istri.”
“Baju lo kurang seksi, lo tuh gimana sih … udah lama kerja di nightclub tapi belum ngerti cara berpakaian ala Ani-Ani.” Madame Rossy berujar ketus. Dia adalah mucikari terkenal yang biasa memasok para wanita untuk kaum jetset dan pejabat. “Kan memang Anya masih baru dalam dunia perAni-Anian ini.” Zevanya mendengkus di dalam hati. “Baju seksi Anya tuh cuma seragam kerja di night club … ya kali ayah Anya pemuka Agama terus Anya pakai baju-baju seksi, gitu?” Zevanya Camila berujar tidak jelas seperti kumur-kumur, dia takut juga membantah Madame Rossy. Wanita bertubuh gempal itu sudah dikenal Zevanya semenjak bekerja di nightclub tapi baru kali ini Zevanya bekerja untuk beliau, itu pun terpaksa karena Zevanya harus mendapat uang untuk membayar hutang ke tetangga dan rumah sakit agar bisa membawa pulang ibunya yang sempat dioperasi. “Halaaah, lo tuh ngebantah aja terus … ini, ganti baju lo!” Madame Rossy melempar mini dress kurang bahan ke wajah Zevanya. Kedua bodyguard Mada
Hari ini begitu melelahkan, Davanka Abisheva Gunadhya atau pria berusia dua puluh delapan tahun yang kerap disapa Abang Dava oleh keluarganya itu akhirnya bisa mengembuskan napas panjang setelah seharian mematuti layar komputer.Dia meregangkan tubuh dengan mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi hingga punggungnya melengkung ke depan.Masih menikmati perasaan lega setelah berhasil menyelesaikan pekerjaannya—Davanka dikejutkan oleh notif pesan masuk di ponsel yang dia simpan di atas meja.Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, gedung kantor milik AG Group yang merupakan perusahaan milik keluarganya itu tentu saja sudah sepi.Sekertarisnya yang bernama Erin pun mungkin sudah sampai di rumah karena pukul enam sore tadi ijin pulang untuk menjemput putrinya dari daycare.Bisa jadi saat ini hanya dirinya yang ada di gedung kantor selain sekuriti.Davanka mengulurkan tangan, punggungnya masih menempel enggan beranjak dari sandaran kursi.Jempol Davanka mulai bergerak menggulir lay