“Terus … jadi gimana sekarang? Anya boleh pulang?”
“Ceritain dulu ibu Nina sakit apa kenapa lo sampe harus jual diri gini?” Ibu Nina adalah ibunya Zevanya, Raga juga mengenal ibu Nina. Pernah sesekali Raga bertemu ibu Nina ketika berkunjung ke rumah Zevanya untuk mencari Pak Arya-ayahnya Zevanya. “Semenjak ayah meninggal, adik-adiknya ayah yang perempuan minta harta warisan ayah … mereka mengklaim banyak harta peninggalan ayah sampai Anya sama ibu harus jual rumah dan kami mengontrak ….” “Kok bisa? Kan ada hukum hak waris, mereka enggak bisa seenaknya donk.” Raga menyela. “Iya … tapi waktu itu Anya masih kecil … masih SMP kelas tiga, belum ngerti … dan mas Raga tahu sendiri kalau penghasilan ayah jadi dosen enggak besar karena ayah hanya dosen di Universitas kecil … ayah enggak punya banyak tabungan.” Zevanya melanjutkan. Ayahnya Zevanya memang dosen yang mengajar tentang Agama di salah satu Universitas swasta milik salah satu anggota DPR. Beliau juga seorang Ustad yang sering memberi ceramah di beberapa acara Agama. Papa Adhitama-papanya Raga yang merupakan petinggi di perusahaan BUMN pernah mengundang mendiang ayahnya Zevanya untuk mengisi kajian islami di kantor beliau. Dan karena kebetulan rumah ayahnya Zevanya berada di komplek kelas menengah yang letaknya dekat dengan komplek rumah Raga—papanya Raga meminta ayah Arya untuk datang ke rumah seminggu dua kali untuk mengajarkan Raga mengaji. Tapi itu dulu, waktu Raga masih SMP dan saat itu Zevanya masih SD. “Terus … ibu Nina sakit apa?” Raga mengulang pertanyaan yang belum sempat Zevanya jawab. “Kista di rahim, harus diangkat kalau enggak ibu kesakitan terus perutnya.” “Lo kenapa enggak minta tolong gue sih?” “Anya mana tahu nomor hape Mas Raga … rumah Mas Raga aja Anya lupa, lagian kata ibu—Anya enggak boleh ngerepotin orang.” “Laaaaah, ini lo udah ngerepotin gue banget, unyil!” Zevanya menyengir. Dia melirik ke sekitar ruangan. “Mas Raga … Anya bayarnya pake tenaga aja ya, apartemen Mas Raga ‘kan berantakan nih … jadi pulang kuliah sebelum kerja di Night Club—Anya ke sini dulu beresin apartemen Mas Raga, nyuci baju sama nyuci piring … Mas Raga bayar Anya sesuai upah asisten rumah tangga … jadi tinggal itung aja, Anya kerja sampai empat ratus jutanya lunas.” Zevanya tersenyum lebar usai memaparkan solusi pembayaran hutangnya. Raga tertawa dan ternyata diam-diam Davanka juga terkekeh pelan sekali. “Gaji ART di Jakarta itu sekitar dua juta tiga ratus sampai dua juta lima ratus … ambillah yang dua juta lima ratus, lo harus sampai tiga belas tahun lebih kerja sama gue … anak-anak gue udah gede-gede, lo baru bisa resign kerja sama gue, memangnya lo enggak akan nikah?” “Ya kalau nanti Anya dapet kerjaan bagus terus punya uang banyak, Anya bayar ke Mas Raga ….” Sesungguhnya Raga takjub, dia tidak melihat setitik kesedihan pun di mata Zevanya selain tadi ketika diseret paksa oleh bodyguard Madame Rossy untuk melayani pria tua. Padahal baru saja gadis itu menceritakan kepedihan kisah hidupnya yang harus berjuang menjadi tulang punggung keluarga dan membayar biaya pengobatan sang ibu sedangkan dia harus tetap melanjutkan kuliah. “Lo pulang kuliah jadi pembantu … terus kerja di night club, gitu? Kapan lo belajarnya?” “Di kampus, pas nunggu jeda antar mata kuliah. Raga menatap nanar Zevanya, dia tidak menyangka nasib Zevanya bisa setragis ini. “Pulang dari Night Club jam berapa?” Raga benar-benar menginterogasi Zevanya. “Jam duaan, Anya naik motor jadi bisa cepet sampe rumah ….” “Hah? Malem-malem lo naik motor? Enggak takut dibegal, lo?” “Pasrahkan semua pada Yang Maha Kuasa,” ujar Zevanya enteng dan Raga merotasi bola matanya menanggapi celotehan gadis itu. “Kuliah di mana memang sekarang?” “Di Universitas Negri terbaik di Jakarta, Anya ngambil jurusan Administrasi Niaga … Anya mau kaya mbak-mbak SCBD … pake lanyard coach, tas coach, sepatu torry burch, tumbler starbuck …keren kayanya Anya nanti ya Mas.” Senyum Zevanya kembali tersungging lebar. “Kalau pihak Universitas tahu lo kerja di night club, lo bisa di DO!” Raga menakut-nakuti. “Ya jangan sampai tahu donk, Mas … Anya menor kaya gini kok kalau kerja terus pake baju seksi, jadi enggak ada yang nyangka kalau pelayan night club cantik ini adalah Anya si mahasiswa Universitas keren itu.” Zevanya menunjuk dirinya sendiri di akhir kalimat. “Terserah lo deh, ya udah … mulai besok lo beresin apartemen gue ya!” “Siap Mas.” Zevanya senang sekali, dia tidak jadi kehilangan keperawanannya. “Ini kartu akses lift … pascode pintu enam sembilan enam sembilan enam sembilan.” Raga tertawa setelah memberitahu nomor pascode apartemennya. Zevanya yang tidak mengerti arti angka itu hanya mengangguk sambil menerima kartu akses lift dari tangan Raga. Tapi tidak dengan Davanka yang ternyata merasa jijik dengan angka yang dijadikan kode pintu apartemen Raga karena mengerti maksudnya. Bukan Davanka tidak menyukai posisi bercinta 69 tapi apa harus kode itu menjadi pascode pintu apartemen? Terkesan mesum sekali, bukan? “Ya udah … balik lo sekarang dianter si Dava.” Davanka sontak menatap kesal pada Raga. Tadi Raga yang mengajaknya ke nightclub dan berjanji akan mengantar pulang tapi kenapa sekarang tiba-tiba dia jadi pulang sendiri malah harus mengantar gadis asing itu dulu ke rumahnya? “Capek gue, Dav … lo anter si Anya dulu ke rumahnya ya … ini kunci mobil gue.” Raga melempar kunci mobil ke atas pangkuan Davanka. Raga sudah mengenal karakter Davanka, sahabatnya yang dingin dan irit bicara itu mungkin akan memprotes tapi dengan diam, Davanka tidak suka banyak bicara. “Raga!” seru Davanka memanggil namun Raga menulikan telinga, terus melangkah masuk ke dalam kamar. Mengajak mereka semua ke apartemennya hanya akal-akalan Raga saja agar tidak perlu mengantar Davanka pulang apalagi karena Zevanya ikut bersamanya berarti dia harus mengantar Zevanya pulang juga. Davanka berdecak sebal, dia beranjak dari kursi, memasukan ponselnya ke dalam saku celana lalu meraih minuman yang ada di meja. Dia habiskan satu kaleng minuman ringan itu kemudian pergi tanpa berkata apapun pada Zevanya bahkan menatap gadis itu pun tidak. Zevanya menyusul Davanka yang berjalan cepat menuju pintu. “Mas tunggu!” seru Zevanya ketika pintu lift akan tertutup. Davanka mana mau repot-repot menahan lift tapi beruntung Zevanya masih sempat masuk sebelum lift benar-benar tertutup. Zevanya melirik Davanka takut-takut, pria tampan di sampingnya tampak kesal. Dia jadi takut minta diantar pulang. “Mas Dava … anterin Anya sampai night club lagi aja, Anya simpen motor di sana.” Hening. Davanka tidak menjawab, matanya lurus ke depan menatap pintu lift yang seperti cermin. Dia bisa melihat dirinya berdiri sambil menyembunyikan kedua tangan ke dalam saku celana dan Zevanya di sampingnya sedang menoleh menatap ke arahnya. Entah Zevanya sedang menunggu balasan dari permintaannya barusan atau karena mengagumi ketampanan Davanka sampai lehernya tidak kenal pegal, menoleh terus menatap Davanka. Dia tidak sadar kalau Davanka bisa melihatnya dari pantulan pintu lift.“Mas Dava … Anya duduk di depan ya?” Anya berujar dalam bentuk kata tanya namun sebenarnya dia tidak butuh jawaban, dia sedang memberitahu Davanka.Dan seperti biasa Davanka tidak mau repot-repot mengeluarkan suara.Zevanya duduk di samping kemudi lalu memakai seatbelt setelah itu dia menoleh pada pria tampan yang sedari tadi diam saja tidak menganggapnya ada seakan Zevanya adalah makhluk tak kasat mata.“Mas Dava mau ‘kan anter Anya ke night club lagi?”Zevanya bertanya serius karena kalau tidak, dia akan pulang naik ojeg online saja.Dan lagi- lagi Davankan membungkam mulutnya rapat. “Iiihhh … gemeees, Anya cipok tuh bibir keritingnya baru tahu rasa.” Zevanya mengumpat kesal di dalam hati.Zevanya tidak bertanya lagi, terserah mau dibawa ke mana kalau perlu dia akan tidur di rumah pria itu jika Davanka membawanya pulang.“Ssshhh ….” Zevanya meringis.Luka yang dia dapatkan akibat terjatuh di aspal ternyata baru terasa sakit sekarang.Lutut dan bagian sisi telapak tangannya
“Anya … kamu pinjam uang ke siapa untuk bayar pengobatan ibu? Hutang kita ke bu RT aja belum dibayar.”Zevanya yang sedang memasukan barang-barang ibunya ke dalam tas kemudian membatu.Dia lantas menoleh menatap ibu Nina yang masih duduk di atas ranjang rumah sakit. Mereka tinggal menunggu perawat membawakan obat untuk ibu Nina yang akan dibawa pulang. “Anya dapet pinjaman dari mas Raga, Bu … ibu inget enggak mas Raga yang dulu murid ayah? Rumahnya di perumahan elit dekat komplek kita dulu, Bu.” Zevanya memang tidak bohong tapi tidak jujur juga kalau sebenarnya dia sempat ingin menjual diri untuk membayar pengobatan ibu Nina.Jangan sampai ibu Nina tahu karena bisa-bisa nanti beliau masuk rumah sakit lagi tapi dengan diagnosa stroke.“Oh … anaknya pak Adhitama?” Ternyata ibu Nina masih ingat.“Iya, Bu.” “Kok bisa kamu pinjam uang sama dia? Kalian udah lama enggak ketemu, kan?” Ibu Nina jadi curiga.“Anya pernah ketemu sama mas Raga beberapa kali di tempat kerja, Bu …
“Eh … anak Bunda udah pulang, tumben pulang cepet.” Suara bunda terdengar begitu hangat saat Davanka menginjakan kaki di ruang makan.Kedua orang tuanya sudah duduk di sana, baru akan memulai makan malam.“Biar bisa makan malam bareng Bunda sama ayah.” Davanka menjawab setelah mengecup pipi kiri dan kanan sang bunda.Dia beralih pada ayah, mengecup bagian punggung tangannya lalu duduk di samping kiri ayah yang menempati ujung meja.Davanka jadi bisa berhadapan dengan Bunda.Selama makan malam tidak ada perbincangan serius.Bunda bercerita kalau ketiga adiknya yang berkuliah di New York akan pulang untuk berlibur.Sampai ayah mengatakan atau lebih tepatnya meminta ijin kepada bunda untuk pergi golf. “Loh … kita ‘kan mau kedatangan tamunya Abang,” kata bunda saat ayah meminta ijin untuk golf besok pagi.Davanka mengangkat pandangannya menatap bunda.Dia seperti bingung mendengar ucapan sang bunda.“Abang ‘kan janji sama bunda mau bawa cewek yang akan Abang jadiin istri.”
“Baju lo kurang seksi, lo tuh gimana sih … udah lama kerja di nightclub tapi belum ngerti cara berpakaian ala Ani-Ani.” Madame Rossy berujar ketus. Dia adalah mucikari terkenal yang biasa memasok para wanita untuk kaum jetset dan pejabat. “Kan memang Anya masih baru dalam dunia perAni-Anian ini.” Zevanya mendengkus di dalam hati. “Baju seksi Anya tuh cuma seragam kerja di night club … ya kali ayah Anya pemuka Agama terus Anya pakai baju-baju seksi, gitu?” Zevanya Camila berujar tidak jelas seperti kumur-kumur, dia takut juga membantah Madame Rossy. Wanita bertubuh gempal itu sudah dikenal Zevanya semenjak bekerja di nightclub tapi baru kali ini Zevanya bekerja untuk beliau, itu pun terpaksa karena Zevanya harus mendapat uang untuk membayar hutang ke tetangga dan rumah sakit agar bisa membawa pulang ibunya yang sempat dioperasi. “Halaaah, lo tuh ngebantah aja terus … ini, ganti baju lo!” Madame Rossy melempar mini dress kurang bahan ke wajah Zevanya. Kedua bodyguard Mada
Hari ini begitu melelahkan, Davanka Abisheva Gunadhya atau pria berusia dua puluh delapan tahun yang kerap disapa Abang Dava oleh keluarganya itu akhirnya bisa mengembuskan napas panjang setelah seharian mematuti layar komputer.Dia meregangkan tubuh dengan mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi hingga punggungnya melengkung ke depan.Masih menikmati perasaan lega setelah berhasil menyelesaikan pekerjaannya—Davanka dikejutkan oleh notif pesan masuk di ponsel yang dia simpan di atas meja.Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, gedung kantor milik AG Group yang merupakan perusahaan milik keluarganya itu tentu saja sudah sepi.Sekertarisnya yang bernama Erin pun mungkin sudah sampai di rumah karena pukul enam sore tadi ijin pulang untuk menjemput putrinya dari daycare.Bisa jadi saat ini hanya dirinya yang ada di gedung kantor selain sekuriti.Davanka mengulurkan tangan, punggungnya masih menempel enggan beranjak dari sandaran kursi.Jempol Davanka mulai bergerak menggulir lay
“Anya! Sini lo!” Bodyguard Feri berseru dengan mata menatap nyalang pada Zevanya yang masih bersembunyi di belakang punggung Raga.“Ada apa ini, Om?” Walau sebenarnya takut, tapi Raga berusaha mencari tahu apa yang sedang terjadi.“Enggak usah ikut campur, enggak ada urusan sama lo!” seru bodyguard Agung.“Mas Raga … tolongin Anya, Mas Raga.” Zevanya mencengkram kemeja Raga di bagian pinggang, raut wajahnya begitu ketakutan.“Ada apa sih, Nya? Kok lo bisa kenal sama mereka?” Raga menghela tangan Zevanya di pinggangnya, tapi cengkraman tangan Zevanya ternyata cukup kuat sampai ujung-ujung kemeja Raga keluar dari batas pinggang celana.“Pokoknya tolongin Anya dulu.” Tentu saja Zevanya malu menjelaskan masalahnya dengan dua pria besar itu.Lengahnya Raga yang mencoba mencari tahu dengan menghadapkan sedikit tubuhnya pada Zevanya membuat bodyguard Feri berhasil menarik tubuh Zevanya.“Mas Raga!!!!“ Zevanya berseru panik.“Dia punya hutang sama Madam Rossy dan harus melakukan kewa
“Kalau harus ganti dua kali lipat ya jadi tiga ratus juta donk, Madam … bukan lima ratus juta.” Raga mencoba menawar.“Dua ratus jutanya buat gue, kenapa? Kalau mau … ambil! Enggak mau, ya sudah … kalian pergi sana … Anya harus kerja.” Madame Rossy bersikap acuh tak acuh.“Gini deh, empat ratus juta gimana? Kalau Madame kasih Anya ke Pak Broto itu, Madame cuma dapet lima puluh juta ‘kan? Tapi kalau Madame terima tawaran gue … Madame bisa bayar uang ganti rugi ke Pak Broto tiga ratus juta dan Madame dapat seratus juta.” Raga sedang bernegosiasi. Agung menyenggol lengan Feri, keduanya saling melempar senyum.Pantas saja tadi mereka dengan mudah membawa Zevanya dan dua pria yang mengenalnya itu ke Madame alih-alih mengembalikan Zevanya ke Pak Broto.Otak mereka licik sekali seperti majikannya.“Deal,” kata Madame Rossy secepat kilat.Karena sesungguhnya dia tidak perlu ganti rugi dua kali lipat bahkan dibayar pun belum oleh Pak Broto.Madam menggunakan uangnya dulu untuk membayar