“Terus … jadi gimana sekarang? Anya boleh pulang?”
“Ceritain dulu ibu Nina sakit apa kenapa lo sampe harus jual diri gini?” Ibu Nina adalah ibunya Zevanya, Raga juga mengenal ibu Nina. Pernah sesekali Raga bertemu ibu Nina ketika berkunjung ke rumah Zevanya untuk mencari Pak Arya-ayahnya Zevanya. “Semenjak ayah meninggal, adik-adiknya ayah yang perempuan minta harta warisan ayah … mereka mengklaim banyak harta peninggalan ayah sampai Anya sama ibu harus jual rumah dan kami mengontrak ….” “Kok bisa? Kan ada hukum hak waris, mereka enggak bisa seenaknya donk.” Raga menyela. “Iya … tapi waktu itu Anya masih kecil … masih SMP kelas tiga, belum ngerti … dan mas Raga tahu sendiri kalau penghasilan ayah jadi dosen enggak besar karena ayah hanya dosen di Universitas kecil … ayah enggak punya banyak tabungan.” Zevanya melanjutkan. Ayahnya Zevanya memang dosen yang mengajar tentang Agama di salah satu Universitas swasta milik salah satu anggota DPR. Beliau juga seorang Ustad yang sering memberi ceramah di beberapa acara Agama. Papa Adhitama-papanya Raga yang merupakan petinggi di perusahaan BUMN pernah mengundang mendiang ayahnya Zevanya untuk mengisi kajian islami di kantor beliau. Dan karena kebetulan rumah ayahnya Zevanya berada di komplek kelas menengah yang letaknya dekat dengan komplek rumah Raga—papanya Raga meminta ayah Arya untuk datang ke rumah seminggu dua kali untuk mengajarkan Raga mengaji. Tapi itu dulu, waktu Raga masih SMP dan saat itu Zevanya masih SD. “Terus … ibu Nina sakit apa?” Raga mengulang pertanyaan yang belum sempat Zevanya jawab. “Kista di rahim, harus diangkat kalau enggak ibu kesakitan terus perutnya.” “Lo kenapa enggak minta tolong gue sih?” “Anya mana tahu nomor hape Mas Raga … rumah Mas Raga aja Anya lupa, lagian kata ibu—Anya enggak boleh ngerepotin orang.” “Laaaaah, ini lo udah ngerepotin gue banget, unyil!” Zevanya menyengir. Dia melirik ke sekitar ruangan. “Mas Raga … Anya bayarnya pake tenaga aja ya, apartemen Mas Raga ‘kan berantakan nih … jadi pulang kuliah sebelum kerja di Night Club—Anya ke sini dulu beresin apartemen Mas Raga, nyuci baju sama nyuci piring … Mas Raga bayar Anya sesuai upah asisten rumah tangga … jadi tinggal itung aja, Anya kerja sampai empat ratus jutanya lunas.” Zevanya tersenyum lebar usai memaparkan solusi pembayaran hutangnya. Raga tertawa dan ternyata diam-diam Davanka juga terkekeh pelan sekali. “Gaji ART di Jakarta itu sekitar dua juta tiga ratus sampai dua juta lima ratus … ambillah yang dua juta lima ratus, lo harus sampai tiga belas tahun lebih kerja sama gue … anak-anak gue udah gede-gede, lo baru bisa resign kerja sama gue, memangnya lo enggak akan nikah?” “Ya kalau nanti Anya dapet kerjaan bagus terus punya uang banyak, Anya bayar ke Mas Raga ….” Sesungguhnya Raga takjub, dia tidak melihat setitik kesedihan pun di mata Zevanya selain tadi ketika diseret paksa oleh bodyguard Madame Rossy untuk melayani pria tua. Padahal baru saja gadis itu menceritakan kepedihan kisah hidupnya yang harus berjuang menjadi tulang punggung keluarga dan membayar biaya pengobatan sang ibu sedangkan dia harus tetap melanjutkan kuliah. “Lo pulang kuliah jadi pembantu … terus kerja di night club, gitu? Kapan lo belajarnya?” “Di kampus, pas nunggu jeda antar mata kuliah. Raga menatap nanar Zevanya, dia tidak menyangka nasib Zevanya bisa setragis ini. “Pulang dari Night Club jam berapa?” Raga benar-benar menginterogasi Zevanya. “Jam duaan, Anya naik motor jadi bisa cepet sampe rumah ….” “Hah? Malem-malem lo naik motor? Enggak takut dibegal, lo?” “Pasrahkan semua pada Yang Maha Kuasa,” ujar Zevanya enteng dan Raga merotasi bola matanya menanggapi celotehan gadis itu. “Kuliah di mana memang sekarang?” “Di Universitas Negri terbaik di Jakarta, Anya ngambil jurusan Administrasi Niaga … Anya mau kaya mbak-mbak SCBD … pake lanyard coach, tas coach, sepatu torry burch, tumbler starbuck …keren kayanya Anya nanti ya Mas.” Senyum Zevanya kembali tersungging lebar. “Kalau pihak Universitas tahu lo kerja di night club, lo bisa di DO!” Raga menakut-nakuti. “Ya jangan sampai tahu donk, Mas … Anya menor kaya gini kok kalau kerja terus pake baju seksi, jadi enggak ada yang nyangka kalau pelayan night club cantik ini adalah Anya si mahasiswa Universitas keren itu.” Zevanya menunjuk dirinya sendiri di akhir kalimat. “Terserah lo deh, ya udah … mulai besok lo beresin apartemen gue ya!” “Siap Mas.” Zevanya senang sekali, dia tidak jadi kehilangan keperawanannya. “Ini kartu akses lift … pascode pintu enam sembilan enam sembilan enam sembilan.” Raga tertawa setelah memberitahu nomor pascode apartemennya. Zevanya yang tidak mengerti arti angka itu hanya mengangguk sambil menerima kartu akses lift dari tangan Raga. Tapi tidak dengan Davanka yang ternyata merasa jijik dengan angka yang dijadikan kode pintu apartemen Raga karena mengerti maksudnya. Bukan Davanka tidak menyukai posisi bercinta 69 tapi apa harus kode itu menjadi pascode pintu apartemen? Terkesan mesum sekali, bukan? “Ya udah … balik lo sekarang dianter si Dava.” Davanka sontak menatap kesal pada Raga. Tadi Raga yang mengajaknya ke nightclub dan berjanji akan mengantar pulang tapi kenapa sekarang tiba-tiba dia jadi pulang sendiri malah harus mengantar gadis asing itu dulu ke rumahnya? “Capek gue, Dav … lo anter si Anya dulu ke rumahnya ya … ini kunci mobil gue.” Raga melempar kunci mobil ke atas pangkuan Davanka. Raga sudah mengenal karakter Davanka, sahabatnya yang dingin dan irit bicara itu mungkin akan memprotes tapi dengan diam, Davanka tidak suka banyak bicara. “Raga!” seru Davanka memanggil namun Raga menulikan telinga, terus melangkah masuk ke dalam kamar. Mengajak mereka semua ke apartemennya hanya akal-akalan Raga saja agar tidak perlu mengantar Davanka pulang apalagi karena Zevanya ikut bersamanya berarti dia harus mengantar Zevanya pulang juga. Davanka berdecak sebal, dia beranjak dari kursi, memasukan ponselnya ke dalam saku celana lalu meraih minuman yang ada di meja. Dia habiskan satu kaleng minuman ringan itu kemudian pergi tanpa berkata apapun pada Zevanya bahkan menatap gadis itu pun tidak. Zevanya menyusul Davanka yang berjalan cepat menuju pintu. “Mas tunggu!” seru Zevanya ketika pintu lift akan tertutup. Davanka mana mau repot-repot menahan lift tapi beruntung Zevanya masih sempat masuk sebelum lift benar-benar tertutup. Zevanya melirik Davanka takut-takut, pria tampan di sampingnya tampak kesal. Dia jadi takut minta diantar pulang. “Mas Dava … anterin Anya sampai night club lagi aja, Anya simpen motor di sana.” Hening. Davanka tidak menjawab, matanya lurus ke depan menatap pintu lift yang seperti cermin. Dia bisa melihat dirinya berdiri sambil menyembunyikan kedua tangan ke dalam saku celana dan Zevanya di sampingnya sedang menoleh menatap ke arahnya. Entah Zevanya sedang menunggu balasan dari permintaannya barusan atau karena mengagumi ketampanan Davanka sampai lehernya tidak kenal pegal, menoleh terus menatap Davanka. Dia tidak sadar kalau Davanka bisa melihatnya dari pantulan pintu lift.“Mas Dava … Anya duduk di depan ya?” Anya berujar dalam bentuk kata tanya namun sebenarnya dia tidak butuh jawaban, dia sedang memberitahu Davanka.Dan seperti biasa Davanka tidak mau repot-repot mengeluarkan suara.Zevanya duduk di samping kemudi lalu memakai seatbelt setelah itu dia menoleh pada pria tampan yang sedari tadi diam saja tidak menganggapnya ada seakan Zevanya adalah makhluk tak kasat mata.“Mas Dava mau ‘kan anter Anya ke night club lagi?”Zevanya bertanya serius karena kalau tidak, dia akan pulang naik ojeg online saja.Dan lagi- lagi Davankan membungkam mulutnya rapat. “Iiihhh … gemeees, Anya cipok tuh bibir keritingnya baru tahu rasa.” Zevanya mengumpat kesal di dalam hati.Zevanya tidak bertanya lagi, terserah mau dibawa ke mana kalau perlu dia akan tidur di rumah pria itu jika Davanka membawanya pulang.“Ssshhh ….” Zevanya meringis.Luka yang dia dapatkan akibat terjatuh di aspal ternyata baru terasa sakit sekarang.Lutut dan bagian sisi telapak tangannya
“Anya … kamu pinjam uang ke siapa untuk bayar pengobatan ibu? Hutang kita ke bu RT aja belum dibayar.”Zevanya yang sedang memasukan barang-barang ibunya ke dalam tas kemudian membatu.Dia lantas menoleh menatap ibu Nina yang masih duduk di atas ranjang rumah sakit. Mereka tinggal menunggu perawat membawakan obat untuk ibu Nina yang akan dibawa pulang. “Anya dapet pinjaman dari mas Raga, Bu … ibu inget enggak mas Raga yang dulu murid ayah? Rumahnya di perumahan elit dekat komplek kita dulu, Bu.” Zevanya memang tidak bohong tapi tidak jujur juga kalau sebenarnya dia sempat ingin menjual diri untuk membayar pengobatan ibu Nina.Jangan sampai ibu Nina tahu karena bisa-bisa nanti beliau masuk rumah sakit lagi tapi dengan diagnosa stroke.“Oh … anaknya pak Adhitama?” Ternyata ibu Nina masih ingat.“Iya, Bu.” “Kok bisa kamu pinjam uang sama dia? Kalian udah lama enggak ketemu, kan?” Ibu Nina jadi curiga.“Anya pernah ketemu sama mas Raga beberapa kali di tempat kerja, Bu …
“Eh … anak Bunda udah pulang, tumben pulang cepet.” Suara bunda terdengar begitu hangat saat Davanka menginjakan kaki di ruang makan.Kedua orang tuanya sudah duduk di sana, baru akan memulai makan malam.“Biar bisa makan malam bareng Bunda sama ayah.” Davanka menjawab setelah mengecup pipi kiri dan kanan sang bunda.Dia beralih pada ayah, mengecup bagian punggung tangannya lalu duduk di samping kiri ayah yang menempati ujung meja.Davanka jadi bisa berhadapan dengan Bunda.Selama makan malam tidak ada perbincangan serius.Bunda bercerita kalau ketiga adiknya yang berkuliah di New York akan pulang untuk berlibur.Sampai ayah mengatakan atau lebih tepatnya meminta ijin kepada bunda untuk pergi golf. “Loh … kita ‘kan mau kedatangan tamunya Abang,” kata bunda saat ayah meminta ijin untuk golf besok pagi.Davanka mengangkat pandangannya menatap bunda.Dia seperti bingung mendengar ucapan sang bunda.“Abang ‘kan janji sama bunda mau bawa cewek yang akan Abang jadiin istri.”
Suasana rumah ayah dan bunda sekarang terasa ramai dan hangat, ketiga anaknya pulang ke Indonesia dalam rangka liburan.Si kembar Kanaya dan Kaluna langsung memeluk Davanka ketika baru saja pria itu menjejakkan kakinya di ruang tamu.Sedangkan Zyandru si bungsu hanya mengulurkan kepalan tangan dan Davankan mengadukan kepalan tangannya dengan sang adik.“Abang katanya mau nikah?” tanya Kaluna yang menggelayuti lengan Davanka.Sedangkan Kanaya sudah kembali duduk di sofa bersama ayah.Davanka sempat melirik Kanaya yang kini merebahkan kepala di pundak ayah.Adiknya pasti sedang merajuk agar tidak dijodohkan dengan pria pilihan ayah.“Enggak ….” Davanka menjawab pertanyaan Kaluna namun seketika sang bunda menoleh dramatis bersama kerutan di kening menatap tajam Davanka.“Eh … iya.” Davanka pun meralat dari pada durhaka.“Iya … apa enggak?” Zyandru bertanya memastikan.“Iya,” jawab Davanka menjatuhkan bokongnya di sofa. “Abang udah makan?” Bunda bertanya dengan suara lembut..
“Kamu beneran mau nikah sama Ryley?” Adalah pertanyaan pertama yang Davanka yang dia lontarkan saat akhirnya mereka bisa berdua saja.Bunda meminta Kanaya ditemani Davanka membeli kue untuk diantarkan ke rumah sahabat bunda yang anaknya sedang sakit.Kebetulan Kanaya dan anak dari sahabat bunda adalah teman semasa sekolah dulu. Davanka yang tidak ada kegiatan di hari Sabtu yang cerah ini pun mau saja mengikuti perintah bunda karena kebahagiaan bunda adalah harga mati buat mereka.Kalau bunda kesal dan marah, rumah akan seperti di Neraka.“Enggak lah, gila aja … mana sudi aku nikah sama Playboy kelas ikan paus gitu.” Kanaya bergidik dengan tampang judes.“Tapi Ryley itu menantu able banget.” Davanka tidak ada maksud mempengaruhi, dia hanya berpendapat.Dia sudah mengetahui siapa Ryley Alterio.“Tapi enggak suami able … dia itu sering gonta-ganti cewek … dia enggak mungkin setia.” Kanaya memberitahu rahasia umum tentang Ryley dan sesungguhnya ayah juga Davanka mengetahuinya t
Setelah membeli kue, kakak beradik itu mengunjungi rumah sahabat bunda yang bernama tante Lussy.“Eeeeh … Abang Dava,” Tante Lussy menyapa hangat.Beliau memeluk Davanka sekilas.“Kanaya lagi liburan di Jakarta ya?” Tante Lussy beralih pada Kanaya.“Iya Tante.” Kanaya menyahut dengan senyum tipis.“Ini kita bawa kue buat Cecil.” Kanaya menyerahkan paperbag besar berisi kue kepada tante Lussy.“Waah, jadi ngerepotin tapi Cecil pasti suka … apalagi ada Abang Dava.” Tante Lussy meminta asisten rumah tangganya menerima kue tersebut.Kalimat terakhir tante Lussy itu mengganjal di hati Davanka, dia tidak mengerti kenapa Cecil harus suka dengan kedatangannya?“Ayo … kita ke kamarnya Cecil … Cecil masih lemes jadi enggak bisa keluar kamar dulu.”Tante Lussy menuntun Kanaya dan Davanka menaiki tangga mewah yang berada di tengah-tengah rumah besar itu.Ketiganya melangkah cukup jauh melewati lorong panjang untuk tiba di depan pintu kamar Cecil.“Cecil … ada Kanaya sama abang Dava.”
Zevanya sepertinya tidak pernah merasakan lelah, siang hari dia harus kuliah, sorenya membersihkan apartemen Raga dan malamnya bekerja di night club.Tapi, hari Sabtu ini dia hanya memiliki satu jadwal kuliah saja jadi waktu luangnya bisa dia habiskan untuk mengerjakan tugas.Rencananya, Zevanya akan mengerjakan tugas di apartemen Raga.Siapa tahu pria itu bisa membantunya.Zevanya sudah tiba di basement apartemen Raga paling bawah di mana tempat parkir motor berada.Setelah membuka helm dan jaket, Zevanya masuk ke dalam lift yang kemudian membawanya ke lantai di mana unit apartemen Raga berada.Dia melangkah riang hingga depan pintu unit apartemen Raga kemudian menekan digit-digit angka untuk membuka kunci.Suasana apartemen Raga terang benderang saat Zevanya masuk, dindingnya yang sebagian besar kaca itu membuat setiap ruangan bermandikan cahaya.“Mas Raga,” panggil Zevanya yang melangkah lebih jauh ke dalam apartemen itu. Matanya lang
“Gilaaaa!! Si Aya memang gila, psikopat dia ….” Raga sampai harus berteriak untuk menyaingi suara musik kencang yang sedang dimainkan DJ.“Adek gue ituu!” ujar Davanka nyolot dan Raga malah tertawa sambil menggelengkan kepalanya.Davanka baru saja menceritakan tentang tuntutan ayah bunda yang memintanya mencari calon istri juga rencana Kanaya untuk menggagalkan perjodohannya dengan pria pilihan ayah.Dan sekarang, Raga dan Davanka sedang berada di night club.Awalnya tidak ada niat mengunjungi tempat ini tapi ketika Raga tiba di apartemen sehabis kencan dengan kekasihnya, dia bertemu Zevanya yang hendak pamit untuk pergi bekerja jadi Raga mencetuskan ide mengajak Davanka ke night club sekalian mengantar Zevanya bekerja.Sebetulnya Zevanya sudah menolak karena membawa sepeda motor tapi Raga berjanji kalau dia akan mengantar Zevanya pulang ke rumah dan besok pagi sepeda motor Zevanya di antar ke rumah oleh supirnya.Kita lihat saja nanti apakah ucapan pria lucknut itu bisa diperca
Matahari terbenam di atas horizon, memancarkan warna keemasan yang indah di langit Hawai. Di tepi pantai yang tenang, Davanka dan Zevanya berjalan beriringan, tangan mereka saling menggenggam erat. Di depan mereka, Aksara dan Ashera sedang bermain dengan gembira di pasir, membangun istana pasir dan tertawa riang. Davanka tersenyum menatap ke arah Aksara dan Ashera, sambil mengeratkan genggaman tangannya. “By, lihat betapa bahagianya mereka. Abang rasa mereka enggak akan pernah melupakan liburan ini.” Zevanya mengangguk, matanya menatap putra dan putrinya penuh cinta. “Liburan ini memang sempurna. Terima kasih karena telah memilih tempat yang indah ini, Abang.” Davanka tersenyum, menatap laut dengan mata penuh kebahagiaan. “Kakek selalu mengatakan kalau tempat ini adalah tempat terbaik untuk menciptakan kenangan keluarga. Abang ingin anak-anak kita tumbuh dengan kenangan indah seperti ini.” Aksara berlari mendekat, ekspresi di wajahnya penuh semangat. “Ayah, B
Di sebuah rumah sakit bersalin yang mewah nyaman, Davanka berjalan mondar-mandir di koridor seperti ayam jago yang kebingungan. Wajahnya pucat, tangan kanan memegang ponsel, tangan kiri mengacung gelas kopi yang isinya sudah habis sejak sejam lalu.Dari dalam kamar bersalin, suara Zevanya terdengar berteriak-teriak, membuat Davanka berkeringat lebih banyak daripada saat jogging pagi.“Abang! Kalau kamu cuma mau mondar-mandir, sini gantikan Anya dulu!” teriak Zevanya dengan nada bercampur emosi dan kesakitan.“Gantikan? Gantikan apa, Anya? Abang enggak mungkin melahirkan untuk kamu, sayang …,” jawab Davanka gugup sambil setengah membuka pintu.Zevanya menatapnya dengan mata menyala. “Ya kalau enggak bisa bantu melahirkan, minimal kasih Anya semangat! Abang itu suami atau figuran sih di sini?”“Semangat, sayang! Kamu pasti bisa!” seru Davanka, setengah meloncat sambil mengepalkan tangan seperti cheerleader yang salah tempat.“Abang, serius! Duduk di sini, pegang tangan Anya! Kalau Anya
Jam sudah menunjukkan pukul dua pagi ketika suara aneh terdengar dari kamar tidur. Suara itu datang dari sisi tempat tidur, tempat di mana Zevanya biasa tertidur dengan tenang. Namun malam ini, situasinya berbeda.Zevanya tiba-tiba terbangun, matanya yang bulat terbelalak seperti baru tersadar dari mimpi buruk. Dengan suara terengah-engah, dia menoleh ke arah suaminya, Davanka, yang sedang terbaring di sampingnya."Abang ...." Zevanya bergumam dengan wajah setengah bingung. "Anya ngidam."Davanka mengerutkan kening, mengira istrinya hanya terjaga karena mimpi. "Ngidam? Anya, ini ‘kan sudah hampir jam tiga pagi, kamu yakin?"Zevanya duduk, memegangi perutnya yang mulai membesar, matanya tetap terjaga. "Iya, Anya ngidam banget, Abang … Anya pengen makan ... nasi goreng dengan buah durian!" Suaranya penuh dengan keyakinan, seolah itu adalah hal yang paling masuk akal di dunia ini.Davanka terdiam sejenak, mencoba mencerna permintaan itu. "Nasi goreng ... durian
“Aksaraaaa ….” Bunda Arshavina memanggil dengan suara mendayu dari arah pintu utama. Aksara langsung berlarian menuju ke sana tanpa menggunakan celana. “Eh … ke mana celananya?” Ayah Kama bertanya. “Abis pipis.” Aksara memberitahu sembari menepuk bokong. “Iiiih belum sunat.” Bunda menunjuk bagian bawah Aksara yang langsung ditutupi bocah laki-laki itu sembari cekikikan. “Aksaraaaa, pakai celana dulu!” Zevanya berseru dari dalam rumah. “Eh … Ayah … Bunda.” Zevanya baru menyadari kedatangan kedua mertuanya dan langsung menyalami mereka. “Abang pakai celana dulu ya,” kata Zevanya tapi Aksara malah lari ke dalam gendongan sang kakek. “Aduuuuh, cucu kakek sudah berat.” “Kakek! Abang enggak mau pakai celana.” Aksara meronta-ronta dalam gendongan sang kakek saat bundanya berusaha memakaikan celana. “Ayo pakai dulu celananya atau nanti Nenek sunat? Mana gunting? Mana gunting?” Bunda Arshavina pura-pura mencari gunting. “Enggak mau!” Aksara menjerit sambil terta
Davanka benar-benar menjadi bapak-bapak sekarang, tapi bukan bapak-bapak biasa.Pria itu pantas diberi julukan hot daddy dengan perawakan tinggi dan tubuhnya yang atletis serta ketampanan bak Dewa Yunani yang dia miliki membuat para gadis, janda dan istri orang tidak bisa melepaskan tatapan setiap kali melihat Davanka.Seperti saat ini, para papa yang lain seolah tidak memiliki harga diri karena para mama yang menemani putra dan putri mereka di play ground mall ternama di Jakarta terus menatap Davanka yang tengah menemani Aksara bermain sementara Zevanya sedang melakukan perawatan rambut di salon yang masih ada di mall tersebut.Kegiatan rutin di saat weekend yang dilakukan Davanka sekeluarga adalah ngemall karena Aksara masih berusia tiga tahun yang kalau diajak jalan-jalan keluar kota atau keluar Negri masih sering tantrum.Jadi ketika Davanka ada perjalanan bisnis saja baru Zevanya dan Aksara ikut.“Ma … itu liatin anaknya, jangan liatin suami orang terus!” tegur salah seorang
“Pak, malam ini ada acara charity sama komunitas Pengusaha Muda … Mentri Perdagangan dan Mentri Investasi juga jadi tamunya, kesempatan yang bagus mendekati mereka untuk proyek baru yang akan mulai dikembangkan oleh AG Group.” Arman mencetuskan sebuah ide brilliant. “Kamu yang datang temani ayah, ya!” Davanka bukan sedang bertanya tapi memerintah. Pria itu bangkit dari kursi kebesarannya bergerak ke sudut ruangan meraih jas yang tergantung di sana lalu memakainya. “Laporkan hasil yang kamu dapat dari acara itu.” Davanka memberi instruksi pada sekertarisnya. “Ta-tapi, Pak …,” sergah Arman saat Davanka melewatinya. Davanka menghentikan langkah membalikan badannya menatap Arman tanpa ekspresi. “Kamu enggak mampu?” Pertanyaan Davanka adalah sebuah tekanan agar Arman menjawab sebaliknya. “Mampu, Pak!” Arman menjawab lugas. Davanka membalikan badannya lagi. “Saya pulang duluan ya, Man.” Pria itu mengangkat tangan sembari melangkah keluar dari ruangannya meninggalkan A
Davanka lupa mengganti mode hening ke bunyi di ponselnya usai bertemu klien di meeting room sebuah hotel.Selama hampir lima jam lamanya Davanka ditemani sekertaris barunya melakukan pertemuan dengan klien dari Korea untuk menjalin kerjasama bisnis.Tapi tidak sia-sia karena Davanka akhirnya berhasil meyakinkan klien dari Negri ginseng itu untuk bekerja sama dengan perusahaannya.Sekarang Davanka merasakan tubuhnya lelah sekali, kepalanya bersandar pada sandaran jok mobil yang nyaman dengan mata terpejam.“Pak Dava, apa Bapak sudah mengecek ponsel Bapak?” Arman-sang sekertaris berujar dari kursi penumpang depan.“Belum … kenapa, Man?” Davanka menegakan tubuhnya merogoh saku jas mencari ponsel.“Ibu sudah melahirkan, Pak.” Arman berujar hati-hati.Dia juga tidak mengecek ponselnya karena sibuk memperhatikan jalannya rapatu tuk membuat Notulen.“Apa?” Davanka tersentak, matanya terbelalak.
“Apa kabar Anya? Perut kamu besar banget.” Adalah Noah yang menyambut Zevanya duluan.Terakhir kali dia bertemu Noah saat ditonjok oleh Davanka di Malaysia sebelum mereka pulang ke Indonesia.“Baik … iya nih, sebentar lagi melahirkan.” Zevanya mengusap perutnya.“Kamu berdua aja? Enggak sama Dava?” Itu Alvaro yang bertanya.“Enggak … Abang enggak tahu kalau Anya ngemall, tadi minta ijin malah dilarang … tapi besok Abang ulang tahun dan Anya harus beli kado.” Zevanya menunjuk paperbag yang di pegang Maria, wajah Maria memucat mendengar pengakuan Zevanya.“Pasti gue yang kena semprot nih.” Maria membatin.“Oh iya, si Dava ulang tahun besok.” Noah seakan diingatkan.“Duduk sini, Nya … makan bareng kita.” Alvaro mempersilahkan.“Enggak usah, Anya cari meja lain aja.” Zevanya takut kalau Davanka tahu lantas mengamuk.“Enggak apa-apa, sini duduk sama kita aja … duduk di sebelah gue, si Dava enggak cemburu sama gue.” Noah menarik tangan Zevanya agar duduk di kursi sebelahnya membuat dia ti
Davanka berjalan menyusuri lorong di kantornya yang dulu, dia belum membuat janji dengan Raga yang sekarang menjabat sebagai CEO di sana tapi kebetulan arah jalan yang ditempuh untuk kembali ke kantor usai mengunjungi suatu proyek melewati kantor ini jadi Davanka putuskan untuk mampir sebentar karena ada yang akan dia bicarakan dengan sahabatnya itu.Dengan sangat kebetulan, seorang wanita yang kini sedang berjalan berlawanan arah dengannya baru saja keluar dari ruangan Raga nyaris membuat Davanka memutar badan mengurungkan niat bertemu sang sahabat.Namun dia tidak ingin wanita itu mengatainya sebagai pengecut sehingga Davanka ayun langkahnya tegas hingga akhirnya mereka berpapasan.Wanita itu mencekal tangan Davanka menghentikan langkahnya.“Mau sampai kapan lo pura-pura enggak kenal sama gue?” Ramona bersarkasme.Davanka masih tetap tenang menatap ke depan.“Sampe lo enggak nyinggung sedikitpun tentang gue dalam cerita Anya,” sambung Ramona lalu tertawa sumbang.Sengaja Davanka tid