Share

Booster

“Anya … kamu pinjam uang ke siapa untuk bayar pengobatan ibu? Hutang kita ke bu RT aja belum dibayar.”

Zevanya yang sedang memasukan barang-barang ibunya ke dalam tas kemudian membatu.

Dia lantas menoleh menatap ibu Nina yang masih duduk di atas ranjang rumah sakit.

Mereka tinggal menunggu perawat membawakan obat untuk ibu Nina yang akan dibawa pulang.

“Anya dapet pinjaman dari mas Raga, Bu … ibu inget enggak mas Raga yang dulu murid ayah? Rumahnya di perumahan elit dekat komplek kita dulu, Bu.”

Zevanya memang tidak bohong tapi tidak jujur juga kalau sebenarnya dia sempat ingin menjual diri untuk membayar pengobatan ibu Nina.

Jangan sampai ibu Nina tahu karena bisa-bisa nanti beliau masuk rumah sakit lagi tapi dengan diagnosa stroke.

“Oh … anaknya pak Adhitama?” Ternyata ibu Nina masih ingat.

“Iya, Bu.”

“Kok bisa kamu pinjam uang sama dia? Kalian udah lama enggak ketemu, kan?”

Ibu Nina jadi curiga.

“Anya pernah ketemu sama mas Raga beberapa kali di tempat kerja, Bu … terus waktu ketemu mas Raga lagi, Anya coba-coba minta tolong … dan ternyata mas Raga mau bantuin Anya kasih pinjaman uang jadi Anya bisa bayar rumah sakit dan hutan ke Bu RT.”

Ibu Nina mengembuskan napasnya, raut wajah beliau berubah sendu.

“Memangnya kamu mau bayar pake apa? Gaji kamu cuma cukup bayar kontrakan, bayar kuliah sama makan kita sehari-hari.”

Ibu Nina salah, gaji Zevanya tidak cukup untuk membayar uang kuliah.

Gaji dari bekerja di night club tanpa mendapat tip tidak lah besar.

Teman-temannya yang lain sering dapat tip tapi Zevanya tidak, kenapa?

Karena dia tidak mau disentuh atau melayani keinginan mesum para tamu pria.

Dia benar-benar bekerja membawa minuman saja.

Dan, ibu Nina tidak tahu kalau Zevanya bekerja di night club.

Setau ibu Nina, putrinya bekerja menjadi kasir sebuah minimarket.

“Anya bayarnya pakai tenaga, Bu … sekarang mas Raga tinggal di apartemen … jadi setiap hari pulang kuliah, Anya ke apartemen mas Raga beres-beres apartemennya, nyapu sama nyuci baju … kebetulan tempat kerja Anya sama apartemen mas Raga deket jadi Anya enggak perlu pulang dulu sehabis kuliah kalau mau kerja ….” Zevanya menjelaskan dan alasannya itu masuk akal bagi ibu Nina.

“Nak Raga baik ya, Nya … sampaikan salam ibu sama nak Raga nanti ya.”

Zevanya tersenyum lega, ibunya percaya. “Iya, Bu.”

Keduanya pun menoleh saat seorang perawat datang membawakan obat-obatan untuk ibu Nina.

Perawat muda itu juga memberikan surat kontrol yang harus dilakukan ibu Nina seminggu lagi.

Setelah selesai urusan dengan pihak rumah sakit, Zevanya bisa membawa ibunya pulang.

“Bu, Anya pesen taksi online dulu ya … Ibu duduk di sini.” Zevanya menuntun ibu Nina ke kursi di depan loby.

Dia juga menyimpan tas ibu Nina di lantai di dekat kaki ibu lalu mengotak-ngatik ponselnya.

“Kenapa enggak pake motor aja, Nya? Pakai taksi online ‘kan mahal.”

“Ya masa Anya bawa Ibu naik motor, bisa kebuka itu jaitan Ibu.”

Ibu Nina tertawa dan demi apa, Zevanya rela memberikan apapun hanya agar bisa melihat ibunya tersenyum dan tertawa.

“Itu taksinya, Bu ….”

“Wah cepet ya Nya datangnya.”

“Anya ‘kan bestian sama supirnya, Bu.”

Zevanya menanggapi asal ucapan ibunya sambil memapah beliau masuk ke dalam taksi online.

Empat puluh lima menit kemudian mereka tiba di depan mulut gang rumah kontrakan.

Keduanya harus berjalan kurang lebih sejauh seratus meter untuk tiba di rumah.

Ibu Nina memegangi lengan putrinya begitu erat, dia masih lemas tapi tidak mungkin meminta Zevanya menggendongnya.

“Ibu mau naik ojeg?”

Zevanya bertanya ketika melihat wajah pucat ibu Nina.

“Enggak usah lah, udah dekat.” Ibu Nina menolak.

Jarak dari mulut gang memang dekat, kalau ibu sedang tidak sakit seperti ini.

Bu Nina langsung merebahkan tubuhnya di sofa panjang di ruang tamu yang bersatu dengan ruang televisi begitu sampai di rumahnya.

“Haduuuuh, ibu rindu rumah … enggak enak tidur di rumah sakit tuh … berisik, bau obat ….” Ibu Nina berceloteh dengan mata terpejam, tangannya mengusap-ngusap dudukan sofa.

“Anya beli makan malem dulu untuk ibu ya, soalnya Anya harus ke apartemen mas Raga ….”

“Enggak usah, Nya … ibu makan telur aja nanti, masih ada telur di kulkas, kan?”

“Ada Bu, ya udah … Anya masakin nasi dulu ya.”

“Biar Ibu aja, Nya.”

Zevanya hanya tersenyum, dia tidak mengindahkan ucapan ibu Nina.

Langsung pergi ke dapur untuk memasak nasi.

“Nya … nanti nak Raga keburu pulang dari kantor terus lihat apartemennya masih berantakan, gimana? Udah … ibu bisa masak nasi sendiri.”

“Enggak apa-apa, Bu … mas Raga baik kok ….”

Zevanya tetap memasak nasi untuk ibunya.

Ibu Nina menatap punggung Zevanya yang sedang mencuci beras dengan mata basah oleh buliran kristal.

Dia merasa telah menjadi beban Zevanya padahal semestinya dia yang mengurus dan membiayai sang putri.

“Makasih ya, Nya.”

Zevanya membalikan badan mendengar ibu Nina berucap demikian, kebetulan dia baru selesai mencuci beras tinggal memasukannya ke dalam magicom.

“Terimakasih untuk apa, Bu?” Zevanya bertanya, telunjuknya menekan tombol cook pada magicom.

“Karena udah bekerja keras merawat dan membiayai Ibu … maafkan Ibu ya, Nya … setelah pulih, Ibu akan berjualan nasi kuning lagi untuk bantu bayar biaya kuliah kamu.” Ibu Nina mengatakannya di sela isak tangis.

“Buuuu, Anya yang harus berterimakasih sama Ibu karena udah melahirkan Anya ….” Zevanya memeluk ibu Nina.

Wanita yang telah melahirkan Zevanya itu memang melankolis.

Sesungguhnya Zevanya juga bukan gadis tangguh, dia terpaksa.

Mental Zevanya ditempa oleh keadaan, dia tidak boleh menangis, dia tidak boleh lemah karena hanya akan membuatnya kehilangan fokus.

Dia harus kuat untuk bisa bertahan hidup.

“Mau Anya buatin telur dadar, Bu?”

Zevanya mengurai pelukan.

“Enggak usah, kamu pergi aja … ibu belum laper, kok … hati-hati di jalan ya … semoga Tuhan melindungi kamu ya, Nak.”

Kedua tangan ibu Nina merangkum pipi Zevanya kemudian mengecup kening putrinya.

Zevanya memejamkan mata saat bibir ibu menempel di keningnya.

Kecupan ibu seperti booster yang membuat Zevanya kuat dan merasa kalau dia akan baik-baik saja, dia bisa melewati setiap kesulitan dan dia akan menjadi orang sukses nanti.

Setelah pamit dengan mengecup punggung tangan ibu, Zevanya memakai jaket juga helm.

Dia mengendarai motornya dengan kecepatan sedang ke apartemen Raga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status