“Enggak bisa! Si Anya harus dipecat, gue rugi banyak! Tamu tadi minta gue ganti rugi berobat ke rumah sakit dengan jumlah yang enggak masuk akal … lagian risiko kerja di night club ya kaya gitu, suruh siapa anak ustad kerja di night club … kenapa enggak pesantren aja sekalian.” Satria-Manager night club itu berteriak saat Raga meminta agar dia tidak memecat Zevanya.
Padahal Raga sudah menjelaskan kalau Zevanya dilecehkan dengan kasar dan terang-terangan tapi Satria tidak peduli.Baginya uang yang utama dan malam ini, dia kehilangan sejumlah uang karena sikap impulsif Zevanya.Pihak night club menyelesaikan urusan dengan para pria tua tadi setelah pria yang menganiaya Zevanya kalah duel dengan Davanka di lantai dansa.Satria memberikan sejumlah uang yang pria tua itu minta agar masalah cepat selesai tidak perlu berurusan dengan pihak berwajib apalagi media.Zevanya yang dibaringkan di sofa panjang kemudian mengerjap, dia siuman karena suara Satria yang membah“Mas … kayanya Anya bisa jadi stuntwoman deh … kalau Mas Raga ada kenalan produser film laga gitu, rekomendasiin Anya jadi stuntwoman ya … Anya tahan banting kok.” Zevanya mengakhiri kalimatnya dengan kekehan pelan.Raga mengembuskan napas panjang seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.Dia tidak menanggapi ucapan terakhir Zevanya.“Yok, gue anter sampe rumah aja … lo udah babak belur gini mana bisa naik motor.” Raga memegangi tangan Zevanya, membantunya masuk ke dalam mobil.Davanka sudah masuk lebih dulu dan duduk di samping kursi kemudi.Dan setelah Zevanya masuk ke kabin belakang, Raga menutup pintu mobil lalu bergerak ke bagian depan mobil untuk duduk di kursi kemudi.Sepanjang perjalanan tidak ada yang bersuara, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.Raga ingin sekali membantu Zevanya tapi gajinya dia habiskan sebagian untuk membiayai hidup dan gaya hidup lalu sebagian lagi untuk menabung karena dia memiliki kekasih yang
Pagi ini Zevanya bangun dengan rasa sakit luar biasa di sekujur tubuhnya terutama dibagian punggung.Semalaman dia tidur dalam posisi miring kemudian tengkurap karena tidak berani menekan punggungnya ke kasur.Kelopak matanya mengerjap, menelan saliva dan dia juga merasakan sakit di leher ketika menelan.Zevanya menurunkan kedua kaki secara perlahan membuat posisi tubuhnya menjadi duduk di sisi ranjang dan kini dia menghadap dinding dengan cermin setinggi tubuhnya tergantung di sana.Mata gadis itu membulat tatkala melihat lebam di leher.Mungkin karena cengkraman pria tua semalam di nightclub.Dia harus menyembunyikan lebam ini dari ibu.Zevanya bangkit dari sisi ranjang, dia meraih handuk yang tergantung di dinding lalu melingkarkannya di leher untuk menutupi lebam. Gadis itu kemudian keluar dari kamar.“Udah bangun, Nak?” Suara ibu membuat Zevanya terkesiap.Beliau ternyata sedang masak nasi goreng di dapur. “Ibu … kenapa ibu buat nasi goreng? Ibu masih harus banyak is
“Abang marah ya sama Bunda?” Baru saja bokongnya mendarat di kursi meja makan—Davanka sudah mendapat pertanyaan tersebut.Bunda mendapat kabar dari Kanaya kalau si sulung marah karena ternyata permintaan tolong bunda menjenguk anak sahabat beliau hanya alasan belaka untuk membuat dia bertemu Cecil-gadis yang hendak dijodohkan dengannya. “Iya,” jawab Davanka jujur sambil menatap bunda dengan ekspresi datar. “Pantesan hapenya enggak aktif semalaman.” Bunda menggerutu dengan bibir mengerucut. “Marah boleh, tapi jangan sampe matiin hape … kita ngehubungin kamu susah tadi malem, Abang jadi enggak ikut makan malam keluarga di luar,” tegur ayah pelan.“Kita bisa buat acara makan malam di luar nanti sekalian Abang ngenalin calon istri Abang sama Ayah dan Bunda.”Kalimat yang diucapkan Davanka kelewat santai itu membuat kedua orang tua dan ketiga adiknya yang duduk satu meja dengannya seketika menoleh.“Kok bisa? Cepet banget dapet cewek? Kamu enggak asal ‘kan cari cewek? Inget lho
Author Note : Maaf ada kesalahan publish di Chapter ini tapi sudah diedit dan teman2 bisa baca ulang tanpa perlu bayar lagi yang sudah buka Chapter ini, Terimakasih. *** “Nya, coba deh pikirin lagi … kalau lo terima tawaran ini, lo enggak perlu kerja … hidup lo sama ibu ditanggung si Dava … tunggakan biaya kuliah lo juga dilunasin si Dava dan hutang gue empat ratus juta ke si Dava untuk nebus lo dari madame Rossy juga lunas, jadi lo enggak perlu kerja lagi sama gue … lo tinggal kuliah aja yang bener,” bujuk Raga memaksa. Davanka dan Zevanya seketika menoleh menatap Raga dengan kerutan di kening. Jadi, Raga memberi ide kontrak bisnis tersebut pada Davanka agar dia tidak perlu melunasi hutang empat ratus juta untuk nebus Zevanya dari madame Rossy? Benar-benar otak lucknut. Raga menyengir lebar saat menyadari kalau dia telah kelepasan bicara. “Raga nebus lo dari madame Rossy pake duit gue dan sekarang gue mau duit itu balik.” Dengan santai Davanka berujar demikian de
Author Note : Mohon maaf ada kesalahan publish di Chapter sebelumnya tapi sudah diperbaiki jadi dimohon membaca ulang Chapter sebelumnya agar ceritanya bisa dimengerti.*** “Dasar cewek sialan!” Eliza menjambak rambut Zevanya, mereka seperti anak SMA yang bertengkar memperebutkan kakak kelas. “Aw … sakit Eliza!” teriak Zevanya berusaha melepaskan tangan Eliza dari rambutnya. “Ini hukuman karena lo masih berhubungan sama tunangan gue!” Jambakan Eliza semakin kencang menghasilkan erangan kesakitan dari Zevanya. Mereka dikerubungi bayak mahasiswa dan mahasiswi yang malah menonton tidak berniat membantu termasuk Farida yang bertepuk tangan karena Eliza-sahabatnya mendominasi perkelahian tersebut. “Gue enggak pernah berhubungan sama Yoga lagi setelah hubungan kami putus.” Di antara rasa sakit dan usahanya melepaskan diri dari Eliza—Zevanya melakukan pembelaan. “Bohong! Kemarin waktu nyokap lo di rumah sakit, Yoga datang jenguk nyokap lo … kalian pasti ketemu, kan?” “Enggak! G
Lamunan Zevanya tentang kisah cintanya yang tidak beruntung bersama Yoga harus berhenti di depan ruang Rektorat.Dia masuk ke dalam sana dan tatapannya langsung bersirobok dengan wanita bertubuh gempal yang pernah menegurnya keras karena Zevanya meminta perpanjangan waktu pembayaran uang kuliah.Wanita itu menatap malas Zevanya.“Kamu enggak bisa ikut ujian kalau belum bisa bayar uang kuliah,” belum apa-apa wanita itu sudah mengancam.“Kasih Anya waktu lagi ya Bu Lies.” Zevanya memohon, dia belum menandatangani kontrak bisnis dengan Davanka jadi belum ada satu pun hak yang bisa dia dapatkan dari perjanjian tersebut.“Kirain kamu ke sini mau minta Surat Pengantar Keterlambatan Bayar.” Wanita itu bersarkasme.“Anya mau minta waktu lagi, Bu.” Zevanya berujar hati-hati.“Zevanya, harusnya kamu bayar itu sebelum masuk semester ini tapi kamu minta keringanan dan saya kabulkan karena kamu mahasiswi berprestasi … dan sekarang semester ini hampir selesai, kamu masih belum bisa bayar jug
“Mas Dava … Anya mau jadi pacar pura-puranya Mas Dava,” kata Zevanya sambil mendongak dan tangan yang masih menggenggam tangan Davanka.Dia sedang berbasa-basi sebenarnya.Davanka menatap lurus Zevanya, terdapat kerutan halus di keningnya dengan sorot mata tajam yang berhasil membuat Zevanya menahan napas.Gadis itu sudah menyetujuinya kemarin, kenapa dia mengatakannya lagi?Davanka kemudian melirik tangannya yang digenggam Zevanya.Zevanya yang menyadari hal itu refleks melepaskan tangan Davanka.“Sorry,” gumam Zevanya, wajahnya mengerut, dia malu.“Kita tanda tangan kontrak sekarang, kan? Soalnya Anya butuh banget uangnya sekarang.” Kalimat Zevanya itu memberitahu Davanka kalau dia sedang terdesak dan sangat membutuhkan uang.Alih-alih menanggapi ucapan Zevanya, Davanka membalikan badan dan mulai menarik langkah menjauh.“Mas Dava!” seru Zevanya memanggil, dia panik.Kenapa Davanka tidak mengatakan apapun? Apakah pria i
“Mas Dava … boleh Anya minta uangnya sekarang? Anya harus bayar kuliah besok biar bisa ikut ujian … sama bayar kontrakan.” Zevanya mengingatkan sambil tersenyum lebar.Davanka mengeluarkan ponselnya dari saku celana.“Berapa nomor rekening lo?” Davanka akan mentransfer uangnya ke rekening Zevanya melalui Mobile banking. Zevanya menyebutkan nomor rekening, dia lega karena masalah finansialnya telah terselesaikan dengan menggadaikan dirinya pada Davanka. Pasti malu sekali ayahandanya di akhirat sana karena untuk bertahan hidup, sang putri sampai pernah kerja di night club bahkan nyaris menjual dirinya lalu sekarang akan pura-pura menjadi kekasih Davanka, melakukan kebohongan terbesar karena membohongi satu keluarga Davanka.Sia-sia beliau menjadi seorang ustad mengajarkan Zevanya tentang Agama.Mau bagaimana lagi, dengan statusnya sebagai mahasiswi hanya ini yang bisa Zevanya lakukan. Kalau Zevanya sampai putus kuliah, dia cuma bisa mendapat
Matahari terbenam di atas horizon, memancarkan warna keemasan yang indah di langit Hawai. Di tepi pantai yang tenang, Davanka dan Zevanya berjalan beriringan, tangan mereka saling menggenggam erat. Di depan mereka, Aksara dan Ashera sedang bermain dengan gembira di pasir, membangun istana pasir dan tertawa riang. Davanka tersenyum menatap ke arah Aksara dan Ashera, sambil mengeratkan genggaman tangannya. “By, lihat betapa bahagianya mereka. Abang rasa mereka enggak akan pernah melupakan liburan ini.” Zevanya mengangguk, matanya menatap putra dan putrinya penuh cinta. “Liburan ini memang sempurna. Terima kasih karena telah memilih tempat yang indah ini, Abang.” Davanka tersenyum, menatap laut dengan mata penuh kebahagiaan. “Kakek selalu mengatakan kalau tempat ini adalah tempat terbaik untuk menciptakan kenangan keluarga. Abang ingin anak-anak kita tumbuh dengan kenangan indah seperti ini.” Aksara berlari mendekat, ekspresi di wajahnya penuh semangat. “Ayah, B
Di sebuah rumah sakit bersalin yang mewah nyaman, Davanka berjalan mondar-mandir di koridor seperti ayam jago yang kebingungan. Wajahnya pucat, tangan kanan memegang ponsel, tangan kiri mengacung gelas kopi yang isinya sudah habis sejak sejam lalu.Dari dalam kamar bersalin, suara Zevanya terdengar berteriak-teriak, membuat Davanka berkeringat lebih banyak daripada saat jogging pagi.“Abang! Kalau kamu cuma mau mondar-mandir, sini gantikan Anya dulu!” teriak Zevanya dengan nada bercampur emosi dan kesakitan.“Gantikan? Gantikan apa, Anya? Abang enggak mungkin melahirkan untuk kamu, sayang …,” jawab Davanka gugup sambil setengah membuka pintu.Zevanya menatapnya dengan mata menyala. “Ya kalau enggak bisa bantu melahirkan, minimal kasih Anya semangat! Abang itu suami atau figuran sih di sini?”“Semangat, sayang! Kamu pasti bisa!” seru Davanka, setengah meloncat sambil mengepalkan tangan seperti cheerleader yang salah tempat.“Abang, serius! Duduk di sini, pegang tangan Anya! Kalau Anya
Jam sudah menunjukkan pukul dua pagi ketika suara aneh terdengar dari kamar tidur. Suara itu datang dari sisi tempat tidur, tempat di mana Zevanya biasa tertidur dengan tenang. Namun malam ini, situasinya berbeda.Zevanya tiba-tiba terbangun, matanya yang bulat terbelalak seperti baru tersadar dari mimpi buruk. Dengan suara terengah-engah, dia menoleh ke arah suaminya, Davanka, yang sedang terbaring di sampingnya."Abang ...." Zevanya bergumam dengan wajah setengah bingung. "Anya ngidam."Davanka mengerutkan kening, mengira istrinya hanya terjaga karena mimpi. "Ngidam? Anya, ini ‘kan sudah hampir jam tiga pagi, kamu yakin?"Zevanya duduk, memegangi perutnya yang mulai membesar, matanya tetap terjaga. "Iya, Anya ngidam banget, Abang … Anya pengen makan ... nasi goreng dengan buah durian!" Suaranya penuh dengan keyakinan, seolah itu adalah hal yang paling masuk akal di dunia ini.Davanka terdiam sejenak, mencoba mencerna permintaan itu. "Nasi goreng ... durian
“Aksaraaaa ….” Bunda Arshavina memanggil dengan suara mendayu dari arah pintu utama. Aksara langsung berlarian menuju ke sana tanpa menggunakan celana. “Eh … ke mana celananya?” Ayah Kama bertanya. “Abis pipis.” Aksara memberitahu sembari menepuk bokong. “Iiiih belum sunat.” Bunda menunjuk bagian bawah Aksara yang langsung ditutupi bocah laki-laki itu sembari cekikikan. “Aksaraaaa, pakai celana dulu!” Zevanya berseru dari dalam rumah. “Eh … Ayah … Bunda.” Zevanya baru menyadari kedatangan kedua mertuanya dan langsung menyalami mereka. “Abang pakai celana dulu ya,” kata Zevanya tapi Aksara malah lari ke dalam gendongan sang kakek. “Aduuuuh, cucu kakek sudah berat.” “Kakek! Abang enggak mau pakai celana.” Aksara meronta-ronta dalam gendongan sang kakek saat bundanya berusaha memakaikan celana. “Ayo pakai dulu celananya atau nanti Nenek sunat? Mana gunting? Mana gunting?” Bunda Arshavina pura-pura mencari gunting. “Enggak mau!” Aksara menjerit sambil terta
Davanka benar-benar menjadi bapak-bapak sekarang, tapi bukan bapak-bapak biasa.Pria itu pantas diberi julukan hot daddy dengan perawakan tinggi dan tubuhnya yang atletis serta ketampanan bak Dewa Yunani yang dia miliki membuat para gadis, janda dan istri orang tidak bisa melepaskan tatapan setiap kali melihat Davanka.Seperti saat ini, para papa yang lain seolah tidak memiliki harga diri karena para mama yang menemani putra dan putri mereka di play ground mall ternama di Jakarta terus menatap Davanka yang tengah menemani Aksara bermain sementara Zevanya sedang melakukan perawatan rambut di salon yang masih ada di mall tersebut.Kegiatan rutin di saat weekend yang dilakukan Davanka sekeluarga adalah ngemall karena Aksara masih berusia tiga tahun yang kalau diajak jalan-jalan keluar kota atau keluar Negri masih sering tantrum.Jadi ketika Davanka ada perjalanan bisnis saja baru Zevanya dan Aksara ikut.“Ma … itu liatin anaknya, jangan liatin suami orang terus!” tegur salah seorang
“Pak, malam ini ada acara charity sama komunitas Pengusaha Muda … Mentri Perdagangan dan Mentri Investasi juga jadi tamunya, kesempatan yang bagus mendekati mereka untuk proyek baru yang akan mulai dikembangkan oleh AG Group.” Arman mencetuskan sebuah ide brilliant. “Kamu yang datang temani ayah, ya!” Davanka bukan sedang bertanya tapi memerintah. Pria itu bangkit dari kursi kebesarannya bergerak ke sudut ruangan meraih jas yang tergantung di sana lalu memakainya. “Laporkan hasil yang kamu dapat dari acara itu.” Davanka memberi instruksi pada sekertarisnya. “Ta-tapi, Pak …,” sergah Arman saat Davanka melewatinya. Davanka menghentikan langkah membalikan badannya menatap Arman tanpa ekspresi. “Kamu enggak mampu?” Pertanyaan Davanka adalah sebuah tekanan agar Arman menjawab sebaliknya. “Mampu, Pak!” Arman menjawab lugas. Davanka membalikan badannya lagi. “Saya pulang duluan ya, Man.” Pria itu mengangkat tangan sembari melangkah keluar dari ruangannya meninggalkan A
Davanka lupa mengganti mode hening ke bunyi di ponselnya usai bertemu klien di meeting room sebuah hotel.Selama hampir lima jam lamanya Davanka ditemani sekertaris barunya melakukan pertemuan dengan klien dari Korea untuk menjalin kerjasama bisnis.Tapi tidak sia-sia karena Davanka akhirnya berhasil meyakinkan klien dari Negri ginseng itu untuk bekerja sama dengan perusahaannya.Sekarang Davanka merasakan tubuhnya lelah sekali, kepalanya bersandar pada sandaran jok mobil yang nyaman dengan mata terpejam.“Pak Dava, apa Bapak sudah mengecek ponsel Bapak?” Arman-sang sekertaris berujar dari kursi penumpang depan.“Belum … kenapa, Man?” Davanka menegakan tubuhnya merogoh saku jas mencari ponsel.“Ibu sudah melahirkan, Pak.” Arman berujar hati-hati.Dia juga tidak mengecek ponselnya karena sibuk memperhatikan jalannya rapatu tuk membuat Notulen.“Apa?” Davanka tersentak, matanya terbelalak.
“Apa kabar Anya? Perut kamu besar banget.” Adalah Noah yang menyambut Zevanya duluan.Terakhir kali dia bertemu Noah saat ditonjok oleh Davanka di Malaysia sebelum mereka pulang ke Indonesia.“Baik … iya nih, sebentar lagi melahirkan.” Zevanya mengusap perutnya.“Kamu berdua aja? Enggak sama Dava?” Itu Alvaro yang bertanya.“Enggak … Abang enggak tahu kalau Anya ngemall, tadi minta ijin malah dilarang … tapi besok Abang ulang tahun dan Anya harus beli kado.” Zevanya menunjuk paperbag yang di pegang Maria, wajah Maria memucat mendengar pengakuan Zevanya.“Pasti gue yang kena semprot nih.” Maria membatin.“Oh iya, si Dava ulang tahun besok.” Noah seakan diingatkan.“Duduk sini, Nya … makan bareng kita.” Alvaro mempersilahkan.“Enggak usah, Anya cari meja lain aja.” Zevanya takut kalau Davanka tahu lantas mengamuk.“Enggak apa-apa, sini duduk sama kita aja … duduk di sebelah gue, si Dava enggak cemburu sama gue.” Noah menarik tangan Zevanya agar duduk di kursi sebelahnya membuat dia ti
Davanka berjalan menyusuri lorong di kantornya yang dulu, dia belum membuat janji dengan Raga yang sekarang menjabat sebagai CEO di sana tapi kebetulan arah jalan yang ditempuh untuk kembali ke kantor usai mengunjungi suatu proyek melewati kantor ini jadi Davanka putuskan untuk mampir sebentar karena ada yang akan dia bicarakan dengan sahabatnya itu.Dengan sangat kebetulan, seorang wanita yang kini sedang berjalan berlawanan arah dengannya baru saja keluar dari ruangan Raga nyaris membuat Davanka memutar badan mengurungkan niat bertemu sang sahabat.Namun dia tidak ingin wanita itu mengatainya sebagai pengecut sehingga Davanka ayun langkahnya tegas hingga akhirnya mereka berpapasan.Wanita itu mencekal tangan Davanka menghentikan langkahnya.“Mau sampai kapan lo pura-pura enggak kenal sama gue?” Ramona bersarkasme.Davanka masih tetap tenang menatap ke depan.“Sampe lo enggak nyinggung sedikitpun tentang gue dalam cerita Anya,” sambung Ramona lalu tertawa sumbang.Sengaja Davanka tid