“Mas Dava … Anya duduk di depan ya?” Anya berujar dalam bentuk kata tanya namun sebenarnya dia tidak butuh jawaban, dia sedang memberitahu Davanka.Dan seperti biasa Davanka tidak mau repot-repot mengeluarkan suara.
Zevanya duduk di samping kemudi lalu memakai seatbelt setelah itu dia menoleh pada pria tampan yang sedari tadi diam saja tidak menganggapnya ada seakan Zevanya adalah makhluk tak kasat mata. “Mas Dava mau ‘kan anter Anya ke night club lagi?” Zevanya bertanya serius karena kalau tidak, dia akan pulang naik ojeg online saja. Dan lagi- lagi Davankan membungkam mulutnya rapat. “Iiihhh … gemeees, Anya cipok tuh bibir keritingnya baru tahu rasa.” Zevanya mengumpat kesal di dalam hati. Zevanya tidak bertanya lagi, terserah mau dibawa ke mana kalau perlu dia akan tidur di rumah pria itu jika Davanka membawanya pulang. “Ssshhh ….” Zevanya meringis. Luka yang dia dapatkan akibat terjatuh di aspal ternyata baru terasa sakit sekarang. Lutut dan bagian sisi telapak tangannya perih. Diam-diam Davanka melirik ke samping, Zevanya sedang menekan-nekan luka di lutut dan tangannya menggunakan tissue kering. Gadis itu bahkan belum sempat mencuci lukanya dengan air apalagi mengobati luka tersebut. Sepertinya tadi Raga tidak memperhatikan luka di tubuh Zevanya, yang paling terlihat jelas sebenarnya di bagian pelipis tapi tampaknya tadi tertutup poni sehingga pada saat berbicara dengan Zevanya—Raga tidak melihat kalau gadis itu terluka. Kenapa juga Zevanya tidak mengeluh atau minta diobati ketika mereka masih berada di apartemen Raga tadi? Di saat sedang bergulat dengan pikirannya apakah perlu mengantar Zevanya ke rumah sakit atau tidak—mobil yang dia kemudikan sudah tiba di pelataran parkir night club. “Makasih ya Mas Dava,” kata Zevanya tersenyum lebar. Zevanya turun kemudian berjalan tertatih mengitari setengah bagian depan mobil. Davanka mengembuskan napas panjang, dia adalah seorang kakak laki-laki paling tua dan memiliki dua adik perempuan yang seusia Zevanya bahkan mungkin sedikit lebih tua dari Zevanya. Dan melihat Zevanya terluka seperti itu hati nuraninya meronta memaksa Davanka menolong Zevanya minimal memberikan kotak obat yang ada di mobil Raga agar Zevanya bisa mengobati lukanya sendiri. Mungkin karena alasan itu juga lah, Davanka bersedia turun dari mobil ketika Raga memintanya menemani saat menolong Zevanya yang diseret ke dalam hotel oleh dua pria kekar orang kepercayaan Madame Rossy. Lalu bersedia meminjamkan uang senilai empat ratus juta kepada Raga untuk membebaskan Zevanya. Diam-diam Davanka iba sekaligus takjub karena Zevanya mampu berjuang sendiri melawan kerasnya hidup tanpa mengeluh bahkan bibirnya tidak lupa tersenyum. Tiiiin! Davanka menekan klakson membuat Zevanya terlonjak kemudian menoleh padanya dengan mata menyalang. Gadis itu terkejut bukan main sampai tanpa sadar menyentuh dadanya. Davanka keluar dari dalam mobil, berjalan mendekati Zevanya yang masih mematung bingung lalu menarik sikut gadis itu. “Obatin dulu luka lo,” kata Davanka sambil menyeret Zevanya yang tertatih mengikutinya ke belakang mobil. Zevanya menurut saja, dia tidak mengira kalau pria dingin irit bicara dan jelmaan batu nisan ini ternyata memiliki empati. Sang gadis pun mengulum senyum. “Ah, Mas Dava … Anya ‘kan jadi baper.” Dia hanya berani mengatakannya di dalam hati. Davanka membuka pintu mobil bagian belakang. “Duduk di situ!” titahnya dingin. Zevanya langsung duduk di bagian ruang sempit bagian belakang mobil Raga, tentu dia tidak ingin membuat kesal Davanka. Davanka mencari kotak obat, ini bukan mobilnya jadi dia membutuhkan waktu mengobrak-ngabrik bagian belakang mobil Raga untuk menemukan kotak P3K dan … ketemu. “Obatin sendiri!” Davanka masih berujar dingin sambil menyodorkan kotak putih berisi perlengkapan pertolongan pertama pada kecelakaan. Zevanya meraih kotak P3K sambil tersenyum kepada Davanka dan pria itu malah membuang pandangannya ke arah lain. Hebatnya, Zevanya tidak sakit hati malah dia merasa lucu karena dibalik sikap dingin dan ketus Davanka ternyata memiliki hati yang lembut. Zevanya tidak serta merta berbangga hati menerima sikap peduli Davanka, apalagi mengira Davanka memiliki perasaan asmara padanya. Dia justru kagum dengan tipe-tipe pria dingin, santai dan tidak jelalatan tapi peka dan peduli terhadap perempuan. Zevanya membuka kotak P3K namun kesulitan mengenali perlengkapan di dalam sana karena minimnya cahaya. “Mas Dava,” panggil Zevanya pada Davanka yang tadi sempat menjauh. Davanka menoleh. “Boleh minta tolong senterin enggak? Gelap.” Dengan wajah tanpa ekspresi, Davanka mendekat seraya merogoh sakunya mencari ponsel lalu menyalakan mode senter pada ponsel. Zevanya jadi bisa mengobati lukanya, meski kesulitan tapi dia berusaha tidak meminta bantuan Davanka kecuali pria itu menawarkan diri. Tapi sudah bisa ditebak ‘kan kalau Davanka tidak akan pernah menawarkan diri. Davanka memberikan kotak P3K saja merupakan tindakan paling impulsif yang pernah pria itu lakukan kepada orang asing. “Beres!” Zevanya berseru sambil merapihkan kotak P3K lalu menyimpan kembali di tempat tadi Davanka menemukannya. “Makasih ya, Mas Dava.” Zevanya tersenyum ketika mengatakannya, dia turun dari kabin paling belakang di mobil Raga. Dan dia mendapat balasan berupa delikan Davanka yang kemudian masuk ke dalam mobil setelah menutup pintu belakang. Zevanya langsung pergi menuju parkiran motor yang tidak jauh dari tempat Davanka memarkirkan mobil. Langkahnya masih tertatih dan rasa sakit semakin menjadi karena baru saja diolesi obat luka. Ah, Zevanya lupa kalau tas dan ponselnya tertinggal di kamar Pak Broto. Dan di dalam tasnya ada kunci motor, kenapa dia baru ingat sekarang. Zevanya mengusap wajahnya kasar, dia hendak berbalik untuk menemui Madame Rossy dan menanyakan barang-barangnya namun urung ketika melihat Pak Agus-sekuriti night club berjalan mendekat sambil membawa tasnya. Seketika Zevanya tersenyum lebar, matanya berbinar menatap pak Agus. “Neng, tadi pak Feri sama pak Agung nitip tas katanya ini punya Neng Anya.” “Ah … iya, Pak … ini tas Anya, makasih ya Pak.” “Sama-sama Neng, mau dikeluarin motornya?” Pak Agus memang terbaik. “Boleh, Pak ….” Zevanya mundur, memberi ruang kepada pak Agus untuk mengeluarkan motornya. “Udah ya Neng … hati-hati ya, Bapak balik ke pos lagi.” Pak Agus juga menyalakan mesin motor dan memposisikan motor matic Zevanya pada standar dua. “Iya, Pak … makasih.” Pak Agus mengangguk kemudian pergi, kembali ke pos satpam di depan pintu masuk utama night club di bagian luar. Zevanya membuka bagasi motornya, di pelataran parkir di mana banyak orang berlalu lalang—dia memakai celana leging hitam dengan santai. Lalu memakai jaket tebal. Belum lupa ‘kan kalau Zevanya saat ini masih menggunakan mini dress super seksi yang diberikan Madame Rossy? Tidak mungkin dia hanya memakai mini dress kurang bahan itu mengendarai motor pulang ke rumah. Untungnya, Zevanya selalu menyiapkan celana legging, kaos juga jaket di dalam bagasi motornya untuk keadaan darurat. Setelah itu dia memakai helm kemudian menaiki motornya dan mulai melajukan motor matic kecil itu keluar pelataran parkir night club. Zevanya tidak menyadari kalau Davanka belum beranjak ke mana-mana, dia masih di dalam mobil memperhatikan Zevanya hingga gadis itu keluar pelataran parkir dan menghilang dari pandangan Davanka. Pria itu barulah menyalakan mesin mobil milik Raga lantas mengemudikannya pulang ke rumah. Banyak pelajaran yang dia dapatkan malam ini dari Zevanya. Demi bertahan hidup dan membiayai pengobatan ibunya, Zevanya rela menjual diri dan bekerja di night club. Sungguh beruntung Davanka beserta ketiga adiknya yang tidak pernah tahu bagaimana rasanya hidup susah. Dia dan ketiga adiknya hanya dituntut untuk menguasai bidang akademik semasa sekolah. Davanka dan ketiga adiknya juga bersekolah di sekolah terbaik dan termahal di Negaranya dengan segala fasilitas eksclusive. Pulang pergi di antar menggunakan mobil. Uang jajan sehari pernah lebih dari UMR kota Jakarta. Sedangkan Zevanya, dia mengatakan tadi belum membayar uang kuliah dan mengandalkan tip dari Pak Broto untuk membayar uang kuliah. Lalu bagaimana Zevanya bisa membayar uang kuliah kalau dia tidak jadi menjual diri? Davanka menggelengkan kepala, kenapa juga dia memikirkan Zevanya? Gadis itu bukanlah urusannya.“Anya … kamu pinjam uang ke siapa untuk bayar pengobatan ibu? Hutang kita ke bu RT aja belum dibayar.”Zevanya yang sedang memasukan barang-barang ibunya ke dalam tas kemudian membatu.Dia lantas menoleh menatap ibu Nina yang masih duduk di atas ranjang rumah sakit. Mereka tinggal menunggu perawat membawakan obat untuk ibu Nina yang akan dibawa pulang. “Anya dapet pinjaman dari mas Raga, Bu … ibu inget enggak mas Raga yang dulu murid ayah? Rumahnya di perumahan elit dekat komplek kita dulu, Bu.” Zevanya memang tidak bohong tapi tidak jujur juga kalau sebenarnya dia sempat ingin menjual diri untuk membayar pengobatan ibu Nina.Jangan sampai ibu Nina tahu karena bisa-bisa nanti beliau masuk rumah sakit lagi tapi dengan diagnosa stroke.“Oh … anaknya pak Adhitama?” Ternyata ibu Nina masih ingat.“Iya, Bu.” “Kok bisa kamu pinjam uang sama dia? Kalian udah lama enggak ketemu, kan?” Ibu Nina jadi curiga.“Anya pernah ketemu sama mas Raga beberapa kali di tempat kerja, Bu …
“Eh … anak Bunda udah pulang, tumben pulang cepet.” Suara bunda terdengar begitu hangat saat Davanka menginjakan kaki di ruang makan.Kedua orang tuanya sudah duduk di sana, baru akan memulai makan malam.“Biar bisa makan malam bareng Bunda sama ayah.” Davanka menjawab setelah mengecup pipi kiri dan kanan sang bunda.Dia beralih pada ayah, mengecup bagian punggung tangannya lalu duduk di samping kiri ayah yang menempati ujung meja.Davanka jadi bisa berhadapan dengan Bunda.Selama makan malam tidak ada perbincangan serius.Bunda bercerita kalau ketiga adiknya yang berkuliah di New York akan pulang untuk berlibur.Sampai ayah mengatakan atau lebih tepatnya meminta ijin kepada bunda untuk pergi golf. “Loh … kita ‘kan mau kedatangan tamunya Abang,” kata bunda saat ayah meminta ijin untuk golf besok pagi.Davanka mengangkat pandangannya menatap bunda.Dia seperti bingung mendengar ucapan sang bunda.“Abang ‘kan janji sama bunda mau bawa cewek yang akan Abang jadiin istri.”
“Baju lo kurang seksi, lo tuh gimana sih … udah lama kerja di nightclub tapi belum ngerti cara berpakaian ala Ani-Ani.” Madame Rossy berujar ketus. Dia adalah mucikari terkenal yang biasa memasok para wanita untuk kaum jetset dan pejabat. “Kan memang Anya masih baru dalam dunia perAni-Anian ini.” Zevanya mendengkus di dalam hati. “Baju seksi Anya tuh cuma seragam kerja di night club … ya kali ayah Anya pemuka Agama terus Anya pakai baju-baju seksi, gitu?” Zevanya Camila berujar tidak jelas seperti kumur-kumur, dia takut juga membantah Madame Rossy. Wanita bertubuh gempal itu sudah dikenal Zevanya semenjak bekerja di nightclub tapi baru kali ini Zevanya bekerja untuk beliau, itu pun terpaksa karena Zevanya harus mendapat uang untuk membayar hutang ke tetangga dan rumah sakit agar bisa membawa pulang ibunya yang sempat dioperasi. “Halaaah, lo tuh ngebantah aja terus … ini, ganti baju lo!” Madame Rossy melempar mini dress kurang bahan ke wajah Zevanya. Kedua bodyguard Mada
Hari ini begitu melelahkan, Davanka Abisheva Gunadhya atau pria berusia dua puluh delapan tahun yang kerap disapa Abang Dava oleh keluarganya itu akhirnya bisa mengembuskan napas panjang setelah seharian mematuti layar komputer.Dia meregangkan tubuh dengan mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi hingga punggungnya melengkung ke depan.Masih menikmati perasaan lega setelah berhasil menyelesaikan pekerjaannya—Davanka dikejutkan oleh notif pesan masuk di ponsel yang dia simpan di atas meja.Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, gedung kantor milik AG Group yang merupakan perusahaan milik keluarganya itu tentu saja sudah sepi.Sekertarisnya yang bernama Erin pun mungkin sudah sampai di rumah karena pukul enam sore tadi ijin pulang untuk menjemput putrinya dari daycare.Bisa jadi saat ini hanya dirinya yang ada di gedung kantor selain sekuriti.Davanka mengulurkan tangan, punggungnya masih menempel enggan beranjak dari sandaran kursi.Jempol Davanka mulai bergerak menggulir lay
“Anya! Sini lo!” Bodyguard Feri berseru dengan mata menatap nyalang pada Zevanya yang masih bersembunyi di belakang punggung Raga.“Ada apa ini, Om?” Walau sebenarnya takut, tapi Raga berusaha mencari tahu apa yang sedang terjadi.“Enggak usah ikut campur, enggak ada urusan sama lo!” seru bodyguard Agung.“Mas Raga … tolongin Anya, Mas Raga.” Zevanya mencengkram kemeja Raga di bagian pinggang, raut wajahnya begitu ketakutan.“Ada apa sih, Nya? Kok lo bisa kenal sama mereka?” Raga menghela tangan Zevanya di pinggangnya, tapi cengkraman tangan Zevanya ternyata cukup kuat sampai ujung-ujung kemeja Raga keluar dari batas pinggang celana.“Pokoknya tolongin Anya dulu.” Tentu saja Zevanya malu menjelaskan masalahnya dengan dua pria besar itu.Lengahnya Raga yang mencoba mencari tahu dengan menghadapkan sedikit tubuhnya pada Zevanya membuat bodyguard Feri berhasil menarik tubuh Zevanya.“Mas Raga!!!!“ Zevanya berseru panik.“Dia punya hutang sama Madam Rossy dan harus melakukan kewa
“Kalau harus ganti dua kali lipat ya jadi tiga ratus juta donk, Madam … bukan lima ratus juta.” Raga mencoba menawar.“Dua ratus jutanya buat gue, kenapa? Kalau mau … ambil! Enggak mau, ya sudah … kalian pergi sana … Anya harus kerja.” Madame Rossy bersikap acuh tak acuh.“Gini deh, empat ratus juta gimana? Kalau Madame kasih Anya ke Pak Broto itu, Madame cuma dapet lima puluh juta ‘kan? Tapi kalau Madame terima tawaran gue … Madame bisa bayar uang ganti rugi ke Pak Broto tiga ratus juta dan Madame dapat seratus juta.” Raga sedang bernegosiasi. Agung menyenggol lengan Feri, keduanya saling melempar senyum.Pantas saja tadi mereka dengan mudah membawa Zevanya dan dua pria yang mengenalnya itu ke Madame alih-alih mengembalikan Zevanya ke Pak Broto.Otak mereka licik sekali seperti majikannya.“Deal,” kata Madame Rossy secepat kilat.Karena sesungguhnya dia tidak perlu ganti rugi dua kali lipat bahkan dibayar pun belum oleh Pak Broto.Madam menggunakan uangnya dulu untuk membayar
“Terus … jadi gimana sekarang? Anya boleh pulang?” “Ceritain dulu ibu Nina sakit apa kenapa lo sampe harus jual diri gini?” Ibu Nina adalah ibunya Zevanya, Raga juga mengenal ibu Nina.Pernah sesekali Raga bertemu ibu Nina ketika berkunjung ke rumah Zevanya untuk mencari Pak Arya-ayahnya Zevanya.“Semenjak ayah meninggal, adik-adiknya ayah yang perempuan minta harta warisan ayah … mereka mengklaim banyak harta peninggalan ayah sampai Anya sama ibu harus jual rumah dan kami mengontrak ….” “Kok bisa? Kan ada hukum hak waris, mereka enggak bisa seenaknya donk.” Raga menyela.“Iya … tapi waktu itu Anya masih kecil … masih SMP kelas tiga, belum ngerti … dan mas Raga tahu sendiri kalau penghasilan ayah jadi dosen enggak besar karena ayah hanya dosen di Universitas kecil … ayah enggak punya banyak tabungan.” Zevanya melanjutkan.Ayahnya Zevanya memang dosen yang mengajar tentang Agama di salah satu Universitas swasta milik salah satu anggota DPR.Beliau juga seorang Ustad yang ser