“Kalau harus ganti dua kali lipat ya jadi tiga ratus juta donk, Madam … bukan lima ratus juta.” Raga mencoba menawar.
“Dua ratus jutanya buat gue, kenapa? Kalau mau … ambil! Enggak mau, ya sudah … kalian pergi sana … Anya harus kerja.” Madame Rossy bersikap acuh tak acuh. “Gini deh, empat ratus juta gimana? Kalau Madame kasih Anya ke Pak Broto itu, Madame cuma dapet lima puluh juta ‘kan? Tapi kalau Madame terima tawaran gue … Madame bisa bayar uang ganti rugi ke Pak Broto tiga ratus juta dan Madame dapat seratus juta.” Raga sedang bernegosiasi. Agung menyenggol lengan Feri, keduanya saling melempar senyum. Pantas saja tadi mereka dengan mudah membawa Zevanya dan dua pria yang mengenalnya itu ke Madame alih-alih mengembalikan Zevanya ke Pak Broto. Otak mereka licik sekali seperti majikannya. “Deal,” kata Madame Rossy secepat kilat. Karena sesungguhnya dia tidak perlu ganti rugi dua kali lipat bahkan dibayar pun belum oleh Pak Broto. Madam menggunakan uangnya dulu untuk membayar Zevanya. Hanya saja mungkin dia akan mendapat amukan Pak Broto dan kehilangan satu pelanggan setia. Tapi malam ini Madame Rossy mendapat untung tiga ratus juta sekaligus. Zevanya mengangkat wajah, matanya berbinar dengan senyum merekah menatap Raga penuh rasa Terimakasih. Berbanding terbalik dengan Raga yang kini berwajah muram dengan punggung yang tidak tegap lagi. Lenyap sudah empat ratus juta tabungannya hanya untuk menolong Zevanya. Dia melirik sekilas pada Davanka, dan demi apa Raga kesal sekali kepada sahabatnya yang malah sibuk sendiri. “Dav … gue pinjem duit,” ujar Raga main-main. “Berapa?” gumam Davanka yang masih mematuti layar ponsel namun sekarang jari Davanka ikut aktif mengetik pada keyboard di layar alat komunikasi canggihnya. Mendengar sahutan itu bibir Raga tersenyum lebar. Sahabatnya ‘kan anak konglomerat, empat ratus juta hanya receh bagi pria itu. Terlebih Raga juga tidak pernah meminjam uang dalam jumlah besar selama kenal dengan Davanka karena memang dia hidup serba kecukupan. “Empat ratus juta,” jawab Raga menghasilkan toleh dari Davanka. “Seriusan?” Davanka mengernyit tidak percaya. “Iya … duit gue di Deposito semua.” Raga beralasan. Dari pada mengurangi tabungannya, lebih baik mencicil tanpa bunga kepada Davanka. “Lo yakin empat ratus juta buat nolongin cewek itu?” Dagu Davanka mengendik pada Zevanya yang kemudian membalas dengan memberikan cebikan dan delikan mata kesal. “Ya iya lah, gue ‘kan nanti bayarnya kalau inget aja.” Raga berujar di dalam hati. “Iya … gue kenal banget sama bokapnya, gue kasian.” Seketika Raga menunjukkan tampang nelangsa tapi penuh keyakinan akan membayar hutangnya. Sejenis tampang yang biasa diperlihatkan kebanyakan orang ketika akan meminjam uang. “Berapa nomor rekeningnya?” Akhirnya Davanka menyetujui dan senyum merekah seisi ruangan itu —selain Davanka—terbit begitu lebar. Madame Rossy menuliskan nomor rekening pada secarik kertas yang dia berikan kepada Raga. Raga langsung memberikannya kepada Davanka. Uang dari rekening Davanka sudah berpindah ke rekening Madame Rossy hanya dalam hitungan detik. Dan Raga bisa membawa pulang Zevanya saat itu juga. “Makasih ya Mas Raga udah nolongin Anya,” kata Zevanya yang sudah kembali ceria saat mereka menyusuri lorong di belakang gedung Night Club itu lagi tapi kali ini tanpa Agung dan Feri. “Makasih … makasih … sebagai gantinya lo harus kasih keperawanan lo sama gue,” ketus Raga kesal membungkam mulut Zevanya. Davanka yang berjalan paling depan dan mendengar ucapan Raga langsung menoleh. “Wah … si kampret, kirain beneran mau nolongin.” Davanka membatin. Raga langsung meralat, “Becanda,” tanpa suara kepada Davanka yang memberikan tatapan tajam padanya namun tanpa sepengetahuan Zevanya yang kini wajahnya tampak murung. Zevanya mengikuti Raga dan temannya ke mobil padahal Raga tidak meminta. Tapi kemudian Raga membuka pintu kabin belakang untuk Zevanya. Dia akan menginterogasi Zevanya dulu. “Masuk cepetan,” titah Raga ketus. Meski bibir Zevanya mengerucut tapi gadis itu akhirnya masuk juga ke dalam mobil mengikuti perintah Raga. “Ke apartemen gue aja ya, gue mau interogasi dia dulu.” Raga yang sedang mengemudikan mobilnya memberitahu Davanka yang kini kembali sibuk dengan ponsel. Sang sahabat sama sekali tidak menyahut dan tidak bersuara sampai mobil Raga parkir di basement apartemen. Davanka celingukan setelah mobil berhenti. “Ngapain kita di sini?” tanyanya dengan kerutan di kening. “Gue mau interogasi si Anya.” Raga menjawab seraya keluar dari mobil. “Kenapa enggak anter gue pulang dulu?” “Rumah lo jauh, gue interogasi si Anya dulu baru anter lo pulang sekalian anter si Anya pulang.” Raga merangkul pundak Anya dan membawanya menuju lift. Davanka menatap malas Raga, tak urung kakinya dia seret juga menuju lift. “Mas … jangan rangkul-rangkul gini ah, Anya merinding.” Zevanya menghela tangan Raga dari pundaknya. “Kan gue udah bayar elo tadi, empat ratus juta enggak sedikit lho.” Raga berujar dengan nada menyebalkan dan sekali lagi mendapat delikan Davanka. Wajah Zevanya kembali memberengut. Semenjak Raga mengatakan kalau pria itu akan mengambil keperawanannya, jantung Zevanya berdetak kencang sekali. Tidak Zevanya sangka, keluar dari kandang harimau dia masuk ke kandang buaya. Sebenarnya sempat tidak percaya kalau murid ayahnya itu akan melakukan hal tersebut karena mereka kenal dekat. Tapi kalimat terakhir Raga yang membahas uang empat ratus juta meyakinkan Zevanya kalau pria itu tidak main-main. Tapi tunggu, apa mereka akan melakukannya bertiga seperti di video dewasa yang Madam Rossy kirimkan padanya? Pasalnya Raga membayar empat ratus juta, dua kali lipat lebih banyak dari yang pak Broto tawarkan. “Wah gawat … Anya bisa jebol depan belakang ini mah?” Zevanya membatin. Wajahnya mengerut sambil meringis. “Kenapa muka lo?” tanya Raga yang melihat keresahan di wajah Zevanya. Gadis itu hanya menggelengkan kepala, dia menatap Raga kemudian Davanka secara bergantian. Raga yang dikenalnya dulu kini sudah berubah lebih tampan dan memiliki tubuh atletis. Temannya Raga juga tampan, bibirnya keriting menggemaskan. Lho? “Seenggaknya Anya diperawanin sama cowok-cowok ganteng.” Zevanya masih bicara di dalam hati. Mereka bertiga akhirnya sampai di unit apartemen Raga, disambut oleh lampu terang benderang yang otomatis menyala di setiap ruang ketika pintu dibuka. “Kita di sini aja ya,” kata Raga sebelum pergi ke dapur. Dia mengambil tiga botol minuman kaleng dari dalam kulkas. Kalimat ambigu Raga itu semakin meyakinkan Zevanya kalau mereka bertiga akan bercinta di ruangan ini. Zevanya masih berdiri, dia melihat Davanka membuka satu kancing kemejanya lalu membuka kancing di lengan dan mulai menggulungnya hingga sikut. Jantung Zevanya semakin berdetak tidak karuan. Langkah Raga semakin dekat ke ruangan televisi di mana Davanka dan Zevanya berada membuat tubuh Zevanya kian bergetar hebat. Zevanya menundukan kepala dalam, perlahan dia menurunkan tali di pundak hingga sebagian buah dadanya terekspose. Zevanya bersikap kooperatif sekali. Siapa tahu dapet tip buat bayar uang kuliah. “Eh … eh .. mau ngapain?!” Raga berjalan cepat mendekati Zevanya kemudian menaikkan kembali tali dress ke pundak gadis itu. Davanka mengangkat pandangan, dia menaikkan satu alis menatap Zevanya. “Kata Mas Raga tadi Anya harus kasih keperawanan Anya sama Mas Raga,” ujar Zevanya dengan bibir mengerucut. Davanka mendengkus geli, dia kembali menatap layar ponselnya. “Becanda Anya … gue becanda … ya masa gue tega merawanin elo.” Raga yang sudah menjatuhkan bokong di sofa menarik tangan Zevanya agar duduk di sampingnya.“Terus … jadi gimana sekarang? Anya boleh pulang?” “Ceritain dulu ibu Nina sakit apa kenapa lo sampe harus jual diri gini?” Ibu Nina adalah ibunya Zevanya, Raga juga mengenal ibu Nina.Pernah sesekali Raga bertemu ibu Nina ketika berkunjung ke rumah Zevanya untuk mencari Pak Arya-ayahnya Zevanya.“Semenjak ayah meninggal, adik-adiknya ayah yang perempuan minta harta warisan ayah … mereka mengklaim banyak harta peninggalan ayah sampai Anya sama ibu harus jual rumah dan kami mengontrak ….” “Kok bisa? Kan ada hukum hak waris, mereka enggak bisa seenaknya donk.” Raga menyela.“Iya … tapi waktu itu Anya masih kecil … masih SMP kelas tiga, belum ngerti … dan mas Raga tahu sendiri kalau penghasilan ayah jadi dosen enggak besar karena ayah hanya dosen di Universitas kecil … ayah enggak punya banyak tabungan.” Zevanya melanjutkan.Ayahnya Zevanya memang dosen yang mengajar tentang Agama di salah satu Universitas swasta milik salah satu anggota DPR.Beliau juga seorang Ustad yang ser
“Mas Dava … Anya duduk di depan ya?” Anya berujar dalam bentuk kata tanya namun sebenarnya dia tidak butuh jawaban, dia sedang memberitahu Davanka.Dan seperti biasa Davanka tidak mau repot-repot mengeluarkan suara.Zevanya duduk di samping kemudi lalu memakai seatbelt setelah itu dia menoleh pada pria tampan yang sedari tadi diam saja tidak menganggapnya ada seakan Zevanya adalah makhluk tak kasat mata.“Mas Dava mau ‘kan anter Anya ke night club lagi?”Zevanya bertanya serius karena kalau tidak, dia akan pulang naik ojeg online saja.Dan lagi- lagi Davankan membungkam mulutnya rapat. “Iiihhh … gemeees, Anya cipok tuh bibir keritingnya baru tahu rasa.” Zevanya mengumpat kesal di dalam hati.Zevanya tidak bertanya lagi, terserah mau dibawa ke mana kalau perlu dia akan tidur di rumah pria itu jika Davanka membawanya pulang.“Ssshhh ….” Zevanya meringis.Luka yang dia dapatkan akibat terjatuh di aspal ternyata baru terasa sakit sekarang.Lutut dan bagian sisi telapak tangannya
“Anya … kamu pinjam uang ke siapa untuk bayar pengobatan ibu? Hutang kita ke bu RT aja belum dibayar.”Zevanya yang sedang memasukan barang-barang ibunya ke dalam tas kemudian membatu.Dia lantas menoleh menatap ibu Nina yang masih duduk di atas ranjang rumah sakit. Mereka tinggal menunggu perawat membawakan obat untuk ibu Nina yang akan dibawa pulang. “Anya dapet pinjaman dari mas Raga, Bu … ibu inget enggak mas Raga yang dulu murid ayah? Rumahnya di perumahan elit dekat komplek kita dulu, Bu.” Zevanya memang tidak bohong tapi tidak jujur juga kalau sebenarnya dia sempat ingin menjual diri untuk membayar pengobatan ibu Nina.Jangan sampai ibu Nina tahu karena bisa-bisa nanti beliau masuk rumah sakit lagi tapi dengan diagnosa stroke.“Oh … anaknya pak Adhitama?” Ternyata ibu Nina masih ingat.“Iya, Bu.” “Kok bisa kamu pinjam uang sama dia? Kalian udah lama enggak ketemu, kan?” Ibu Nina jadi curiga.“Anya pernah ketemu sama mas Raga beberapa kali di tempat kerja, Bu …
“Eh … anak Bunda udah pulang, tumben pulang cepet.” Suara bunda terdengar begitu hangat saat Davanka menginjakan kaki di ruang makan.Kedua orang tuanya sudah duduk di sana, baru akan memulai makan malam.“Biar bisa makan malam bareng Bunda sama ayah.” Davanka menjawab setelah mengecup pipi kiri dan kanan sang bunda.Dia beralih pada ayah, mengecup bagian punggung tangannya lalu duduk di samping kiri ayah yang menempati ujung meja.Davanka jadi bisa berhadapan dengan Bunda.Selama makan malam tidak ada perbincangan serius.Bunda bercerita kalau ketiga adiknya yang berkuliah di New York akan pulang untuk berlibur.Sampai ayah mengatakan atau lebih tepatnya meminta ijin kepada bunda untuk pergi golf. “Loh … kita ‘kan mau kedatangan tamunya Abang,” kata bunda saat ayah meminta ijin untuk golf besok pagi.Davanka mengangkat pandangannya menatap bunda.Dia seperti bingung mendengar ucapan sang bunda.“Abang ‘kan janji sama bunda mau bawa cewek yang akan Abang jadiin istri.”
“Baju lo kurang seksi, lo tuh gimana sih … udah lama kerja di nightclub tapi belum ngerti cara berpakaian ala Ani-Ani.” Madame Rossy berujar ketus. Dia adalah mucikari terkenal yang biasa memasok para wanita untuk kaum jetset dan pejabat. “Kan memang Anya masih baru dalam dunia perAni-Anian ini.” Zevanya mendengkus di dalam hati. “Baju seksi Anya tuh cuma seragam kerja di night club … ya kali ayah Anya pemuka Agama terus Anya pakai baju-baju seksi, gitu?” Zevanya Camila berujar tidak jelas seperti kumur-kumur, dia takut juga membantah Madame Rossy. Wanita bertubuh gempal itu sudah dikenal Zevanya semenjak bekerja di nightclub tapi baru kali ini Zevanya bekerja untuk beliau, itu pun terpaksa karena Zevanya harus mendapat uang untuk membayar hutang ke tetangga dan rumah sakit agar bisa membawa pulang ibunya yang sempat dioperasi. “Halaaah, lo tuh ngebantah aja terus … ini, ganti baju lo!” Madame Rossy melempar mini dress kurang bahan ke wajah Zevanya. Kedua bodyguard Mada
Hari ini begitu melelahkan, Davanka Abisheva Gunadhya atau pria berusia dua puluh delapan tahun yang kerap disapa Abang Dava oleh keluarganya itu akhirnya bisa mengembuskan napas panjang setelah seharian mematuti layar komputer.Dia meregangkan tubuh dengan mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi hingga punggungnya melengkung ke depan.Masih menikmati perasaan lega setelah berhasil menyelesaikan pekerjaannya—Davanka dikejutkan oleh notif pesan masuk di ponsel yang dia simpan di atas meja.Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, gedung kantor milik AG Group yang merupakan perusahaan milik keluarganya itu tentu saja sudah sepi.Sekertarisnya yang bernama Erin pun mungkin sudah sampai di rumah karena pukul enam sore tadi ijin pulang untuk menjemput putrinya dari daycare.Bisa jadi saat ini hanya dirinya yang ada di gedung kantor selain sekuriti.Davanka mengulurkan tangan, punggungnya masih menempel enggan beranjak dari sandaran kursi.Jempol Davanka mulai bergerak menggulir lay
“Anya! Sini lo!” Bodyguard Feri berseru dengan mata menatap nyalang pada Zevanya yang masih bersembunyi di belakang punggung Raga.“Ada apa ini, Om?” Walau sebenarnya takut, tapi Raga berusaha mencari tahu apa yang sedang terjadi.“Enggak usah ikut campur, enggak ada urusan sama lo!” seru bodyguard Agung.“Mas Raga … tolongin Anya, Mas Raga.” Zevanya mencengkram kemeja Raga di bagian pinggang, raut wajahnya begitu ketakutan.“Ada apa sih, Nya? Kok lo bisa kenal sama mereka?” Raga menghela tangan Zevanya di pinggangnya, tapi cengkraman tangan Zevanya ternyata cukup kuat sampai ujung-ujung kemeja Raga keluar dari batas pinggang celana.“Pokoknya tolongin Anya dulu.” Tentu saja Zevanya malu menjelaskan masalahnya dengan dua pria besar itu.Lengahnya Raga yang mencoba mencari tahu dengan menghadapkan sedikit tubuhnya pada Zevanya membuat bodyguard Feri berhasil menarik tubuh Zevanya.“Mas Raga!!!!“ Zevanya berseru panik.“Dia punya hutang sama Madam Rossy dan harus melakukan kewa