“Kalau harus ganti dua kali lipat ya jadi tiga ratus juta donk, Madam … bukan lima ratus juta.” Raga mencoba menawar.
“Dua ratus jutanya buat gue, kenapa? Kalau mau … ambil! Enggak mau, ya sudah … kalian pergi sana … Anya harus kerja.” Madame Rossy bersikap acuh tak acuh. “Gini deh, empat ratus juta gimana? Kalau Madame kasih Anya ke Pak Broto itu, Madame cuma dapet lima puluh juta ‘kan? Tapi kalau Madame terima tawaran gue … Madame bisa bayar uang ganti rugi ke Pak Broto tiga ratus juta dan Madame dapat seratus juta.” Raga sedang bernegosiasi. Agung menyenggol lengan Feri, keduanya saling melempar senyum. Pantas saja tadi mereka dengan mudah membawa Zevanya dan dua pria yang mengenalnya itu ke Madame alih-alih mengembalikan Zevanya ke Pak Broto. Otak mereka licik sekali seperti majikannya. “Deal,” kata Madame Rossy secepat kilat. Karena sesungguhnya dia tidak perlu ganti rugi dua kali lipat bahkan dibayar pun belum oleh Pak Broto. Madam menggunakan uangnya dulu untuk membayar Zevanya. Hanya saja mungkin dia akan mendapat amukan Pak Broto dan kehilangan satu pelanggan setia. Tapi malam ini Madame Rossy mendapat untung tiga ratus juta sekaligus. Zevanya mengangkat wajah, matanya berbinar dengan senyum merekah menatap Raga penuh rasa Terimakasih. Berbanding terbalik dengan Raga yang kini berwajah muram dengan punggung yang tidak tegap lagi. Lenyap sudah empat ratus juta tabungannya hanya untuk menolong Zevanya. Dia melirik sekilas pada Davanka, dan demi apa Raga kesal sekali kepada sahabatnya yang malah sibuk sendiri. “Dav … gue pinjem duit,” ujar Raga main-main. “Berapa?” gumam Davanka yang masih mematuti layar ponsel namun sekarang jari Davanka ikut aktif mengetik pada keyboard di layar alat komunikasi canggihnya. Mendengar sahutan itu bibir Raga tersenyum lebar. Sahabatnya ‘kan anak konglomerat, empat ratus juta hanya receh bagi pria itu. Terlebih Raga juga tidak pernah meminjam uang dalam jumlah besar selama kenal dengan Davanka karena memang dia hidup serba kecukupan. “Empat ratus juta,” jawab Raga menghasilkan toleh dari Davanka. “Seriusan?” Davanka mengernyit tidak percaya. “Iya … duit gue di Deposito semua.” Raga beralasan. Dari pada mengurangi tabungannya, lebih baik mencicil tanpa bunga kepada Davanka. “Lo yakin empat ratus juta buat nolongin cewek itu?” Dagu Davanka mengendik pada Zevanya yang kemudian membalas dengan memberikan cebikan dan delikan mata kesal. “Ya iya lah, gue ‘kan nanti bayarnya kalau inget aja.” Raga berujar di dalam hati. “Iya … gue kenal banget sama bokapnya, gue kasian.” Seketika Raga menunjukkan tampang nelangsa tapi penuh keyakinan akan membayar hutangnya. Sejenis tampang yang biasa diperlihatkan kebanyakan orang ketika akan meminjam uang. “Berapa nomor rekeningnya?” Akhirnya Davanka menyetujui dan senyum merekah seisi ruangan itu —selain Davanka—terbit begitu lebar. Madame Rossy menuliskan nomor rekening pada secarik kertas yang dia berikan kepada Raga. Raga langsung memberikannya kepada Davanka. Uang dari rekening Davanka sudah berpindah ke rekening Madame Rossy hanya dalam hitungan detik. Dan Raga bisa membawa pulang Zevanya saat itu juga. “Makasih ya Mas Raga udah nolongin Anya,” kata Zevanya yang sudah kembali ceria saat mereka menyusuri lorong di belakang gedung Night Club itu lagi tapi kali ini tanpa Agung dan Feri. “Makasih … makasih … sebagai gantinya lo harus kasih keperawanan lo sama gue,” ketus Raga kesal membungkam mulut Zevanya. Davanka yang berjalan paling depan dan mendengar ucapan Raga langsung menoleh. “Wah … si kampret, kirain beneran mau nolongin.” Davanka membatin. Raga langsung meralat, “Becanda,” tanpa suara kepada Davanka yang memberikan tatapan tajam padanya namun tanpa sepengetahuan Zevanya yang kini wajahnya tampak murung. Zevanya mengikuti Raga dan temannya ke mobil padahal Raga tidak meminta. Tapi kemudian Raga membuka pintu kabin belakang untuk Zevanya. Dia akan menginterogasi Zevanya dulu. “Masuk cepetan,” titah Raga ketus. Meski bibir Zevanya mengerucut tapi gadis itu akhirnya masuk juga ke dalam mobil mengikuti perintah Raga. “Ke apartemen gue aja ya, gue mau interogasi dia dulu.” Raga yang sedang mengemudikan mobilnya memberitahu Davanka yang kini kembali sibuk dengan ponsel. Sang sahabat sama sekali tidak menyahut dan tidak bersuara sampai mobil Raga parkir di basement apartemen. Davanka celingukan setelah mobil berhenti. “Ngapain kita di sini?” tanyanya dengan kerutan di kening. “Gue mau interogasi si Anya.” Raga menjawab seraya keluar dari mobil. “Kenapa enggak anter gue pulang dulu?” “Rumah lo jauh, gue interogasi si Anya dulu baru anter lo pulang sekalian anter si Anya pulang.” Raga merangkul pundak Anya dan membawanya menuju lift. Davanka menatap malas Raga, tak urung kakinya dia seret juga menuju lift. “Mas … jangan rangkul-rangkul gini ah, Anya merinding.” Zevanya menghela tangan Raga dari pundaknya. “Kan gue udah bayar elo tadi, empat ratus juta enggak sedikit lho.” Raga berujar dengan nada menyebalkan dan sekali lagi mendapat delikan Davanka. Wajah Zevanya kembali memberengut. Semenjak Raga mengatakan kalau pria itu akan mengambil keperawanannya, jantung Zevanya berdetak kencang sekali. Tidak Zevanya sangka, keluar dari kandang harimau dia masuk ke kandang buaya. Sebenarnya sempat tidak percaya kalau murid ayahnya itu akan melakukan hal tersebut karena mereka kenal dekat. Tapi kalimat terakhir Raga yang membahas uang empat ratus juta meyakinkan Zevanya kalau pria itu tidak main-main. Tapi tunggu, apa mereka akan melakukannya bertiga seperti di video dewasa yang Madam Rossy kirimkan padanya? Pasalnya Raga membayar empat ratus juta, dua kali lipat lebih banyak dari yang pak Broto tawarkan. “Wah gawat … Anya bisa jebol depan belakang ini mah?” Zevanya membatin. Wajahnya mengerut sambil meringis. “Kenapa muka lo?” tanya Raga yang melihat keresahan di wajah Zevanya. Gadis itu hanya menggelengkan kepala, dia menatap Raga kemudian Davanka secara bergantian. Raga yang dikenalnya dulu kini sudah berubah lebih tampan dan memiliki tubuh atletis. Temannya Raga juga tampan, bibirnya keriting menggemaskan. Lho? “Seenggaknya Anya diperawanin sama cowok-cowok ganteng.” Zevanya masih bicara di dalam hati. Mereka bertiga akhirnya sampai di unit apartemen Raga, disambut oleh lampu terang benderang yang otomatis menyala di setiap ruang ketika pintu dibuka. “Kita di sini aja ya,” kata Raga sebelum pergi ke dapur. Dia mengambil tiga botol minuman kaleng dari dalam kulkas. Kalimat ambigu Raga itu semakin meyakinkan Zevanya kalau mereka bertiga akan bercinta di ruangan ini. Zevanya masih berdiri, dia melihat Davanka membuka satu kancing kemejanya lalu membuka kancing di lengan dan mulai menggulungnya hingga sikut. Jantung Zevanya semakin berdetak tidak karuan. Langkah Raga semakin dekat ke ruangan televisi di mana Davanka dan Zevanya berada membuat tubuh Zevanya kian bergetar hebat. Zevanya menundukan kepala dalam, perlahan dia menurunkan tali di pundak hingga sebagian buah dadanya terekspose. Zevanya bersikap kooperatif sekali. Siapa tahu dapet tip buat bayar uang kuliah. “Eh … eh .. mau ngapain?!” Raga berjalan cepat mendekati Zevanya kemudian menaikkan kembali tali dress ke pundak gadis itu. Davanka mengangkat pandangan, dia menaikkan satu alis menatap Zevanya. “Kata Mas Raga tadi Anya harus kasih keperawanan Anya sama Mas Raga,” ujar Zevanya dengan bibir mengerucut. Davanka mendengkus geli, dia kembali menatap layar ponselnya. “Becanda Anya … gue becanda … ya masa gue tega merawanin elo.” Raga yang sudah menjatuhkan bokong di sofa menarik tangan Zevanya agar duduk di sampingnya.“Terus … jadi gimana sekarang? Anya boleh pulang?” “Ceritain dulu ibu Nina sakit apa kenapa lo sampe harus jual diri gini?” Ibu Nina adalah ibunya Zevanya, Raga juga mengenal ibu Nina.Pernah sesekali Raga bertemu ibu Nina ketika berkunjung ke rumah Zevanya untuk mencari Pak Arya-ayahnya Zevanya.“Semenjak ayah meninggal, adik-adiknya ayah yang perempuan minta harta warisan ayah … mereka mengklaim banyak harta peninggalan ayah sampai Anya sama ibu harus jual rumah dan kami mengontrak ….” “Kok bisa? Kan ada hukum hak waris, mereka enggak bisa seenaknya donk.” Raga menyela.“Iya … tapi waktu itu Anya masih kecil … masih SMP kelas tiga, belum ngerti … dan mas Raga tahu sendiri kalau penghasilan ayah jadi dosen enggak besar karena ayah hanya dosen di Universitas kecil … ayah enggak punya banyak tabungan.” Zevanya melanjutkan.Ayahnya Zevanya memang dosen yang mengajar tentang Agama di salah satu Universitas swasta milik salah satu anggota DPR.Beliau juga seorang Ustad yang ser
“Mas Dava … Anya duduk di depan ya?” Anya berujar dalam bentuk kata tanya namun sebenarnya dia tidak butuh jawaban, dia sedang memberitahu Davanka.Dan seperti biasa Davanka tidak mau repot-repot mengeluarkan suara.Zevanya duduk di samping kemudi lalu memakai seatbelt setelah itu dia menoleh pada pria tampan yang sedari tadi diam saja tidak menganggapnya ada seakan Zevanya adalah makhluk tak kasat mata.“Mas Dava mau ‘kan anter Anya ke night club lagi?”Zevanya bertanya serius karena kalau tidak, dia akan pulang naik ojeg online saja.Dan lagi- lagi Davankan membungkam mulutnya rapat. “Iiihhh … gemeees, Anya cipok tuh bibir keritingnya baru tahu rasa.” Zevanya mengumpat kesal di dalam hati.Zevanya tidak bertanya lagi, terserah mau dibawa ke mana kalau perlu dia akan tidur di rumah pria itu jika Davanka membawanya pulang.“Ssshhh ….” Zevanya meringis.Luka yang dia dapatkan akibat terjatuh di aspal ternyata baru terasa sakit sekarang.Lutut dan bagian sisi telapak tangannya
“Anya … kamu pinjam uang ke siapa untuk bayar pengobatan ibu? Hutang kita ke bu RT aja belum dibayar.”Zevanya yang sedang memasukan barang-barang ibunya ke dalam tas kemudian membatu.Dia lantas menoleh menatap ibu Nina yang masih duduk di atas ranjang rumah sakit. Mereka tinggal menunggu perawat membawakan obat untuk ibu Nina yang akan dibawa pulang. “Anya dapet pinjaman dari mas Raga, Bu … ibu inget enggak mas Raga yang dulu murid ayah? Rumahnya di perumahan elit dekat komplek kita dulu, Bu.” Zevanya memang tidak bohong tapi tidak jujur juga kalau sebenarnya dia sempat ingin menjual diri untuk membayar pengobatan ibu Nina.Jangan sampai ibu Nina tahu karena bisa-bisa nanti beliau masuk rumah sakit lagi tapi dengan diagnosa stroke.“Oh … anaknya pak Adhitama?” Ternyata ibu Nina masih ingat.“Iya, Bu.” “Kok bisa kamu pinjam uang sama dia? Kalian udah lama enggak ketemu, kan?” Ibu Nina jadi curiga.“Anya pernah ketemu sama mas Raga beberapa kali di tempat kerja, Bu …
“Eh … anak Bunda udah pulang, tumben pulang cepet.” Suara bunda terdengar begitu hangat saat Davanka menginjakan kaki di ruang makan.Kedua orang tuanya sudah duduk di sana, baru akan memulai makan malam.“Biar bisa makan malam bareng Bunda sama ayah.” Davanka menjawab setelah mengecup pipi kiri dan kanan sang bunda.Dia beralih pada ayah, mengecup bagian punggung tangannya lalu duduk di samping kiri ayah yang menempati ujung meja.Davanka jadi bisa berhadapan dengan Bunda.Selama makan malam tidak ada perbincangan serius.Bunda bercerita kalau ketiga adiknya yang berkuliah di New York akan pulang untuk berlibur.Sampai ayah mengatakan atau lebih tepatnya meminta ijin kepada bunda untuk pergi golf. “Loh … kita ‘kan mau kedatangan tamunya Abang,” kata bunda saat ayah meminta ijin untuk golf besok pagi.Davanka mengangkat pandangannya menatap bunda.Dia seperti bingung mendengar ucapan sang bunda.“Abang ‘kan janji sama bunda mau bawa cewek yang akan Abang jadiin istri.”
Suasana rumah ayah dan bunda sekarang terasa ramai dan hangat, ketiga anaknya pulang ke Indonesia dalam rangka liburan.Si kembar Kanaya dan Kaluna langsung memeluk Davanka ketika baru saja pria itu menjejakkan kakinya di ruang tamu.Sedangkan Zyandru si bungsu hanya mengulurkan kepalan tangan dan Davankan mengadukan kepalan tangannya dengan sang adik.“Abang katanya mau nikah?” tanya Kaluna yang menggelayuti lengan Davanka.Sedangkan Kanaya sudah kembali duduk di sofa bersama ayah.Davanka sempat melirik Kanaya yang kini merebahkan kepala di pundak ayah.Adiknya pasti sedang merajuk agar tidak dijodohkan dengan pria pilihan ayah.“Enggak ….” Davanka menjawab pertanyaan Kaluna namun seketika sang bunda menoleh dramatis bersama kerutan di kening menatap tajam Davanka.“Eh … iya.” Davanka pun meralat dari pada durhaka.“Iya … apa enggak?” Zyandru bertanya memastikan.“Iya,” jawab Davanka menjatuhkan bokongnya di sofa. “Abang udah makan?” Bunda bertanya dengan suara lembut..
“Kamu beneran mau nikah sama Ryley?” Adalah pertanyaan pertama yang Davanka yang dia lontarkan saat akhirnya mereka bisa berdua saja.Bunda meminta Kanaya ditemani Davanka membeli kue untuk diantarkan ke rumah sahabat bunda yang anaknya sedang sakit.Kebetulan Kanaya dan anak dari sahabat bunda adalah teman semasa sekolah dulu. Davanka yang tidak ada kegiatan di hari Sabtu yang cerah ini pun mau saja mengikuti perintah bunda karena kebahagiaan bunda adalah harga mati buat mereka.Kalau bunda kesal dan marah, rumah akan seperti di Neraka.“Enggak lah, gila aja … mana sudi aku nikah sama Playboy kelas ikan paus gitu.” Kanaya bergidik dengan tampang judes.“Tapi Ryley itu menantu able banget.” Davanka tidak ada maksud mempengaruhi, dia hanya berpendapat.Dia sudah mengetahui siapa Ryley Alterio.“Tapi enggak suami able … dia itu sering gonta-ganti cewek … dia enggak mungkin setia.” Kanaya memberitahu rahasia umum tentang Ryley dan sesungguhnya ayah juga Davanka mengetahuinya t
Setelah membeli kue, kakak beradik itu mengunjungi rumah sahabat bunda yang bernama tante Lussy.“Eeeeh … Abang Dava,” Tante Lussy menyapa hangat.Beliau memeluk Davanka sekilas.“Kanaya lagi liburan di Jakarta ya?” Tante Lussy beralih pada Kanaya.“Iya Tante.” Kanaya menyahut dengan senyum tipis.“Ini kita bawa kue buat Cecil.” Kanaya menyerahkan paperbag besar berisi kue kepada tante Lussy.“Waah, jadi ngerepotin tapi Cecil pasti suka … apalagi ada Abang Dava.” Tante Lussy meminta asisten rumah tangganya menerima kue tersebut.Kalimat terakhir tante Lussy itu mengganjal di hati Davanka, dia tidak mengerti kenapa Cecil harus suka dengan kedatangannya?“Ayo … kita ke kamarnya Cecil … Cecil masih lemes jadi enggak bisa keluar kamar dulu.”Tante Lussy menuntun Kanaya dan Davanka menaiki tangga mewah yang berada di tengah-tengah rumah besar itu.Ketiganya melangkah cukup jauh melewati lorong panjang untuk tiba di depan pintu kamar Cecil.“Cecil … ada Kanaya sama abang Dava.”
Zevanya sepertinya tidak pernah merasakan lelah, siang hari dia harus kuliah, sorenya membersihkan apartemen Raga dan malamnya bekerja di night club.Tapi, hari Sabtu ini dia hanya memiliki satu jadwal kuliah saja jadi waktu luangnya bisa dia habiskan untuk mengerjakan tugas.Rencananya, Zevanya akan mengerjakan tugas di apartemen Raga.Siapa tahu pria itu bisa membantunya.Zevanya sudah tiba di basement apartemen Raga paling bawah di mana tempat parkir motor berada.Setelah membuka helm dan jaket, Zevanya masuk ke dalam lift yang kemudian membawanya ke lantai di mana unit apartemen Raga berada.Dia melangkah riang hingga depan pintu unit apartemen Raga kemudian menekan digit-digit angka untuk membuka kunci.Suasana apartemen Raga terang benderang saat Zevanya masuk, dindingnya yang sebagian besar kaca itu membuat setiap ruangan bermandikan cahaya.“Mas Raga,” panggil Zevanya yang melangkah lebih jauh ke dalam apartemen itu. Matanya lang
Matahari terbenam di atas horizon, memancarkan warna keemasan yang indah di langit Hawai. Di tepi pantai yang tenang, Davanka dan Zevanya berjalan beriringan, tangan mereka saling menggenggam erat. Di depan mereka, Aksara dan Ashera sedang bermain dengan gembira di pasir, membangun istana pasir dan tertawa riang. Davanka tersenyum menatap ke arah Aksara dan Ashera, sambil mengeratkan genggaman tangannya. “By, lihat betapa bahagianya mereka. Abang rasa mereka enggak akan pernah melupakan liburan ini.” Zevanya mengangguk, matanya menatap putra dan putrinya penuh cinta. “Liburan ini memang sempurna. Terima kasih karena telah memilih tempat yang indah ini, Abang.” Davanka tersenyum, menatap laut dengan mata penuh kebahagiaan. “Kakek selalu mengatakan kalau tempat ini adalah tempat terbaik untuk menciptakan kenangan keluarga. Abang ingin anak-anak kita tumbuh dengan kenangan indah seperti ini.” Aksara berlari mendekat, ekspresi di wajahnya penuh semangat. “Ayah, B
Di sebuah rumah sakit bersalin yang mewah nyaman, Davanka berjalan mondar-mandir di koridor seperti ayam jago yang kebingungan. Wajahnya pucat, tangan kanan memegang ponsel, tangan kiri mengacung gelas kopi yang isinya sudah habis sejak sejam lalu.Dari dalam kamar bersalin, suara Zevanya terdengar berteriak-teriak, membuat Davanka berkeringat lebih banyak daripada saat jogging pagi.“Abang! Kalau kamu cuma mau mondar-mandir, sini gantikan Anya dulu!” teriak Zevanya dengan nada bercampur emosi dan kesakitan.“Gantikan? Gantikan apa, Anya? Abang enggak mungkin melahirkan untuk kamu, sayang …,” jawab Davanka gugup sambil setengah membuka pintu.Zevanya menatapnya dengan mata menyala. “Ya kalau enggak bisa bantu melahirkan, minimal kasih Anya semangat! Abang itu suami atau figuran sih di sini?”“Semangat, sayang! Kamu pasti bisa!” seru Davanka, setengah meloncat sambil mengepalkan tangan seperti cheerleader yang salah tempat.“Abang, serius! Duduk di sini, pegang tangan Anya! Kalau Anya
Jam sudah menunjukkan pukul dua pagi ketika suara aneh terdengar dari kamar tidur. Suara itu datang dari sisi tempat tidur, tempat di mana Zevanya biasa tertidur dengan tenang. Namun malam ini, situasinya berbeda.Zevanya tiba-tiba terbangun, matanya yang bulat terbelalak seperti baru tersadar dari mimpi buruk. Dengan suara terengah-engah, dia menoleh ke arah suaminya, Davanka, yang sedang terbaring di sampingnya."Abang ...." Zevanya bergumam dengan wajah setengah bingung. "Anya ngidam."Davanka mengerutkan kening, mengira istrinya hanya terjaga karena mimpi. "Ngidam? Anya, ini ‘kan sudah hampir jam tiga pagi, kamu yakin?"Zevanya duduk, memegangi perutnya yang mulai membesar, matanya tetap terjaga. "Iya, Anya ngidam banget, Abang … Anya pengen makan ... nasi goreng dengan buah durian!" Suaranya penuh dengan keyakinan, seolah itu adalah hal yang paling masuk akal di dunia ini.Davanka terdiam sejenak, mencoba mencerna permintaan itu. "Nasi goreng ... durian
“Aksaraaaa ….” Bunda Arshavina memanggil dengan suara mendayu dari arah pintu utama. Aksara langsung berlarian menuju ke sana tanpa menggunakan celana. “Eh … ke mana celananya?” Ayah Kama bertanya. “Abis pipis.” Aksara memberitahu sembari menepuk bokong. “Iiiih belum sunat.” Bunda menunjuk bagian bawah Aksara yang langsung ditutupi bocah laki-laki itu sembari cekikikan. “Aksaraaaa, pakai celana dulu!” Zevanya berseru dari dalam rumah. “Eh … Ayah … Bunda.” Zevanya baru menyadari kedatangan kedua mertuanya dan langsung menyalami mereka. “Abang pakai celana dulu ya,” kata Zevanya tapi Aksara malah lari ke dalam gendongan sang kakek. “Aduuuuh, cucu kakek sudah berat.” “Kakek! Abang enggak mau pakai celana.” Aksara meronta-ronta dalam gendongan sang kakek saat bundanya berusaha memakaikan celana. “Ayo pakai dulu celananya atau nanti Nenek sunat? Mana gunting? Mana gunting?” Bunda Arshavina pura-pura mencari gunting. “Enggak mau!” Aksara menjerit sambil terta
Davanka benar-benar menjadi bapak-bapak sekarang, tapi bukan bapak-bapak biasa.Pria itu pantas diberi julukan hot daddy dengan perawakan tinggi dan tubuhnya yang atletis serta ketampanan bak Dewa Yunani yang dia miliki membuat para gadis, janda dan istri orang tidak bisa melepaskan tatapan setiap kali melihat Davanka.Seperti saat ini, para papa yang lain seolah tidak memiliki harga diri karena para mama yang menemani putra dan putri mereka di play ground mall ternama di Jakarta terus menatap Davanka yang tengah menemani Aksara bermain sementara Zevanya sedang melakukan perawatan rambut di salon yang masih ada di mall tersebut.Kegiatan rutin di saat weekend yang dilakukan Davanka sekeluarga adalah ngemall karena Aksara masih berusia tiga tahun yang kalau diajak jalan-jalan keluar kota atau keluar Negri masih sering tantrum.Jadi ketika Davanka ada perjalanan bisnis saja baru Zevanya dan Aksara ikut.“Ma … itu liatin anaknya, jangan liatin suami orang terus!” tegur salah seorang
“Pak, malam ini ada acara charity sama komunitas Pengusaha Muda … Mentri Perdagangan dan Mentri Investasi juga jadi tamunya, kesempatan yang bagus mendekati mereka untuk proyek baru yang akan mulai dikembangkan oleh AG Group.” Arman mencetuskan sebuah ide brilliant. “Kamu yang datang temani ayah, ya!” Davanka bukan sedang bertanya tapi memerintah. Pria itu bangkit dari kursi kebesarannya bergerak ke sudut ruangan meraih jas yang tergantung di sana lalu memakainya. “Laporkan hasil yang kamu dapat dari acara itu.” Davanka memberi instruksi pada sekertarisnya. “Ta-tapi, Pak …,” sergah Arman saat Davanka melewatinya. Davanka menghentikan langkah membalikan badannya menatap Arman tanpa ekspresi. “Kamu enggak mampu?” Pertanyaan Davanka adalah sebuah tekanan agar Arman menjawab sebaliknya. “Mampu, Pak!” Arman menjawab lugas. Davanka membalikan badannya lagi. “Saya pulang duluan ya, Man.” Pria itu mengangkat tangan sembari melangkah keluar dari ruangannya meninggalkan A
Davanka lupa mengganti mode hening ke bunyi di ponselnya usai bertemu klien di meeting room sebuah hotel.Selama hampir lima jam lamanya Davanka ditemani sekertaris barunya melakukan pertemuan dengan klien dari Korea untuk menjalin kerjasama bisnis.Tapi tidak sia-sia karena Davanka akhirnya berhasil meyakinkan klien dari Negri ginseng itu untuk bekerja sama dengan perusahaannya.Sekarang Davanka merasakan tubuhnya lelah sekali, kepalanya bersandar pada sandaran jok mobil yang nyaman dengan mata terpejam.“Pak Dava, apa Bapak sudah mengecek ponsel Bapak?” Arman-sang sekertaris berujar dari kursi penumpang depan.“Belum … kenapa, Man?” Davanka menegakan tubuhnya merogoh saku jas mencari ponsel.“Ibu sudah melahirkan, Pak.” Arman berujar hati-hati.Dia juga tidak mengecek ponselnya karena sibuk memperhatikan jalannya rapatu tuk membuat Notulen.“Apa?” Davanka tersentak, matanya terbelalak.
“Apa kabar Anya? Perut kamu besar banget.” Adalah Noah yang menyambut Zevanya duluan.Terakhir kali dia bertemu Noah saat ditonjok oleh Davanka di Malaysia sebelum mereka pulang ke Indonesia.“Baik … iya nih, sebentar lagi melahirkan.” Zevanya mengusap perutnya.“Kamu berdua aja? Enggak sama Dava?” Itu Alvaro yang bertanya.“Enggak … Abang enggak tahu kalau Anya ngemall, tadi minta ijin malah dilarang … tapi besok Abang ulang tahun dan Anya harus beli kado.” Zevanya menunjuk paperbag yang di pegang Maria, wajah Maria memucat mendengar pengakuan Zevanya.“Pasti gue yang kena semprot nih.” Maria membatin.“Oh iya, si Dava ulang tahun besok.” Noah seakan diingatkan.“Duduk sini, Nya … makan bareng kita.” Alvaro mempersilahkan.“Enggak usah, Anya cari meja lain aja.” Zevanya takut kalau Davanka tahu lantas mengamuk.“Enggak apa-apa, sini duduk sama kita aja … duduk di sebelah gue, si Dava enggak cemburu sama gue.” Noah menarik tangan Zevanya agar duduk di kursi sebelahnya membuat dia ti
Davanka berjalan menyusuri lorong di kantornya yang dulu, dia belum membuat janji dengan Raga yang sekarang menjabat sebagai CEO di sana tapi kebetulan arah jalan yang ditempuh untuk kembali ke kantor usai mengunjungi suatu proyek melewati kantor ini jadi Davanka putuskan untuk mampir sebentar karena ada yang akan dia bicarakan dengan sahabatnya itu.Dengan sangat kebetulan, seorang wanita yang kini sedang berjalan berlawanan arah dengannya baru saja keluar dari ruangan Raga nyaris membuat Davanka memutar badan mengurungkan niat bertemu sang sahabat.Namun dia tidak ingin wanita itu mengatainya sebagai pengecut sehingga Davanka ayun langkahnya tegas hingga akhirnya mereka berpapasan.Wanita itu mencekal tangan Davanka menghentikan langkahnya.“Mau sampai kapan lo pura-pura enggak kenal sama gue?” Ramona bersarkasme.Davanka masih tetap tenang menatap ke depan.“Sampe lo enggak nyinggung sedikitpun tentang gue dalam cerita Anya,” sambung Ramona lalu tertawa sumbang.Sengaja Davanka tid