Hari ini begitu melelahkan, Davanka Abisheva Gunadhya atau pria berusia dua puluh delapan tahun yang kerap disapa Abang Dava oleh keluarganya itu akhirnya bisa mengembuskan napas panjang setelah seharian mematuti layar komputer.
Dia meregangkan tubuh dengan mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi hingga punggungnya melengkung ke depan. Masih menikmati perasaan lega setelah berhasil menyelesaikan pekerjaannya—Davanka dikejutkan oleh notif pesan masuk di ponsel yang dia simpan di atas meja. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, gedung kantor milik AG Group yang merupakan perusahaan milik keluarganya itu tentu saja sudah sepi. Sekertarisnya yang bernama Erin pun mungkin sudah sampai di rumah karena pukul enam sore tadi ijin pulang untuk menjemput putrinya dari daycare. Bisa jadi saat ini hanya dirinya yang ada di gedung kantor selain sekuriti. Davanka mengulurkan tangan, punggungnya masih menempel enggan beranjak dari sandaran kursi. Jempol Davanka mulai bergerak menggulir layar sampai dia menemukan sebuah pesan dari sang Bunda. Bundadari : Weekend ini Abang harus kenalin cewek untuk jadi istri Abang, kalau enggak … Bunda yang cariin jodoh buat Abang. Bundadari : Abang tinggal pilih … ada Nadia anaknya pemilik stasiun televisi nomor satu di Indonesia yang papinya lagi nyalonin jadi Presiden. Bundadari : Ada Cecil anak dari komisaris bank swasta terbesar di Indonesia. Bundadari : Ada Jingga anaknya Pak Mentri dan masih banyak lagi anak-anaknya teman-teman Bunda. Bundadari : Mau yang mana? Davanka mengembuskan napas panjang, semenjak salah satu adik perempuannya yang kuliah di Amerika dikabarkan melakukan percobaan bunuh diri karena patah hati oleh seorang pria—ayah dan bundanya memutuskan untuk menjodohkan sang adik dengan salah satu pengusaha kenalan sang ayah yang berdomisili di New York dan kebetulan beliau akan melebarkan bisnisnya ke sana. Tentu kata ‘kebetulan’ hanya akal-akalan ayah saja, beliau pasti sudah merencanakan perjodohan tersebut sejak awal. Dan karena itu lah akhir-akhir ini Davanka selalu mendapat tekanan dari kedua orang tuanya agar segera menikah sebelum sang adik menikah dan tenggat waktunya hanya tinggal beberapa bulan lagi. Davanka selalu protes setiap kali sang bunda mengancam akan mencarikan istri untuknya. Dia menolak keras perjodohan begitu juga sang adik namun kedua orang tua mereka mengatakan kalau ayah bunda pun menikah karena dijodohkan. Lalu mereka berorasi kalau pilihan kedua orang tua tidak akan pernah salah dan lucunya, ayah dan bunda bercerita justru momen-momen saling mengenal, menjajaki dan pacaran setelah menikah itu yang menggemaskan juga menyenangkan. Davanka masih belum mengerti di mana bagian menggemaskan dan menyenangkannya karena hidup dengan orang asing itu menurut Davanka tidaklah nyaman. Tinggal bersama dengan kedua orang tuanya saja hidup Davanka tidak pernah tenang apalagi kalau sang bunda sudah menginginkan sesuatu darinya. Beliau akan terus meneror Davanka, buktinya seperti sekarang ini. Bunda bisa menunggu Davanka sampai di rumah untuk mengatakan ultimatum dan ancamannya, namun wanita yang baru akan memasuki usia paruh baya tapi masih terlihat cantik seperti bidadari itu seakan tidak sabar dan ingin segera mengutarakannya sehingga mengirim banyak chat kepada si sulung. Davanka mengetik sesuatu untuk membalas pesan bunda. Abang Dava : Oke Bunda. “Hah? Oke apaan nih?” celetuk Bunda sambil menatap layar ponselnya. “Apa?” Ayah yang sedang bersandar pada headboard sambil membaca buku kemudian menoleh. “Ini si abang, main oke-oke aja.” Bunda memperlihatkan isi chat-nya pada ayah. Ayah Davanka yang bernama Kama Gunadhya itu pun tersenyum. “Memang begitu ‘kan dia.” “Iya, kaya Ayah … kalau ngomong irit banget.” Bunda Arshavina misuh-misuh. “Jadi, maksudnya abang itu apanya yang oke? Cari istri sendiri apa dicariin?” Ayah bertanya, dia tidak paham dengan kesimpulan chat sang istri dengan putra mereka juga tidak mengerti kenapa istrinya merajuk. “Mana Bunda tahu, Ayah aja nanti yang tanya … males Bunda, masa ngomong sama Bundanya irit banget … bete ah, kesel.” Bunda menarik selimut menutupi tubuhnya hingga kepala, merajuk. Ayah menyimpan buku ke meja samping tempat tidur kemudian memeluk sang istri yang berbaring membelakanginya. “Kita liat weekend ini, abang bawa cewek enggak … kalau enggak, jodohin sama anak komisaris bank swasta itu aja ya? Ayah dari dulu pengen beli saham di sana tapi susah banget.” Ayah berbisik di telinga bunda yang kemudian mengangguk menyetujui. Bunda membalikan badan dan keduanya tidur saling berpelukan. Mereka tidak menunggu Davanka tiba di rumah. Meski tinggal satu rumah tapi ayah dan bunda tidak pernah mencampuri urusan Davanka, tidak pernah bertanya ke mana dan apa yang dilakukan Davanka sampai pulang larut malam. Mereka memberikan kepercayaan penuh dan selama ini Davanka selalu menjaga kepercayaan kedua orang tuanya. Kembali lagi pada Davanka yang kini sudah bergerak keluar dari ruangannya. Dia berniat langsung pulang ke rumah, tubuhnya juga terasa begitu lelah. Jadi, Davanka langsung menekan tombol basement pada lift yang ditumpanginya. Lift melewati lantai demi lantai kemudian berhenti di lantai lima. “Bro! Lembur lo?” Adalah Raga Argantara, sahabat kecil Davanka yang memiliki jabatan selevel dengannya di perusahaan tersebut. Walaupun Davanka adalah anak dari pemilik perusahaan—sang ayah tidak serta merta menempatkan Davanka pada level tertinggi mengingat usianya masih muda dan baru beberapa tahun lalu lulus kuliah. Memang bukan jabatan rendah, Davanka langsung menduduki jabatan satu tingkat di bawah CEO yaitu Chief Marketing Eksekutif. Davanka harus berjuang untuk mendapat posisi CEO nantinya. “Hem,” sahut Davanka hanya bergumam menanggapi sapaan Raga. “Ke night club yo!” ajak Raga semangat. “Males … capek.” Davanka sebaliknya, dia merasakan penat setelah disibukkan dengan kerjaan lalu harus memikirkan calon istri. Raga berdecak lidah. “Hayu lah, lo enggak kasian sama teman lo ini kalau mabok? Nanti gimana kalau gue digrepe-grepe cewek-cewek di sana?” Davanka mendengkus geli, dia bersandar setengah tubuhnya pada dinding lift. “Gue yang nyetir nanti gue anter lo pulang,” kata Raga lagi memaksa. Raga tahu sahabatnya tidak akan menolak dan benar saja—meski berjalan gontai tapi Davanka mengikuti Raga ke mobilnya setelah mereka keluar dari lift. Tangan Davanka terulur menarik handle pintu lantas duduk di jok samping kemudi. Raga mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan sedang. Mereka hampir tiba di dekat nightclub, papan nama nightclub sudah terlihat dari jarak beberapa meter. Tiba-tiba Raga menginjak rem sangat dalam membuat tubuh mereka berdua tersungkur ke depan, beruntung tertahan seatbelt. “Anjirrr, gue nabrak cewek!” Raga berseru. Mata pria itu membulat karena syok. Davanka juga syok, tapi dia bisa mengendalikan dirinya dengan bersikap tenang. Davanka yang lebih dulu keluar dari dalam mobil diikuti Raga yang sebenarnya di dalam hati sudah ada setan yang berbisik untuk kabur saja. “Mas … tolongin Anya, Mas … tolongin Anya, please.” Gadis cantik berpakaian seksi yang ditabrak Raga tadi mencengkram celana kain Davanka sambil duduk bersimpuh di tanah. Davanka melihat luka di lutut dan lengan sang gadis, kening gadis itu terluka tapi sepertinya rasa takut melebihi rasa sakit yang dia derita. Tapi apa yang ditakutkan gadis itu? “Anya!” seru Raga yang baru mengenali kalau orang yang dia tabrak adalah seorang gadis yang dia kenal. “Mas Raga, tolongin Anya … Mas.” Raga membantu Zevanya berdiri, gadis itu menekuk kakinya yang sepertinya keseleo sehingga berdirinya tidak sempurna. “Hey! Anya!“ Dua orang bodyguard yang mengejar Zevanya semakin dekat saja. Sambil tertatih, Zevanya bersembunyi ke belakang punggung Raga. “Tolongin Anya, Mas … please.” Davanka dan Raga mengerutkan kening bingung melihat kejadian tersebut padahal syok mereka yang tadi menabrak Zevanya saja belum hilang.“Anya! Sini lo!” Bodyguard Feri berseru dengan mata menatap nyalang pada Zevanya yang masih bersembunyi di belakang punggung Raga.“Ada apa ini, Om?” Walau sebenarnya takut, tapi Raga berusaha mencari tahu apa yang sedang terjadi.“Enggak usah ikut campur, enggak ada urusan sama lo!” seru bodyguard Agung.“Mas Raga … tolongin Anya, Mas Raga.” Zevanya mencengkram kemeja Raga di bagian pinggang, raut wajahnya begitu ketakutan.“Ada apa sih, Nya? Kok lo bisa kenal sama mereka?” Raga menghela tangan Zevanya di pinggangnya, tapi cengkraman tangan Zevanya ternyata cukup kuat sampai ujung-ujung kemeja Raga keluar dari batas pinggang celana.“Pokoknya tolongin Anya dulu.” Tentu saja Zevanya malu menjelaskan masalahnya dengan dua pria besar itu.Lengahnya Raga yang mencoba mencari tahu dengan menghadapkan sedikit tubuhnya pada Zevanya membuat bodyguard Feri berhasil menarik tubuh Zevanya.“Mas Raga!!!!“ Zevanya berseru panik.“Dia punya hutang sama Madam Rossy dan harus melakukan kewa
“Kalau harus ganti dua kali lipat ya jadi tiga ratus juta donk, Madam … bukan lima ratus juta.” Raga mencoba menawar.“Dua ratus jutanya buat gue, kenapa? Kalau mau … ambil! Enggak mau, ya sudah … kalian pergi sana … Anya harus kerja.” Madame Rossy bersikap acuh tak acuh.“Gini deh, empat ratus juta gimana? Kalau Madame kasih Anya ke Pak Broto itu, Madame cuma dapet lima puluh juta ‘kan? Tapi kalau Madame terima tawaran gue … Madame bisa bayar uang ganti rugi ke Pak Broto tiga ratus juta dan Madame dapat seratus juta.” Raga sedang bernegosiasi. Agung menyenggol lengan Feri, keduanya saling melempar senyum.Pantas saja tadi mereka dengan mudah membawa Zevanya dan dua pria yang mengenalnya itu ke Madame alih-alih mengembalikan Zevanya ke Pak Broto.Otak mereka licik sekali seperti majikannya.“Deal,” kata Madame Rossy secepat kilat.Karena sesungguhnya dia tidak perlu ganti rugi dua kali lipat bahkan dibayar pun belum oleh Pak Broto.Madam menggunakan uangnya dulu untuk membayar
“Terus … jadi gimana sekarang? Anya boleh pulang?” “Ceritain dulu ibu Nina sakit apa kenapa lo sampe harus jual diri gini?” Ibu Nina adalah ibunya Zevanya, Raga juga mengenal ibu Nina.Pernah sesekali Raga bertemu ibu Nina ketika berkunjung ke rumah Zevanya untuk mencari Pak Arya-ayahnya Zevanya.“Semenjak ayah meninggal, adik-adiknya ayah yang perempuan minta harta warisan ayah … mereka mengklaim banyak harta peninggalan ayah sampai Anya sama ibu harus jual rumah dan kami mengontrak ….” “Kok bisa? Kan ada hukum hak waris, mereka enggak bisa seenaknya donk.” Raga menyela.“Iya … tapi waktu itu Anya masih kecil … masih SMP kelas tiga, belum ngerti … dan mas Raga tahu sendiri kalau penghasilan ayah jadi dosen enggak besar karena ayah hanya dosen di Universitas kecil … ayah enggak punya banyak tabungan.” Zevanya melanjutkan.Ayahnya Zevanya memang dosen yang mengajar tentang Agama di salah satu Universitas swasta milik salah satu anggota DPR.Beliau juga seorang Ustad yang ser
“Mas Dava … Anya duduk di depan ya?” Anya berujar dalam bentuk kata tanya namun sebenarnya dia tidak butuh jawaban, dia sedang memberitahu Davanka.Dan seperti biasa Davanka tidak mau repot-repot mengeluarkan suara.Zevanya duduk di samping kemudi lalu memakai seatbelt setelah itu dia menoleh pada pria tampan yang sedari tadi diam saja tidak menganggapnya ada seakan Zevanya adalah makhluk tak kasat mata.“Mas Dava mau ‘kan anter Anya ke night club lagi?”Zevanya bertanya serius karena kalau tidak, dia akan pulang naik ojeg online saja.Dan lagi- lagi Davankan membungkam mulutnya rapat. “Iiihhh … gemeees, Anya cipok tuh bibir keritingnya baru tahu rasa.” Zevanya mengumpat kesal di dalam hati.Zevanya tidak bertanya lagi, terserah mau dibawa ke mana kalau perlu dia akan tidur di rumah pria itu jika Davanka membawanya pulang.“Ssshhh ….” Zevanya meringis.Luka yang dia dapatkan akibat terjatuh di aspal ternyata baru terasa sakit sekarang.Lutut dan bagian sisi telapak tangannya
“Anya … kamu pinjam uang ke siapa untuk bayar pengobatan ibu? Hutang kita ke bu RT aja belum dibayar.”Zevanya yang sedang memasukan barang-barang ibunya ke dalam tas kemudian membatu.Dia lantas menoleh menatap ibu Nina yang masih duduk di atas ranjang rumah sakit. Mereka tinggal menunggu perawat membawakan obat untuk ibu Nina yang akan dibawa pulang. “Anya dapet pinjaman dari mas Raga, Bu … ibu inget enggak mas Raga yang dulu murid ayah? Rumahnya di perumahan elit dekat komplek kita dulu, Bu.” Zevanya memang tidak bohong tapi tidak jujur juga kalau sebenarnya dia sempat ingin menjual diri untuk membayar pengobatan ibu Nina.Jangan sampai ibu Nina tahu karena bisa-bisa nanti beliau masuk rumah sakit lagi tapi dengan diagnosa stroke.“Oh … anaknya pak Adhitama?” Ternyata ibu Nina masih ingat.“Iya, Bu.” “Kok bisa kamu pinjam uang sama dia? Kalian udah lama enggak ketemu, kan?” Ibu Nina jadi curiga.“Anya pernah ketemu sama mas Raga beberapa kali di tempat kerja, Bu …
“Eh … anak Bunda udah pulang, tumben pulang cepet.” Suara bunda terdengar begitu hangat saat Davanka menginjakan kaki di ruang makan.Kedua orang tuanya sudah duduk di sana, baru akan memulai makan malam.“Biar bisa makan malam bareng Bunda sama ayah.” Davanka menjawab setelah mengecup pipi kiri dan kanan sang bunda.Dia beralih pada ayah, mengecup bagian punggung tangannya lalu duduk di samping kiri ayah yang menempati ujung meja.Davanka jadi bisa berhadapan dengan Bunda.Selama makan malam tidak ada perbincangan serius.Bunda bercerita kalau ketiga adiknya yang berkuliah di New York akan pulang untuk berlibur.Sampai ayah mengatakan atau lebih tepatnya meminta ijin kepada bunda untuk pergi golf. “Loh … kita ‘kan mau kedatangan tamunya Abang,” kata bunda saat ayah meminta ijin untuk golf besok pagi.Davanka mengangkat pandangannya menatap bunda.Dia seperti bingung mendengar ucapan sang bunda.“Abang ‘kan janji sama bunda mau bawa cewek yang akan Abang jadiin istri.”
Suasana rumah ayah dan bunda sekarang terasa ramai dan hangat, ketiga anaknya pulang ke Indonesia dalam rangka liburan.Si kembar Kanaya dan Kaluna langsung memeluk Davanka ketika baru saja pria itu menjejakkan kakinya di ruang tamu.Sedangkan Zyandru si bungsu hanya mengulurkan kepalan tangan dan Davankan mengadukan kepalan tangannya dengan sang adik.“Abang katanya mau nikah?” tanya Kaluna yang menggelayuti lengan Davanka.Sedangkan Kanaya sudah kembali duduk di sofa bersama ayah.Davanka sempat melirik Kanaya yang kini merebahkan kepala di pundak ayah.Adiknya pasti sedang merajuk agar tidak dijodohkan dengan pria pilihan ayah.“Enggak ….” Davanka menjawab pertanyaan Kaluna namun seketika sang bunda menoleh dramatis bersama kerutan di kening menatap tajam Davanka.“Eh … iya.” Davanka pun meralat dari pada durhaka.“Iya … apa enggak?” Zyandru bertanya memastikan.“Iya,” jawab Davanka menjatuhkan bokongnya di sofa. “Abang udah makan?” Bunda bertanya dengan suara lembut..
“Kamu beneran mau nikah sama Ryley?” Adalah pertanyaan pertama yang Davanka yang dia lontarkan saat akhirnya mereka bisa berdua saja.Bunda meminta Kanaya ditemani Davanka membeli kue untuk diantarkan ke rumah sahabat bunda yang anaknya sedang sakit.Kebetulan Kanaya dan anak dari sahabat bunda adalah teman semasa sekolah dulu. Davanka yang tidak ada kegiatan di hari Sabtu yang cerah ini pun mau saja mengikuti perintah bunda karena kebahagiaan bunda adalah harga mati buat mereka.Kalau bunda kesal dan marah, rumah akan seperti di Neraka.“Enggak lah, gila aja … mana sudi aku nikah sama Playboy kelas ikan paus gitu.” Kanaya bergidik dengan tampang judes.“Tapi Ryley itu menantu able banget.” Davanka tidak ada maksud mempengaruhi, dia hanya berpendapat.Dia sudah mengetahui siapa Ryley Alterio.“Tapi enggak suami able … dia itu sering gonta-ganti cewek … dia enggak mungkin setia.” Kanaya memberitahu rahasia umum tentang Ryley dan sesungguhnya ayah juga Davanka mengetahuinya t
Matahari terbenam di atas horizon, memancarkan warna keemasan yang indah di langit Hawai. Di tepi pantai yang tenang, Davanka dan Zevanya berjalan beriringan, tangan mereka saling menggenggam erat. Di depan mereka, Aksara dan Ashera sedang bermain dengan gembira di pasir, membangun istana pasir dan tertawa riang. Davanka tersenyum menatap ke arah Aksara dan Ashera, sambil mengeratkan genggaman tangannya. “By, lihat betapa bahagianya mereka. Abang rasa mereka enggak akan pernah melupakan liburan ini.” Zevanya mengangguk, matanya menatap putra dan putrinya penuh cinta. “Liburan ini memang sempurna. Terima kasih karena telah memilih tempat yang indah ini, Abang.” Davanka tersenyum, menatap laut dengan mata penuh kebahagiaan. “Kakek selalu mengatakan kalau tempat ini adalah tempat terbaik untuk menciptakan kenangan keluarga. Abang ingin anak-anak kita tumbuh dengan kenangan indah seperti ini.” Aksara berlari mendekat, ekspresi di wajahnya penuh semangat. “Ayah, B
Di sebuah rumah sakit bersalin yang mewah nyaman, Davanka berjalan mondar-mandir di koridor seperti ayam jago yang kebingungan. Wajahnya pucat, tangan kanan memegang ponsel, tangan kiri mengacung gelas kopi yang isinya sudah habis sejak sejam lalu.Dari dalam kamar bersalin, suara Zevanya terdengar berteriak-teriak, membuat Davanka berkeringat lebih banyak daripada saat jogging pagi.“Abang! Kalau kamu cuma mau mondar-mandir, sini gantikan Anya dulu!” teriak Zevanya dengan nada bercampur emosi dan kesakitan.“Gantikan? Gantikan apa, Anya? Abang enggak mungkin melahirkan untuk kamu, sayang …,” jawab Davanka gugup sambil setengah membuka pintu.Zevanya menatapnya dengan mata menyala. “Ya kalau enggak bisa bantu melahirkan, minimal kasih Anya semangat! Abang itu suami atau figuran sih di sini?”“Semangat, sayang! Kamu pasti bisa!” seru Davanka, setengah meloncat sambil mengepalkan tangan seperti cheerleader yang salah tempat.“Abang, serius! Duduk di sini, pegang tangan Anya! Kalau Anya
Jam sudah menunjukkan pukul dua pagi ketika suara aneh terdengar dari kamar tidur. Suara itu datang dari sisi tempat tidur, tempat di mana Zevanya biasa tertidur dengan tenang. Namun malam ini, situasinya berbeda.Zevanya tiba-tiba terbangun, matanya yang bulat terbelalak seperti baru tersadar dari mimpi buruk. Dengan suara terengah-engah, dia menoleh ke arah suaminya, Davanka, yang sedang terbaring di sampingnya."Abang ...." Zevanya bergumam dengan wajah setengah bingung. "Anya ngidam."Davanka mengerutkan kening, mengira istrinya hanya terjaga karena mimpi. "Ngidam? Anya, ini ‘kan sudah hampir jam tiga pagi, kamu yakin?"Zevanya duduk, memegangi perutnya yang mulai membesar, matanya tetap terjaga. "Iya, Anya ngidam banget, Abang … Anya pengen makan ... nasi goreng dengan buah durian!" Suaranya penuh dengan keyakinan, seolah itu adalah hal yang paling masuk akal di dunia ini.Davanka terdiam sejenak, mencoba mencerna permintaan itu. "Nasi goreng ... durian
“Aksaraaaa ….” Bunda Arshavina memanggil dengan suara mendayu dari arah pintu utama. Aksara langsung berlarian menuju ke sana tanpa menggunakan celana. “Eh … ke mana celananya?” Ayah Kama bertanya. “Abis pipis.” Aksara memberitahu sembari menepuk bokong. “Iiiih belum sunat.” Bunda menunjuk bagian bawah Aksara yang langsung ditutupi bocah laki-laki itu sembari cekikikan. “Aksaraaaa, pakai celana dulu!” Zevanya berseru dari dalam rumah. “Eh … Ayah … Bunda.” Zevanya baru menyadari kedatangan kedua mertuanya dan langsung menyalami mereka. “Abang pakai celana dulu ya,” kata Zevanya tapi Aksara malah lari ke dalam gendongan sang kakek. “Aduuuuh, cucu kakek sudah berat.” “Kakek! Abang enggak mau pakai celana.” Aksara meronta-ronta dalam gendongan sang kakek saat bundanya berusaha memakaikan celana. “Ayo pakai dulu celananya atau nanti Nenek sunat? Mana gunting? Mana gunting?” Bunda Arshavina pura-pura mencari gunting. “Enggak mau!” Aksara menjerit sambil terta
Davanka benar-benar menjadi bapak-bapak sekarang, tapi bukan bapak-bapak biasa.Pria itu pantas diberi julukan hot daddy dengan perawakan tinggi dan tubuhnya yang atletis serta ketampanan bak Dewa Yunani yang dia miliki membuat para gadis, janda dan istri orang tidak bisa melepaskan tatapan setiap kali melihat Davanka.Seperti saat ini, para papa yang lain seolah tidak memiliki harga diri karena para mama yang menemani putra dan putri mereka di play ground mall ternama di Jakarta terus menatap Davanka yang tengah menemani Aksara bermain sementara Zevanya sedang melakukan perawatan rambut di salon yang masih ada di mall tersebut.Kegiatan rutin di saat weekend yang dilakukan Davanka sekeluarga adalah ngemall karena Aksara masih berusia tiga tahun yang kalau diajak jalan-jalan keluar kota atau keluar Negri masih sering tantrum.Jadi ketika Davanka ada perjalanan bisnis saja baru Zevanya dan Aksara ikut.“Ma … itu liatin anaknya, jangan liatin suami orang terus!” tegur salah seorang
“Pak, malam ini ada acara charity sama komunitas Pengusaha Muda … Mentri Perdagangan dan Mentri Investasi juga jadi tamunya, kesempatan yang bagus mendekati mereka untuk proyek baru yang akan mulai dikembangkan oleh AG Group.” Arman mencetuskan sebuah ide brilliant. “Kamu yang datang temani ayah, ya!” Davanka bukan sedang bertanya tapi memerintah. Pria itu bangkit dari kursi kebesarannya bergerak ke sudut ruangan meraih jas yang tergantung di sana lalu memakainya. “Laporkan hasil yang kamu dapat dari acara itu.” Davanka memberi instruksi pada sekertarisnya. “Ta-tapi, Pak …,” sergah Arman saat Davanka melewatinya. Davanka menghentikan langkah membalikan badannya menatap Arman tanpa ekspresi. “Kamu enggak mampu?” Pertanyaan Davanka adalah sebuah tekanan agar Arman menjawab sebaliknya. “Mampu, Pak!” Arman menjawab lugas. Davanka membalikan badannya lagi. “Saya pulang duluan ya, Man.” Pria itu mengangkat tangan sembari melangkah keluar dari ruangannya meninggalkan A
Davanka lupa mengganti mode hening ke bunyi di ponselnya usai bertemu klien di meeting room sebuah hotel.Selama hampir lima jam lamanya Davanka ditemani sekertaris barunya melakukan pertemuan dengan klien dari Korea untuk menjalin kerjasama bisnis.Tapi tidak sia-sia karena Davanka akhirnya berhasil meyakinkan klien dari Negri ginseng itu untuk bekerja sama dengan perusahaannya.Sekarang Davanka merasakan tubuhnya lelah sekali, kepalanya bersandar pada sandaran jok mobil yang nyaman dengan mata terpejam.“Pak Dava, apa Bapak sudah mengecek ponsel Bapak?” Arman-sang sekertaris berujar dari kursi penumpang depan.“Belum … kenapa, Man?” Davanka menegakan tubuhnya merogoh saku jas mencari ponsel.“Ibu sudah melahirkan, Pak.” Arman berujar hati-hati.Dia juga tidak mengecek ponselnya karena sibuk memperhatikan jalannya rapatu tuk membuat Notulen.“Apa?” Davanka tersentak, matanya terbelalak.
“Apa kabar Anya? Perut kamu besar banget.” Adalah Noah yang menyambut Zevanya duluan.Terakhir kali dia bertemu Noah saat ditonjok oleh Davanka di Malaysia sebelum mereka pulang ke Indonesia.“Baik … iya nih, sebentar lagi melahirkan.” Zevanya mengusap perutnya.“Kamu berdua aja? Enggak sama Dava?” Itu Alvaro yang bertanya.“Enggak … Abang enggak tahu kalau Anya ngemall, tadi minta ijin malah dilarang … tapi besok Abang ulang tahun dan Anya harus beli kado.” Zevanya menunjuk paperbag yang di pegang Maria, wajah Maria memucat mendengar pengakuan Zevanya.“Pasti gue yang kena semprot nih.” Maria membatin.“Oh iya, si Dava ulang tahun besok.” Noah seakan diingatkan.“Duduk sini, Nya … makan bareng kita.” Alvaro mempersilahkan.“Enggak usah, Anya cari meja lain aja.” Zevanya takut kalau Davanka tahu lantas mengamuk.“Enggak apa-apa, sini duduk sama kita aja … duduk di sebelah gue, si Dava enggak cemburu sama gue.” Noah menarik tangan Zevanya agar duduk di kursi sebelahnya membuat dia ti
Davanka berjalan menyusuri lorong di kantornya yang dulu, dia belum membuat janji dengan Raga yang sekarang menjabat sebagai CEO di sana tapi kebetulan arah jalan yang ditempuh untuk kembali ke kantor usai mengunjungi suatu proyek melewati kantor ini jadi Davanka putuskan untuk mampir sebentar karena ada yang akan dia bicarakan dengan sahabatnya itu.Dengan sangat kebetulan, seorang wanita yang kini sedang berjalan berlawanan arah dengannya baru saja keluar dari ruangan Raga nyaris membuat Davanka memutar badan mengurungkan niat bertemu sang sahabat.Namun dia tidak ingin wanita itu mengatainya sebagai pengecut sehingga Davanka ayun langkahnya tegas hingga akhirnya mereka berpapasan.Wanita itu mencekal tangan Davanka menghentikan langkahnya.“Mau sampai kapan lo pura-pura enggak kenal sama gue?” Ramona bersarkasme.Davanka masih tetap tenang menatap ke depan.“Sampe lo enggak nyinggung sedikitpun tentang gue dalam cerita Anya,” sambung Ramona lalu tertawa sumbang.Sengaja Davanka tid