Hari semakin berlalu, semua orang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Safa yang mundar-mandir di dapur berbeda dengan Azril yang terlihat ramah menyambut para tamu yang datang. “Neng Safa sudah biarin, biar orang dapur saja yang bereskan.”“Tidak apa, Bu.” Safa tersenyum ramah sembari membawa nampan berisi cemilan.Sebenarnya tidak terlalu berat dan Safa juga tidak masalah. Daripada hanya diam memandang para tamu, terlebih ia tidak mengenalinya.“Ya ampun Mba Safa biar Ayu saja yang bawa. Mba Safa ditunggu sama Bu Hamidah di depan,” kata wanita yang usianya lebih muda.Mau tidak mau, Safa pun mengiyakan dan memberikan nampan tersebut kepada Ayu. Dengan langkah perlahan, Safa menghampiri ibu mertuanya yang sudah berkumpul di depan.Terlihat seluruh sanak keluarga memenuhi ruangan kecuali Safa yang merasa asing. Ia lebih memilih bekerja di belakang layar daripada ikut duduk tanpa ada suami di sampingnya.“Neng Safa sini, Nak,” panggil Hamidah pada Safa yang baru saja keluar.Safa p
Seorang wanita muda tengah duduk bercengkerama bersama anak kecil tanpa senyum kepalsuan. Bibirnya melengkung indah menanggapi ocehan demi ocehan yang menggemaskan.“Ma syaa Allah, kamu gemas sekali,” ujar Safa sembari mencubit pipinya yang gembul.“Loh, Neng Safa ada di sini?” tanya seorang wanita yang usianya lebih tua dari Safa.Safa tersenyum. Wanita itu merupakan ibu kandung anak kecil yang sedang bersamanya. “Ah, iya, Teh.”“Nggak bisa istirahat, ya?” tebaknya cepat. “Ya sudah kamu istirahat di kamar Fateh saja.”Bibir Safa kembali melengkung. Ia merasa tidak enak dan niatnya ingin mengajak bermain Fateh. Di rumah, Safa merasa tak nyaman dengan kehadiran bibirnya yang terus mengusik.“Ayo masuk, Neng,” kata wanita tersebut. “Ayo, Nak, ajak auntynya masuk.”Seperti mengerti, Fateh pun menarik lengan Safa dan membawanya masuk ke dalam. Mau tidak mau Safa mengikuti dan mungkin keadaan hatinya bisa lebih baik.Kehadiran Safa sudah dianggap sebagai keluarga. Padahal, belum genap satu
"Argh." Belum menjawab terdengar teriakan dari Fateh. Anak kecil itu terbangun dan membuat kedua sejoli di sampingnya mengerjap."Hai, anak ganteng," sapa Azril sembari tersenyum. Fateh pun terdiam, lalu menangis. Saat itu pula tangan Safa melayang karena sudah membuatnya menangis."Sakit, Sayang." Azril meringis kesakitan.Safa sendiri berusaha mendiami Fateh. Ia membangunkan dan memangku Fateh yang sepertinya masih ingin tertidur."Kamu sih berisik," kata Safa menyalahi suaminya. Sejak tadi memang dia yang paling berisik sehingga Fateh merasa terusik.Tangis pun semakin kencang, Safa bingung dan meminta Azril untuk membuatkan susu. Pasalnya, Fateh tidak ingin lepas dari dekapannya."Aku nih?" tanya Azril ragu."Iya, Mas, cepetan keburu marah dia." Safa mempertegas Azril.Mau tidak mau, Azril melangkah menuju dapur dan mencari tempat susu milik Fateh. Ia bingung sendiri karena tidak tahu bagaimana cara membuatnya.Berpikir dengan keras, rasanya tidak mungkin jika Fateh meminum di da
Azril menolak. Ia sudah ditunggu dan meminta maaf tak bisa membawanya. Kali ini akan egois demi kebaikan Safa."Maaf, Sayang. Kamu bisa tunggu di kamar saja, nggak usah keluar. Oke." Azril mengingatkan, lalu mengecup kening Safa lembut dan beranjak pergi.Sedangkan Safa hanya mematung memikirkan nasibnya yang harus berhadapan dengan bibinya itu. Melihat Azril yang benar pergi membuat Safa pasrah.Daripada pikirannya setress, Safa pun memilih melanjutkan pekerjaannya. Ia meneruskan cuciannya tadi yang ternyata tinggal menjemur. Kemudian dibawanya keluar sembari menghirup udara sejuk.Satu persatu pakaian miliknya digantung hingga selesai dan ternyata mendapat pengawasan dari sang bibi di belakang."Hmm, pinter caper juga kamu, ya," sindir Lisa saat melihat Safa masuk ke dalam.Safa menoleh, tetapi ia tak menanggapi. Malas sekali rasanya untuk berdebat karena hanya membuang energi."Ingat, statusmu di sini bukan putri. Kamu hanya orang asing yang masuk di keluarga Azril," lanjut Lisa de
Matahari sudah menghilang dan Safa masih betah berada di dapur. Ia sibuk menyiapkan makan malam dengan menu yang baru dipelajarinya.Aroma pun mulai menyeruak dan orang rumah bangkit dari tempatnya satu persatu menghampiri aroma tersebut."Ma syaa Allah, masak apa Neng, wangi sekali," kata Hamidah tersenyum.Tampaknya sang menantu sedang membuktikan jika dirinya tidak seperti yang Lisa katakan. Padahal, dia tidak harus berbuat demikian, tetapi Hamidah sendiri akan mendukung niat baiknya.Safa ikut tersenyum. Ia tersipu mendapat pujian dari sang ibu mertua, walau rasanya belum tahu akan sesuai selera atau tidak."Hmm, enak, Neng," ujar Hamidah saat mencicipi masakan Safa.Mata Safa berbinar. Ia agak tidak percaya sampai ikut mencicipinya juga dan rasanya tidak terlalu buruk."Amih yakin, bibimu sangat suka karena ini merupakan salah satu makanan favoritnya." Hamidah mendukung.Safa mengerjap, berharap seperti itu. Namun, akhirnya belum bisa mengambil hati sang bibi Safa tidak masalah.
"Sayang, kaus kakiku ada di mana?" teriak Azril menggema.Safa yang mendengar segera mematikan kompor. Sudah menjadi rutinitasnya untuk membuat sarapan juga bekal suaminya. Walau rasa aroma masakan terkadang mengganggu hidungnya, tetapi demi baktinya pada suami Safa menahan itu semua."Ada di lemari, Mas," kata Safa lembut."Nggak ada, Sayang, sudah aku cari." Azril menyerah. Ia tidak menemukan kaus kaki yang ingin dipakai.Safa pun turun tangan. Ia menghela napas pasrah dan membantu suaminya mencari benda tersebut. Padahal, semua sudah tertata rapi agar mudah dicari, tetapi masih saja ribut.Ia membuka lemari dan mencarinya perlahan. Kemudian kepalanya menggeleng, mengambil barang yang dimaksud dan diberikan kepada sang suami."Ini bukan?" tanya Safa menoleh."Ah, benar, Sayang. Terima kasih," ujar Azril sumringah."Makanya cari yang benar, Mas, orang barangnya ada di lemari, nggak mungkin hilang," ujar Safa memberitahu.Kebiasaan suaminya jika mencari sesuatu selalu terburu-buru seh
Seketika Safa tersenyum menyiratkan kebanggaan yang terpancar. Entah mengapa bibi terlihat terkejut dengan ucapannya."Sudah berapa lama kamu menulis seperti itu?" Lisa mengalihkan pertanyaan, tidak ingin menampakkan kekagumannya pada Safa."Hmm, kurang lebih dua tahun," balas Safa singkat. Ia jujur apa adanya, tidak ada yang ditutupi dan tak berharap wanita paruh baya itu menyukainya.Lisa terdiam, cukup lumayan lama juga dia bergelut dalam dunia penulisan. Bahkan, terlihat sekilas dia menjalaninya tanpa beban. "Apa kamu tidak jenuh?" Lisa semakin penasaran.Safa pun menjawab apa adanya. Ia menceritakan pekerjaannya yang menjadi hobi dan penuh ikhlas, sama sekali tidak menjadikan beban sehingga apa yang Safa lakukan sangat menyenangkan.Tampaknya sang bibi semakin ingin mengorek informasi dan dengan senang hati Safa memberitahunya. Mendengar semuanya, Lisa bungkam dan tak bisa menutupi dirinya dari keterkejutan, ternyata dia bukan wanita yang lemah dan penuh pemahaman. Jauh sekali
Pagi harinya, Safa sudah mendapati Bi Lisa yang berpakaian rapi dengan senyum tak biasa. Wanita itu menyapa lebih dulu membuat Safa berdecak kagum."Bibi mau ke mana?" tanya Safa penasaran."Bibi akan pulang hari ini. Kamu baik-baik di sini, ya." Lisa menatap ramah Safa sedikit terkejut, sebab kepulangannya terdengar mendadak. Safa tahu jika Bi Lisa akan pulang Minggu depan, tetapi entah mengapa tiba-tiba menjadi pulang sekarang."Serius, Bi?" Safa masih tak percaya.Pandangannya memerhatikan penampilan bibi dari atas hingga bawah dan terlihat sudah siap dengan barang yang ada di sampingnya.Seketika, Safa langsung mendekat dan mendekap tubuh sang bibi. Rasa nyaman baru ia rasakan, tetapi harus kembali hilang."Safa pasti akan rindu dengan Bibi," kata Safa jujur.Lisa sendiri merasakan hal yang sama. Ia sudah mulai merasa nyaman pada Safa, tetapi tidak ingin terlalu banyak menyakitinya. Lisa menyadari itu.Bahkan rasa haru pun ia rasakan. Mengenal Safa memang tak seburuk yang ia kira