"Argh." Belum menjawab terdengar teriakan dari Fateh. Anak kecil itu terbangun dan membuat kedua sejoli di sampingnya mengerjap."Hai, anak ganteng," sapa Azril sembari tersenyum. Fateh pun terdiam, lalu menangis. Saat itu pula tangan Safa melayang karena sudah membuatnya menangis."Sakit, Sayang." Azril meringis kesakitan.Safa sendiri berusaha mendiami Fateh. Ia membangunkan dan memangku Fateh yang sepertinya masih ingin tertidur."Kamu sih berisik," kata Safa menyalahi suaminya. Sejak tadi memang dia yang paling berisik sehingga Fateh merasa terusik.Tangis pun semakin kencang, Safa bingung dan meminta Azril untuk membuatkan susu. Pasalnya, Fateh tidak ingin lepas dari dekapannya."Aku nih?" tanya Azril ragu."Iya, Mas, cepetan keburu marah dia." Safa mempertegas Azril.Mau tidak mau, Azril melangkah menuju dapur dan mencari tempat susu milik Fateh. Ia bingung sendiri karena tidak tahu bagaimana cara membuatnya.Berpikir dengan keras, rasanya tidak mungkin jika Fateh meminum di da
Azril menolak. Ia sudah ditunggu dan meminta maaf tak bisa membawanya. Kali ini akan egois demi kebaikan Safa."Maaf, Sayang. Kamu bisa tunggu di kamar saja, nggak usah keluar. Oke." Azril mengingatkan, lalu mengecup kening Safa lembut dan beranjak pergi.Sedangkan Safa hanya mematung memikirkan nasibnya yang harus berhadapan dengan bibinya itu. Melihat Azril yang benar pergi membuat Safa pasrah.Daripada pikirannya setress, Safa pun memilih melanjutkan pekerjaannya. Ia meneruskan cuciannya tadi yang ternyata tinggal menjemur. Kemudian dibawanya keluar sembari menghirup udara sejuk.Satu persatu pakaian miliknya digantung hingga selesai dan ternyata mendapat pengawasan dari sang bibi di belakang."Hmm, pinter caper juga kamu, ya," sindir Lisa saat melihat Safa masuk ke dalam.Safa menoleh, tetapi ia tak menanggapi. Malas sekali rasanya untuk berdebat karena hanya membuang energi."Ingat, statusmu di sini bukan putri. Kamu hanya orang asing yang masuk di keluarga Azril," lanjut Lisa de
Matahari sudah menghilang dan Safa masih betah berada di dapur. Ia sibuk menyiapkan makan malam dengan menu yang baru dipelajarinya.Aroma pun mulai menyeruak dan orang rumah bangkit dari tempatnya satu persatu menghampiri aroma tersebut."Ma syaa Allah, masak apa Neng, wangi sekali," kata Hamidah tersenyum.Tampaknya sang menantu sedang membuktikan jika dirinya tidak seperti yang Lisa katakan. Padahal, dia tidak harus berbuat demikian, tetapi Hamidah sendiri akan mendukung niat baiknya.Safa ikut tersenyum. Ia tersipu mendapat pujian dari sang ibu mertua, walau rasanya belum tahu akan sesuai selera atau tidak."Hmm, enak, Neng," ujar Hamidah saat mencicipi masakan Safa.Mata Safa berbinar. Ia agak tidak percaya sampai ikut mencicipinya juga dan rasanya tidak terlalu buruk."Amih yakin, bibimu sangat suka karena ini merupakan salah satu makanan favoritnya." Hamidah mendukung.Safa mengerjap, berharap seperti itu. Namun, akhirnya belum bisa mengambil hati sang bibi Safa tidak masalah.
"Sayang, kaus kakiku ada di mana?" teriak Azril menggema.Safa yang mendengar segera mematikan kompor. Sudah menjadi rutinitasnya untuk membuat sarapan juga bekal suaminya. Walau rasa aroma masakan terkadang mengganggu hidungnya, tetapi demi baktinya pada suami Safa menahan itu semua."Ada di lemari, Mas," kata Safa lembut."Nggak ada, Sayang, sudah aku cari." Azril menyerah. Ia tidak menemukan kaus kaki yang ingin dipakai.Safa pun turun tangan. Ia menghela napas pasrah dan membantu suaminya mencari benda tersebut. Padahal, semua sudah tertata rapi agar mudah dicari, tetapi masih saja ribut.Ia membuka lemari dan mencarinya perlahan. Kemudian kepalanya menggeleng, mengambil barang yang dimaksud dan diberikan kepada sang suami."Ini bukan?" tanya Safa menoleh."Ah, benar, Sayang. Terima kasih," ujar Azril sumringah."Makanya cari yang benar, Mas, orang barangnya ada di lemari, nggak mungkin hilang," ujar Safa memberitahu.Kebiasaan suaminya jika mencari sesuatu selalu terburu-buru seh
Seketika Safa tersenyum menyiratkan kebanggaan yang terpancar. Entah mengapa bibi terlihat terkejut dengan ucapannya."Sudah berapa lama kamu menulis seperti itu?" Lisa mengalihkan pertanyaan, tidak ingin menampakkan kekagumannya pada Safa."Hmm, kurang lebih dua tahun," balas Safa singkat. Ia jujur apa adanya, tidak ada yang ditutupi dan tak berharap wanita paruh baya itu menyukainya.Lisa terdiam, cukup lumayan lama juga dia bergelut dalam dunia penulisan. Bahkan, terlihat sekilas dia menjalaninya tanpa beban. "Apa kamu tidak jenuh?" Lisa semakin penasaran.Safa pun menjawab apa adanya. Ia menceritakan pekerjaannya yang menjadi hobi dan penuh ikhlas, sama sekali tidak menjadikan beban sehingga apa yang Safa lakukan sangat menyenangkan.Tampaknya sang bibi semakin ingin mengorek informasi dan dengan senang hati Safa memberitahunya. Mendengar semuanya, Lisa bungkam dan tak bisa menutupi dirinya dari keterkejutan, ternyata dia bukan wanita yang lemah dan penuh pemahaman. Jauh sekali
Pagi harinya, Safa sudah mendapati Bi Lisa yang berpakaian rapi dengan senyum tak biasa. Wanita itu menyapa lebih dulu membuat Safa berdecak kagum."Bibi mau ke mana?" tanya Safa penasaran."Bibi akan pulang hari ini. Kamu baik-baik di sini, ya." Lisa menatap ramah Safa sedikit terkejut, sebab kepulangannya terdengar mendadak. Safa tahu jika Bi Lisa akan pulang Minggu depan, tetapi entah mengapa tiba-tiba menjadi pulang sekarang."Serius, Bi?" Safa masih tak percaya.Pandangannya memerhatikan penampilan bibi dari atas hingga bawah dan terlihat sudah siap dengan barang yang ada di sampingnya.Seketika, Safa langsung mendekat dan mendekap tubuh sang bibi. Rasa nyaman baru ia rasakan, tetapi harus kembali hilang."Safa pasti akan rindu dengan Bibi," kata Safa jujur.Lisa sendiri merasakan hal yang sama. Ia sudah mulai merasa nyaman pada Safa, tetapi tidak ingin terlalu banyak menyakitinya. Lisa menyadari itu.Bahkan rasa haru pun ia rasakan. Mengenal Safa memang tak seburuk yang ia kira
Kedua sejoli saling berpegangan mesra memilih makanan yang hendak dibeli. Niatnya ingin makan di tempat, tetapi entah apa yang terjadi pada Safa dan meminta untuk dibawa pulang."Kamu yakin nggak mau makan di sini saja?" tanya Azril memastikan."Iya, Mas," kata Safa pelan, tidak mungkin mengatakan alasannya di tempat umum. Azril pun memandang bingung dan Safa memberi kode akan menjelaskan nanti. Seketika Safa berjalan lebih dulu, lalu diikuti oleh Azril yang mengejarnya."Sayang, tunggu!" Azril segera berlari.Saat berada didekatnya terlihat wajah Safa berubah pucat. Azril yang memerhatikan pun merasa khawatir. "Kamu sakit?" Ia tidak peka. Seharusnya tidak membawa Safa ke tempat ramai."Enggak, Mas. Aku hanya mual saja, nggak suka dengan tempatnya," ujar Safa jujur. Ia baru bisa mengatakan sembari memegangi perutnya yang tidak enak.Azril merasa bersalah dan meminta maaf. Melihat Safa yang lemas, ia pun segera mengajak Safa pulang. Rasanya tidak tega dengan kondisinya."Maafin Safa,
Gedoran itu semakin keras membuat Faqih menghela napas pasrah. Langkahnya mendekat, lalu membuka pintu."Ra-radit!" Faqih membulatkan matanya lebar. "Kenapa kaget begitu?" Radit mengernyit heran."Ah, tidak. Mau ngapain lu datang ke sini?" Faqih berbalik badan dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Ia bersikap biasa saja agar tidak terlihat curiga olehnya.Radit menyeringai, tampaknya pria itu sedang marah padanya. Namun, tak masalah biarkan dia merenungi kesalahannya."Hmm, nih, gua bawain makanan buat lo. Kata mereka dari kemarin lo nggak makan," kata Radit perhatian. Ia bukan orang yang tega membiarkan temannya kelaparan. Mendengar hal itu membuat Radit iba dan terpaksa kembali ke pesantren untuk memberi makan padanya. "Terlambat. Gua sudah beli makanan," ujar Faqih jutek. Ia masih marah pada Radit karena meninggalkannya di tempat asing seperti ini."Dari mana? Lo kabur?" Radit agak terkejut karena peraturan pesantren tidak pernah mengizinkan santrinya pergi ke luar. "Kagak l
Safa tersenyum senang melihat tingkah Zahra yang semakin hari semakin pintar. Terlihat dia sudah sangat aktif dan mudah diberitahu. Kini, ia sedang membantu dirinya yang menyiram tanaman.“Nda, duduk saja,” kata Ara.“Memangnya Zahra bisa?” tanya Safa tersenyum.Zahra mengangguk, lalu mengambil selang air dari tangan sang bunda dan menyiraminya ke tanaman. Seketika Safa terharu dengan sikap dewasa Zahra.“Ma syaa Allah, pintarnya anak Bunda. Ya sudah sekarang kita mandi, yuk.” Mengingat waktu sudah sore dan Zahra harus sudah rapi sebelum abinya datang.Zahra pun mengangguk dan berlari kencang. Sedangkan Safa menggeleng, lalu mengejarnya perlahan. Ia tak sanggup lagi untuk berlari seperti Zahra.“Jangan main air, Nak,” ujar Safa saat melihat putrinya sudah berada di kamar mandi. Dia sudah bisa mandi sendiri sehin
Selesai acara, wajah sumringah dan bahagia terpancar dalam diri Safa. Ia memang selalu senang seakan mendapat amunisi dalam tubuhnya.“Fin, bagaimana kesan pertamamu?” tanya Safa melihat wajah Finna yang murung.Finna menggeleng, tak bisa berkata lagi. Apa yang didengar cukup meresap dalam hati dan seolah tertampar membawa dirinya untuk menjadi lebih baik.“Terima kasih, Saf, sudah mengajakku ke sini,” ujar Finna sendu.“Semua atas izin Allah, Fin,” kata Safa. Ia senang jika Finna pun senang, penantian dan perubahannya tak sia-sia berarti.Mereka pun pulang dan Safa kembali mengantarkan Finna ke rumah. Setelah itu langsung bergegas karena Azril sudah menunggunya di rumah.“Mba mampir dulu ke dalam, istirahat, kita makan,” kata Safa menawarkan.“Nggak usah, Mba, saya langsung pulang saja,” balas Vio. Ia tidak enak dan ingin langsung istirahat di rumah saja.“Masuk dulu saja, Mba, jarang-jarang Safa menawarkan.”Suara itu muncul dari ambang pintu siapa lagi jika bukan Azril. Safa pun la
Pagi hari, Azril merengek pada Safa karena dirinya yang terabaikan. Biasanya baju dan perlengkapan sudah berada di atas kasur, tetapi kini tidak ada.“Sayang, bajuku mana?”“Iya, Mas, sebentar.” Safa menggeleng karena Zahra pun tidak ingin ditinggal.Drama setiap pagi memang selalu begitu. Anak dan suami memperdebatkan perhatiannya, Zahra pun selalu bisa mengambil simpati Safa yang membuat Azril cemburu.“Anak Bunda sudah cantik, ma syaa Allah.” Safa mengecup rambut Zahra yang wangi, lalu memberikan bedak yang sudah tertutup sebagai mainannya.Sedangkan Safa bangkit untuk mengambil baju sang suami dan Zahra langsung menangis mengejarnya.“Zahra, sini, Nak.” Azril memanggilnya, tetapi tidak digubris oleh Zahra.Anak itu justru menarik baju ibunya dan Azril pun mendekat untuk menggendongnya. Namun, bukannya anteng, anak itu malah mengamuk.“Anak salehah ko ambekan sih. Bentar, Sayang, bundanya lagi ambil baju dulu buat Abi,” kata Azril memberitahu.Zahra tetap menangis dan Safa yang sud
Mau tidak mau, Safa hanya pasrah dan menurut. Demi kebahagiaan suami tercinta, ia menyuapi Azril yang makan dengan lahap.Bayi besar yang manjanya melebihi Zahra, selalu merasa iri jika waktunya habis sama Zahra. Namun, Safa paham dan mengerti selagi permintaan Azril masih wajar.“Kamu sudah tahu kabar dari Ning Balqis belum?” tanya Azril.Safa menggeleng. memangnya ada kabar apa. Ia tidak mendapat kabar apa pun darinya. Mengingat sibuknya Safa sebagai ibu rumah tangga yang menyambi menulis.“Beliau akan mengadakan tasyakuran empat bulan dan aku diberitahu sama Amih tadi pagi. Kita diminta untuk pulang, acaranya minggu depan.”“Ma syaa Allah, Alhamdulillah. Penantian Mba Aqis, Mas. Aku malah nggak tahu karena jarang komunikasi juga sama Mba Aqis.” Safa ikut senang dan haru mendengarnya.Memiliki kesibukan menjadi seorang is
Keesokan harinya, Safa dan Azril sudah melakukan aktivitas seperti biasa. Beruntungnya sekarang hari libur sehingga ada waktu untuk beristirahat setelah perjalanan kemarin.“Sayang, maksud dari Radit semalam itu siapa memang?” tanya Azril penasaran.Ia belum sempat bertanya karena rasa lelah yang menyerang dan Safa pun tidak bercerita lebih lanjut karena tertidur.“Oh, sepertinya Radit menyukai Finna, Mas.”Azril mengernyit bingung, dari mana dia mengetahui sahabat Safa. Padahal, Safa tidak pernah bercerita dan tampaknya Faqih sendiri tidak mengetahui banyak tentang pertemanan Safa.Namun, belum juga bertanya, Safa sudah lebih dulu memberitahu. Ia mengatakan jika Radit pernah bertemu dengan Finna saat mengantarkan undangan untuk Ayah ke rumah.“Oh, jadi ceritanya cinta pandangan pertama,” kata Azril menyimpulkan.“Hmm, mungkin, tetapi nggak ada salahnya kita bantu jodohkan mereka, Mas. Lagipula kayanya Radit pria yang baik.” Safa menerka. Selama mengenal, tidak ada tingkah yang membua
Hari berputar begitu cepat, kini Safa dan Azril sedang bersiap untuk menghadiri pernikahan para mantannya. Marlan juga sudah terlihat lebih segar dari hari kemarin dan Safa bersyukur semua bisa berkumpul dalam keadaan sehat.“Sudah rapi belum, Mas?” tanya Safa berdiri di hadapan Azril.“Sudah cantik, Sayang.” Bibir Azril merekah dan mencubit pipinya gemas. Tak lama, wajahnya mendekat maju, lalu mengecup keningnya sedikit lama.“Safa, ayo!”Safa mengerjap dan mendorong tubuh Azril menjauh. Suaminya itu terkadang tidak tahu tempat. Seketika wajahnya kikuk, melihat ke arah Ayah. Safa malu dan wajahnya bersemu merah.“Ayah sudah siap?”Sebenarnya tanpa ditanya, Safa sudah bisa melihat jika Ayah sudah rapi. Namun, karena kegugupannya sehingga pikirannya tak terkontrol lagi.Sedangkan Azril menahan senyum seakan tak bersalah dan Marlan justru ikut tersenyum membuat Safa semakin malu.“Ayo kita berangkat.” Safa membuyarkan rasa canggung yang ada. Tidak ingin kedua pria itu terus meledeknya k
Suasana pagi itu menjadi haru karena percakapan Marlan yang tiba-tiba. Mungkin karena rindu yang terpendam sehingga melihat Safa seakan menganggap sebagai pertemuan terakhir.“Nggak perlu menangis. Ayah baik-baik saja,” ujar Marlan tersenyum.Ia menenangkan putrinya mengingat usia yang terus bertambah dan kematian pun bisa kapan saja datang menghampiri.“Ayah pasti sehat dan bisa menemani Zahra sampai dewasa,” kata Safa menyemangati.Ia ingin bisa terus bersama sampai Zahra besar. Keduanya pun saling merengkuh dan tiba-tiba dikagetkan dengan suara salam seseorang yang membuat Safa tersadar.“Waalaikumussalam ... Finna!” Safa terkejut, ternyata kerabatnya yang datang.“Ah, sepertinya aku datang di waktu yang tidak tepat, ya?” tanya Finna tak enak hati. Melihat kebersamaan Safa dan ayahnya membuat ia rindu pada orang tuanya di kampung.Safa menggeleng, lalu tersenyum. Seketika Finna memberi salam kepada ayah Safa dengan sopan. Ia sengaja datang pagi karena memang ingin menghabiskan wakt
Mata Faqih membulat sempurna saat menatap sosok yang sudah lama tak dijumpainya. Memerhatikan dari atas hingga bawah tampak cantik nan menawan.“Welcome Gus Faqih.” Wanita itu tersenyum sembari merentangkan tangannya berjalan maju. Kemudian berpelukan yang melupakan statusnya sebagai istri.“Nduk, hargai suamimu,” kata Abah mengingatkan.Wanita muda itu pun langsung melepaskan tangannya, lalu melirik sang suami dengan tatapan datar. Ia lupa jika sudah beruami dan seharusnya bisa membatasi sikap terhadap Faqih, meskipun sepupunya sendiri.“Iya, Bah, maaf, lupa,” ujarnya sembari menggigit bibir bagian bawah.“Nak, kenalkan. Ini sepupu istrimu, keponakan Abah,” kata Abah memperkenalkan Faqih pada menantunya.“Ilham.”“Faqih.”Keduanya saling bersalaman dan Faqih menyambut dengan sopan. Pintar sekali adiknya memilih pendamping, tampan nan rupawan. Terlihat kalem dan saleh, berbeda dengan dia yang pecicilan.“Akhirnya Gus dingin menikah juga,” kekeh wanita muda yang duduk di hadapannya.Fa
Wajah Safa sumringah saat sudah berada di depan rumah, tidak ada yang memberitahu mengenai kedatangannya. Ia sengaja ingin membuat surprise kepada Ayah.“Neng Safa. Ya Allah ini teh beneran Neng Safa?” kata Bi Inah saat membukakan pintu.Safa mengangguk tersenyum, lalu bersalaman dengan sopan. Rasanya rindu sekali sudah lama tak bertemu Bi Inah.“Ayo masuk, Neng, A. Kalian kenapa nggak bilang kalo mau datang,” ujar Bi Inah berjalan di samping Safa.“Dadakan, Bi. Mas Azril yang tadi pagi baru bilang.”Sang empu pun langsung merekahkan bibirnya merasa tersipu. Memang keinginannya seperti itu agar tidak merepotkan orang rumah.“Tapi kalian semua sehat toh?” tanya Bi Inah memastikan. “Ini Zahra makin gemas saja. Ma syaa Allah sekarang sudah besar, ya, Neng.”Bi Inah memerhatikan Zahra yang perkembangannya cukup pesat. Dari bayi Zahra memang sudah gemuk dan sekarang terlihat lebih sehat.“Alhamdulillah sehat, Bi. Iya, Zahra juga miminya kuat,” ujar Safa duduk. Matanya mengedar pandangan me