"Kok sudah tutup lho, Umi?" Kudengar suara Yahya yang sudah berdiri di belakanku." Aku sudah capek dan lelah, Bi," jawabku."Iya sudah, tutup saja!" respon Yahya.Aku pun segera membersihkan semua barang yang berserakan. Setelah semua terlihat bersih dan rapi, aku pun masuk ke rumah. Setelah di dalam segera ku ambil wudlu dan salat mahgrib berjamaah dengan Zahra. Sedangkah suamiku dia pergi ke masjid."Umi, Zahra langsung tidur ya, rasanya lelah sekali!" pinta Zahra.Aku menyarankan agar dia membongkar tasnya untuk diisi dengan jadwal esok hari. Zahra pun mengangguk menyetujui sasanku. Setelah melepas mukena dan meletakkan kembali sesuai tempatnya, Zahra langsung menuju meha belajarnya. Aku melipat kembali mukena dan meletakkan pada tempatnya. Setelah melakukan salat kulihat Yahya sudah duduk di kursi malasnya. Aku melewatinya begitu saja tanpa berkata sedikitpun ingin menguji sejauh mana empati yang dia miliki atas tubuh ini.Meski lelah dan ingin segera memejamkan mata, aku tidak
Akhirnya aku melangkah meninggalkan suamiku dengan kesakitan di hati. Begitu sakitnya melihat suami yang masih tidak memedulikan semua kebutuhan keluarga, yang dia pedulikan hanya kemalasan saja. Sering dia mengeluh badannya sakit semua, iya mana tidak sakit jika badan itu dia biarkan terus tanpa berniat untuk melatihnya bergerak. Bahkan sejak warung ayam bakar mulai memiliki omset yang lumayan lelakiku itu semakin malas buat menjalankan dakwah. Biasanya meski dia tidak berdakwah selalu ada saja yang menyuruhnya untuk menjadi imam di masjid tertentu. Namun, sejak peristiwa dilabrak oleh saudara sepupuku itu lah kariernya sebagai seorang ustad tercemar. Dalam kegundahan hati, kurebahkan tubuhku yang lelah di sebelah Zahra."Sayangnya umi, mimpi indah ya. Semoga bahagia selalu menyertaimu!" Kupanjatkan doa terbaik untuk Zahra.Sungguh semangatku hanya Zahra, karena hanya dia yang aku punya selain saudaraku yang lain. Semoga semua menjadi baik dam sesuai dengan ridho-Nya. Lama kelamaa
Semakin hari penjualan ayam bakar makin bertambah. Apalagi hari pernikahan Adam semakin dekat. Aku bersyukur Allah memberikan jalan yang terbaik atas masalahku meski aku harus bersusah lebih dulu. Semua berusaha kujalani dengan iklas tanpa mengeluh.Sesuai pesananku, ayam mentah pun dikirim oleh Pak Roni sebanyak 25 ekor. Samuel dan Topan menjadi saling pandang dengan jumlah ayam mentah yang aku pesan. Aku hanya tersenyum melihat tatapan kedua karyawanku itu."Sudah jangan saling pandang seperti itu, segera kerjakan saja. Semoga jualan kita semakin ramai!" kataku."Aamiin," jawab mereka berdua.Selanjutnya mereka berdua terlihat kompak dalam melakukan pekerjaan tanpa ada saling salah. Aku tersenyum bahagia dengan melihat keakraban dan kerukunan kedua keryawanku itu. Bahkan mereka berdua saling kerja sama tanpa adanya perbedaan.Mereka berdua mempersiapkan ayam rebus dan aku mulai membungkusi sambal dan lalapan. Topan sesekali melempar guyonan ala pelawak Precil yang lumayan diminati p
Semakin hari omset penjualanku semakin bertambah. Aku mulai curiga akan pesatnya omset yang masuk, secara akan ada acara di keluarga kecilku jadi membutuhkan banyak dana. Allah memang maha adil, disaat hambanya sedang membutuhkan maka inilah jalan untukku.Semua sudah ada yang atur kita sebagai manusia hanya sebagai pelaku saja. Untuk itulah aku selalu berpikir positif akan semua musibah yang aku alami. Bagiku sebuah minset diri itu sangat berpengaruh untuk menambah semangat kita dalam menjalani cerita hidup."Bu, ada telepon dari Mas Adam!" teriak Topan lantang agar aku bisa mendengarnya.Gegas aku melangkah ke warung tanpa memedulikan suamiku yang terlihat asyik bermain game. Sampai di warung segera kuraih ponsel yang sudah dalam keadaan tersambung dari tangan Topan."Maaf, Bu, aku tadi tidak baca nama yang tertera jadi aku kira pembeli!" ungkap Topan penuh rasa kecewa dan permintaan maaf."Tidak apa, Pan. Ya sudah aku bawa masuk dulu ya, mungkin ini berita penting!" kataku.Topan p
"Aku tidak mau mengeluarkan semua tabunganku untuk acara pernikahan Adam, Bi!" lirihku sambil berjalan menyentak meninggalkan priaku.Aku terus berjalan kembali ke warung dengan tidak memedulikan teriakan Yahya--suamiku. Dengan aura yang sedikit gelap aku pun membungkus sambal dengan menggila. Topan yang melihatku tidak berani mengajak aku berbincang. Pemuda itu kulirik masih sesekali menatapku penuh tanya.Namun, aku masih tidak memedulikan semua yang dikerjakan oleh dua karyawanku. Aku sudah percaya dengan kinerja mereka meskipun aku tidak menyuruh mereka sembarangan. Mereka sudah paham akan tugasnya masing-masing. "Bu, uang recehnya sudah tipis. Ini hanya masih ada beberapa buat kebalian para pembeli yang lainnya." Topan menjelaskan mengenai stok uang receh."Bentar aku ambilkan dari dalam!" kataku dengan nada dingin.Segera aku melangkah masuk ke dalam untuk mengambil uang receh yang kusimpan di tempat yang berbeda. Setelah kuambil dua ikat yang artinya jumlah uang receh itu 200k
Tidak butuh waktu lama, kendaraanku akhirnya sampai di depan warung ayam bakar. Kulihat Topan sangat sibut dan sedikit kuwalahan melayani para pembeli. Zahra segera duduk di teras rumah untuk melapas lelah, kulihat dia tersenyum lalu menepuk sisi kosong agar aku segera duduk bersamanya.Seperti biasa, gadisku itu selalu meminta ditemani saat dia melepas sepatu. Dan yang pasti dia akan bercerita seharian selama di sekolah. Aku selalu jadi pendengar di setiap ceritanya."Ada apa, Zahra?" tanyaku."Umi tadi bilang jika ada kejutan buat Zahra, ayo, ayo cerita!" pinta Zahra dengan binar bahagia."Eemm, Zahra mau tidak naik pesawat?" tanyaku."Mau, mau, Umi!" jawab Zahra bersemangat.Aku tersenyum simpul, ingin hati memberitahunya saat malam menjelang tidur. Namun, saat melihat binar bahagia di sorot mata cokelat membuatku tidak tega. Akhirnya aku oun perlahan memberitahunya kabar gembira itu."Besak Zahra, abah dan umi naik pesawat ke Sulawesi," kataku."Sulawesi? Ngapain, Umi?" tanya Zahr
Setelah sedikit berdebat dan meminta kesabaran dari Topan, akhirnya pemuda itu mau aku titipi warung ayam bakarku. Sungguh susah mendapatkan hati seorang Topan bila hatinya terluka akan perkataan kasar suamiku. Pemuda itu berkata mau datang esok hari. Semoga saja!Sudah berulang kali aku katakan pada suamiku bahwa kenyamanan pekerja itu juga penting untuk membangun mood kerja mereka, apalagi kita masih membutuhkan pekerja yang loyal seperti Topan. Namun, dasar si Yahya saja yang susah di atur dan lemot dalam berpikir. Huft, aku sungguh ekstra sabar dalam menghadapi semua sikap dan polah suamiku itu. Semua sudah menjadi pilihanku, maka aku pun harus bisa menguasai hati dan pikiran agar tidak terbawa emosi. Pagi ini semua sudah aku siapkan termasuk beberapa nasi kotak untuk dibagikan pada para tetangga atas kabar baik ini.Aku bangun lebih awal pagi itu, pesawatku terbang sore hari jadi masih ada waktu untuk aku buatkan nasi kotak sebanyak 50. Semua itu untuk para tetangga. Kabar perni
"Akhirnya kalian datang juga!" kataku penuh dengan kelegaan akan datangnya dua karyawanku itu."Hehe, iya Bu. Rasanya tidak mungkin jika aku tidak datang tanpa alasan," jawab Samuel."Apalagi aku, Sam. O iya Bu, jam berapa berangkatnya kok belum siap?" tanya Topan sambil memandang tumpukan kotak, "dan ini kapan dibagikan?" lanjut Topan."Satu jam lagi mobil jemputan online datang, Pan. Lalu nasi kotak ini tolong kamu bagikan dulu sebelu aku berangkat."Kedua pemuda itu mengangguk dan mulai memasukkan beberapa kotak nasi ke tas kresek berukuran besar sehingga muat untuk sepuluh kotak nasi. Kulihat mereka berbagi tugas dalam membagi kotak tersebut."Kami berangkat membagi kotak ini dulu ya, Bu!" pamit Topan."Iya, silahkan!" Setelah keduanya berangkat, Yahya datang menghampiriku. Dia meminta agar aku segera bersiap tetapi sebelumnya aku disuruh untuk menyiapkan menu sarapan. Tanpa banyak bicara aku pun segera menyiapkan sepiring nasi beserta lauknya. Setelah semua siap sedia maka ku an