Aku segera keluar di taksi saat kendaraan sudah berhenti. Sopir itu pun segera mengeluarkan semua barang bawan kami dari bagasi. Setelah semua keluar, barulah kulihat Yahya mengeluarkan uang kertas dua lembar berwarna merah. Setelahnya kami mengucapkan terima kasih."Saya pamit undur diri dulu, Pak Yahya. Dan terima kasih orderannya, jika saat pulang nanti boleh hubungi saya lagi. Saya siap!" jawab Anwar--pemilik mobil itu."Baik, Pak. Terima kasih," jawab Yahya.Lalu kami berjalan beriringan memasuki lobi bandara domestik. Aku dan Zahra hanya mengikuti langkah Yahya dari belakang. Pria itu berjalan tanpa memedulikan kami--anak istrinya hingga Zahra harus berteriak melepaskan kesal di dadanya."Abah!" Yahya yang mendengar teriakan putrinya segera mneghentikan langkahnya dan berbalik menghadap pada kami. Aku menatap sendu dan penuh harap pada manik cokelat milik Yahya. Ada rasa terabaikan yang menguar dari sorot mata Zahra, rasa kecewa yang kian menghujam relung hati gadisku membuatku
Pesawat yang aku dan keluarga naiki harus transit lebih dulu di Makasar. Bukan karena cuaca memang jadwal pembelian tiket harus transit selama dua jam. Waktu yang lumayan lama bagiku, tetapi perlakuan hangat suamiku mampu mengusir kebosananku."Kok melamun di sini, Umi? Zahra ke mana?" tanya Yahya."Lagi ingin melihat orang berseliweran ke sana ke mari, Bi. Rasanya sudah lama aku tidak keluar rumah berjalan-jalan sekedarnya," jawabku."Maafkan abi ini ya, Umi. Selama ini mungkin sering membuatmu terluka, tetapi abi mempunyai keinginan tambah generasi yang saleh dan shalehah. Satu lagi terkadang harus abi tinggal untuk berdakwah," ungkap Yahya lalu meraih jemariku dan menggenggamnya lembut.Aku menatap penuh tanya pada manik matanya, ingin kulihat apakah ada kebohongan di binar mata itu. Namun, hingga kukerjabkan kedua mataku kebohongan itu yidak sedikitpun tampak. Aku mendengus lirih, bukan kecewa tetapi juga bukan merasa lega. Entah rasa apa yang menyeruak menusuk hingga ke jantung.
Aku seketika langsung bingung harus bagaimana, hanya duduk diam sambil melihat sekitar mencari sosok suami dan anakku. Kemudian kulihat mereka sedang dalam perjalanan menuju ke arahku, senyum Zahra kulihat masih mengembang sambil menenteng paper bag bertuliskan brand makanan.Rasanya, hatiku terenyuh melihat senyum yang tercetak di bibir putriku. Sungguh gadis kecil itu terlihat bagitu bahagia, aku tidak sanggup untuk membuat senyumnya hilang. Senyum yang hampir tidak pernah muncul."Umi, ini abah belikan nasi padang. Umi pasti lapar, ayo kita makan!" ajak Zahra."Umi udah makan roti dan minum air mineral tadi ada petugas yang membagikan ini," kataku."Siapa?" tanya Yahya.Aku memandang wajah suamiku yang penuh tanya. Langsung saja kuceritakan kejadian yang sebenarnya terjadi selama mereka berdua pergi. Yahya seketika terdiam. Lelaki itu, kulihat mengaktifkan ponselnya dan serius menatap layar. Jarinya sibuk menscrol aplikasi hijau, kemudian mengkliknya untuk melakukan panggilan. Zah
"Zahra ngantuk, Umi!" kata putriku."Iya sudah tidur lah, nanti jika kita berangkat akan umi bangunkan!" kataku.Zahra pun mulai membaringkan tubuh kecilnya. Sungguh waktu yang masih panjang untuk bisa sampai ke 12 jam ke depan. Ku tepuk paha samping Zahra agar dia segera terlelap dalam tidurnya. Tidak butuh waktu lama, mata Zahra terlihat terpejam sempurna."Selamat tidur sayang!" lirihku"Umi tidak ikut tidurkah?" tanya Yahya"Belum, ngantuk akunya, Bi. O iya besok kita akan terbang jam berapaa lho?" tanyaku."Sekitar jam lima waktu sini, Umi. Tidur saja yuukk, sini biar abi peluk sambil tiduran!" ajak Yahya.Aku tersipu malu, mungkin semu merah akan terlihat oleh suamiku. Hanya dengan menundukkan wajah lah semua malu itu sedikit tertutup. Namun, sebuah tangan telah membuka kait cadarku. Maka terpampanglah wajah asliku."Umi, masih cantik seperti dulu. Semua ini milik abi. Jadi sampai kapanpun aka teyap sama meskipun ranjangku akan ada wanita lain sebagai penghangat malamku," kata
Setelah melaksanakan ibadah subuh berjamaah, segera aku membereskan semua barang dan memasukkan lagi dalam koper. Zahra ikut membantuku untuk membereskan peralatan mandi dan ibadahnya sendiri. Kemudian kami pun melakukan cek out dari hotel tersebut.Jarak hotel dan bandara cukup dekat, hal ini memudahkan penumpang yang delay segera sampai dan naik ke pesawatnya. Begitu juga keluargaku. Kali ini kulihat wajah suamiku lebih berseri, sesekali senyumnya terlukis pada bibir tipis yang memerah."Tampan!" lirihku."Umi bilang apa?" tanya Yahya lembut sambil meraih jemariku."Ah, tidak. Hanya sekedar memuji," jawabku jengah."Memuji siapa?" tanya Yahya.Aku menggelengkan kepala dan menunduk diam. Zahra yang berjalan di samping kiriku segera mengaitkan jemarinya pada kelima jariku. Kulihat gadis kecil itu mendongak tersenyum manis."Jika setiap hari seperti ini, mungkin Zahra akan bahagia, Umi, Abah," kata Zahra."Apa maksud kamu setiap hari naik pesawat, Gitu?" tanya Yahya dengan nada rendah.
Setelah menempuh perjalanan udara selama satu jam, akhirnya pesawat yang aku naiki pun mendarat. Pendaratan sangat mulus hingga Zahra tidak merasa jet lag. Putriku itu begitu mesin pesawat berhenti dia seketika menjerit lirih penuh kelegaan."Masih takut ya, Dik?" tanya seorang ibu yang melewati bangku kami."Iya, Bu. Maklum ini pertama kali dia naik pesawat," jawabku sopan."Was, bersyukur sekali lho Adik ini. Seusia Adik sudah bisa naik pesawat," kata Ibu itu lagi."Terima kasih, Bu!" jawab Zahra sambil menundukkan kepalanya.Aku tersenyum pada wanita paruh baya yang mengenakan gamis model arabian. Lalu wanita itu pun pamit untuk keluar lebih dulu. Aku dan Yahya hanya mempersilahkan dan tidak lupa mengucapkan terima kasih. Setelah jalan keluar sedikit sepi, suamiku pun mengajak aku dan Zahra segera keluar dari deret bangku menuju jalan keluar pesawat."Selamat tinggal pesawat, jumpa lagi minggu depan!" ujar Zahra yang mampu membuatku terkekeh lirih."Kau itu, ada-ada saja, Ra, Zahra
"Kok Mas Adam bisa mengemudi sih, kan jadi pengen keliling kota di sini, Mas!" kata Zahra."Yee, semua ada aturannya, Dik. Mana ada mengemudi tanpa belajar," kata Adam.Iya apa yang dikatakan oleh Adam ada benarnya. Yang membuat aku penasaran kapan Adam belajar mengemudi hingga selancar ini. Abahnya saja kulihat juga heran hingga mengernyitkan dahinya, mungkin dia sedang mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Adam hanya diam sambil tersenyum tipis, rupanya dia terlihat bahagia sudah membuat kami orang tuanya penasaran. Aku pun mencoba mengalihkan pandangan pada pemandangan sepanjang jalan yang kami lalui. "O iya, Mas Adam, nanti Zahra bisa bertemu langsung dengan Mbak Halimah?" tanya Zahra."Pastilah, cuma tidak hari ini juga. Besok malam pas acara silaturahmi bersama keluarga besar Halimah," jawab Adam."Umi tidak bawa apa pun lho, Adam. Nah, kamu juga ndak kasih kabar mengenai jadwal ini." Aku berkata jujur sepeerti keadaan yang ada."Santai saja, Umi. Mereka tidak inginkan harta,
"Abah kamu beberapa hari ini diam di rumah, apalagi menjelang hari pernikahanmu. Dia selalu aktif membantu umi di warung, bahkan terkadang saat pesanan banyak dia juga membantu membedah ayam, Mas," kataku menjelaskan aktifitas suamiku."Mungkin dia sedang merasa bahwa ini kewajibannya, Umi. Apalagi sebagai kepala keluarga dia juga harus memenuhi hak anaknya. Benar 'Kan?" papar Adam."Bisa jadi, Mas Adam," balasku."Serius amat ya, lagi bahas apaan sih kalian itu?" tanya Yahya yang tiba-tibq sudah ada di sampingku.Aku terdiam, hanya menatapnya sekilas lalu beranjak berdiri meninggalkan mereka berdua. Sengaja kutinggalkan mereka karena aku masih harus mengurus Zahra yang masih belum masuk ke kamar buat istirahat. Yahya menatapku penuh tanya, aku hanya melempar senyum tipis.Dengan santai kutinggalkan saja keduanya yang mulai terlibat pembicaraan serius mengenai acara silaturahmi esok hari. Aku terus melangkah mendekat pada Zahra yang terlihat anteng menonton siaran anak di televisi. Ga
Aku pun memanggil Zahra dan Abdul setelah menurunkan semua barang bawaan Adam. Kedua anakku pun segera keluar dari rumah."Umi ingin membesuk abah kalian, siapa yang akan ikut dan tinggal di rumah?" tanyaku."Aku ikut saja, Umi. Biar Halimah di rumah bersama Arkan, kau bagaimana Abdul?" kata Adam."Aku ikut, mungkin Zahra saja yang tetap tinggal di rumah menemani Kak Halimah. Iya 'kan Zahra?" tanya Abdul yang memandangku lalu berganti pada Zahra.Putriku itu mengangguk tetapi mukanya cemberut, ada sebersit rasa kecewa. Namun, aku mencoba memberinya pengertian. Agar dia mau tinggal di rumah, akhirnya gadis kecilku pun setuju.Setelah kata sepakat tercapai, kami bertiga segera masuk ke dalam mobil. Sopir pun melajukan kendaraannya menuju ke Rumah Sakit Bayangkara. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di rumah sakit itu. Keadaan jalanan yang sepi bagai kita mati membuat lalu lintas Surabaya begitu lengang.Kuinjakkan kakiku dengan napas berat, kuatur ulang pola napasku dan hatiku. Mampuka
Aku terdiam cukup lama, mencari jalan keluar untuk masalah ini. Akhirnya kucoba hubungi Adam untuk menyelesaikan masalah ini. Mengingat ini berita sangat penting akhirnya kupaksakan hatiku. Panggilang terhubung tetapi belum diangkat. Hingga panggilan yang kedua barulah diangkat, kudengar suara wanita yang lembut."Assalamualaikum, Umi! Ada apa dini hati seperti ini hubungi mas Adam?" kata Halimah."Waalaikumsalam, Halimah. Ini abah baru saja mengalami kecelakaan bersama istri sirinya, saat ini sudah ditangani oleh polisi dan masuk ke RS. Polda. Sedangkan pesanan ayam bakar untuk esok setelah salat idul fitri ada 150 ayam, tolong Umi!" paparku tanpa ku tutupi.Hening, aku masih menunggu reaksi lanjutan dari seberang. Aku masih diam, tetapi kudengar langkah mendekat dan duduk di sampingku."Biar Abdul yang lihat kondisi abah, Umi. Berhubung ini sudah menjelang dini hari, sebaiknya Umi pejamkan mata agar esok terasa sedikit segar!" pinta Abdul."Benar apa yang dikatakan oleh Abdul, Umi.
Aku pun hanya tersenyum di balik cadar untuk melepas kepergian suamiku. Sebenarnya sudah hal biasa dia pergi tinggalkan aku sendiri dalam memberesi semua pekerjaan, tetapi malam ini ada yang berbeda. Sebuah rasa was was menelusup di relung hati, Abdul pun yang juga ada di dekatku hanya berdiri mematung menatap kepergian abahnya."Apakah ini tidak apa, Umi?" tanya Abdul."Semoga saja tidak, Abdul. Kita bereskan ini lebih dulu, lalu segera istirahat agar esok menjelang subuh bisa bakar ayam dalam keadaan fit!" kataku sambil mulai memberesi barang.Abdul pun segera melakukan apa yang aku perintahkan dengan rapi. Semua lantai teras dibersihkan dan langsung dia pel. Hal ini kami lakukan dengan bekerja sama, bahkan kali ini Zahra juga ikut turun. Putriku itu membantu membereskan semua wadah baskom yang sudah aku cuci. Cukup lama waktu yang kami gunakan untuk membersihkan teras, hingga pukul delapan malam semua baru selesai. Aku menutup warung lebih dulu tetapi masih berada di dalam. Kulih
Sesaat Bulan pun sampai dari belanjanya, kemudian kutatap manik mata wanita itu. Bulan menjadi salah tingkah, dia merasa bingung mengartikan tatapanku padanya. Lalu wanita muda itu mengalihkan pandangannya ke Sambuel sambil mengangkat dagunya. Samuel kulihat menggedikkan bahu."Apa yang sedang kalian sembunyikan?" tanyaku sambil menatap keduanya bergantian.Bulan menggelengkan kepala tanda dia tidak mengerti apa yang aku tanyakan, sedangkan Samuel hanya senyum simpul membuatku semakin geram dan penasaran. "Bisa kau jelaskan alasan kamu masuk pagi, Sam?" tanyaku lebih detail lagi.Samuel menarik napas panjang, lalu dihempas perlahan. Setelahnya dia menatap sepeda motor pengantar ayam gembung. Pak Roni sendiri yang antar ayam gembung itu. Ini kesempatanku untuk bertanya berapa suamiku mengorder ayam hari ini."Bu Arini ini ayamnya masih separo ya, sisanya nanti sekitar jam sepuluhan!" kata Roni."Sebentar to, Pak. Memangnya suamiku pesan berapa?" tanyaku."100 ekor ayam, untuk tiga har
"Apakah Umi sudah lupa? Atau kasih ijin dalam diam?" cerca Yahya padaku.Jujur aku diam bukan karena lupa atau apapun itu, sungguh suamiku itu mahkluk adam yang tidak peka. Siapa dia meminta ijin wanita lain masuk ke dalam rumah pribadiku. Rumah warisan dari orang tuaku, sedangkan dia di sini numpang. Meskipun uang untuk ganti warisan para saudaraku yang lain merupakan hasil kerja ayam bakar tetapi itu tetap hal aku yang terbanyak.Aku hanya bisa mendesah kesal, tetapi untuk terucap rasanya enggan. Lebih baik diam saja daripada nanti lisanku mengeluarkan kata berbobot yang diijabah Allah malaah lebih parah. Seperti kara para orang tua dulu, jika istri atau ibu yang teraniaya mengucapkan kata balas dendam bisa langsung terjadi. Mengingat nasehat itu membuatku menjaga lisanku baik suara maupun batin. Aku tidak mau berucap yang bisa menjadi doa dan berakibat fatal. Apalagi ini menyangkut nasib anak-anak ke depan."Umi, kok diam. Jawab dong!" pinta Yahya dengan nada lembut."Tidak aku ja
Aku dan Zahra melangkah tanpa memedulikan panggilan suamiku. Zahra pun terlihat lebih memilih aku dari abahnya, dia kulihat langsung meraih ponselnya. Entah siapa yang akan dia hubungi, aku hanya menunggu duduk di sebelahnya. Bibir Zahra tersenyum kala panggilannya tersambung."Asslaamualaikum, Kak Abdul! Aku mau curhat ini, dengerin yaa!" sapa Zahra sekalian dia meminta pada kakaknya itu. Aku tersenyum.Lalu Zahra mulai menceritakan semua kejadian yang baru saja dialaminya di teras rumah tadi. Aku yang mendengar hanya geleng kepala, sungguh putriku itu meluapkan emosinya pada kakak tirinya. "Dia abah kamu lho, Kak. Mana ada seorang abah kok kek gitu, bawa anak dari wanita lain yang bahkan bukan darah dagingnya. Pokoknya aku tidak mau tahu, nanti Kak Abdul harus ikut merawat umiku. Enak saja!" Begitu keluh Zahra pada kakaknya, "Dan tanggung jawab padaku juga lho, janji!" lanjutnya memastikan apa yang diucapkan oleh Abdul.Aku hanya tersenyum saat Zahra menutup panggilannya itu. Lalu
Dua hari mereka ikut bekerja di warung ayam bakarku tanpa permisi ataupun mengenalkan identitas dirinya. Aku pun diam saja, selama dua hari ini aku bekerja dari dalam rumah. Baik Bulan ataupun Samuel kubebaskan memberi perintah kedua pemuda itu untuk membantu meringankan pekerjaan mereka.Terkadang pemuda yang lebih muda berani membantah bila disuruh oleh Bulan. Namun, Bulan lebih berkuasa dan pendai menekan mental pemuda itu. Berbeda dengan yang lebih tua, dia hanya diam tidak banyak bicara. Apapun yang diperintahkan oleh Bulan dilaksanakan begitu saja.Aku masih mengamati cara kerja mereka berdua, tiba-tiba ingatanku melayang pada kejadian beberapa bulan yang lalu saat suamiku mengeluarkan alaat masak juga beberapa kayu. "Ah, iya pemuda itu yang datang dengan mobil tepak dan membawa semua barang. Mungkinkah itu anak Salma? Lalu yang kecil itu, apakah dia yang baru saja operasi habis kecelakaan? Kok masih terlihat segar bugar," batinku sambil melihat sosok pemuda itu.Bulan terlihat
Aku masih diam saja mengikuti alur kisah hidupku. Setelah peristiwa Yahya membawa beberapa alat masak, sejak saat itu aku semakin dingin. Hingga berganti bulan pun tidak ada informasi yang keluar dari mulut suamiku itu. Aku biarkan saja sesuai alurnya.Namun, beberapa hari kemudian beberapa tabung elpiji dan kompor dia bawa pulang. Mungkin menyisakan satu kompor dan dua tabung elpiji, kerena dari enam kemarin hanya dibawa pulang empat biji."Puas kamu, Umi!" Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba suamiku berkata kasar. Aku sendiri juga tidak mengerti apa maksud dari kalimatnya itu. Puas untuk apa? Aku saja tidak pernah merasakan sesuatu yang nikmat. Aneh."Jadi istri pertama itu ya mbok sing sabar, kasih suport suami yang sedang berusaha membuka cabang. Nah ini, Umi malah menghina istri siri abi. Apa coba maksudnya?"Aku semakin tidak mengerti dengan ucapannya. Menghina? Apa coba? Bukti pun juga tidak jelas, bagaimana aku bisa menghina jika nomer ponselnya saja aku tidak simpan.
"Iya sudahlah langsung jemput saja, Mbak. Mumpung masih telat sepuluh menit," katq Bulan.Aku segera melajukan kendaraanku tampa melihat siapa yang datang. Sungguh konsentrasi sedikit ambyar gara-gara postingan tok tok tadi. Laju kendaraan sedikit kupercepat dari biasanya, aku khawatir jika putriku tinggal sendiri di sekolah.Sepuluh menit aku sampai di depan sekolah, kulihat masih ada beberapa siswa dan siswi yang belum dijemput. Kuedarkan pandanganku mencari sosok Zahra, rupanya dia sedang mengantri di penjual papeda. Aku pun bernapas lega, kuhampiri dia."Masih lama antrinya, Zahra?" tanyaku."Bentar lagi ... eeh Umi ternyata. Tunggu ya Zahra masih antri, ini tinggal nunggu Lhansa selesai bari dech Zahra," papar anakku.Kulempar senyum untuk putriku, dia membalas menyatukan ibu jari dan jari telunjuk membentuk simbol oke. Aku pun akhirnya menunggu Zahra saambil duduk di jok montor. Lima menit aku menunggu akhirnya selesai juga. Zahra pun siap di boncengan."Untung jemputnya telat,