"Zahra ngantuk, Umi!" kata putriku."Iya sudah tidur lah, nanti jika kita berangkat akan umi bangunkan!" kataku.Zahra pun mulai membaringkan tubuh kecilnya. Sungguh waktu yang masih panjang untuk bisa sampai ke 12 jam ke depan. Ku tepuk paha samping Zahra agar dia segera terlelap dalam tidurnya. Tidak butuh waktu lama, mata Zahra terlihat terpejam sempurna."Selamat tidur sayang!" lirihku"Umi tidak ikut tidurkah?" tanya Yahya"Belum, ngantuk akunya, Bi. O iya besok kita akan terbang jam berapaa lho?" tanyaku."Sekitar jam lima waktu sini, Umi. Tidur saja yuukk, sini biar abi peluk sambil tiduran!" ajak Yahya.Aku tersipu malu, mungkin semu merah akan terlihat oleh suamiku. Hanya dengan menundukkan wajah lah semua malu itu sedikit tertutup. Namun, sebuah tangan telah membuka kait cadarku. Maka terpampanglah wajah asliku."Umi, masih cantik seperti dulu. Semua ini milik abi. Jadi sampai kapanpun aka teyap sama meskipun ranjangku akan ada wanita lain sebagai penghangat malamku," kata
Setelah melaksanakan ibadah subuh berjamaah, segera aku membereskan semua barang dan memasukkan lagi dalam koper. Zahra ikut membantuku untuk membereskan peralatan mandi dan ibadahnya sendiri. Kemudian kami pun melakukan cek out dari hotel tersebut.Jarak hotel dan bandara cukup dekat, hal ini memudahkan penumpang yang delay segera sampai dan naik ke pesawatnya. Begitu juga keluargaku. Kali ini kulihat wajah suamiku lebih berseri, sesekali senyumnya terlukis pada bibir tipis yang memerah."Tampan!" lirihku."Umi bilang apa?" tanya Yahya lembut sambil meraih jemariku."Ah, tidak. Hanya sekedar memuji," jawabku jengah."Memuji siapa?" tanya Yahya.Aku menggelengkan kepala dan menunduk diam. Zahra yang berjalan di samping kiriku segera mengaitkan jemarinya pada kelima jariku. Kulihat gadis kecil itu mendongak tersenyum manis."Jika setiap hari seperti ini, mungkin Zahra akan bahagia, Umi, Abah," kata Zahra."Apa maksud kamu setiap hari naik pesawat, Gitu?" tanya Yahya dengan nada rendah.
Setelah menempuh perjalanan udara selama satu jam, akhirnya pesawat yang aku naiki pun mendarat. Pendaratan sangat mulus hingga Zahra tidak merasa jet lag. Putriku itu begitu mesin pesawat berhenti dia seketika menjerit lirih penuh kelegaan."Masih takut ya, Dik?" tanya seorang ibu yang melewati bangku kami."Iya, Bu. Maklum ini pertama kali dia naik pesawat," jawabku sopan."Was, bersyukur sekali lho Adik ini. Seusia Adik sudah bisa naik pesawat," kata Ibu itu lagi."Terima kasih, Bu!" jawab Zahra sambil menundukkan kepalanya.Aku tersenyum pada wanita paruh baya yang mengenakan gamis model arabian. Lalu wanita itu pun pamit untuk keluar lebih dulu. Aku dan Yahya hanya mempersilahkan dan tidak lupa mengucapkan terima kasih. Setelah jalan keluar sedikit sepi, suamiku pun mengajak aku dan Zahra segera keluar dari deret bangku menuju jalan keluar pesawat."Selamat tinggal pesawat, jumpa lagi minggu depan!" ujar Zahra yang mampu membuatku terkekeh lirih."Kau itu, ada-ada saja, Ra, Zahra
"Kok Mas Adam bisa mengemudi sih, kan jadi pengen keliling kota di sini, Mas!" kata Zahra."Yee, semua ada aturannya, Dik. Mana ada mengemudi tanpa belajar," kata Adam.Iya apa yang dikatakan oleh Adam ada benarnya. Yang membuat aku penasaran kapan Adam belajar mengemudi hingga selancar ini. Abahnya saja kulihat juga heran hingga mengernyitkan dahinya, mungkin dia sedang mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Adam hanya diam sambil tersenyum tipis, rupanya dia terlihat bahagia sudah membuat kami orang tuanya penasaran. Aku pun mencoba mengalihkan pandangan pada pemandangan sepanjang jalan yang kami lalui. "O iya, Mas Adam, nanti Zahra bisa bertemu langsung dengan Mbak Halimah?" tanya Zahra."Pastilah, cuma tidak hari ini juga. Besok malam pas acara silaturahmi bersama keluarga besar Halimah," jawab Adam."Umi tidak bawa apa pun lho, Adam. Nah, kamu juga ndak kasih kabar mengenai jadwal ini." Aku berkata jujur sepeerti keadaan yang ada."Santai saja, Umi. Mereka tidak inginkan harta,
"Abah kamu beberapa hari ini diam di rumah, apalagi menjelang hari pernikahanmu. Dia selalu aktif membantu umi di warung, bahkan terkadang saat pesanan banyak dia juga membantu membedah ayam, Mas," kataku menjelaskan aktifitas suamiku."Mungkin dia sedang merasa bahwa ini kewajibannya, Umi. Apalagi sebagai kepala keluarga dia juga harus memenuhi hak anaknya. Benar 'Kan?" papar Adam."Bisa jadi, Mas Adam," balasku."Serius amat ya, lagi bahas apaan sih kalian itu?" tanya Yahya yang tiba-tibq sudah ada di sampingku.Aku terdiam, hanya menatapnya sekilas lalu beranjak berdiri meninggalkan mereka berdua. Sengaja kutinggalkan mereka karena aku masih harus mengurus Zahra yang masih belum masuk ke kamar buat istirahat. Yahya menatapku penuh tanya, aku hanya melempar senyum tipis.Dengan santai kutinggalkan saja keduanya yang mulai terlibat pembicaraan serius mengenai acara silaturahmi esok hari. Aku terus melangkah mendekat pada Zahra yang terlihat anteng menonton siaran anak di televisi. Ga
"Uminya Adam, maaf saya permisi dulu. Sepertinya Abahnya sedang sibuk lagi ada panggilan penting!" kata Pak Hasan."Iya, Pak. Silahkan!" jawabku.Kulihat Pak Hasan pun segera berjalan menuju ke rumah inti. Lalu aku pun masuk ke dalam rumah. Kulihat Adam sedang mengusir beberapa nyamuk yang beterbangan mengelilingi tubuh Zahra. Dengan penuh kasih tangan Adam nengurut pelan tungkai adiknya itu."Umi, tadi ponselnya berbunyi lho, coba dicek dulu!" kata Adam.Aku pun mengucapkan terima kasih lalu kuraih ponselku yang tergeletak begitu saja. Kulihat ada beberapa chat dari Topan. Dia mengatakan jika ayam bakar berjalan lancar. Satu lagi kabar yang cukup mengejutkan bagiku. Menurut Topan, ada seorang wanita yang datang ke warung.Topan juga menjelaskan bahwa wanita itu sedang mencari suamiku. Kubalas chat Topan biasa saja. Bahkan ku sarankan untuk memberitahu keberdaaan kami di sini. Namun chatku tidak dibalas hanya centang dua. Kubiarkan saja semua, asal yang kabar mengenai ayam bakar suda
"Siapa, Umi?" tanya Zahra yang baru keluar dari kamar mandi."Umi juga tidak tahu siapa ini, Dik. Hanya saja yang membuat heran suara itu seorang wanita meminta uang sekolah anaknya," kataku.Kulihat Zahra berhenti sejenak lalu menatapku heran dan penuh tanya. Aku sendiri juga tidak tahu siapa gerangan penelepon itu saat mendengar suara langsung sambungannya terputus. Aku tidak mengerti dan fia berhasip membuatku penasaran. "Sudahlah jangan difikirkan, ayo kita sekarang ibadah salat subuh lalu bersiap diri untuk menuju ke rumah Kak Halimah, Zahra!" kataku sambil menyiapkan sajadah dan mukena.Melihat aku yang sudah bersiap hendak memakai mukena, Zahra pun segera membentangkan sajadah dan memaki mukenanya. Setelah semua siap aku pun segera memulai ibadah subuh berjamaah. Setelah selesai, kubereskan semua agar kamar dan rumah terlihat bersih.Kulihat Yahya dan putra sulungnya berjalan menuju ke rumah. Wajah yang terlihat cerah membuatkan terdiam tidak mampu untuk bertanya siapaa geran
"Bukankah sudah sering abi katakan jika posisi Umi itu lebih kuat dari yang lain? Jangan ragukan lagi mengenai hal itu!" ujar Yahya dengan sedikit menekan."Bukan aku meragukan tetapi lebih menegaskan. Selama ini semua bisa sampai di detik ini atas campur tangan keluargaku. Apakah Abi akan seperti kacang yang lupa kulitnya?" kataku dengan nada sedikit sinis, "satu lagi jangan pernah membenarkan apa yang menurut Abi benar, semua memproses, Bi," lanjutku.Setelah berkata, aku segera beranjak dari dudukku dan berjalan masuk ke kamar. Rasanya dada ini sesak dan sudah tidak bisa menahan semua gejolak dalam jiwa. Rasanya tidak ingin aku mendapatkan ridho dari suami yang menzdolimi istri.Namun, kembali ke kenyataan yang ada. Dia, sudah menjadi pilihanku untuk jalani kehidupan yang kini sudah hampir 13 tahun. Ingin aku tantang dia buat cerai, tetapi suaraku terhenti ditenggorokan. Rasanya tercekat dan terkunci. Mungkin ini belum batas maksimal hingga semua belum bisa terucap secara gamblang