"Bukankah sudah sering abi katakan jika posisi Umi itu lebih kuat dari yang lain? Jangan ragukan lagi mengenai hal itu!" ujar Yahya dengan sedikit menekan."Bukan aku meragukan tetapi lebih menegaskan. Selama ini semua bisa sampai di detik ini atas campur tangan keluargaku. Apakah Abi akan seperti kacang yang lupa kulitnya?" kataku dengan nada sedikit sinis, "satu lagi jangan pernah membenarkan apa yang menurut Abi benar, semua memproses, Bi," lanjutku.Setelah berkata, aku segera beranjak dari dudukku dan berjalan masuk ke kamar. Rasanya dada ini sesak dan sudah tidak bisa menahan semua gejolak dalam jiwa. Rasanya tidak ingin aku mendapatkan ridho dari suami yang menzdolimi istri.Namun, kembali ke kenyataan yang ada. Dia, sudah menjadi pilihanku untuk jalani kehidupan yang kini sudah hampir 13 tahun. Ingin aku tantang dia buat cerai, tetapi suaraku terhenti ditenggorokan. Rasanya tercekat dan terkunci. Mungkin ini belum batas maksimal hingga semua belum bisa terucap secara gamblang
Kulihat Adam dan Zahra berjalan beriringan memasuki gerbang rumah utama. Tampak senyum Zahra mengembang, membuatku ikut tersenyum. Sementara Yahya masih bungkam atas inginku, mungkin pria itu masih harus menimbang baik-buruknya keputusan yang dia ambil."Assalamualaikum!" sapa Zahra dan Adam bersamaan."Waalaikumsalam, ee kok sudah pulang. Sebentar amat, memangnya habis dari mana?" tanyaku."Biasa Umi, si Zahra inginkan ea krim wallz. Es krim yang termahal dan tentunya enak," jawab Adam.Aku pun tersenyum, lalu menarik jemari Zahra agar saat dia makan ea cream bisa duduk manis hingga es itu habis. Gadis kecilku pun nurut, dia kini duduk di sebelahku sambil menyendok es creamnya hingga habis. Setelahnya gegas Zahra bangkit hendak mencuci tangan dan membuang sekalian cup es cream itu. Sementara Adam menatap padaki dan abahnya secara bergantian. Sorot pemuda itu penuh tanya, lalu pandangannya beralih padaku, tatapan yang sama seakan bertanya apakah semua sudah selesai. Aku hanya membala
Meski sekedar foto tetapi telah berhasil membuatku dingin. Kemesraan yang mereka ambil sangat membuatku sakit hati. Dulu, saat masih awal pernikahan sikapnya begitu lembut dan penuh perhatian. Sekarang sejak beberapa bulan lalu perhatian berkurang, awal aku tidak menyadari akan perubahan ini.Setelah ada beberapa pembeli yang mengabarkan berita nikah sirinya itu baru aku percaya. Mereka bahkan membawa bukti sebuah foto kebersamaan keduanya saat ada di keramaian pasar malam. Huft, sakit tapi tidak berdarah. Mungkin itu yang aku rasakan saat ini. Beruntung aku masih memiliki semangat dari kedua anak tiriku. Ini yang menjadikan aku kuat menatap hari esok. Masih panjang perjalanan hidup, apalagi Zahra masih terlalu muda. Aku harus tetap semangat dan mendekat pada Robb-ku."Umi, Zahra sudah pulang" teriak Zahra.Aku pun segera menutup layar ponsel suamiku, lalu melangkah keluar untuk menemui Zahra. Kulihat gadis kecilku sudah duduk sambil manata napasnya. Senyumnya mengembang kala melihat
Semua acara yang sudah tersusun rapi akhirnya selesai sudah. Aku dan keluarga kecil kembali ke rumah Bi Opah. Seharian mengikuti semua runtutan acara membuat badanku terasa kaku, tetapi semua rasa lelah terbayar melihat sinar bahagia yang terpancar di wajah Adam. Putra tiriku itu begitu wibawa dengan pakaian adat daerah Halimah.Sepanjang acara kulihat senyum terukit selalu di bibir suamiku. Aku bersyukur semua biaya pernikahan itu ditanggung oleh suamiku. Bahkan sedikitpun uangku tidak keluar. Zahra sering menguap, mungkin karena padatnya acara hingga membuat gadis kecil itu kelelahan. Baru saja merebahkan tubuhnya, saat itu juga matanya terpejam dan dengkuran lirih bisa kudengar.Tidak hanya Zahra, suamiku pun juga sudah terlelap dengan dengkuran halus. Hanya tinggal aku yang masih terjaga kala malam itu. Iya, acara pernikahan itu hingga menjelang adan isya. Setelah adan selesai maka acara pun juga selesai.Sesuai dengan rencana, jika acara Adam selesai maka kami sekeluarga akan se
Apa yang aku utarakan ternyata ada manfaatnya. Yahya terlihat sedang berbicara serius dengan Pak Hasan yang bekerja sebagai anggota dewan. Hal ini sangat membantu kami yang sedang kesusahan dalam tiket pesawat. Pak Hasan sendiri juga heran bagaimana bisa tiket yang jauh hari sudah terbeli hangus tanpa adanya pemberitahuan. "Nanti saja kita bantu urusnya, Pak Yahya. Tetapi mari saya ajak kelian semua melihat kampung yang sering terjadi ... apa ya namanya jika di Jawa?" kata Pak Hasan "Lindu, Abah," jawab putra Pak Hasan "Nah, benar itu," balas Pak Hasan.Aku dan Zahra merasa penasaran jadi kami secara bersamaan menatap abah. Suamiku pun akhirnya menganggukkan kepalanya tanda dia menyetujui ajakan Pak Hasan. Setelah aku dan keluarga berpamitan pada keluarga Halimah, kami pun diantar oleh Pak Hasan juga bapaknya Halimah.Dalam perjalanan itu kami saling berbincang, tampak Zahra melihat pemandangan sepanjang jalan. Bibirnya tidak pernah berhenti menanyakan sesuatu padaku. Aku hanya men
Penerbangan pulang saat ini terasa begitu cepat bagiku, Zahra yang duduk di pinggir jendela pun terlelap dalam mimpi. Perjalanan pulang kali ini tidak seperti saat keberangkatan kami. Saat berangkat untuk memejamkan mata terasa sayang, apalagi begitu melihat pesona alam dari atas sungguh indah. Namun, saat pulang rasanya sudah lelah hingga mata susah buat terjaga Aku pun terbangun saat merasakan adanya guncangan pesawat saat menabrak awan putih. Menurut penglihatanku awan itu bagai bangun datar seperti tanah yang saling terhubung tidak seperti saat aku lihat di bawah. Sungguh kuasa Tuhan sangatlah luas."Umi!" lirih Zahra. Aku pun menoleh pada gadis kecilku, lalu kuusap lengannya lembut. Kemudian kedua matanya kembali terpejam, begitu pun denganku. Beberapa menit kurasakan adanya sentuhan lembut pada lenganku. Rupanya Yahya membangunkan aku ketika samar kudengar adanya pemberitahuan dari pramugari bahwa pesawat akan melakukan proses turun."Segera pasang kembali sabuk pengamanmu dan
Mobil yang membawa keluargaku akhirnya sampai di depan rumahku. Terlihat lampu teras menyala dan warung sudah tertutup rapat, hal ini menandakan bahwa kedua karyawanku mengikuti perintahku. Mereka pulang sesuai jadwalnya.Aku dan Zahra segera keluar dari mobil diikuti oleh suamiku. Aku yang sudah turun lebih dulu dan membawa kunci pun akhirnya aku juga yang membukakan pintu rumah. Kuhela napas lega dengan mengucap salam begitu kaki kananku melangkah memasuki rumah. Hal yang sama dilakukan oleh Zahra."Assalamualaikum!" salam Zahra."Waalaikumsalaam!" jawabku.Kudengar kekehan lirih yang keluar dari mulut putriku, kemudian tangan kecilnya membekab mulutnya sendiri. Aku menjadi tertawa tertahan. Yahya yang melihat kami pun menjadi ikut tersenyum dan dia pun melangkah masuk ke dalam kamar kami. Beberapa saat kemudian dia pun keluar sudah berganti baju dan mendorong kendaraannya."Mau kemana, Abah?" tanya Zahra."Abah mau beli nasi padang, pada lapar 'kan kalian?" tanya Yahya.Aku dan Za
Aku memulai hari kembali bekerja, aktifitas pagi menyiapkan ayam rebus dan lainnya. Membungkus sambel dan lalapan. Kuedarkan pandanganku, melihat apa saja yang akn aku mulai lebih dulu. Dan kuabsen satu per satu bahan baku untuk menunjang kelancaran jualanku hari ini."Ayam rebus masih ada, sambel bungkus masih cukup, lalapan? Harus beli lalapan dan lombok tampar ini," gumamku setelah melihat semua stok bahan.Aku pun gegas membersihkan lantai, menyiapkan yang lainnya hingga Topan datang barulaj semua selesai termasuk menimbang isi perut ayam dan kakinya yang sudah direbus. Topan pun mulai bersiap menata perapian buat bakar ayam pesanan jam delapan sebanyak 5 kotak. "Aku belanja bahan untuk bumbu dulu, Pan. Nanti jika Pak Bos mencariku katakan kemana aku pergi!" pesanku pada Topan.Aku hanya mendengar jawaban lirih atas pertanyaanku tersebut tanpa pemuda itu mengangkat kepala menatapku. Kedua karyawanku sangatlah mengjargai aku yang seorang hijaber. Keduanya selalu menjaga pandangann