Aku pun kembali melanjutkan langkahku, setelah berada di dalam kamar segera kulaksanakan apa yang sudah menjadi niatku tadi. Kebentangkan sajadah dan memakai mukena. Semua urutan dalam ibadah sunnah duha selesai aku laksanakan, kini kembali aku mengadu pada Robbku. Dengam suara lirih, kuceritakan semua keluhku. Hanya pada-Nya aku mengadu dan meminta pertolongan. Karena sejelek apapun perbuatan suamiku itu adalah aibku, maka tidak sepantasnya aib suami kita sebarkan pada kalayak umum. Cukup mereka sendiri yang lihat dan mengeluarkan pendapat, sementara aku hanya sebagai pendengar saja.Kutumpahkan semua rasa sesak di dada akibat polah suamiku, aku pun juga tidak berniat untuk membalas perbuatan suamiku. Cukup sakit ini aku terima, mungkin dikehidupan sebelumnya aku pernah berbuat salah sehingga saat inu aku ditegur oleh Tuhanku. Aku pun kembali bermunajat memohon ampunan dan perlindungan juga jalan keluar terbaik untuk segala masalahku.Kulipat mukenaku dan sajadah, setelah rapi aku k
Aku hanya diam saja mendengarkan semua pendapat Yahya hingga kudengar napas kasar. Setelah puas mengungkap semua pendapatnya, Suamiku langsung masuk kamar untuk menyimpan uang hasil penjualan. Aku masih diam menunggu upahku hari ini. Dan benar, setelah beberapa menit dia keluar lagi dengan membawa dua lembar uang kertas beda warna."Ini upah buat jajan Umi. Semangat lagi ya kerjanya, biar bisa bangun kamar atas buat kedua anak laki kita!" "Doa kan saja agar tubuhku selalu sehat untuk penuhi inginmu meski tanpa bantuanmu, Bi!" pintaku tulus."Apa maksud dari perkataanmu itu, Umi?" hentak Yahya.Aku yang tadinya akan beranjak dari dudukku dan sudah berdiri, seketika berdiri mematung. Entah sejak kapan priaku itu mulai sering meninggikan suaranya. Malam ini dia terlihat begitu emosi. Aku sendiri sampai bergidik."Bukankah apa yang aku ucapakan benar adanya, Bi? Salahkan aku jika minta doa dan ridho suami?" tanyaku.Yahya, lelakiku itu kembali diam. Namun, tatapan matanya semakin tajam h
Aku terdiam memikirkan apa yang akan kuputuskan mengenai hal ini. Pemasok ayam libur selama dua hari, dengan alasan ayam langka dan sulit di dapat. Untuk saat ini di kandang mereka masih ada lima puluh ekor saja. Namun, untuk membeli lagi aku belum ada modal. Huuft!"Kalau aku pesan untuk besok, bisakah?" tanyaku pada akhirnya."Bisa, Bu. Mau pesan berapa biar nanti aku katakan pada majikan saya?" tanya pengantar ayam itu."Tidak banyak, cukup lima belas saja," jawabku."Baik, Bu. Saya pamit!" Pengantar ayam itu pun langsung balik kanan setelah berpamitan padaku. Begitupun aku, segera masuk ke rumah untuk mengabarkan hal ini pada suamiku. Langkahku terhenti seketika kala kudengar suara suamiku bernada tinggi. "Sedang bicara dengan siapa?" gumamku."Sudah jangan banyak omong, pakai saja uang itu dulu! Nanti saat aku datang kuberi lagi." suara suamiku yang aku dengar.Lalu aku berdiri di depannya sambil menyodorkan selembar kertas dari pengantar ayam gembungan. Kulihat wajah Yahya pia
Semua sudah diatur oleh sang pembuat hidup, kita layaknya hanya wayang yang dilakonkan oleh seorang dalang. Hanya bedanya kita memiliki otak untuk memilih jalan mana yang akan kita tuju. Begitu pun dengan Yahya--suamiku. Andai dia memilih tidak berpoligami, maka masalahnya tidak akan serumit ini. Atau jika dia, memilih untuk bekerja giat maka bisa saja berpoligami secara adil baik finansial maupun rohani.Nah, ini? Jangankan bekerja, untuk berdakwah saja saat ini sudah berkurang semangatnya. Dulu saat awal nikah, suamiku begitu semangat untuk berdakwah menyebarkan agama Islam. Mengajak mereka yang belum mengenal Tuhan ke jalan Islam. Bahkan dakwahnya sampai ke negeri seberang.Aku tidak habis pikir, tetapi semua sudah kepalang basah jadi lebih baik mandi sekalian. Mungkin ini yang cocok dengan hidupku. Yahya adalah pilihanku dulu, semua tidak semudah membalikkan telapak tangan bila berhubungan dengam satu kata SUAMI.Kata cerai hanya sah terlontar dari bibir suami, jika keluar dari is
Hari terus berlalu, harga ayam pun mulai stabil dan para pembeli sudah kembali berdatangan silih berganti. Hari ini Topan ingin keluar dari kerjaan, dia beralasan ingin berwirausaha sendiri dengan ternak ayam petelur. Aku pun hanya bisa memberi dukungan yang terbaik.Setelah keluarnya Topan, kini aku sering jualan sendiri. Hal ini membawa dampak yang tidak baik untuk kesehatan dan sirkulasi penjualan. Setiap sepertiga malam, aku selalu berdoa untuk diberi kesehatan dan kesabaran dalam jalani hidupku. Rasanya aku sudah tidak sanggup lagi mengikuti jalan pikiran suamiku itu Bagaimana bisa dia berbuat seperti itu dalam membagi cinta, tanpa dia ada usaha dibidang ekonomi. Bahkan secara suami, dia pun belum penuhi kebutuhan anak istri dari segi sandang, pangan dan papan. Hanya satu yang sudah sering dia berikan yaitu nafkah batin. Namun, nafkah batin ini pun banyak artinya lho. Bukan sekedar seks, bisa diartikan juga dengan hati. Terkadang, bukan terkadang bahkan sering para pria salah me
Aku segera beranjak dari dudukku untuk menyambut kedatangan suami yang sudah lama tidak pulang ke rumah. Entah mengapa dengan hatiku ini, meski tersakiti berulang kali aku masih saja berbakti pada suami. Semangat Arini, badai pasti akan berlalu, hanya itu yang selalu aku ucapkan untuk menyemangati diri sendiri."Assalamualaikum, Abi!" sapaku sambil kuraih tapak tangannya. Priaku sedikit menghindar, dia hanya mengulurkan tas ransel miliknya. Lalu melangkah mendahuluiku untuk masuk ke rumah. Saat aku hendak melangkah, kudengar suara Bulan memanggilku. Aku pun menoleh dan tersenyum. Kuperintahkan agar Bulan menungguku sejenak.Aku pun melanjutkan langkahku mengikuti langkah suami. Setelah sampai di dalam, barilah si Yahya memberiku perintah agar mencucikan semua pakaian kotornya di tas tersebut. Aku mengiyakan dan segera kubawa ke belakang untuk kurendam. Setelah sudah terendam dengan diterjen, aku kembali melangkah ke ruang tamu. Di sana masih kulihat suamiku duduk sendiri dengan pikir
Pikiranku malayang akan masa silam, saat awal kali jumpa dengan Yahya. Dia pria pertama yang membuatku tekuk lutut tanpa syarat. Namun, seiring berjalannya waktu sikapnya telah berubah. Mungkin inilah sifat aslinya. Aku juga tidak mengerti, sejak perekonomianku stabil barulah dia berulah. Poligami, minta motor, dan ingin lainnya yang butuh modal banyak. Aku hanya mengikuti apa yang dia inginkan selama masih bisa aku gapai dan bermanfaat pasti aku luluskan. Terkadang aku sendiri bisa kurang fokus jika dia mulai bertingkah aneh. Ingin bercerai pun akan susah jalanku karena suamiku sudah jelas mengatakan tidak akan mengucap kata sakral itu.Tutur kata yang sopan, tidak pernah ringan tangan, ada usaha bersama, dan dia juga seorang muslim yang terbilang taat. Jadi sangat susah untuk bisa lepas dari pria seperti itu. Aku harus bersabar dan iklas itu yang sering diucapkan oleh kedua putra tiriku. "Ya Allah mudahkan saja apa yang sudah menjadi suratan takdirku!" lirihku untuk membangkitkan
Aku pun segera melajukan kendaraan menuju ke sekolah Zahra. Tidak butuh waktu lama aku sudah di depan sekolah Zahra. Kulihat putriku berjalan dengan lemas, seakan sudah habis tenaga. Maklum saja sejak diberlakukan sekolah full day oleh pihak DepAg, semua instansi sekolah Madrasah Ibtidaiyah pulang jam tiga sore atau selepas salat asar."Capek ya, Sayang?" tanyaku saat Zahra yang sudah berdiri di depanku."Huum, Umi. Ayo segera pulang saja!" ajak Zahra.Setelah anak gadisku naik di boncengan segera kulajukan kendaraan menuju arah pulang. Singkat cerita, akhirnya aku pun sampai di halaman rumahku ternyata ada mobil online keluar dari halamanku. Sempat muncul sebuah tanya siapa gerangan tamuku. Aku memarkirkan kendaraan roda duaku, lalu masuk ke dalam warung. Bulan tersenyum melihatku di ambang pintu warung. Lalu memberikan ponsel dan dia pamit pulang."Kok cepat, Bul?" tanyaku."Mbak Arini lagi ada Adam dan istri itu di dalam rumah dan kebetulan ayam juga habis. Semua juga sudah aku