Pikiranku malayang akan masa silam, saat awal kali jumpa dengan Yahya. Dia pria pertama yang membuatku tekuk lutut tanpa syarat. Namun, seiring berjalannya waktu sikapnya telah berubah. Mungkin inilah sifat aslinya. Aku juga tidak mengerti, sejak perekonomianku stabil barulah dia berulah. Poligami, minta motor, dan ingin lainnya yang butuh modal banyak. Aku hanya mengikuti apa yang dia inginkan selama masih bisa aku gapai dan bermanfaat pasti aku luluskan. Terkadang aku sendiri bisa kurang fokus jika dia mulai bertingkah aneh. Ingin bercerai pun akan susah jalanku karena suamiku sudah jelas mengatakan tidak akan mengucap kata sakral itu.Tutur kata yang sopan, tidak pernah ringan tangan, ada usaha bersama, dan dia juga seorang muslim yang terbilang taat. Jadi sangat susah untuk bisa lepas dari pria seperti itu. Aku harus bersabar dan iklas itu yang sering diucapkan oleh kedua putra tiriku. "Ya Allah mudahkan saja apa yang sudah menjadi suratan takdirku!" lirihku untuk membangkitkan
Aku pun segera melajukan kendaraan menuju ke sekolah Zahra. Tidak butuh waktu lama aku sudah di depan sekolah Zahra. Kulihat putriku berjalan dengan lemas, seakan sudah habis tenaga. Maklum saja sejak diberlakukan sekolah full day oleh pihak DepAg, semua instansi sekolah Madrasah Ibtidaiyah pulang jam tiga sore atau selepas salat asar."Capek ya, Sayang?" tanyaku saat Zahra yang sudah berdiri di depanku."Huum, Umi. Ayo segera pulang saja!" ajak Zahra.Setelah anak gadisku naik di boncengan segera kulajukan kendaraan menuju arah pulang. Singkat cerita, akhirnya aku pun sampai di halaman rumahku ternyata ada mobil online keluar dari halamanku. Sempat muncul sebuah tanya siapa gerangan tamuku. Aku memarkirkan kendaraan roda duaku, lalu masuk ke dalam warung. Bulan tersenyum melihatku di ambang pintu warung. Lalu memberikan ponsel dan dia pamit pulang."Kok cepat, Bul?" tanyaku."Mbak Arini lagi ada Adam dan istri itu di dalam rumah dan kebetulan ayam juga habis. Semua juga sudah aku
Cukup lama Adam dan istrinya tinggal di kotaku. Bila kutanya anak itu hanya menjawab menunggu abahnya pulang. Aku biarkan saja toh dia juga anakku meskipun tiri. Bagiku semua anak sama baik itu anak tiri ataupun kandung, dari benih yang sama hanya kandungan yang berbeda. Aku selalu mencoba iklas dalam merawat semua anak dari istri pertama Yahya berharap mendapatkan manfaatnya. Secara mereka adalah anak yatim, sesuai syariat agamaku anak yatim bisa membawa keberkahan tersendiri. Semua itu sudah aku buktikan dengan merawat mereka bertiga. Hanya anak perempuan Yahya yang tidak terselamatkan, dia lebih dulu dipanggil Allah.Kuhela napas panjang bila ingat putri tiriku itu, semua sudah terjadi tidak bisa saling menyalahkan. Akhir-akhir ini suamiku sering tidak pulang ke rumah dengan berbagai alasan. Terkadang aku merindukan suamiku yang dulu sebelum menjadi pendukung poligami. Kini, untuk kembali ke masa itu rasanya sangat sulit.Meakipun aku berusaha iklas untuk dimadu, tetapi rasa saki
Aku menatap pada Adam yang masih berdiri di ambang pintu penghubung rumah depan dan belakang. Dia sepertinya ingin segera berkata tetapi seakan hilang selera. Entah apa yang ada dalam benaknya, beberapa kali kulihat hembusan napas panjang dia loloskan. Sedangkan Halimah masih memainkan jari jemarinya, keduanya seakan sedang gelisah."Ada apa dengan kalian, katakan saja!" ujarku pada akhirnya.Terbersit praduga dalam otakku bahwa keduanya sedang kehabisan uang saku sehingga menunggu abahnya pulang. Adam tidak nyaman jika meminta uang langsung padaku karena yang memegang keuangan akan keperluan anak-anak adalah abahnya. Jadi mereka menunggu abahnya pulang baru-lah bisa melanjutkan perjalanannya ke 000Bandung."Tidak perlu kalian tahu aku dimana dan kemana selama satu minggu ini. Yang utama pikirkan hal positif saja agar aku dijauhkan dari mara bahaya. Lalu kenapa kalian seperti itu?" kata Yahya panjang lebar."Kami, kehabisan uang, Abah. Datang ke mari berniat untuk meminta restu pada A
Pagi pun kembali menyapa, selesai salat subuh berjamaah dengan Zahra aku segera membuka warung. Tepat kulihat kendaraan suamiku memasuki pekarangan rumah berboncengan dengan Adam. Priaku itu langsung masuk ke rumah sedangkan putra tiriku melangkah masuk ke warung dan mulai membantuku."Biar Adam yang bantu buat panasi ayam rebusnya seperti biasanya, Umi!" pinta Adam."Iya, tidak apa, Adam. Lebih baik ganti baju dulu kamu itu!" perintahku.Adam pun segera berbalik badan dan masuk ke dalam. Selang beberapa waktu dia sudah keluar lagi dengan pakaian casual lebih ringan dan gegas dia mengangkat panci berisi ayam rebus ke dapur khusus ayam. Dengan santai dia membantuku semua mulai memanasi ayam rebusan kemarin, sedangkan aku membungkusi jeroan ayam. Adam selesai begitu juga dengan kegiatanku. Kini aku pun berganti dengan membungkus lalapan untuk persediaan jualan hari ini. Adam menatapku penuh tanya, seakan ada yang ingin dia tanyakan padaku. Aku hanya mengulas senyum dibalik cadarku."Ko
Jam sudah menunjukan pukul dua siang, aku pun bersiap membantu Bulan untuk menyiapkan pesanan 15 ekor ayam untuk jam empat sore. Namun, melihat Adam yang sudah bersiap dengan koper dan pakaian rapi kuurungkan niatku untuk membantu Bulan. Halimah menatapku penuh tanya."Jadi pulang jam berapa, Kalian?" tanyaku."Ini tiket kereta jam empat sore sih, Umi," jawab Halimah."Iya, sudah segera bersiap saja. Nanti biar di antar oleh abah kamu, tapi tunggu abah kalian pulang dulu," kataku."Tidak perlu, Umi. Nanti aku naik mobil online saja, ini barang bawaanku lumayan banyak," jawab Adam.Aku pun mengangguk setuju dengan ide Adam tersebut. Namun, Halimah sedikit terlihat cemburut menatapku. Entah apa yang dia inginkan aku sendiri juga tidak mengerti. Lalu aku tanya dengan nada rendah, rupanya menantuku itu sedang menahan perutnya yang sedang datang bulan."Iya sudah minum pil pereda nyeri agar perjalanan Kalian nanti lancar," saranku.Halimah pun tersenyum dengan malu, aku hanya menggelengkan
"Asslamualaikum, Abi!" sapaku."Waalaikumsalam, Adam sudah berangkat ya, Umi?" tanya suamiku."Baru saja, tadi naik mobil online. Nungguin Abi pulang takutnya nanti kelamaan dan berakibat telat ke stasiunnya," jawabku."Iya tidak apa, Umi. Lagian abi tadi lagi rapat penentuan siapa saja yanh siap dana untuk ke Papua Barat," jawab suamiku.Aku terdiam menunggu informasi lanjutan dari suamiku, meski muncul beberapa pertanyaan apakah dia ikut dalam rombongan kali ini, lalu apakah dia juga sudah ada dana, dan lain sebagainya. Banyak pertanyaan di otakku yang inginkan jawaban dari Yahya. Sejujurnya jika suamiku itu pergi berjihat dalam dakwah, aku sangat, sangat iklas. Berapa pun dana yang dia butuhkan insyaa allah aku ada. Yang aku tidak rela jika duit hasil keringatku harus berbagi dengan wanita lain. Sungguh dadaa terasa sesak dan nyeri bila ingat akan beberapa perkawinan sirinya. Sungguh aku tidak rela. Namun, apa mau dikata semua uang hasil penjualan suamiku yang pegang. Dia mengatak
"Iya benar ini foto pak bos saya, tapi istrinya bukan ini," jawab Bulan.Aku yang sedang membakar ayam hanya diam saja dan tidak membenarkan apa yang aku dengar. Kubiarkan saja Bulan menjawab dan melayani pembeli itu. Sesekali kulihat Bulan melirikku dengan sedikit kode. Namun, aku masih kekeh membakar. Dengus halus kudengar dari bibir Bulan, tetapi dia tidak bisa memaksaku.Bulan pun akhirnya menjelaskan jika hanya akulah istri sah yang dia ketahui. Kemudian pembeli itu pun pergi dan tidak jadi membeli ayam bakarku. Aku menghela napas panjang dan halus. Sementara pembeli yang lain hanya diam tanpa ikut campur urusan pembeli itu tadi."Ini Bu, ayamnya sudah siap. Semua 190k!" kata Bulan memberi tahu pada pembeli lainnya."Baik, ini uangnya dan terima kasih. Permisi!" pamit pembeli itu.Bulan tersenyum lalu pandangannya beralih padaku. Aku menatapnya dengan pandangan bingung, tetapi akhirnya dia hanya tersenyum samar lalu ikut duduk di sebelahku dengan kursi yang lain. Kedua tangannya