"Iya benar ini foto pak bos saya, tapi istrinya bukan ini," jawab Bulan.Aku yang sedang membakar ayam hanya diam saja dan tidak membenarkan apa yang aku dengar. Kubiarkan saja Bulan menjawab dan melayani pembeli itu. Sesekali kulihat Bulan melirikku dengan sedikit kode. Namun, aku masih kekeh membakar. Dengus halus kudengar dari bibir Bulan, tetapi dia tidak bisa memaksaku.Bulan pun akhirnya menjelaskan jika hanya akulah istri sah yang dia ketahui. Kemudian pembeli itu pun pergi dan tidak jadi membeli ayam bakarku. Aku menghela napas panjang dan halus. Sementara pembeli yang lain hanya diam tanpa ikut campur urusan pembeli itu tadi."Ini Bu, ayamnya sudah siap. Semua 190k!" kata Bulan memberi tahu pada pembeli lainnya."Baik, ini uangnya dan terima kasih. Permisi!" pamit pembeli itu.Bulan tersenyum lalu pandangannya beralih padaku. Aku menatapnya dengan pandangan bingung, tetapi akhirnya dia hanya tersenyum samar lalu ikut duduk di sebelahku dengan kursi yang lain. Kedua tangannya
Aku melangkah menuju ke meja makan menunggu suamiku keluar dari kamar mandi. Langkahnya kudengar semakin dekat dengan posisiku, sengaja aku diam menatapnya melewatiku masuk ke kamar. Beberapa saat dia pun keluar dengan wajah yang segar dan ketampanannya terlihat nyata."Kok lihat abi seperti itu lho, Umi. Ada apa, Hem?" tanya Yahya."Apa Abi kenal dengan wanita yang bernama Salma?" tanyaku.Wajah suamiki seketika berkerut. Alisnya saling berdekatan, apakah dia terkejut dengan kalimat tanyaku yang seakan aku tahu hubungannya dengan wanita itu. Namun, hanya sesaat rautnya sudah berubah kembali datar. Dia begitu pandai merubah mimik wajahnya."Salma yang mana lagi lho, Umi? Abi hanya mengenal Salma yang di pondoknya Abdul itu, ustadzahnya," jawab Yahya."Ini bukan Salma itu, Abi. Dia wanita yang dekat denganmu, bahkan ada yang bilang bahwa dia istri Abi, Lho!" kataku dengan nada rendah."Apaa sebaiknya aku lanjut saja gugatan ceraiku kemarin ya, Bi?" tanyaku setelah kuhirup napas panjang
"Abi!" kataku menekan.Kulihat suamiku segera menghembuskan napas panjang dan meraup wajahnya, dia seakan menyesal telah bersuara tinggi terhadap putrinya. Zahra pun memelukku, lalu isak tangisnya makin terdengar memilukan. Segera kurengkuh bahunya, perlahan kuusap punggungnya agar kesakitannya segera menurun."Zahra, malu Umi, Abah!" lirih Zahra memulai bercerita.Aku menatap suamiku penuh tanya. Sementara suamiku hanya menggeleng seakaan menjawab pertanyaanku. Kutunggu tangis Zahra sedikit mereda, lalu kembali kulihat wajahnya yang sendu."Ceritalah, Sayang!" pintaku lembut.Zahra menghirup udara sebanyak mungkin, aku masih setia menunggu apa yang ingin dia katakan. Manik mata yang indah dan bersinar ceria kini sorot itu menjadi sedikit sendu. Entah karena apa karena dia belum ungkap semua yang dirasakannya."Umi, apakah abi sedang menjalin hubungan dengan wanita lain selain Umi?" tanya Zahra dengan nada yang sangat rendah.Aku masih mendengar apa yang dia tanyakan, tetapi entah sua
Apa yang diceritakan oleh Zahra membuatku semakin merasa sakit. Yang aku inginkan adalah jangan mengumbar apa yang tidak seharusnya dipublikasikan. Kasih sayangnya bahkan perhatiannya padaku pun sejak dulu tidak pernah dia ungkap di kalayak umum. Zahra masih terus merajuk bahkan tertidur dalam keadaan sesenggukan. Aku tidak bisa berkata, hanya diam meninggalkan putriku yang sudah tidur karena kelelahan dalam tangisnya. Semua chat Adam mengenai status wanita itu pun kubiarkan saja tanoa berniat kuhapus.Lalu aku beranjak meninggalkan suamiku yang masih asyik berbalas chat menuju ke warung. Bukan berniat melarikan diri tetapi kebetulan saat itu adalah jam pulang bagi Bulan dan memberinya gaji untuk satu minggu ini. Tanpa pamit kutinggalkan saja suamiku itu."Mbak, aku sudah selesai lho. Pulang dulu, Ya!" pamit Bulan dengan lantang karena aku belum tampak keluar.Gegas kupanjangkan langkahku agar segera sampai di pintu utama rumah. Sebelum sampai pintu aku berteriak pada Bulan agar menu
Sepanjang malam aku hanya diam tanpa niat untuk merasakan apa yang disentuh. Aku sama sekali tidak membalas sentuhannya, bahkan tubuhku bagai pohon pisang yang hanya terbujur kaku. Yahya masih terus menggauliku meski aku tidak merespon sentuhannya. Ingin mengatakan stop, tetapi rasanya tidak berhak aku untuk itu. Dia suamiku, barhak atas tubuh dan menafkahiku. Namun, aku juga berhak menolak jika merasakan sakit, dan aku saat ini merasakan kesakitan atas derita dan dzolimnya. Kuhirup udara sebanyak mungkin agar setiap rongga dalam tubuhku terisi penuh. Aku tidak peduli jika dikatakan sebagai wanita yang egois, tetapi ini sudah aku katakan saat awal pernikahan dulu. Juga beberapa bulan yang lalu saat dia ijin untuk poligami, dan inilah jawabanku hingga akhir hayat. Suamiku boleh saja nikah siri di belakangku dan membawa harta apa saja untuk istri mudanya, tetapi jangan salahkan sikapku jika menjadi dingin.Dia yang memulai, maka dia pula yang harus akhiri semua jika inginkan suatu ken
Akhirnya dengan muka bantalnya, Zahra bangkit dan mengikutiku menuju ke depan mengantar abahnya yang akan pergi dakwah ke Papua selama kurang lebih dua bulan. Zahra pun memeluk abahnya sesaat lalu mengurai pelukannya dan berpindah padaku. "Abah pergi dakwah dulu ya, Zahra. Jangan nakal bila tidak ada abah. Kasihan Umi!" pesan Yahya pada anaknya."Siap, Abah!" jawab Zahra. Sementara padaku, lelaki itu hanya menatapku penuh harap. Namun, aku hanya menatapnya datar saja tanpa senyum. Melihatku yang tidak ada respon akhirnya dia pun segera melajukan kendaraannya meninggalkan halaman rumahku.Setelah tidak kulihat lagi punggungnya, kuajak Zahra masuk ke dalam dan segera menyuruhnya untuk mandi dan bersiap ke sekolah. Lalu aku pun masuk ke dalam kamar. Kubula almari pakaian yang biasa dipakai Yahya untuk menyimpan sebagian laba dari penjualan ayam bakar setiap harinya.Aku terhenyak dan membekap mulutku kala kulihat dua ikat uang kertas berwarna merah lenyap beserta buku tabunhan warna or
Aku menamati wajah kedua tamuku itu, ingatanku melayang beberapa bulan yang lalu. Rasanya aku pernah menerima tamu ini, hanya lupa namanya. Aku beberapa kali menanyakan siapa namanya, tetapi mereka hanya tersenyum. Apalagi si wanitanya hanya diam saja menatapku penuh tanya."Sebutkan saja nama kalian, aku tidak akan mengatakan pada suamiku," pungkasku."Saya Baniyah dan ini suamiku Syarifudin, Bu Arini," jawab tamu wanitaku itu.Mendengar dua nama yang dia sebutkan seketika dahiku menyatu, menciba membuka lembar memory di otakku. Beberapa saat aku mulai ingat. Mereka pernah silaturahmi untuk membeli ayam bakar sebanyak 30 ekor dalam acara syukuran kelahiran putra mereka. "Hemm, bukannya kalian yang dulu memesan ayam bakarku dengan jumlah 30 ekor ya, Bu?" tanyaku, "Lalu Anda tertarik dengan pondokan yang serinh dikunjungi oleh suami saya, Pak?" tanyaku pada tamu priaku itu."Benar, Bu," jawab Syarifudin, "Kemarin saya tertarik untuk ikut dakwah, tetapi hanya satu kali," lanjutnya."Ko
"Hari ini adalah pernikahan sirinya Pak Yahya lho, Bu Arini. Apakah Ibu tidak ingin datang?" tanya pembeli itu.Aku kembali diam, terbersit tanya ada apa dengan hari ini? Mengapa begitu banyak orang yang tahu akan pernikahan siri suamiku, sedangkan aku bagai seekor kerbau dungu yang hanya nurut apa kata majikan. Aku pun akhirnya hanya mengangguk dengan senyum tipis di balik cadarku saja."Iya sudahlah, Bu Arini. Tidak udah dipikir meski memang dalam lukanya, yang penting anak masih sayang!" saran pembeli itu."Iya, Bu. Siap," jawabku, lalu kusiapkan ayam bakarnya yang sudah selesai dibakar oleh Bulan."Ini ayamnya, Bu!" kataku.Ibi itu pun menerima ayamnya dan memberikan selembar uang kertas berwarna merah. Kuambilkan uang kembalian sepuluh ribu rupiah. Setelah semua sudah selesai, pembeli itu langsung belik kanan dan segera melajukan kendaraannya."Ini hari apa to, Mbak? Sial dan ramai datang bareng. Rasanya kok aneh," kata Bulan."Senin ini, Bulan," jawabku. "Semua sudah diatur, Bul