Hari-hariku tanpa suami terasa bebas, uang aku sendiri yang pegang dan atur. Mau aku belikan apapun juga tidak ada yang marah. Namun, aku juga bukanlah wanita yang botos. Hanya semau masuk dalam saku sendiri berapa pun laba setiap harinya dan aku tidak perlu membuat laporan keuangan setiap hari.Justru saat Yahya berdakwah saat inilah pembeli banyak yang datang. Ini mungkin karena dia sedang mengajak banyak orang menuju ke jalan Allah. Jika seperti ini mungkin aku bisa sedikit lega jika suamiku berpoligami. Nah ini, dia sama sekali tidak bekerja hanya makan tidur, main game online dan lainnya yang ke semua adalah kerjaan yang tidak bermanfaat.Aku masih bersyukur diberi kelancaran dalam mencari sesuap nasi, seperti kata para alim ulama bahwa rezeki sudah ada yang atur sesuai porsinya. Jadi meski kita mengupayakan bila belum waktunya dapat iya tidak akan turun. Namun, tanpa kita minta pun rezeki itu bisa datang dari arah yang tidak kita kehendaki."Ah, sudahlah. Biarkan saja," gumamku.
Hari terus berlalu, si Yahya pun sudah satu bulan tidak pulang. Aku masih seperti biasa jalani rutinitas jual ayam bakar bersama Bulan. Sesekali Abdul dan Adam telepon bergantian. Pernah suatu hari kedua telepon bersamaan yang rupanya memang merwka sengaja untuk merayakan hari ulang tahun Zahra.Putriku itu suka bahkan dia sangat terkejut akan prilaku kedua kakaknya itu. Meski sekarang Adam tinggal jauh dai Bandung dia sesekali menelepon Zahra. Juga terkadang mengirim sesuatu untuk adiknya. Istri Adam pun tidak merasa keberatan atas prilaku suaminya itu. Justru dia begitu sayang secara tulus pada Zahra.Lama tak mendengar kabar dari adam hati merasa sedikit khawatir. Entah apa yang terjadi tiba-tiba hatiku merasakan hal itu. Aku berharap semoga dia baik-baik saja. Baru saja aku membatin kudengar ada panggilan masuk, segera kuraih ponselku yang terletak di meja makan."Assalamualaikum, Umi!" kata Adam." Waalaikumsalam, apa jkabar Adam?" tanyaku."Baik, Umi. Adam hanya mengabarkan jika
Pagi hari aku pun mulai melakukan aktifitasku. Setelah Zahra siap untuk berangkat ke sekolah, aku pun segera mengeluarkan montor dan mulai memanaskan agar lebih sehat mesinnya. "Sudah siap, nak?" tanyaku."Sudah, Umi."Kulajukan kendaraanku menuju ke sekolah Zahra. Tidak butuh waktu lama kendaraanku pun sudah sampai di depan gedung sekolah anakku tersebut. Zahra mencium punggung tanganku dan dia pun melangkah meninggalkan aku. Kupandangi punggung putriku hingga hilang barulah aku menjalankan kendaraanku meninggalkan sekolah.Sampai di rumah, rupanya si Bulan sudah ada di warung dengan pekerjaannya membungkus sambel dan lalapan. Aku pun tersenyum melihat kedisiplinan kerja yang dia miliki. Kulirik tempat kerja si Samsul, lalu aku pun masuk ke dalam warung ada yang ingin aku tanyakan pada Bulan."Apakah uang ayam gembung tadi sudah kamu bayarkan, Bulan?" tanyaku."Belum, Mbak. Selain uang jual yang kemarin tidak ada di sini, ayamnya juga belum dikirim semua oleh Pak Roni. Itu masih 15
Aku masih tidak memedulikan kehadiran wanita itu. Dengan santai aku melayani para pembeli yang datang dan pergi. Ada untungnya wanita itu datang ke warungku, dengan kehadirannya warung jadi sering ada pembeli. Bulan pun tampak tersenyum simpul bahkan memberiku kode dengan menenggadahkan kedua tapak tangannya dan dibasuhkan pada wajahnya."Kau aneh ya Bulan. Masak orang kek gitu kau bikin doa, dasar!""Santai saja, Mbak. Salah siapa kek gitu dengan kita orang susah. Sesama orang susah tidak boleh saling menjegal," kilah Bulan.Aku hanya tersenyum saja dengan menggelengkan kepala melihat ulah si Bulan. Sungguh aku merasa sangat lucu apa yang dilakukan oleh karyawanku tersebut. Namun aku juga sangat terbantukan ejak adanya Bulan."Mbak, lihat wania itu bicara dengan pelan apa karena tidak ingin kita dengar apa yang dia ucakanpada lelakinya itu?" kata Bulan sambil menunjuk pada wanita itu.aku hanya meliha saja tanpa berniat untuk menegurnya ulang. Namun, tiba-tiba ponsel pribadiku berbun
Hari terus berlalu, bulan telah berganti dan suamiku pun akhirnya pulang dari perjalanan dakwahnya. Kali ini dia tidak membawa oleh-oleh seperti sebelumnya saat melakukan perjalanan dakwah yang jauh dan lama.Zahra terlihat antusias mendengar abahnya akn segera pulang. Anak perempuanku itu menunggu abahnya di teras. Dia duduk dengam bermain ponsel miliknya. Aku hanya menatapnya sedikit pilu, anak kecil itu harus berbagi kasih sayang abahnya dengan anak lainnya yang bukan sedarah.Sebuah kendaraan memasuki halaman rumahku, terlihat wajah lelah suamiku turun dari kendaraannya. Zahra langsung menyambut abahnya dengan suka cita."Abah!" panggilnya.Yahya kulihat hanya tersenyum, lalu segera memeluk putri kami. "Ayo masuk, Zahra. Abah lelah!" kata Yahya.Aku pun segera beranjak dari dudukku yang sedang membungkus sambel. Kutinggalkan begitu saja pekerjaanku, Bulan pun sudah mengerti dengan apa yang aku lakukan. Dia memaklumi saja.Saat aku sudah berada di dalam, kulihat suamiku sedang me
Aku pun kembali fokus pada pekerjaanku, meski badan terasa remuk masih saja kukerjakan semua aktifitasku. Entah karena terlalu banyak urusan kerjaan warung dan rumah akhirnya tubuhku ambruk juga. Badan terasa remuk, akhirnya aku hanya tidur tanpa berniat untuk bangun setelah salat subuh. Kudengar Zahra memanggilku untuk bersiap ke sekolah."Umi, seragam Zahra dimana?" tanya Zahra.Kebetulan ini hari senin, aku bisa sedikit terbantu. Perlahan aku pun bangun dari rebahanku di kamar tempat biasa aku salat lima waktu. "Sudah umi siapkan di almari pakaian kamu, Zahra," jawabku."Umi sakit lagi?" tanya Zahra sambil memegang lenganku."Sakit, emang umi kamu pernah sakit, Zahra?" tanya Yahya."Huum, abah. Kemarin satu minggu sebelum Abah pulang, umi sudah sakit," papar Zahra.Yahya melihatku penuh tanya, tetapi aku tidak peduli. Segera kuambil botol obat herbalku, lalu kuambil tiga butir dan mulai menelannya. Kubiarkan sejenak obat itu bereaksi, setelah beberapa saat baru badanku terasa se
Hari terus berjalan, satu minggu ini suamiku selalu di rumah. Dia pun aktif ikut membantu penjualan ayam bakarku. Jadi sesekali aku bisa istirahat dengan tenang dan mengerjakan pekerjaan rumah yang lainnya. Selama satu minggu ini, penjualan pun garfiknya naik turun. Hingga suatu sore Zahra merajuk pada abahnya saat aku melipat baju."Abah, mumpung masih lama di rumah?" tanya Zahra."Heemm, bagaimana ya?! Memang ada apa to, Nduk?""Saat malam minggu ini, bolehlah Abah ajak Zahra keliling kota. Atau sekalian ke Taman Kota?" kata Zahra dengan sedikit bernada manja.Kulihat lelakiku hanya mengerjab, lalu menatapku. Aku hanya diam tanpa berniat untuk menjawab. Keteruskan kegiatanku melipat beberapa baju yang sudah kering. "Bagaimana dengan inginnya Zahra, Umi?" tanya Yahya."Serah toh uang yang pegang Abi!" kataku dengan nada sinis.Dengus lirih kudengar lolos dari pria ku. Aku tidak peduli apa yang di rasakan saat kedinginanku mulai menguar. Yang aku tahu sakitku tidak bisa membuatku ber
Seperti apa yang sudah diinfokan oleh Yahya padaku sore tadi. Akhirnya kami pun keluar untuk menikmati malam dengan alasan untuk Zahra. Aku masih diam saja, hal pertama yang dia lakukan untuk putrinya."Kita pergi kemana, Umi?" tanya Zahra." Mungkin ke taman kota, Nak. Di sana sedang ada keramaian, yang sering di sebut pasar malam. Pasti nanti kamu senang," jawabku."Dalam keramaian itu ada apa saja, Umi?""Nanti kamu kihat saja, senua hal baru yang pastinya hanya bisa kamu lihat di televisi," jawabku.Zahra pun terdiam, sesekali kulihat bola matanya menyimpit atau dahinya mengerut. Sepertinya anakku itu sedang berpikir dan membuat perkuraan ada apa saja di pasar malam. Menilik kata pasar, sudah pasti yang ada dalam bayangannya banyaknya penjual yang menjajakan dagangannya di sana.Kendaraan yang kami naiki pun akhirnya sampai juga di taman kota. Yang aku perhatikan bukan tampilan keramaian di taman kota tersebut, melainkan wajah semringah putriku. Zahra terlihat bagitu kagum akan la