Hari terus berjalan, satu minggu ini suamiku selalu di rumah. Dia pun aktif ikut membantu penjualan ayam bakarku. Jadi sesekali aku bisa istirahat dengan tenang dan mengerjakan pekerjaan rumah yang lainnya. Selama satu minggu ini, penjualan pun garfiknya naik turun. Hingga suatu sore Zahra merajuk pada abahnya saat aku melipat baju."Abah, mumpung masih lama di rumah?" tanya Zahra."Heemm, bagaimana ya?! Memang ada apa to, Nduk?""Saat malam minggu ini, bolehlah Abah ajak Zahra keliling kota. Atau sekalian ke Taman Kota?" kata Zahra dengan sedikit bernada manja.Kulihat lelakiku hanya mengerjab, lalu menatapku. Aku hanya diam tanpa berniat untuk menjawab. Keteruskan kegiatanku melipat beberapa baju yang sudah kering. "Bagaimana dengan inginnya Zahra, Umi?" tanya Yahya."Serah toh uang yang pegang Abi!" kataku dengan nada sinis.Dengus lirih kudengar lolos dari pria ku. Aku tidak peduli apa yang di rasakan saat kedinginanku mulai menguar. Yang aku tahu sakitku tidak bisa membuatku ber
Seperti apa yang sudah diinfokan oleh Yahya padaku sore tadi. Akhirnya kami pun keluar untuk menikmati malam dengan alasan untuk Zahra. Aku masih diam saja, hal pertama yang dia lakukan untuk putrinya."Kita pergi kemana, Umi?" tanya Zahra." Mungkin ke taman kota, Nak. Di sana sedang ada keramaian, yang sering di sebut pasar malam. Pasti nanti kamu senang," jawabku."Dalam keramaian itu ada apa saja, Umi?""Nanti kamu kihat saja, senua hal baru yang pastinya hanya bisa kamu lihat di televisi," jawabku.Zahra pun terdiam, sesekali kulihat bola matanya menyimpit atau dahinya mengerut. Sepertinya anakku itu sedang berpikir dan membuat perkuraan ada apa saja di pasar malam. Menilik kata pasar, sudah pasti yang ada dalam bayangannya banyaknya penjual yang menjajakan dagangannya di sana.Kendaraan yang kami naiki pun akhirnya sampai juga di taman kota. Yang aku perhatikan bukan tampilan keramaian di taman kota tersebut, melainkan wajah semringah putriku. Zahra terlihat bagitu kagum akan la
Tanpa menoleh, aku segera menarik tangan Zahra. Kami melangkah meninggalkan Yahya bersama wanita dan anak kecil. Selama perjalanan Zahra tampak membisu. Aku sendiri menjadi heran. Aku segera memesan taksi online dengan alamat rumah. Hanya sesaat menunggu sebuah mobil sedan merah mendekat."Dengan Ibu Arini?""Benar!"Kemudian seorang pemuda keluar dari pintu kemudi, dia berputar dan membukakan pintu penumpang untuk kami, aku dan Zahra."Silakan masuk, Ibu dan adik!" kata pemuda itu lembut.Setelah aku masuk dan pintu tertutup kembali, pemuda itu duduk lagi di balik kemudi. Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Sepanjang jalan hanya hening, Zahra kulihat masih asyik memainkan jari jemarinya. Terkadang terlihat dia memilin-milin ujung hijabnya. Kemudian lambat laun kudengar isak tangis tertahan."Lho, Zahra kenapa?" tanyaku."Apa salah Zahra, Umi? Abah begitu lembutnya pada anak tadi," ucap Zahra dengan nada sangat rendah.Isak tangis kudengar begitu pilu, hati anakku telah terluka nya
Dalam diam Zahra segera naik ke boncengam abahnya, aku hanya menatapnya sendu. Gadis kecilku sudah terluka. Kulempar seulas senyum manis pada Zahra agar dia bisa lalui harinya dengan senyum."Zahra berangkat, Umi. Assalamualaikum!" pamit Zahra.Kubalas salam putriku dengan iklas dan tidak lupa sebuah kecupan hangat pada dua pipinya. Akibat sentuhanku itu, semangat Zahra bangkit. Lalu dia melambaikan tangannya dengam senyum. Kupandang kepergian kendaraan suamiku itu hingga hilang di belokan dan berganti sosok Bulan yang berjalan dengam senyum-senyum."Assalamualaikum, Mbak. Wah, pemandangan pagi yang menyejukkan!" seloroh Bulan."Waalaikumsalam, biasa kali, Bulan. Seperti cerita di hari-hari sebelumnya," jawabku."Eem, habis perang lagi to, Mbak?" "Begitulah. Be te we, kok kamu berangkat pagi. Ini belum ada jam kerja kamu lho, bahkan maju hingga satu jam. Ada apa ini?" tanyaku.Bulan hanya tersenyum simpul sambil mengaitkan jari jemarinya. Tingkahnya agak aneh dan membuatku semakin pe
Aku menunggu hingga jam menunjukan pukul 14.00. Ayam bakar pesanan itu belum diambil dan Bulan juga sudah ada di warung. Karena sepi, aku dan Bulan duduk santai di depan warung. Kami berbincang mengenai aplikasi tok tok yang menyajikan live streaming. Aku begitu antusias apalagi harga yang ditawarkan lebih murah daripada harga nyata."Akun milik Emak Debi ini lho gamisnya bagus dan kainnya lembut, Bulan. Habis ini pesananku datang. Aku sudah tidak tahan ingin tahu sepeerti apa gamis kok harganya bisa murah," kataku."Iya, Mbak. Akhir-akhir ini tok tok makin ramai buat live streaming berbagai produk, bahkan jualan kenikmatan pun ada," jawab Bulan."Dunia mulai tua, Bulan. Pada pendosa makin terlihat nyata tanpa rasa malu," timpalku.Samar kudengar suara kendaraan bermotor memasuki halaman rumahku, segera kupasang cadarku kembali. Memang saat berdua hanya dengan Bulan, cadarku terkadang aku buka jadi ketika ada pembeli datang dari ujung pagar segera kupasang lagi."Iya, Bu, silakan dudu
Seperti apa yang aku dengar tadi di telepon wanita itu, Yahya tidak pulang. Ini berarti suamiku bermalam di rumah Salma. Hatiku kini semakin kosong dan dingin. Hanya sebagai kodratku saja yang masih aku jalani yaitu sebagai istri dan ibu. Zahra pun kulihat juga sudah biasa akan tidak pulang abahnya.Malam telah terlewat, pagi pun tiba tepat jam enam pagi suamiku pulang. Dia menunggu di depan kebetulan Zahra sedang memakai sepatu jadi Yahya menawarkan diri untuk mengantar Zahra. Anakku itu pun menyetujui niat abahnya.Aku merasa lega, setelah kepergian Zahra segera kulanjutkan kerjaan di warung, semua aku bersihkan juga mulai memanasi ayam rebusan. Saat mau angkat ayam setelah aku panasi sebuah tangan ikut membantu. Aku tahu itu milik siapa. Akhirnya panci itu pun terangkat dengan dua tangan yang berbeda."Aku ingin bicara sama, Umi!" kata Yahya."Iya nunggu Bulan sampai dulu," jawabku."Tinggal saja warungnya, sekalian kita sarapan bareng. Aku tadi beli nasi padang kesukaan kamu, Lho
Saat tegang aku terselamatkan dengan adanya telepon dari Bandung, lebih tepatnya dari Adam. Segera ku angkat panggilan itu yang ternyata panggilan vidio call."Asslaamualaikum, Umi! Ini Halimah sudah lahiran, anak kami laki-laki bernama Arkan," kata Adam dengam rona wajah yang bahagia."Waalaikumsalam, wah tampan banget!" pujiku saat kamera di hadapkan pada bayi merah."Tetapi maaf ya, Umi. Lebaran nanti mungkin Adam dan keluarga tidak pulang lagi, nunggu Arkan besar sekitar sembilan bulan usianya. Boleh ya, Umi?""Iya, tidak apa, Adam. Jaga baik keluargamu, komunikasi penting. Nanti jika ada rezeki lebih umi datang ke Bandung!""Iya, Umi. Terima kasih," balas Adam.Aku melihat pada wajah suamiku yang penasaran akan cucunya. Dia yang ayah kanndung tidak dihubungi secara pribadi, justru anaknya memilih menghubungiku lebih dulu. Inilah kekuatan istri dan ibu yang sabar juga iklas. Semua pasti ada balasannya tanpa kita pinta."Berapa berat badan dan tingginya, Adam? Lalu kesehatan Halima
AAku tiDAk mYangka jika kehidupan bisa secepat ini berubah, dulu aku begitu polosnya kini sedikit lebih berani meski dalam batas tertentu. Mungkin karena rasa sakit yang sering aku rasakan akibat perbuatan yang dilakukan oleh Yahya.Memang sekilas apa yang aku rasakan adalah hal yang biasa bagi sebagian orang yang paham akan ilmu polligami. Tetapi bagiku poligami tetaplah hal yang menyakitkan. apalgi maduku itu terbialng masih muda dan janda dengan anak enam. Rasanya begitu tidak iklasnya aku akan harta yang selalu dia bawa untuk istri mudanya.Bukan karena alasan yang sipel yaitu tidak iklas, malainkan betapa tidak sopannya Yahya membawa hasil keringatku untuk menafkahi istri mudanya itu. Secara ilmu agama semua kebutuhan istri adalah kewajiban suami untuk penuhi hingga akhir hayat."Sudahlah semua sudah disuratkan dalam kisah hidupku," batinku.Semua masih diluar nalar yang tidak bisa terjangkau oleh pola pikir manusia pada umumnya. Tetapi aku selalu berusaha ikla