Aku pun kembali fokus pada pekerjaanku, meski badan terasa remuk masih saja kukerjakan semua aktifitasku. Entah karena terlalu banyak urusan kerjaan warung dan rumah akhirnya tubuhku ambruk juga. Badan terasa remuk, akhirnya aku hanya tidur tanpa berniat untuk bangun setelah salat subuh. Kudengar Zahra memanggilku untuk bersiap ke sekolah."Umi, seragam Zahra dimana?" tanya Zahra.Kebetulan ini hari senin, aku bisa sedikit terbantu. Perlahan aku pun bangun dari rebahanku di kamar tempat biasa aku salat lima waktu. "Sudah umi siapkan di almari pakaian kamu, Zahra," jawabku."Umi sakit lagi?" tanya Zahra sambil memegang lenganku."Sakit, emang umi kamu pernah sakit, Zahra?" tanya Yahya."Huum, abah. Kemarin satu minggu sebelum Abah pulang, umi sudah sakit," papar Zahra.Yahya melihatku penuh tanya, tetapi aku tidak peduli. Segera kuambil botol obat herbalku, lalu kuambil tiga butir dan mulai menelannya. Kubiarkan sejenak obat itu bereaksi, setelah beberapa saat baru badanku terasa se
Hari terus berjalan, satu minggu ini suamiku selalu di rumah. Dia pun aktif ikut membantu penjualan ayam bakarku. Jadi sesekali aku bisa istirahat dengan tenang dan mengerjakan pekerjaan rumah yang lainnya. Selama satu minggu ini, penjualan pun garfiknya naik turun. Hingga suatu sore Zahra merajuk pada abahnya saat aku melipat baju."Abah, mumpung masih lama di rumah?" tanya Zahra."Heemm, bagaimana ya?! Memang ada apa to, Nduk?""Saat malam minggu ini, bolehlah Abah ajak Zahra keliling kota. Atau sekalian ke Taman Kota?" kata Zahra dengan sedikit bernada manja.Kulihat lelakiku hanya mengerjab, lalu menatapku. Aku hanya diam tanpa berniat untuk menjawab. Keteruskan kegiatanku melipat beberapa baju yang sudah kering. "Bagaimana dengan inginnya Zahra, Umi?" tanya Yahya."Serah toh uang yang pegang Abi!" kataku dengan nada sinis.Dengus lirih kudengar lolos dari pria ku. Aku tidak peduli apa yang di rasakan saat kedinginanku mulai menguar. Yang aku tahu sakitku tidak bisa membuatku ber
Seperti apa yang sudah diinfokan oleh Yahya padaku sore tadi. Akhirnya kami pun keluar untuk menikmati malam dengan alasan untuk Zahra. Aku masih diam saja, hal pertama yang dia lakukan untuk putrinya."Kita pergi kemana, Umi?" tanya Zahra." Mungkin ke taman kota, Nak. Di sana sedang ada keramaian, yang sering di sebut pasar malam. Pasti nanti kamu senang," jawabku."Dalam keramaian itu ada apa saja, Umi?""Nanti kamu kihat saja, senua hal baru yang pastinya hanya bisa kamu lihat di televisi," jawabku.Zahra pun terdiam, sesekali kulihat bola matanya menyimpit atau dahinya mengerut. Sepertinya anakku itu sedang berpikir dan membuat perkuraan ada apa saja di pasar malam. Menilik kata pasar, sudah pasti yang ada dalam bayangannya banyaknya penjual yang menjajakan dagangannya di sana.Kendaraan yang kami naiki pun akhirnya sampai juga di taman kota. Yang aku perhatikan bukan tampilan keramaian di taman kota tersebut, melainkan wajah semringah putriku. Zahra terlihat bagitu kagum akan la
Tanpa menoleh, aku segera menarik tangan Zahra. Kami melangkah meninggalkan Yahya bersama wanita dan anak kecil. Selama perjalanan Zahra tampak membisu. Aku sendiri menjadi heran. Aku segera memesan taksi online dengan alamat rumah. Hanya sesaat menunggu sebuah mobil sedan merah mendekat."Dengan Ibu Arini?""Benar!"Kemudian seorang pemuda keluar dari pintu kemudi, dia berputar dan membukakan pintu penumpang untuk kami, aku dan Zahra."Silakan masuk, Ibu dan adik!" kata pemuda itu lembut.Setelah aku masuk dan pintu tertutup kembali, pemuda itu duduk lagi di balik kemudi. Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Sepanjang jalan hanya hening, Zahra kulihat masih asyik memainkan jari jemarinya. Terkadang terlihat dia memilin-milin ujung hijabnya. Kemudian lambat laun kudengar isak tangis tertahan."Lho, Zahra kenapa?" tanyaku."Apa salah Zahra, Umi? Abah begitu lembutnya pada anak tadi," ucap Zahra dengan nada sangat rendah.Isak tangis kudengar begitu pilu, hati anakku telah terluka nya
Dalam diam Zahra segera naik ke boncengam abahnya, aku hanya menatapnya sendu. Gadis kecilku sudah terluka. Kulempar seulas senyum manis pada Zahra agar dia bisa lalui harinya dengan senyum."Zahra berangkat, Umi. Assalamualaikum!" pamit Zahra.Kubalas salam putriku dengan iklas dan tidak lupa sebuah kecupan hangat pada dua pipinya. Akibat sentuhanku itu, semangat Zahra bangkit. Lalu dia melambaikan tangannya dengam senyum. Kupandang kepergian kendaraan suamiku itu hingga hilang di belokan dan berganti sosok Bulan yang berjalan dengam senyum-senyum."Assalamualaikum, Mbak. Wah, pemandangan pagi yang menyejukkan!" seloroh Bulan."Waalaikumsalam, biasa kali, Bulan. Seperti cerita di hari-hari sebelumnya," jawabku."Eem, habis perang lagi to, Mbak?" "Begitulah. Be te we, kok kamu berangkat pagi. Ini belum ada jam kerja kamu lho, bahkan maju hingga satu jam. Ada apa ini?" tanyaku.Bulan hanya tersenyum simpul sambil mengaitkan jari jemarinya. Tingkahnya agak aneh dan membuatku semakin pe
Aku menunggu hingga jam menunjukan pukul 14.00. Ayam bakar pesanan itu belum diambil dan Bulan juga sudah ada di warung. Karena sepi, aku dan Bulan duduk santai di depan warung. Kami berbincang mengenai aplikasi tok tok yang menyajikan live streaming. Aku begitu antusias apalagi harga yang ditawarkan lebih murah daripada harga nyata."Akun milik Emak Debi ini lho gamisnya bagus dan kainnya lembut, Bulan. Habis ini pesananku datang. Aku sudah tidak tahan ingin tahu sepeerti apa gamis kok harganya bisa murah," kataku."Iya, Mbak. Akhir-akhir ini tok tok makin ramai buat live streaming berbagai produk, bahkan jualan kenikmatan pun ada," jawab Bulan."Dunia mulai tua, Bulan. Pada pendosa makin terlihat nyata tanpa rasa malu," timpalku.Samar kudengar suara kendaraan bermotor memasuki halaman rumahku, segera kupasang cadarku kembali. Memang saat berdua hanya dengan Bulan, cadarku terkadang aku buka jadi ketika ada pembeli datang dari ujung pagar segera kupasang lagi."Iya, Bu, silakan dudu
Seperti apa yang aku dengar tadi di telepon wanita itu, Yahya tidak pulang. Ini berarti suamiku bermalam di rumah Salma. Hatiku kini semakin kosong dan dingin. Hanya sebagai kodratku saja yang masih aku jalani yaitu sebagai istri dan ibu. Zahra pun kulihat juga sudah biasa akan tidak pulang abahnya.Malam telah terlewat, pagi pun tiba tepat jam enam pagi suamiku pulang. Dia menunggu di depan kebetulan Zahra sedang memakai sepatu jadi Yahya menawarkan diri untuk mengantar Zahra. Anakku itu pun menyetujui niat abahnya.Aku merasa lega, setelah kepergian Zahra segera kulanjutkan kerjaan di warung, semua aku bersihkan juga mulai memanasi ayam rebusan. Saat mau angkat ayam setelah aku panasi sebuah tangan ikut membantu. Aku tahu itu milik siapa. Akhirnya panci itu pun terangkat dengan dua tangan yang berbeda."Aku ingin bicara sama, Umi!" kata Yahya."Iya nunggu Bulan sampai dulu," jawabku."Tinggal saja warungnya, sekalian kita sarapan bareng. Aku tadi beli nasi padang kesukaan kamu, Lho
Saat tegang aku terselamatkan dengan adanya telepon dari Bandung, lebih tepatnya dari Adam. Segera ku angkat panggilan itu yang ternyata panggilan vidio call."Asslaamualaikum, Umi! Ini Halimah sudah lahiran, anak kami laki-laki bernama Arkan," kata Adam dengam rona wajah yang bahagia."Waalaikumsalam, wah tampan banget!" pujiku saat kamera di hadapkan pada bayi merah."Tetapi maaf ya, Umi. Lebaran nanti mungkin Adam dan keluarga tidak pulang lagi, nunggu Arkan besar sekitar sembilan bulan usianya. Boleh ya, Umi?""Iya, tidak apa, Adam. Jaga baik keluargamu, komunikasi penting. Nanti jika ada rezeki lebih umi datang ke Bandung!""Iya, Umi. Terima kasih," balas Adam.Aku melihat pada wajah suamiku yang penasaran akan cucunya. Dia yang ayah kanndung tidak dihubungi secara pribadi, justru anaknya memilih menghubungiku lebih dulu. Inilah kekuatan istri dan ibu yang sabar juga iklas. Semua pasti ada balasannya tanpa kita pinta."Berapa berat badan dan tingginya, Adam? Lalu kesehatan Halima
Aku pun memanggil Zahra dan Abdul setelah menurunkan semua barang bawaan Adam. Kedua anakku pun segera keluar dari rumah."Umi ingin membesuk abah kalian, siapa yang akan ikut dan tinggal di rumah?" tanyaku."Aku ikut saja, Umi. Biar Halimah di rumah bersama Arkan, kau bagaimana Abdul?" kata Adam."Aku ikut, mungkin Zahra saja yang tetap tinggal di rumah menemani Kak Halimah. Iya 'kan Zahra?" tanya Abdul yang memandangku lalu berganti pada Zahra.Putriku itu mengangguk tetapi mukanya cemberut, ada sebersit rasa kecewa. Namun, aku mencoba memberinya pengertian. Agar dia mau tinggal di rumah, akhirnya gadis kecilku pun setuju.Setelah kata sepakat tercapai, kami bertiga segera masuk ke dalam mobil. Sopir pun melajukan kendaraannya menuju ke Rumah Sakit Bayangkara. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di rumah sakit itu. Keadaan jalanan yang sepi bagai kita mati membuat lalu lintas Surabaya begitu lengang.Kuinjakkan kakiku dengan napas berat, kuatur ulang pola napasku dan hatiku. Mampuka
Aku terdiam cukup lama, mencari jalan keluar untuk masalah ini. Akhirnya kucoba hubungi Adam untuk menyelesaikan masalah ini. Mengingat ini berita sangat penting akhirnya kupaksakan hatiku. Panggilang terhubung tetapi belum diangkat. Hingga panggilan yang kedua barulah diangkat, kudengar suara wanita yang lembut."Assalamualaikum, Umi! Ada apa dini hati seperti ini hubungi mas Adam?" kata Halimah."Waalaikumsalam, Halimah. Ini abah baru saja mengalami kecelakaan bersama istri sirinya, saat ini sudah ditangani oleh polisi dan masuk ke RS. Polda. Sedangkan pesanan ayam bakar untuk esok setelah salat idul fitri ada 150 ayam, tolong Umi!" paparku tanpa ku tutupi.Hening, aku masih menunggu reaksi lanjutan dari seberang. Aku masih diam, tetapi kudengar langkah mendekat dan duduk di sampingku."Biar Abdul yang lihat kondisi abah, Umi. Berhubung ini sudah menjelang dini hari, sebaiknya Umi pejamkan mata agar esok terasa sedikit segar!" pinta Abdul."Benar apa yang dikatakan oleh Abdul, Umi.
Aku pun hanya tersenyum di balik cadar untuk melepas kepergian suamiku. Sebenarnya sudah hal biasa dia pergi tinggalkan aku sendiri dalam memberesi semua pekerjaan, tetapi malam ini ada yang berbeda. Sebuah rasa was was menelusup di relung hati, Abdul pun yang juga ada di dekatku hanya berdiri mematung menatap kepergian abahnya."Apakah ini tidak apa, Umi?" tanya Abdul."Semoga saja tidak, Abdul. Kita bereskan ini lebih dulu, lalu segera istirahat agar esok menjelang subuh bisa bakar ayam dalam keadaan fit!" kataku sambil mulai memberesi barang.Abdul pun segera melakukan apa yang aku perintahkan dengan rapi. Semua lantai teras dibersihkan dan langsung dia pel. Hal ini kami lakukan dengan bekerja sama, bahkan kali ini Zahra juga ikut turun. Putriku itu membantu membereskan semua wadah baskom yang sudah aku cuci. Cukup lama waktu yang kami gunakan untuk membersihkan teras, hingga pukul delapan malam semua baru selesai. Aku menutup warung lebih dulu tetapi masih berada di dalam. Kulih
Sesaat Bulan pun sampai dari belanjanya, kemudian kutatap manik mata wanita itu. Bulan menjadi salah tingkah, dia merasa bingung mengartikan tatapanku padanya. Lalu wanita muda itu mengalihkan pandangannya ke Sambuel sambil mengangkat dagunya. Samuel kulihat menggedikkan bahu."Apa yang sedang kalian sembunyikan?" tanyaku sambil menatap keduanya bergantian.Bulan menggelengkan kepala tanda dia tidak mengerti apa yang aku tanyakan, sedangkan Samuel hanya senyum simpul membuatku semakin geram dan penasaran. "Bisa kau jelaskan alasan kamu masuk pagi, Sam?" tanyaku lebih detail lagi.Samuel menarik napas panjang, lalu dihempas perlahan. Setelahnya dia menatap sepeda motor pengantar ayam gembung. Pak Roni sendiri yang antar ayam gembung itu. Ini kesempatanku untuk bertanya berapa suamiku mengorder ayam hari ini."Bu Arini ini ayamnya masih separo ya, sisanya nanti sekitar jam sepuluhan!" kata Roni."Sebentar to, Pak. Memangnya suamiku pesan berapa?" tanyaku."100 ekor ayam, untuk tiga har
"Apakah Umi sudah lupa? Atau kasih ijin dalam diam?" cerca Yahya padaku.Jujur aku diam bukan karena lupa atau apapun itu, sungguh suamiku itu mahkluk adam yang tidak peka. Siapa dia meminta ijin wanita lain masuk ke dalam rumah pribadiku. Rumah warisan dari orang tuaku, sedangkan dia di sini numpang. Meskipun uang untuk ganti warisan para saudaraku yang lain merupakan hasil kerja ayam bakar tetapi itu tetap hal aku yang terbanyak.Aku hanya bisa mendesah kesal, tetapi untuk terucap rasanya enggan. Lebih baik diam saja daripada nanti lisanku mengeluarkan kata berbobot yang diijabah Allah malaah lebih parah. Seperti kara para orang tua dulu, jika istri atau ibu yang teraniaya mengucapkan kata balas dendam bisa langsung terjadi. Mengingat nasehat itu membuatku menjaga lisanku baik suara maupun batin. Aku tidak mau berucap yang bisa menjadi doa dan berakibat fatal. Apalagi ini menyangkut nasib anak-anak ke depan."Umi, kok diam. Jawab dong!" pinta Yahya dengan nada lembut."Tidak aku ja
Aku dan Zahra melangkah tanpa memedulikan panggilan suamiku. Zahra pun terlihat lebih memilih aku dari abahnya, dia kulihat langsung meraih ponselnya. Entah siapa yang akan dia hubungi, aku hanya menunggu duduk di sebelahnya. Bibir Zahra tersenyum kala panggilannya tersambung."Asslaamualaikum, Kak Abdul! Aku mau curhat ini, dengerin yaa!" sapa Zahra sekalian dia meminta pada kakaknya itu. Aku tersenyum.Lalu Zahra mulai menceritakan semua kejadian yang baru saja dialaminya di teras rumah tadi. Aku yang mendengar hanya geleng kepala, sungguh putriku itu meluapkan emosinya pada kakak tirinya. "Dia abah kamu lho, Kak. Mana ada seorang abah kok kek gitu, bawa anak dari wanita lain yang bahkan bukan darah dagingnya. Pokoknya aku tidak mau tahu, nanti Kak Abdul harus ikut merawat umiku. Enak saja!" Begitu keluh Zahra pada kakaknya, "Dan tanggung jawab padaku juga lho, janji!" lanjutnya memastikan apa yang diucapkan oleh Abdul.Aku hanya tersenyum saat Zahra menutup panggilannya itu. Lalu
Dua hari mereka ikut bekerja di warung ayam bakarku tanpa permisi ataupun mengenalkan identitas dirinya. Aku pun diam saja, selama dua hari ini aku bekerja dari dalam rumah. Baik Bulan ataupun Samuel kubebaskan memberi perintah kedua pemuda itu untuk membantu meringankan pekerjaan mereka.Terkadang pemuda yang lebih muda berani membantah bila disuruh oleh Bulan. Namun, Bulan lebih berkuasa dan pendai menekan mental pemuda itu. Berbeda dengan yang lebih tua, dia hanya diam tidak banyak bicara. Apapun yang diperintahkan oleh Bulan dilaksanakan begitu saja.Aku masih mengamati cara kerja mereka berdua, tiba-tiba ingatanku melayang pada kejadian beberapa bulan yang lalu saat suamiku mengeluarkan alaat masak juga beberapa kayu. "Ah, iya pemuda itu yang datang dengan mobil tepak dan membawa semua barang. Mungkinkah itu anak Salma? Lalu yang kecil itu, apakah dia yang baru saja operasi habis kecelakaan? Kok masih terlihat segar bugar," batinku sambil melihat sosok pemuda itu.Bulan terlihat
Aku masih diam saja mengikuti alur kisah hidupku. Setelah peristiwa Yahya membawa beberapa alat masak, sejak saat itu aku semakin dingin. Hingga berganti bulan pun tidak ada informasi yang keluar dari mulut suamiku itu. Aku biarkan saja sesuai alurnya.Namun, beberapa hari kemudian beberapa tabung elpiji dan kompor dia bawa pulang. Mungkin menyisakan satu kompor dan dua tabung elpiji, kerena dari enam kemarin hanya dibawa pulang empat biji."Puas kamu, Umi!" Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba suamiku berkata kasar. Aku sendiri juga tidak mengerti apa maksud dari kalimatnya itu. Puas untuk apa? Aku saja tidak pernah merasakan sesuatu yang nikmat. Aneh."Jadi istri pertama itu ya mbok sing sabar, kasih suport suami yang sedang berusaha membuka cabang. Nah ini, Umi malah menghina istri siri abi. Apa coba maksudnya?"Aku semakin tidak mengerti dengan ucapannya. Menghina? Apa coba? Bukti pun juga tidak jelas, bagaimana aku bisa menghina jika nomer ponselnya saja aku tidak simpan.
"Iya sudahlah langsung jemput saja, Mbak. Mumpung masih telat sepuluh menit," katq Bulan.Aku segera melajukan kendaraanku tampa melihat siapa yang datang. Sungguh konsentrasi sedikit ambyar gara-gara postingan tok tok tadi. Laju kendaraan sedikit kupercepat dari biasanya, aku khawatir jika putriku tinggal sendiri di sekolah.Sepuluh menit aku sampai di depan sekolah, kulihat masih ada beberapa siswa dan siswi yang belum dijemput. Kuedarkan pandanganku mencari sosok Zahra, rupanya dia sedang mengantri di penjual papeda. Aku pun bernapas lega, kuhampiri dia."Masih lama antrinya, Zahra?" tanyaku."Bentar lagi ... eeh Umi ternyata. Tunggu ya Zahra masih antri, ini tinggal nunggu Lhansa selesai bari dech Zahra," papar anakku.Kulempar senyum untuk putriku, dia membalas menyatukan ibu jari dan jari telunjuk membentuk simbol oke. Aku pun akhirnya menunggu Zahra saambil duduk di jok montor. Lima menit aku menunggu akhirnya selesai juga. Zahra pun siap di boncengan."Untung jemputnya telat,