"Saya nikahkah dan kawinkan saudara dengan wanita bernama Arini binti Joesni dengan mas kawin uang sebesar seratus ribu rupiah.""Saya terima nikah dan kawinnya wanita tersebut dengan mas kawin seratus ribu rupiah.""Bagaimana para saksi, sah!" tanya Penghulu.Sah!Semua saksi dan beberapa tetanggaku segera menjawab pertanyaan penghulu. Dadaku berdetak lebih kencang, hari ini aku sudah resmi menjadi istri Yahya. Duda dengan anak tiga, perjalanan hidupku akan dimulai hari ini. Semoga saja sang pencinta selalu menyelamatkan dan memberi aku dengan berlimpah sabar dan iklas.Semua acara berjalan dengan lancar tanpa hambatan. Pernikahanku sangat sederhana, hal ini aku pilih karena calon suamiku adalah orang biasa begitu pun keadaan orang tuaku. Aku hanya seorang wanita dengan kemampuan yang sederhana maka tidak layak jika harus menggelar sebuah acara yang diatas rata-rata. Hari ini aku harus siap menjalani kehidupan dengan suami beranak tiga.Entah apa yang ada dalam otakku hingga saat di
Saat aku tersadar, tubuh ini sudah berada di atas ranjang ruangan serba putih. Kuedarkan pandanganku. Dan kudapati sosok lelaki yang tidak lain adalah Yahya, suamiku. Kulihat dia tertidur di kursi dengan bersandarkan dinding. Dengan pelan kupanggil namanya."Abi!" lirihku.Perlahan ada gerakan kecil pada anggota tubuh suamiku itu. Kemudian bibirnya membentuk sebuah lengkungan indah nan tipis. Sesaat aku terlena, senyum yang hampir tidak tampak itu mampu menggetarkan seluruh nadiku. Perlahan kakinya mulai digerakkan mengikis jarak denganku.Senyum itu belum pudar, masih terlukis di bibirnya. Aku menjadi sedikit malu, kemudian dia pun menarik kursi agar bisa duduk di dekatku. Dengan lirih aku meminta tolong padanya untuk mengambilkan minum, tenggorokanku terasa kering. Setelah kuterima gelas berisi teh hangat, gegas kuteguk pelan dan segera kukembalikan gelas tersebut."Terima kasih!" ucapku."Iya, Umi haris sehat. Di sini sudah ada buah hati kita, dijaga ya, Umi!" pintanya lembut sambi
Ide dari ponakanku itu akhirnya aku utarakan pada suamiku, lama lelaki itu termenung memikirkan untung dan ruginya. Dua hari aku baru mendapat persetujuan darinya. Akhirmya usaha ayam bakar pun mulai aku rintis bersama ponakanku tersebut. Setiap pagi Andi sudah datang untuk menyembelih ayam merah atau sering disebut ayam petelur.Sempat aku bertanya mengapa harus ayam itu pada Andi, dia menjawab bahwa daging ayam tersebut terasa legit dan tebal. Jika kematangannya pas maka rasanya tidak kalah dengan Ayam kampung. Maka aku pun setuju saja dengan semua argumentnya itu. Untuk awal Andi menyarankan memasak lima ekor saja dulu, nanti jika sudah mulai berjalan barulah ditambah jumlah ayamnya."Sepeerti itu ya, Ndi. Baik, aku ikut saja apa yang kamu katakan," jawabku dengan nada rendah.Kebetulan posisi rumahku ada di pinggir jalan besar, jadi lumayan ramai dilewati banyak orang. Bahkan Andi sangat optimis usaha ini akan berjalan lancar. Mungkin tidak perlu waktu lama ayam bakar yang di olah
Hari ini aku bangun agak kesiangan, suamiku pun ternyata tidak pulang semalam. Segera kubasuh tubuhku dengan mandi air hangat. Entah ada apa dengan tubuh ini, rasanya begitu berat untuk memulai hari. Setelah selesai ibadah salat subuh, akupun membuka pintu utama rumah dan warung ayam bakar. Warungku cukup sederhana, berukuran 4x6. Pagi itu aku pun segera membakar tiga ayam pesanan yang akan diambil jam tujuh pagi. Kebersihan bagiku adalah hal utama. Tiba-tiba terdengar suara kendaraan berhenti di depan warung, ada seorang wanita yang memanggil nama suamiku. Aku pun segera bangkit dari posisi duduk."Iya, Bu, mau beli ayam bakarkah?" tanyaku pada wanita tersebut."Benar ini rumahnya Yahya Sulaiman?" tanyanya."Iya, benar. Ada apa ya, Bu?" tanyaku lagi."Ini anaknya sedang masuk ke rumah sakit sedangkan dia semalam tidak pulang," papar wanita itu.Aku terhenyak dan terkejut. Anaknya masuk rumah sakit dan dia tidak pulang ke rumah semalam. Muncul sebuah pertanyaan di otakku. Anak yang m
Dua malam sudah suamiku tidak pulang kerumah. Sejak hari jumat selepas ashar dia pamit keluar hingga senin pagi selepas subuh dia pulang. Saat yang pas untuk aku membuka warungku. Usia kandunganku menginjak sembilan bulan, masa yang rawan untuk bekerja berat. Namun, aku selalu berusaha semangat melalui semua aktifitasku. Entah apa yang ada dalam pikiran Yahya, suamiku itu."Assalamualaikum, Umi!" ucapan salam aku dengar dari depan warung, suara khas milik suamiku.Aku pun bangkit dari posisi dudukku yang sedang membungkus sambal bakal jual ayam bakar satu hari ini. Kulihat suamiku sedang memarkirkan sepeda motor buntut hasil warisan uang pensiun ayahku yang terakhir. Sepeda itu sangat bermanfaat untukku. Terapi sejak aku usaha warung ayam bakar ini motor buntut itu dipakai oleh suamiku."Waalaikumsalam, Abi. Kok baru pulang setelah tiga hari, apakah semua urusan sudah selesai termasuk si Bungsu yang katanya masuk rumah sakit?" tanyaku sambil menatapnya sedikit sinis."Tidak baik jika
Usapan dan bisikan lembut diutarakan oleh suamiku. Gelenyar aneh muncul direlung hati, sedikit kecewa tetapi apalah dayaku. Aku hanya seorang istri yang suaranya sangat sulit di dengar oleh kaum adam, terutama suami. Jadi apa yang dikatakan oleh suami harus dituruti dan jangan membantah. Istri penurut jaminan surga. Selalu itu yang terucap dari lisannya Yahya, suamiku.Waktu terus berputar, adan luhur pun terdengar. Aku beranjak dari kursi dan melangkah meninggalkan suamiku yang masih terdiam di posisinya. Aku bersikap acuh dan dingin, kubiarkan dia seperti itu tanpa memintanya berdiri. Entah, hatiku masih terasa sakit dan perih. Segera ku ambil wudlu dan bersiap menghadap sang khalik.Di atas sajadah, kuadukan semua kisah sedihku hari itu. Aku begitu tersiksa, disaat hamil tua harus mendengar suami sendiri bertutur ingin poligami. Namun, hal itu sudah dia lakukan selama tiga bulan. Selama itu pula akulah yang selalu bekerja di warung ayam bakar kami. Si Yahya hanya memantau saja dan
"Bagaimana ini, Bulek, apa perlu saya antar ke rumah sakit?" tanya Andi padaku.Aku diam, mencoba berpikir untuk jalan keluar yang terbaik. Warung hanya ada aku dan Andi, maka aku harus berani mengambil keputusan yang terbaik. Akhirnya aku pun meminta Andi untuk memesabkan taksi yang akan membawaku ke rumah sakit milik pemerintah kota. Dengan berbekal surat jaminan kesehatan puskesmas atau biasa disebut Jamkesmas, jaminan ini bisa digunakan untuk kelahiran. "Jika Bulek berangkat sendiri apa tidak apa?" tanya Andi dengan nada khawatir.Aku tersenyum, kemudian kujelaskan jika semua keluar siapa yang akan menjaga rumah dan warung. Dengan alasan itu lah aku berbagi tugas dengan Andi, akhirnya Andi setuju dengan ideku itu. Taksi yang akan membawaku akhirnya datang, aku segera bersiap untuk berangkat. Andi membantuku memasukan beberapa barang yang aku bawa."Bulek nanti kabari Andi, Ya. Apalagi jika butuh sesuatu terutama duit buat pegangan," kaya Andi penuh rasa khawatir dengan keadaanku.
Tiga hari aku berada di rumah sakit bersalin dan selama itu tidak tampak wajah suamiku datang menjenguk. Hanya Andi yang wara-wiri melihatku untuk menanyakan keperluanku yang habis. Aku terharu dengan perhatian ponakanku itu. Hingga di hari terakhir saat semua sudah siap dalam bagasi taksi, sosok itu lelaki yang sudah menjadi suamiku datang bersama seorang wanita yang lebih muda dari aku."Umi, kapan lahirannya?" tanya suamiku dengan wajah polosnya."Tiga hari yang lalu," jawabku datar."Adik perempuan atau lelaki?" tanyanya lagi. Aku hanya menyibak selimut yang menutupi wajah putri kecilku itu. Senyum Yahya mengembang, jari telunjuknya menyusuri wajah putri kami. Dia begitu memuja wajah ayu dari bayi tersebut."Zaenab As Syari," lirih suamiku."Terima kasih atas pemberian namanya, aku pulang dulu. Sepertinya Abi lagi sibuk," ucapku datar sambil menyodorkan tanganku meminta uluran tangannya agar aku bisa mencium punggung tangan itu. Yahya pun menyambut uluran tanganku, aku pun seger