Hari ini aku bangun agak kesiangan, suamiku pun ternyata tidak pulang semalam. Segera kubasuh tubuhku dengan mandi air hangat. Entah ada apa dengan tubuh ini, rasanya begitu berat untuk memulai hari. Setelah selesai ibadah salat subuh, akupun membuka pintu utama rumah dan warung ayam bakar. Warungku cukup sederhana, berukuran 4x6. Pagi itu aku pun segera membakar tiga ayam pesanan yang akan diambil jam tujuh pagi. Kebersihan bagiku adalah hal utama. Tiba-tiba terdengar suara kendaraan berhenti di depan warung, ada seorang wanita yang memanggil nama suamiku. Aku pun segera bangkit dari posisi duduk."Iya, Bu, mau beli ayam bakarkah?" tanyaku pada wanita tersebut."Benar ini rumahnya Yahya Sulaiman?" tanyanya."Iya, benar. Ada apa ya, Bu?" tanyaku lagi."Ini anaknya sedang masuk ke rumah sakit sedangkan dia semalam tidak pulang," papar wanita itu.Aku terhenyak dan terkejut. Anaknya masuk rumah sakit dan dia tidak pulang ke rumah semalam. Muncul sebuah pertanyaan di otakku. Anak yang m
Dua malam sudah suamiku tidak pulang kerumah. Sejak hari jumat selepas ashar dia pamit keluar hingga senin pagi selepas subuh dia pulang. Saat yang pas untuk aku membuka warungku. Usia kandunganku menginjak sembilan bulan, masa yang rawan untuk bekerja berat. Namun, aku selalu berusaha semangat melalui semua aktifitasku. Entah apa yang ada dalam pikiran Yahya, suamiku itu."Assalamualaikum, Umi!" ucapan salam aku dengar dari depan warung, suara khas milik suamiku.Aku pun bangkit dari posisi dudukku yang sedang membungkus sambal bakal jual ayam bakar satu hari ini. Kulihat suamiku sedang memarkirkan sepeda motor buntut hasil warisan uang pensiun ayahku yang terakhir. Sepeda itu sangat bermanfaat untukku. Terapi sejak aku usaha warung ayam bakar ini motor buntut itu dipakai oleh suamiku."Waalaikumsalam, Abi. Kok baru pulang setelah tiga hari, apakah semua urusan sudah selesai termasuk si Bungsu yang katanya masuk rumah sakit?" tanyaku sambil menatapnya sedikit sinis."Tidak baik jika
Usapan dan bisikan lembut diutarakan oleh suamiku. Gelenyar aneh muncul direlung hati, sedikit kecewa tetapi apalah dayaku. Aku hanya seorang istri yang suaranya sangat sulit di dengar oleh kaum adam, terutama suami. Jadi apa yang dikatakan oleh suami harus dituruti dan jangan membantah. Istri penurut jaminan surga. Selalu itu yang terucap dari lisannya Yahya, suamiku.Waktu terus berputar, adan luhur pun terdengar. Aku beranjak dari kursi dan melangkah meninggalkan suamiku yang masih terdiam di posisinya. Aku bersikap acuh dan dingin, kubiarkan dia seperti itu tanpa memintanya berdiri. Entah, hatiku masih terasa sakit dan perih. Segera ku ambil wudlu dan bersiap menghadap sang khalik.Di atas sajadah, kuadukan semua kisah sedihku hari itu. Aku begitu tersiksa, disaat hamil tua harus mendengar suami sendiri bertutur ingin poligami. Namun, hal itu sudah dia lakukan selama tiga bulan. Selama itu pula akulah yang selalu bekerja di warung ayam bakar kami. Si Yahya hanya memantau saja dan
"Bagaimana ini, Bulek, apa perlu saya antar ke rumah sakit?" tanya Andi padaku.Aku diam, mencoba berpikir untuk jalan keluar yang terbaik. Warung hanya ada aku dan Andi, maka aku harus berani mengambil keputusan yang terbaik. Akhirnya aku pun meminta Andi untuk memesabkan taksi yang akan membawaku ke rumah sakit milik pemerintah kota. Dengan berbekal surat jaminan kesehatan puskesmas atau biasa disebut Jamkesmas, jaminan ini bisa digunakan untuk kelahiran. "Jika Bulek berangkat sendiri apa tidak apa?" tanya Andi dengan nada khawatir.Aku tersenyum, kemudian kujelaskan jika semua keluar siapa yang akan menjaga rumah dan warung. Dengan alasan itu lah aku berbagi tugas dengan Andi, akhirnya Andi setuju dengan ideku itu. Taksi yang akan membawaku akhirnya datang, aku segera bersiap untuk berangkat. Andi membantuku memasukan beberapa barang yang aku bawa."Bulek nanti kabari Andi, Ya. Apalagi jika butuh sesuatu terutama duit buat pegangan," kaya Andi penuh rasa khawatir dengan keadaanku.
Tiga hari aku berada di rumah sakit bersalin dan selama itu tidak tampak wajah suamiku datang menjenguk. Hanya Andi yang wara-wiri melihatku untuk menanyakan keperluanku yang habis. Aku terharu dengan perhatian ponakanku itu. Hingga di hari terakhir saat semua sudah siap dalam bagasi taksi, sosok itu lelaki yang sudah menjadi suamiku datang bersama seorang wanita yang lebih muda dari aku."Umi, kapan lahirannya?" tanya suamiku dengan wajah polosnya."Tiga hari yang lalu," jawabku datar."Adik perempuan atau lelaki?" tanyanya lagi. Aku hanya menyibak selimut yang menutupi wajah putri kecilku itu. Senyum Yahya mengembang, jari telunjuknya menyusuri wajah putri kami. Dia begitu memuja wajah ayu dari bayi tersebut."Zaenab As Syari," lirih suamiku."Terima kasih atas pemberian namanya, aku pulang dulu. Sepertinya Abi lagi sibuk," ucapku datar sambil menyodorkan tanganku meminta uluran tangannya agar aku bisa mencium punggung tangan itu. Yahya pun menyambut uluran tanganku, aku pun seger
"Umi, jangan marahi Abdul ya!" lirih anak tiriku."Buat apa? Memangnya Abdul bikin salah apa hingga umi marah?" tanyaku."Abdul tadi minta Kak Andi uang untuk beli nasi pecel," ungkapnya lirih, aku seketika terhenyak.Anak sekecil itu begitu peka akan perasaan yang serba salah. Aku berlalu masuk ke kamar, bukan berniat hendak meninggalkan dia tetapi lebih pada lelahku yang sejak datang belum duduk. Aku yang ada di dalam kamar mendengar suara dari luar, sepertinya suara dari Abdul. Kutajamkan pendengaranku."Umi, keluarlah! Ini Abdul sudah bikin teh hangat sebagai permintaan maafku," ucap Abdul.Aku terharu, setelah kurebahkan tubuh mungil Zahra putriku aku pun beranjak dari ranjang. Kulihat Abdul berdiri di samping pintu kamarku yang terdapat meja makan. Anak tersebut masih menunduk sedih. Kutangkup wajahnya dan menaikkan agar aku bisa melihat sorot mata anak tersebut."Terima kasih atas teh nya, umu tidak marah. Wajar saja jika kamu minta uang untuk beli nasi. Bukankah Abdul sedang l
"Arini, bangun yuuk! Sudah sore menjelang mahgrib lho," bisik suara yang aku kenal.Perlahan aku membuka mata, yang pertama kulihat wajah suamiku yang begitu dekat. Ingin aku menyentak tubuh lelakiku itu, tetapi kembali teringat akan ceramah seorang ustadzah bahwa suami itu imam kita dan kita tidak boleh melawan. Iklas saja selama dia masih memberi nafkah lahir dan batin juga masih menjalankan ibadahnya.Kuusap wajahku sebanyak tiga kali agar kesadaranku kembali. Kulihat Yahya mengangkat tubuh mungil Zahra dan mendekapnya penuh kasih. Dikumandangkan adan pada indera putrinya, aku terharu. Rasanya kecewaku perlahan luntur akan belaian kasihnya pada putriku. "Sebaiknya kamu mandi dulu, biar Zahra bersamaku. Aku ingin berbicara serius denganmu, Arini!" kata Yahya padaku dengan nada sedikit datar dan dingin.Tanpa membalas apa yang dia ucapkan aku berlalu begitu saja menuju almari pakaian. Setelah kuambil satu gamis, segera kutinggalkan dia bersama Zahra. Ketika aku keluar kulihat Abdul
Pagi hari yang cerah, tetapi hatiku terasa sepi. Suami yang seharusnya ada di sisi kini sedang menjalani tugasnya untuk berdakwah. Ada bahagia yang menyusup relung kalbu bila ingat masa setiap suami syiar agama. Entah karena apa, jika dia melakukan perjalanan dakwah selama 40 hari penjualanku meningkat. Mungkin ini karena ladang pahala yang dibuka oleh-Nya, hanya dari Roob ku."Umi, kok Om Andi belum datang ya. Apakah dia ijin tidak masuk?" tanya Abdul yang tiba-tiba masuk rumah setelah aku suruh melihat ke warung."Mungkin agak terlambat datangnya, Dul. Dia kemarin ada bilang sama umi akan mengurus surat-surat untuk acara pernikahannya," jelasku pada Abdul."Trus yang bantu Umi nanti siapa? Aku rasanya belum mampu, Umi, maafkan!" lirihnya sambil menunduk.Aku terdiam mengingat bahwa sebentar lagi Andi akan menikah dan dia akan ikut istrinya ke kota sebelah. Mengapa baru terpikir olehku siapa tenaga bantu yang akan menggantikan dia. Aku mulai berpikir sejenak, rasanya sudah tidak ada
Aku pun memanggil Zahra dan Abdul setelah menurunkan semua barang bawaan Adam. Kedua anakku pun segera keluar dari rumah."Umi ingin membesuk abah kalian, siapa yang akan ikut dan tinggal di rumah?" tanyaku."Aku ikut saja, Umi. Biar Halimah di rumah bersama Arkan, kau bagaimana Abdul?" kata Adam."Aku ikut, mungkin Zahra saja yang tetap tinggal di rumah menemani Kak Halimah. Iya 'kan Zahra?" tanya Abdul yang memandangku lalu berganti pada Zahra.Putriku itu mengangguk tetapi mukanya cemberut, ada sebersit rasa kecewa. Namun, aku mencoba memberinya pengertian. Agar dia mau tinggal di rumah, akhirnya gadis kecilku pun setuju.Setelah kata sepakat tercapai, kami bertiga segera masuk ke dalam mobil. Sopir pun melajukan kendaraannya menuju ke Rumah Sakit Bayangkara. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di rumah sakit itu. Keadaan jalanan yang sepi bagai kita mati membuat lalu lintas Surabaya begitu lengang.Kuinjakkan kakiku dengan napas berat, kuatur ulang pola napasku dan hatiku. Mampuka
Aku terdiam cukup lama, mencari jalan keluar untuk masalah ini. Akhirnya kucoba hubungi Adam untuk menyelesaikan masalah ini. Mengingat ini berita sangat penting akhirnya kupaksakan hatiku. Panggilang terhubung tetapi belum diangkat. Hingga panggilan yang kedua barulah diangkat, kudengar suara wanita yang lembut."Assalamualaikum, Umi! Ada apa dini hati seperti ini hubungi mas Adam?" kata Halimah."Waalaikumsalam, Halimah. Ini abah baru saja mengalami kecelakaan bersama istri sirinya, saat ini sudah ditangani oleh polisi dan masuk ke RS. Polda. Sedangkan pesanan ayam bakar untuk esok setelah salat idul fitri ada 150 ayam, tolong Umi!" paparku tanpa ku tutupi.Hening, aku masih menunggu reaksi lanjutan dari seberang. Aku masih diam, tetapi kudengar langkah mendekat dan duduk di sampingku."Biar Abdul yang lihat kondisi abah, Umi. Berhubung ini sudah menjelang dini hari, sebaiknya Umi pejamkan mata agar esok terasa sedikit segar!" pinta Abdul."Benar apa yang dikatakan oleh Abdul, Umi.
Aku pun hanya tersenyum di balik cadar untuk melepas kepergian suamiku. Sebenarnya sudah hal biasa dia pergi tinggalkan aku sendiri dalam memberesi semua pekerjaan, tetapi malam ini ada yang berbeda. Sebuah rasa was was menelusup di relung hati, Abdul pun yang juga ada di dekatku hanya berdiri mematung menatap kepergian abahnya."Apakah ini tidak apa, Umi?" tanya Abdul."Semoga saja tidak, Abdul. Kita bereskan ini lebih dulu, lalu segera istirahat agar esok menjelang subuh bisa bakar ayam dalam keadaan fit!" kataku sambil mulai memberesi barang.Abdul pun segera melakukan apa yang aku perintahkan dengan rapi. Semua lantai teras dibersihkan dan langsung dia pel. Hal ini kami lakukan dengan bekerja sama, bahkan kali ini Zahra juga ikut turun. Putriku itu membantu membereskan semua wadah baskom yang sudah aku cuci. Cukup lama waktu yang kami gunakan untuk membersihkan teras, hingga pukul delapan malam semua baru selesai. Aku menutup warung lebih dulu tetapi masih berada di dalam. Kulih
Sesaat Bulan pun sampai dari belanjanya, kemudian kutatap manik mata wanita itu. Bulan menjadi salah tingkah, dia merasa bingung mengartikan tatapanku padanya. Lalu wanita muda itu mengalihkan pandangannya ke Sambuel sambil mengangkat dagunya. Samuel kulihat menggedikkan bahu."Apa yang sedang kalian sembunyikan?" tanyaku sambil menatap keduanya bergantian.Bulan menggelengkan kepala tanda dia tidak mengerti apa yang aku tanyakan, sedangkan Samuel hanya senyum simpul membuatku semakin geram dan penasaran. "Bisa kau jelaskan alasan kamu masuk pagi, Sam?" tanyaku lebih detail lagi.Samuel menarik napas panjang, lalu dihempas perlahan. Setelahnya dia menatap sepeda motor pengantar ayam gembung. Pak Roni sendiri yang antar ayam gembung itu. Ini kesempatanku untuk bertanya berapa suamiku mengorder ayam hari ini."Bu Arini ini ayamnya masih separo ya, sisanya nanti sekitar jam sepuluhan!" kata Roni."Sebentar to, Pak. Memangnya suamiku pesan berapa?" tanyaku."100 ekor ayam, untuk tiga har
"Apakah Umi sudah lupa? Atau kasih ijin dalam diam?" cerca Yahya padaku.Jujur aku diam bukan karena lupa atau apapun itu, sungguh suamiku itu mahkluk adam yang tidak peka. Siapa dia meminta ijin wanita lain masuk ke dalam rumah pribadiku. Rumah warisan dari orang tuaku, sedangkan dia di sini numpang. Meskipun uang untuk ganti warisan para saudaraku yang lain merupakan hasil kerja ayam bakar tetapi itu tetap hal aku yang terbanyak.Aku hanya bisa mendesah kesal, tetapi untuk terucap rasanya enggan. Lebih baik diam saja daripada nanti lisanku mengeluarkan kata berbobot yang diijabah Allah malaah lebih parah. Seperti kara para orang tua dulu, jika istri atau ibu yang teraniaya mengucapkan kata balas dendam bisa langsung terjadi. Mengingat nasehat itu membuatku menjaga lisanku baik suara maupun batin. Aku tidak mau berucap yang bisa menjadi doa dan berakibat fatal. Apalagi ini menyangkut nasib anak-anak ke depan."Umi, kok diam. Jawab dong!" pinta Yahya dengan nada lembut."Tidak aku ja
Aku dan Zahra melangkah tanpa memedulikan panggilan suamiku. Zahra pun terlihat lebih memilih aku dari abahnya, dia kulihat langsung meraih ponselnya. Entah siapa yang akan dia hubungi, aku hanya menunggu duduk di sebelahnya. Bibir Zahra tersenyum kala panggilannya tersambung."Asslaamualaikum, Kak Abdul! Aku mau curhat ini, dengerin yaa!" sapa Zahra sekalian dia meminta pada kakaknya itu. Aku tersenyum.Lalu Zahra mulai menceritakan semua kejadian yang baru saja dialaminya di teras rumah tadi. Aku yang mendengar hanya geleng kepala, sungguh putriku itu meluapkan emosinya pada kakak tirinya. "Dia abah kamu lho, Kak. Mana ada seorang abah kok kek gitu, bawa anak dari wanita lain yang bahkan bukan darah dagingnya. Pokoknya aku tidak mau tahu, nanti Kak Abdul harus ikut merawat umiku. Enak saja!" Begitu keluh Zahra pada kakaknya, "Dan tanggung jawab padaku juga lho, janji!" lanjutnya memastikan apa yang diucapkan oleh Abdul.Aku hanya tersenyum saat Zahra menutup panggilannya itu. Lalu
Dua hari mereka ikut bekerja di warung ayam bakarku tanpa permisi ataupun mengenalkan identitas dirinya. Aku pun diam saja, selama dua hari ini aku bekerja dari dalam rumah. Baik Bulan ataupun Samuel kubebaskan memberi perintah kedua pemuda itu untuk membantu meringankan pekerjaan mereka.Terkadang pemuda yang lebih muda berani membantah bila disuruh oleh Bulan. Namun, Bulan lebih berkuasa dan pendai menekan mental pemuda itu. Berbeda dengan yang lebih tua, dia hanya diam tidak banyak bicara. Apapun yang diperintahkan oleh Bulan dilaksanakan begitu saja.Aku masih mengamati cara kerja mereka berdua, tiba-tiba ingatanku melayang pada kejadian beberapa bulan yang lalu saat suamiku mengeluarkan alaat masak juga beberapa kayu. "Ah, iya pemuda itu yang datang dengan mobil tepak dan membawa semua barang. Mungkinkah itu anak Salma? Lalu yang kecil itu, apakah dia yang baru saja operasi habis kecelakaan? Kok masih terlihat segar bugar," batinku sambil melihat sosok pemuda itu.Bulan terlihat
Aku masih diam saja mengikuti alur kisah hidupku. Setelah peristiwa Yahya membawa beberapa alat masak, sejak saat itu aku semakin dingin. Hingga berganti bulan pun tidak ada informasi yang keluar dari mulut suamiku itu. Aku biarkan saja sesuai alurnya.Namun, beberapa hari kemudian beberapa tabung elpiji dan kompor dia bawa pulang. Mungkin menyisakan satu kompor dan dua tabung elpiji, kerena dari enam kemarin hanya dibawa pulang empat biji."Puas kamu, Umi!" Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba suamiku berkata kasar. Aku sendiri juga tidak mengerti apa maksud dari kalimatnya itu. Puas untuk apa? Aku saja tidak pernah merasakan sesuatu yang nikmat. Aneh."Jadi istri pertama itu ya mbok sing sabar, kasih suport suami yang sedang berusaha membuka cabang. Nah ini, Umi malah menghina istri siri abi. Apa coba maksudnya?"Aku semakin tidak mengerti dengan ucapannya. Menghina? Apa coba? Bukti pun juga tidak jelas, bagaimana aku bisa menghina jika nomer ponselnya saja aku tidak simpan.
"Iya sudahlah langsung jemput saja, Mbak. Mumpung masih telat sepuluh menit," katq Bulan.Aku segera melajukan kendaraanku tampa melihat siapa yang datang. Sungguh konsentrasi sedikit ambyar gara-gara postingan tok tok tadi. Laju kendaraan sedikit kupercepat dari biasanya, aku khawatir jika putriku tinggal sendiri di sekolah.Sepuluh menit aku sampai di depan sekolah, kulihat masih ada beberapa siswa dan siswi yang belum dijemput. Kuedarkan pandanganku mencari sosok Zahra, rupanya dia sedang mengantri di penjual papeda. Aku pun bernapas lega, kuhampiri dia."Masih lama antrinya, Zahra?" tanyaku."Bentar lagi ... eeh Umi ternyata. Tunggu ya Zahra masih antri, ini tinggal nunggu Lhansa selesai bari dech Zahra," papar anakku.Kulempar senyum untuk putriku, dia membalas menyatukan ibu jari dan jari telunjuk membentuk simbol oke. Aku pun akhirnya menunggu Zahra saambil duduk di jok montor. Lima menit aku menunggu akhirnya selesai juga. Zahra pun siap di boncengan."Untung jemputnya telat,