Share

9. Kisah Anak Tiri

"Umi, jangan marahi Abdul ya!" lirih anak tiriku.

"Buat apa? Memangnya Abdul bikin salah apa hingga umi marah?" tanyaku.

"Abdul tadi minta Kak Andi uang untuk beli nasi pecel," ungkapnya lirih, aku seketika terhenyak.

Anak sekecil itu begitu peka akan perasaan yang serba salah. Aku berlalu masuk ke kamar, bukan berniat hendak meninggalkan dia tetapi lebih pada lelahku yang sejak datang belum duduk. Aku yang ada di dalam kamar mendengar suara dari luar, sepertinya suara dari Abdul. Kutajamkan pendengaranku.

"Umi, keluarlah! Ini Abdul sudah bikin teh hangat sebagai permintaan maafku," ucap Abdul.

Aku terharu, setelah kurebahkan tubuh mungil Zahra putriku aku pun beranjak dari ranjang. Kulihat Abdul berdiri di samping pintu kamarku yang terdapat meja makan. Anak tersebut masih menunduk sedih. Kutangkup wajahnya dan menaikkan agar aku bisa melihat sorot mata anak tersebut.

"Terima kasih atas teh nya, umu tidak marah. Wajar saja jika kamu minta uang untuk beli nasi. Bukankah Abdul sedang lapar saat itu?" ucapku lirih.

"Benar, Umi. Lain kali Abdul akan sering membantu Kak Andi dan Umi," jawabnya.

Kulepas tanganku, aku pun duduk di kursi sedangkan Abdul masih berdiri saja. Pandangan masih tertunduk. Aku mulai bertanya perihal semua kehidupannya sebelum dibawa oleh abahnya kemari. Abdul mulai bercerita padaku. Selama ini dia ikut kakak perempuan dari ibunya yang berkeyakinan beda.

Selama di sana, anak tersebut selalu dipekerjakan. Semua tugas kebersihan rumah seperti menyapu, mengepel dan mencuci alat makan yang kotor di pagi hari adalah tugasnya. Jika semua kerjaan itu belum selesai Abdul tidak dapat jatah makan. Namun, keadaan akan berbeda jika abahnya berkunjung ke rumah itu.

"Itulah garis besar kehidupan Abdul, Umi. Dengan alasan itulah, Abdul ingin membantu Umi," ungkapnya.

Ada sorot mata yang terluka pada Abdul, aku bisa merasakan kesakitan yang teramat sangat. Aku yang sudah sejak kecil hidup tanpa kasih sayang seorang ibu begitu terluka akan cerita anak itu. Sungguh tega sekali seorang wanita bahkan juga ibu bisa menekan jiwa anak sedemikian rupa.

Kuhembuskan napas kasar, lalu kutegul teh hangat buatan Abdul. Rasa hangat yang manis menyapa tenggorokanku. Kulihat lagi anak tiriku yang ke tiga itu. Dekil dan tampak tidak terurus. Aku beranjak dari dudukku, berjalan menuju almari di samping meja makan. Matanya menatap tumpukan lipatan baju, kucari handuk untuk kuberikan pada Abdul.

"Ini handuk untuk kamu mandi, kamar mandi di belakang sedangkan kamarmu di depan. Rawat dengan baik kesehatanmu, jika sempat umi akan masak. Namun, jika umi tidak sempat segera datangi umi untuk minta uang buat beli nasi pecel. Paham!" kataku lembut.

"Iya, Umi. Abdul paham, terima kasih. Abdul permisi, silahkan istirahatnya dilanjutkan!" ucap Abdul penuh sopan.

Setelah kepergian Abdul yang menuju ke arah warung, aku pun masuk kembali ke kamar hendak mengistirahatkan tubuhku yang lelah. Pandanganku melihat langit kamar, tiba-tibq melintas bayangan suamiku bersama gadis muda tadi. Sungguh aku tidak percaya akan penglihatan dan pendengaranku sendiri. Dia, suamiku lebih memilih gadis muda daripada istrinya yang telah berjuang melawan maut untuk melahirkan keturunannya.

Kedua tanganku mengepal, emosiku ingin meledak. Tetapi sebuah kilatan dosa melintas di pikiranku. Sungguh aku tidak berdaya. Hidup tidak nyaman mati pun segan. Bagai makan buah simalakama, aku harus kuat. Toh ini adalah rumah ayahku bukan harta suamiku.

"Kuat, kau harus kuat, Arini!" batinku.

"Lepas saja suami seperti itu, mumpung belum terlalu jauh kamu melangkah bersamanya," kata hatiku yang lain.

Aku terdiam hanya menimbang langkah apa yang harus aku ambil bila menghadapi masalah selingkuh. Suatu kisah yang mungkin hampir setiap wanita mengalami, diduakan bahkan dipoligami secara sak hukum agama dan negara. Aku menggembuskan napas kasar berulang-ulang.

"Harus iklas, dan berusaha sabar. Jaga lisan jangan sampai menguar!" lirihku.

Aku pun berusaha memejamkan maja. Dalam waktu beberapa menit, aku sudah berada di alam mimpi. Indahnya mimpi bersama Zahra selalu membuatku tersenyum. Tiba-tiba kurasakan ada sentuhan lembut yang menyapa bibirku. Begitu lembutnya hingga aku terlena. Aku tidak ingin membuka mata, aku takut jika ini hanya ilusi saja. Tetapi ....

### Shaveera ###

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status