Mendengar rintihan dan ucapan Halimah membuat hatinya ngilu. Gadis itu bisa merasakan bahkan melihat sosok tidak kasat mata hadir di depannya. Aku tidak menyangka sama sekali dengan kelebihan anak gadis tiriku. Diusianya yang sudah 14 tahun dan dia belum mengalami menstruasi membuat dia masih suci. Halimah terlihat berkeringat, segera kudekati dan kuraba dahinya. Suhu tubuh anak itu begitu panas, aku terhentak. Gegas kuambilkan kain kompres khusus milik Zahra. Halimah menatapku sendu."Umi, apakah sakitku ini akan membawaku ke jannah?" tanya Halimah padaku dengan nada rendah.Begitu pelannya suara gadis itu hingga terdengar samar pada indera pendengaranku. Aku pun mendekatkan cuping pada wajahnya. Jemari kecilnya yang putih terangkat, kemudian keduanya membingkai wajahku. Perlahan bibir gadis itu mulai bergerak. Aku terus menatap manik mata yang mulai redup itu."Umi, badan aku terasa ringan sekali. Bahkan seperti melayang. Mengapa baru sekarang aku bisa berdekatan denganmu, Umi?" ta
"Bagaimana jualan hari ini, Topan?" tanyaku pada pegawai."Alhamdulillah lancar, Bu. Masih ada lima buat jualan pagi. Hari ini semua sudah saya panasi, apakah perlu saya bantu tutup warungnya?" tanya Topan."Tidak perlu, terima kasih!" "Saya permisi pulang, Bu. Assalamualaikum!" pamit Topan.Pemuda itu pun segera berjalan menuju tempat parkir setelah mendengar jawabanku. Sungguh pemuda yang baik dan sopan. Dia tidak pernah mengeluh dengan pekerjaannya selama ikut denganku. Kini usahaku semakin hari makin meningkat, kulihat Topan makin kewalahan melayani pembeli. Mungkin suatu hari jika ada yang ingin bekerja akan aku terima saja buat teman Topan. Kasihan pemuda itu. Gegas kuberesi semua perlengkapan jual hari ini, hanya merapikan saja dan sedikit menyapu. Selanjutnya kututup pintu roling door warung."Huft akhirnya semua selesai sudah. Sekarang tinggal merawat Zahra," gumamku sambil berjalan menuju ke dalam.Aku masih terus berjalan dan langsung menuju ke kamar Abdul. Kuketuk pintu
Aku sangat panik dan bingung menghadapi kenyataan kondisi Halimah yang lemah tiada daya. Segera aku berlari menuju ke rumah tetangga yang kebetulan bekerja sebagai mantri salah satu rumah sakit swasta. Aku mencoba meminta pertolongan darinya."Assalamualaikum, Pak Ahmad!" salamku sambil mengetuk pintu rumahnya."Waalaikumsalam. Eh, Mbak Arini, ada apa ya?" tanya seorang wanita padaku, dia adalah Isma istri Pak Ahmad. Usianya jauh dibawahku."Ini, Bu Isma, saya ada perlu dengan suaminya Bu Isma. Putri saya -- Halimah -- batuk sambil muntah darah, tolong dibantu untuk memeriksanya, kira-kira sakit apa? Begitu, Bu Isma," paparku dengan nada khawatir."Sebaiknya Mbak Arini pulang dulu, suamiku masih mandi. Biar setelah selesai segera datang ke rumah Mbak Arini," jelas Bu Isma.Mendengar kalimat Bu Isma, aku pun memutuskan untuk pamit pulang. Jalanku kupercepat agar segera sampai rumah. Hatiku merasa berdebar sepanjang perjalanan. Berbagai pertanyaan muncul di otakku, apa yang terjadi dan
Pagi hari seperti biasa aku sudah disibukkan dengan semua alat perangku di warung. Namun, pagi ini sedikit berbeda karena suamiku saat ini ikut membantu aku dalam menyiapkan jualan untuk hari ini."Pagi ini harus bakar berapa ayam, Umi?" tanya Yahya sambil menatap papan pemesanan di dinding."Abah lihat saja sendiri itu sudah aku tulis sejak kemarin!" balasku sambil mengangkat rebusan jeroan ayam.Setelah semua aku keluarkan dari panci, maka aku pun segera membungkus rebusan itu dan kutimbang satu kilo. Kemarin aku mengambil ayam mentah sebanyak 30 ekor sehingga jeroannya bisa menghasilkan 4 kg. Jumlah yang cukup lumayan hasilnya. Per kg nya aku jual seharga 20k sehingga jika dikalikan dengan empat bungkus menjadi 80k. Jumlah yang cukup menguntungkan bagi isi dompetku."Kok senyum ae sejak tadi lho, Umi. Lagi bahagia kah?" tanya Yahya padaku."Alhamdulillah, Abi. Jika setiap hari bernama sabtu dan minggu mungkin aku selalu tersenyum. Sayangnya hari selalu berganti mulai senin, selasa
Setelah merasa yakin Halimah sudah tertidur pulas, maka aku pun beranjak meninggalkan dia sendiri. Kuselimuti tubuh kurus anak tiriku tersebut dan aku melanjutkan kegiatanku yang tertunda. Yahya kulihat masih sibuk melayani pembeli yang datang. Topan kemarin ijin datang terlambat karena ada urusan mengantar ibunya kontrol ke puskesmas.Aku membiarkan suamiku melanjutkan pekerjaannya melayani setiap pembeli, sementara aku melangkah melanjutkan merawat Zahra yang kebetulan belum mandi. Gadis kecilku ternyata sudah bangun dan duduk bermain lego yang baru dibelikan oleh abinya saat datang kemarin."Assalamualaikum putrinya umi!" sapaku."Umi!" balas Zahra."Mandi dulu yuuk, Sayang!" ajakku.Zahra pun bangkit dan mengikuti langkahku menuju ke kamar mandi. Dia, Zahra terlihat begitu bahagia dengan senyum yang masih tercetak di bibirnya. Dengan sedikit susah. tangan kecilnya berusaha untuk melepas pakaiannya. Aku tersenyum melihat usaha gadis itu. Dengan lembut aku bantu dia melepas kaosnya.
Aku harus iklas meski dia bukan darah dagingku tetapi gadis itu sudah mampu menggetarkan nadi hingga ke jantung. Entah mengapa sosok perempuan muda itu membuat semangatku kembali meletup. Kulihat lagi wajah lelakiku, dia begitu tertekan. Aku hanya diam menyiapkan semua keperluan untuk pemakaman Halimah. Pertama aku panggil mantri Pak Ahmad untuk memastikan kematian Halimah. Sesaat Pak Ahmad memeriksa semua keadaan tubuh Halimah."Bagaimana, Pak Ahmad?" tanyaku."Halimah sudah meninggal, Bu Arini. Ini sedang saya buatkan surat keterangan bahwa Halimah benar sudah berpulang ke rahmatullah. Yang sabar ya, Bu!" kata Pak Ahmad.Aku hanya mengangguk dan menerima selembar kertas berisi keterangan kematian putri tiriku. Yahya masih duduk terpekur dengan bibir yang masih mengucapkan ayat-ayat Al Quran. Surah yasin dan ayat kursi pun dia lantunkan untuk Halimah. "Bagaimana dengan Abdul dan Ridwan, Bi?" tanyaku pada Yahya.Lelaki itu masih diam, entah apa yang dia pikirkan aku pun tidak tahu.
Semua proses memandikan jenasah akhirnya selesai, semua pelayat ikut mengantar jenasah Halimah. Hanya aku yang tidak ikut mengantar, sedangkan Zahra merengek ingin ikut. Dengan segala pertimbangan dan sedikit perdebatan, putri kecilku pun ikut serta."Zahra nanti di sana jangan resek lho!" pesanku. "Siap, Umi!" balas Zahra.Setelah semua siap, kereta jenasah mulai dipanggul oleh empat orang dewasa. Aku menatap kepergian kereta tersebut. Keadaan kembali sepi, aku segera membersihkan semua barang perlengkapan memandikan jenasah.Semua larut dalam kesedihan, aku masih bungkam tanpa banyak kata. Para sodara ipar pun juga datang. Mereka saling berbisik menyalahkan aku. Ada yang mengatakan jika aku tidak becus merawat anak tiri hingga gadis itu menemui ajalnya. Aku hanya diam, cukup mendengar saja."Arini, bukankah usaha ayam bakar si Yahya sudah mulai dikenal masyarakat. Mengapa Halimah sampai tidak tertolong? Dimana empatimu?" ucap kakak iparku."Maaf, Mbak. Semua sudah digariskan. Halim
Hari terus berlalu dan benar apa yang aku inginkan tersampaikan. Kuucapkan syukur pada Tuhan, tahlilan untuk kematian Halimah tidak dilakukan oleh Yahya, suamiku. Selama tujuh hari rumahku selalu didatangi saudara dari keluarga suami. Mereka banyak mengeluhkan ketiadaan tahlil, bahkan ada yang mengumpat pada kehancuran usahaku. Aku hanya mendengar saja tanpa ingin berkomentar apapun jua. Yahya pun tidak memedulikan semua ucapan saudaranya sendiri. Dia hanya bungkam sejak pemakaman putrinya itu. Bila kuajak bicara hanya menjawab sepatah dua patah kata itupun tanpa menatapku. "Arini, aku akan mengurus paspor. Ada dakwah ke negara tetangga," ungkap Yahya sambil menatapku."Berapa lama?" tanyaku. "Bisa dua bulan, karena jarak dan lokasi yang begitu pedalaman," jawab Yahya.Aku diam, memikirkan waktu yang cukup lama ditinggal oleh suamiku. Biasanya jika dia sedang menyebarkan agama penjualanku meningkat drastis dari hari biasa. Namun, sepi sering melandaku kala malam hari. Dilema aku