Aku harus iklas meski dia bukan darah dagingku tetapi gadis itu sudah mampu menggetarkan nadi hingga ke jantung. Entah mengapa sosok perempuan muda itu membuat semangatku kembali meletup. Kulihat lagi wajah lelakiku, dia begitu tertekan. Aku hanya diam menyiapkan semua keperluan untuk pemakaman Halimah. Pertama aku panggil mantri Pak Ahmad untuk memastikan kematian Halimah. Sesaat Pak Ahmad memeriksa semua keadaan tubuh Halimah."Bagaimana, Pak Ahmad?" tanyaku."Halimah sudah meninggal, Bu Arini. Ini sedang saya buatkan surat keterangan bahwa Halimah benar sudah berpulang ke rahmatullah. Yang sabar ya, Bu!" kata Pak Ahmad.Aku hanya mengangguk dan menerima selembar kertas berisi keterangan kematian putri tiriku. Yahya masih duduk terpekur dengan bibir yang masih mengucapkan ayat-ayat Al Quran. Surah yasin dan ayat kursi pun dia lantunkan untuk Halimah. "Bagaimana dengan Abdul dan Ridwan, Bi?" tanyaku pada Yahya.Lelaki itu masih diam, entah apa yang dia pikirkan aku pun tidak tahu.
Semua proses memandikan jenasah akhirnya selesai, semua pelayat ikut mengantar jenasah Halimah. Hanya aku yang tidak ikut mengantar, sedangkan Zahra merengek ingin ikut. Dengan segala pertimbangan dan sedikit perdebatan, putri kecilku pun ikut serta."Zahra nanti di sana jangan resek lho!" pesanku. "Siap, Umi!" balas Zahra.Setelah semua siap, kereta jenasah mulai dipanggul oleh empat orang dewasa. Aku menatap kepergian kereta tersebut. Keadaan kembali sepi, aku segera membersihkan semua barang perlengkapan memandikan jenasah.Semua larut dalam kesedihan, aku masih bungkam tanpa banyak kata. Para sodara ipar pun juga datang. Mereka saling berbisik menyalahkan aku. Ada yang mengatakan jika aku tidak becus merawat anak tiri hingga gadis itu menemui ajalnya. Aku hanya diam, cukup mendengar saja."Arini, bukankah usaha ayam bakar si Yahya sudah mulai dikenal masyarakat. Mengapa Halimah sampai tidak tertolong? Dimana empatimu?" ucap kakak iparku."Maaf, Mbak. Semua sudah digariskan. Halim
Hari terus berlalu dan benar apa yang aku inginkan tersampaikan. Kuucapkan syukur pada Tuhan, tahlilan untuk kematian Halimah tidak dilakukan oleh Yahya, suamiku. Selama tujuh hari rumahku selalu didatangi saudara dari keluarga suami. Mereka banyak mengeluhkan ketiadaan tahlil, bahkan ada yang mengumpat pada kehancuran usahaku. Aku hanya mendengar saja tanpa ingin berkomentar apapun jua. Yahya pun tidak memedulikan semua ucapan saudaranya sendiri. Dia hanya bungkam sejak pemakaman putrinya itu. Bila kuajak bicara hanya menjawab sepatah dua patah kata itupun tanpa menatapku. "Arini, aku akan mengurus paspor. Ada dakwah ke negara tetangga," ungkap Yahya sambil menatapku."Berapa lama?" tanyaku. "Bisa dua bulan, karena jarak dan lokasi yang begitu pedalaman," jawab Yahya.Aku diam, memikirkan waktu yang cukup lama ditinggal oleh suamiku. Biasanya jika dia sedang menyebarkan agama penjualanku meningkat drastis dari hari biasa. Namun, sepi sering melandaku kala malam hari. Dilema aku
Pagi datang kembali setelah malam panjang yang aku lalui penuh dengan peluh bersama suamiku. Entah hingga berapa kali aku pun tidak menghitungnya. Namun, yang pasti semua itu aku niatkan untuk ibadah. Berulang kali dia menggempurku hingga pagi menjelang. Namun, rasaku seakan sudah mati.Dituntaskan semua rasanya padaku tanpa memedulikan rasaku. Sungguh pria yang egois. Aku hanya mendesah lirih, mengeluhpun rasanya tidak ada arti. Semua hanya untuk kenikmatan sesaat dia dan itu bukan aku. Adan subuh berkumandang, segera aku bangun untuk melakukan mandi junub.Mandi wajib setelah sebuah penyatuan suami istri itu aku lakukan hampir 30 menit. Entah mengapa hatiku begitu resah, mungkin karena sebuah rasa yang tidak tuntas hingga membuatku ingin berlama-lama tersiram air dingin. Disela aku mengguyur tubuhmu, samar kudengar adanya ketukan pada pintu kamar mandi."Umi, buka pintunya! Aku inginkan kamu lagi," kata Yahya di dekat pintu.Aku yang mendengar pura-pura tidak dengar. Rasaku hilang e
Pagi hari saat semua sudah siap, Yahya terlihat berpakaian rapi. Aku pun terpana dengan tampilannya. Jujur hatiku berdebar, wajahnya terlihat segar dengan senyum yang selalu membuat hatiku berdebar lebih kencang. Terkadang rasa cemburuku hadir, maklumlah meski perbuatannya padaku begitu jahatnya dia tetap lelaki pertama yang menyentuhku hingga dalam.Aku belum bisa mengikis rasaku pada lelakiku, pesonanya sejak menikah denganku makin bersinar. Dulu awal dikhitbah Yahya terlihay dekil, tetapi setelah menikah denganku perlahan ketampanannya meningkat. Apalagi semua barang yang dipakainya kurawat dengan penuh keiklasan. "Jangan pandangi abi seperti itu, Umi! Nanti akan menyurutkan aku untuk berdakwah," ungkap Yahya dengan senyumnya.Aku menunduk malu, yang pasti kedua pipiku akan muncul semburat merah. Untuk itu lah aku sembunyikan wajahku. Yahya melangkah mendekat dan makin dekat. Jantungku kembali berdetak tidak beraturan."Jangan sembunyikan wajah ini, kau terlalu indah untuk sembuny
Aku hanya diam tanpa menjawab apa yang ditanyakan oleh Yahya, suamiku. Pria itu menatapku penuh harap, dia seakan menunggu jawaban dariku."Bagaimana Umi?" tanya Yahya sambil menatapku penuh harap."Aku tidak ingin apapun, hanya berharap semoga kamu segera pulang dalam keadaan sehat tak kurang suatu apapun," balasku.Kulihat wajah kecewa tersirat jelas, meskipun Yahya berusaha untuk tersenyum. Abdul yang mengerti akan rasaku hanya menunduk untuk menyembunyikan senyum masamnya. Sedangkan Zahra menggeliatkan tubuhnya meminta turun dari gendongan abinya. Aku hanya menatap sendu interaksi ayah dan anak tersebut. Semua juga karena ulah abahnya sendiri hingga para anak-anak jarang sekali mendukung kegiatan abahnya. Semua pakaian yang dibutuhkan oleh suamiku sudah aku packing beserta dengan perlengkapan mandi."Semua sudah masuk ke koper 'kan, Umi? Paspor dan surat penting biar aku bawa dalam tas kecilku," kata Yahya.Aku hanya menganggukkan kepala, lalu kubawa koper tersebut dan kuletakkan
Waktu terus berjalan, akhirnya mentari pun mulai menampakan sinarnya. Aku bangun saat adan berkumandang. Segera kubangunkan suamiku agar dia bisa menunaikan ibadah salat subuh. Setelah kewajibanku selesai aku pun melangkah untuk memulai hari menyambut dan menjemput rezeki. "Assalamualaikum dunia," ucapku dengan nada pelan.Kubuka pintu warung, aroma ayam ungkep seketika menyapa indera penciumanku. Aku pun mulai membersihkan semua barang yang akan digunakan untuk membakar. Dengan telaten aku pun mulai membakar ayam buat pesanan jam tujuh pagi. Suamiku pun ikut membantu menyiapkan ayam bakar, tidak biasanya dia ikut turun tangan. Biasanya dia hanya diam di dalam dengan bermain game di gawainya. Aku hanya diam tetap bekerja tanpa mengeluarkan suara. Tiba-tiba aku mendengar dia berucap lirih."Pesanan ayam ini dipotong atau utuh, Umi?" tanya Yahya padaku."Lihat saja di papan tulis itu, Bi. Kemarin aku catat di sana!" jawabku sambil membungkusi lalapan.Kelirik sekilas, rupanya dia pun
Aku hanya tersenyum dibalik cadarku, keadaan seperti ini bagiku sudah biasa. Tetapi bagi suamiku mungkin suatu hal yang merugikan. Dia mengeluarkan uang untuk menggaji seorang karyawan agar memudahkan pekerjaan tetapi pekerja itu seenaknya dalam bekerja."Sudahlah, jika abi tidak ada waktu untuk membantuku silahkan bersiap untuk berangkat berdakwah. Umi sudah biasa mengerjakan sendiri. Dan lagi si Topan sudah ijin untuk libur karena mengurus sim, dia ...," balasku tetapi belum selesai aku menjelaskan semua pada suamiku itu, dia langsung memotong kalimatku."Mengurus sim itu perkara gampang, Umi. Tidak perlu juga dia libur seperti ini! Jika begini kita kan yang rugi," dengus Yahya."Sudahlah, lebih baik Abi bersiap. Jika di sini sambil menggerutu seperti itu bisa menambah suasana panas dan aura negatif," ucapku dengan nada rendah.Yahya pun kulihat mengikuti saranku. Dia pun beranjak dan melangkah meninggalkan perapian tempat bakar ayam. Setelah kepergiannya kuhempas napas kasarku beru