Aku hanya diam tanpa menjawab apa yang ditanyakan oleh Yahya, suamiku. Pria itu menatapku penuh harap, dia seakan menunggu jawaban dariku."Bagaimana Umi?" tanya Yahya sambil menatapku penuh harap."Aku tidak ingin apapun, hanya berharap semoga kamu segera pulang dalam keadaan sehat tak kurang suatu apapun," balasku.Kulihat wajah kecewa tersirat jelas, meskipun Yahya berusaha untuk tersenyum. Abdul yang mengerti akan rasaku hanya menunduk untuk menyembunyikan senyum masamnya. Sedangkan Zahra menggeliatkan tubuhnya meminta turun dari gendongan abinya. Aku hanya menatap sendu interaksi ayah dan anak tersebut. Semua juga karena ulah abahnya sendiri hingga para anak-anak jarang sekali mendukung kegiatan abahnya. Semua pakaian yang dibutuhkan oleh suamiku sudah aku packing beserta dengan perlengkapan mandi."Semua sudah masuk ke koper 'kan, Umi? Paspor dan surat penting biar aku bawa dalam tas kecilku," kata Yahya.Aku hanya menganggukkan kepala, lalu kubawa koper tersebut dan kuletakkan
Waktu terus berjalan, akhirnya mentari pun mulai menampakan sinarnya. Aku bangun saat adan berkumandang. Segera kubangunkan suamiku agar dia bisa menunaikan ibadah salat subuh. Setelah kewajibanku selesai aku pun melangkah untuk memulai hari menyambut dan menjemput rezeki. "Assalamualaikum dunia," ucapku dengan nada pelan.Kubuka pintu warung, aroma ayam ungkep seketika menyapa indera penciumanku. Aku pun mulai membersihkan semua barang yang akan digunakan untuk membakar. Dengan telaten aku pun mulai membakar ayam buat pesanan jam tujuh pagi. Suamiku pun ikut membantu menyiapkan ayam bakar, tidak biasanya dia ikut turun tangan. Biasanya dia hanya diam di dalam dengan bermain game di gawainya. Aku hanya diam tetap bekerja tanpa mengeluarkan suara. Tiba-tiba aku mendengar dia berucap lirih."Pesanan ayam ini dipotong atau utuh, Umi?" tanya Yahya padaku."Lihat saja di papan tulis itu, Bi. Kemarin aku catat di sana!" jawabku sambil membungkusi lalapan.Kelirik sekilas, rupanya dia pun
Aku hanya tersenyum dibalik cadarku, keadaan seperti ini bagiku sudah biasa. Tetapi bagi suamiku mungkin suatu hal yang merugikan. Dia mengeluarkan uang untuk menggaji seorang karyawan agar memudahkan pekerjaan tetapi pekerja itu seenaknya dalam bekerja."Sudahlah, jika abi tidak ada waktu untuk membantuku silahkan bersiap untuk berangkat berdakwah. Umi sudah biasa mengerjakan sendiri. Dan lagi si Topan sudah ijin untuk libur karena mengurus sim, dia ...," balasku tetapi belum selesai aku menjelaskan semua pada suamiku itu, dia langsung memotong kalimatku."Mengurus sim itu perkara gampang, Umi. Tidak perlu juga dia libur seperti ini! Jika begini kita kan yang rugi," dengus Yahya."Sudahlah, lebih baik Abi bersiap. Jika di sini sambil menggerutu seperti itu bisa menambah suasana panas dan aura negatif," ucapku dengan nada rendah.Yahya pun kulihat mengikuti saranku. Dia pun beranjak dan melangkah meninggalkan perapian tempat bakar ayam. Setelah kepergiannya kuhempas napas kasarku beru
Waktu terus berlalu, sebulan sudah aku sendiri di rumah tanpa adanya suami. Selama itu pula tidak ada kabar tentang dia baik secara langsung maupun tidak. Entah keadaannya seperti apa aku tidak tahu, yang pasti lamanya hari sudah terhitung sebanyak 31 hari. Waktu yang cukup lama bagiku, kini aku terdiam melamun duduk pada badukan tembok yang sengaja dibuat untuk duduk santai agar pembeli tidak berdiri. Seperti pagi ini, badanku terasa sangat berat untuk bangun. Ingin rasanya aku tidur lebih lama. Namun bayangan para pembeli yang kecewa saat mengetahui bahwa ayam bakarku habis. Dengan alasan itu, akupun segera bangkit dari tidurku. Kuambil air wudlu dan segera kupanjatkan semua doa yang mendesak dihati. Setelah kewajubanku selesai, aku pun segera membuka jendela dan pintu."Assalamualaikum, Sayang!" sapaku pada Zahra yang terlihat mulai menggeliat.Senyum manis terkembang, aku pun membalas senyumnya. Zahra segera bangun dari tempat tidurnya, kemudian tangannya menarik tanganku ke kam
"Umi!" panggil Abdul lagi. Aku menghela napas panjang, kemudian aku berdiri dan membuka almari khusus untuk menyimpan hasil laba penjualan setiap hari ini. Dalam hati kuucapkan maaf pada suami dan Robbku. Sebenarnya almari ini hanya suamiku yang berhak membuka dan dia selalu berpesan jika aku tidak boleh membuka isi dari almari itu.Namun, keadaan ini begitu mendesak untuk keperluan sekolah Abdul. Apakah keputusan ini sudah benar, muncul lagi beberapa pertanyaan yang membuatku bimbang. Biasanya semua keuangan hanya dia yang mengatur bahkan untuk uang sekolah dari tangannya."Umi, ini sudah siang. Jika tidak ada titipan dari abi untuk bayar infak lebih baik tidak usah. Biar aku tunggu abi pulang saja!" pinta Abdul dengan suara agak lantang agar aku bisa mendengar.Aku pun keluar, tidak jadi mengambil uang tersebut. Meskipun aku memiliki tabungan sendiri, aku tidak mau memberikan uang itu. Bukan karena dia anak tiri, tetapi semua kebutuhan sekolah dan anak-anak sudah menjadi kewajibann
"Bu, Bu!" panggil Topan.Aku seketika terhenyak dari lamunan dan menatap Topan penuh tanya. Sungguh aku tidak mengerti apa yang terjadi denganku sehingga tidak sadar jika pembeli itu tidak memberi harga ayam tadi. "Bagaimana sih Ibu lupa jika pembeli itu belum membayar harga ayamnya?" tanya Topan padaku."Entah, Pan," jawabku. Aku lalu duduk kembali ke tempatku semula untuk membungkus lalapan, lalu kupotong kubis untuk lalapan dan mulai membungkus. Setelah membungkus lalapan akupun berganti membungkus sambal. Semua sudah siap dan aku segera beranjak dari dudukku, berdiri sejenak memindai semua sudut ruangan itu.Pandanganku melihat seakan mengabsen apa yang mungkin kurang atau belum benar cara peletakannya. Namun, semua terlihat rapi. Meskipun pegawaiku seorang pria muda, dia sangat cekatan dan suka kebersihan. Hal ini terbukti pada kondisi warungku."Mas, beli ayam bakar!" pesan seorang pembeli."Iya, Bu. Buat kapan?" tanya Topan ramah."Sekarang, Mas. Harganya berapa?" tanya pemb
Dua bulan sudah suamiku berdakwah di negeri lain, semalam dia mengirim pesan bahwa malam itu dia mulai melakukan perjalanan pulang. Hatiku berdebar membayangkan wajahnya yang kuning. Belum lagi senyumnya yang sudah memenjarakan hati dan jiwaku untuk terus berjuang bersamanya di jalan islam.Zahra sangat antusias kala aku beri tahu bahwa abahnya akan sampai hari ini. Tetapi berbeda dengan Abdul, dia hanya biasa saja menanggapi kabar kepulangan abahnya. Sungguh sangat berbeda watak keduanya."Umi, jam berapa abah nanti sampai rumah?" tanya Zahra disela makannya."Iih, jangan bicara Adik, lanjutkan makan kamu dalam diam!" ucap Abdul dengan nada sedikit tegas.Kulihat Zahra langsung menunduk, lalu tangan mungilnya mulai menyendok nasi dan memasukkan dalam mulut. Putri kecilku melirikku, bibirnya mengerucut. Aku tersenyum dan mengangguk agar dia menuruti apa yang dikatakan oleh kakaknya itu."Aku sudah selesai, Umi. Pamit undur diri, aku ada pertandingan bole dengan kawan di lapangan kelur
"Assalamualaikum, Umi!" sapa Yahya saat berbalik menghadap padaku.Aku menatap tidak percaya dengan penampilan suamiku, dia begitu terlihat lebih bercahaya. Sinar matanya mampu membuatku terdiam membisu. Begitu juga dengan Zahra. Putriku itu masih termangu akan wajah abahnya."Abah!" panggil Zahra ragu.Zahra menatap padaku penuh tanya, aku pun menganggukkan kepala tanda membenarkan apa yang ada di pikirannya. Kemudian gadis kecilku tersenyum dan mulai melangkah mendekati abahnya. Kedua lengan Yahya terentang menyambut kedatangan putri kami."Assalamualaikum, Zahra Cantik!" ucap Yahya lembut. "Abah, apa kabar?" tanya Zahra."Alhamdulillah, sehat," jawab Yahya.Zahra pun mengalungkan kedua tangannya pada leher abahnya, gadis kecilku terlihat begitu bahagia. Senyumnya masih terbit dibibir tipis mungil miliknya. Hal itu membuatku ikut tersenyum melihat sinar bahagia.Abdul pun tidak mau kalah dengan adik tirinya. Kulihat dia berjalan mendekat pada Yahya untuk mencium punggung tangan san