"Assalamualaikum, Umi!" sapa Yahya saat berbalik menghadap padaku.Aku menatap tidak percaya dengan penampilan suamiku, dia begitu terlihat lebih bercahaya. Sinar matanya mampu membuatku terdiam membisu. Begitu juga dengan Zahra. Putriku itu masih termangu akan wajah abahnya."Abah!" panggil Zahra ragu.Zahra menatap padaku penuh tanya, aku pun menganggukkan kepala tanda membenarkan apa yang ada di pikirannya. Kemudian gadis kecilku tersenyum dan mulai melangkah mendekati abahnya. Kedua lengan Yahya terentang menyambut kedatangan putri kami."Assalamualaikum, Zahra Cantik!" ucap Yahya lembut. "Abah, apa kabar?" tanya Zahra."Alhamdulillah, sehat," jawab Yahya.Zahra pun mengalungkan kedua tangannya pada leher abahnya, gadis kecilku terlihat begitu bahagia. Senyumnya masih terbit dibibir tipis mungil miliknya. Hal itu membuatku ikut tersenyum melihat sinar bahagia.Abdul pun tidak mau kalah dengan adik tirinya. Kulihat dia berjalan mendekat pada Yahya untuk mencium punggung tangan san
Setelah membersihkan diri, aku pun keluar dari kamar. Kulihat kedua anakku sedang asyik mewarna. Abdul begitu telaten membelajari Zahra cara menulis dan membaca. Bahkan terkadang Abdul sangat telaten dalam memberi contoh adiknya. Makanya jika aku pisah keduanya seakan aku tidak tega, tetapi itu akhirnya harus terjadi apalagi saat ini Abduk kelas empat. Dua tahun lagi aku harus memasukkan dua anak ke sekolah. Abdul dikirim abahnya ke pondok sedangkan Zahra harus masuk play group. Dalam hati, aku berkata harus lebih giat bekerja dan berdzikir. Lebih mendekatkan diri pada Robbku. "Umi, lihat gambaran Zahra!" pinta Zahra sambil menyodorkan kertas gambar padaku.Aku menerima kertas itu dan melihatnya dengan seksama. Sebuah gambar rumah bercat biru laut dengan ayunan kecil di teras rumah. Abdul menatapku lalu menganggukkan kepalanya. "Bagus ya, Umi?" tanya Abdul."Benar, bagus sekali!" kataku.Zahra terlihat begitu bahagia, dia memeluk kakiku erat dengan kepala mendongak ke atas menatapk
Hari terus berganti, waktu terus berjalan sesuai kehendakNya. Aku pun masih terus berkutat di dapur ayam bakar setiap hari. Dan kehidupan keluargaku semakin meningkat. Ridwan dan Abdul sudah masuk ke pondok, sedangkan Zahra sudah duduk di bangku SD kelas satu. Hampir selama tiga tahun kehidupan rumah tanggaku terada adem ayem. Hingga suatu hari, suamiku ingin berbincang serius denganku."Duduk sini sebentar, Umi!" pinta suamiku."Tapi ini sudah malam, Abi. Apakah tidak besok pagi saja, rasanya tubuhku sudah sangat lelah?!" jawabku."Ini juga penting untuk kelangsungan keturunanku dan masa depan kita," kekeh Yahya dengan tatapan penuh harap.Aku mendesah lirih, menguarkan rasa sesakku. Tidak sedikitpun pandangan priaku beralih padaku. Hanya benda pipih yang dia tatap. Bahkan terkadang senyumnya terukir di bibir tipis itu. Aku hanya menelan ludah, pikiranku melayang pada masa yang sama saat dia terlena akan sentuhan wanita lain. Mungkinkah masa itu akan menyapaku kembali? Sungguh suasa
Bagai disambar petir, hati dan jiwaku seketika nelangsa. Malam ini aku begitu terpuruk, suami sendiri meminta ijin untuk poligami. Sakit teramat sakit, bagai jatuh dari lantai 13. Hancur, remuk dan sesak. Berulang aku ambil napas panjang, hal ini aku lakukan untuk melonggarkan sesaknya dada. Lama, lama aku terdiam akan kalimat suamiku dengan kata poligami. Sempat terpikir olehku untuk menolak, tetapi kuulang lagi kalimat suamiku. Kata janda kembali terdengar. Dengan berat akupun menggelengkan kepala."Mengapa harus poligami, Abi? Tidakkah kamu berbagi hanya menyantuni anak yatim itu?" kataku."Rasanya tidak puas dan nikmat jika hanya menyantuni, Umi. Aku tidak bisa bebas memberi mereka segalanya termasuk ajaran agamaku," kata suamiku membela dirinya.Aku terdiam, bibirku bungkam tetapi otakku berpikir akan kalimat suamiku itu. Masih terbayang saat dia memeluk gadis itu, istri sirinya waktu lalu. Sakit yang dulu sempat kurasa kini hadir kembali, akankah rasa itu sama seperti waktu itu
Apa yang aku rasakan ternyata belum bisa hilang sepenuhnya. Yahya masih kekeh ingin berpoligami selayaknya tutunan Rosulullah, bahwa harta yang berlebih bisa kita gunakan untuk menyantuni anak yatim. Dan jalan yang dipilih suamiku adalah poligami. Saat ini poligami sedang santer dikalangan pada alim ulama yang bergelar Syeh. Tidak urung suamiku ikut terbawa arus berpoligami. Apalagi usaha ayam bakarku sudah terlihat lebih maju dan memadai. Tetapi dia lupa, siapa yang berjasa dibalik kesuksesan yang diperolehnya Sesuai syariat islam, dibalik kesuksesan seorang pria ada dua seorang ibu, istri dan anak-anak sholeh. Salah satu dari doa itulah yang membawa kebaikan. Dengan sombongnya dia bersuara di antara para sanak saudara dan handai taulan, bahwa semua usaha itu tidak bisa lepas dari usahanya yang setiap hari selalu bangun pagi dan berdzikir.Aku hanya diam kala mendengar para tetangga yang memuji kepiawaian dia dalam mengelola bisnis ayam bakar. Hanya beberapa yang paham akan kinerj
"Bapak marah ya, Bu?" tanya Topan polos padaku.Aku hanya mengedikkan bahu tanda tidak tahu. Lalu kulihat Topan segera memotong ayam yang sudah dibakar dan memberikan pada pembeli yang sudah menunggu sejak tadi. Setelahnya pemuda itu kembali ke dapur untuk membalik ayam yang dia rebus dalam panci. Sedangkan aku masih duduk membungkusi lalapan dan sambal. Aku sangat bersyukur akan nikmat dam berkah yang dilimpahkan padaku. Bisnis ayam bakar ini sangat membantu perekonomian keluargaku. Pada awalnya aku kurang percaya diri, tetapi berkat keuletan ponakanku itu sekarang bisnis ini cukup menjanjikan.Waktu teris berlalu tanpa terasa malam pun tiba. Hatiku mulai berdebar menunggu pagi. Apa yang terjadi dalam kisah hidupku yang memilki seorang madu yang jelas dan nyata mengucapkan ijab qobul di depan mataku. Sanggupkah aku melihat semua? Tentu sebagian wanita mungkin juga semua wanita pasti akan menjawab aku tidak sanggup, lebih baik ceraikan aku.Namun, semua hal itu tidak berlaku padaku.
"Sah!" Semua yang hadir mengatakan satu kata yang membuat pernikahan mereka berdua menjadi sah secara hukum agama. Aku memeluk putriku yang ada dalam pangkuan, Zahra mendongak menatapku penuh tanya. Aku hanya mengusap ujung kepala si gadis kecilku."Umi, apakah ini ibu tiriku?" lirih Zahra.Aku mendengar apa yang ditanyakan oleh Zahra hanya mengangguk. Bibir Zahra langsung cemberut. Dia semakin menelusupkan kepalanya di dalam pelukan.Akhirnya selesai dalam waktu yang cepat tidak sampai satu jam proses pernikahan itu selesai. Aku menatap sekilas wanita yang menjadi maduku itu. Wanita yang masih muda, usianya pun masih berkisar 30 tahunan. Bila dilihat dari penampilannya wanita itu belum terbiasa memakai hijab dan gamis syar'i."Umi, ini kenalkan Sulastri dan Lastri ini istri pertamaku!" kata Yahya.Aku hanya menatap diam tanpa bersuara. Sulastri mengulurkan tangannya, dia ingin menjabat tanganku. Aku masih terdiam, lalu si Yahya menyikut lenganku agar aku segera menerima uluran tanga
Aku terdiam mencerna apa yang dia katakan, kupindai kamarku mencari barang yang dia katakan. Lalu terhenti pada seonggok tas plastik berwarna merah. Aku oun berjalan mendekat. Timbul pertanyaan dalam otakku, sejak kapan tas kresek itu ada. "Umi, kau masih di sana?" terdengar tanya suamiku.Kuhirup napas panjang, sungguh tidak pernah terpikir olehku jika akan seperti ini jadinya rumah tanggaku. Aku yang setiap hari bekerja memajukan dan melayani setiap pembeli dan dibantu oleh karyawan, belum pernah dibelikan gamis oleh suamiku sendiri. Namun, perempuan ini? Sungguh sakit rasanya."Umi!" panggil Yahya lebih menekan lagi katanya.Aku masih terdiam membuka ikatan pada tas tersebut. Mungkin Yahya yang ada di seberang mendengar bunyi kresek di buka. Kudengar napas lega, tetapi berbeda dengan hatiku. Nyeri dan perih begitu terasa, sesakit inikah bila kita dimadu secara terang-terangan? "Umi!" panggil Yahya untuk ketiga kalinya.Akhirnya aku pun mendesah, melepaskan segala rasa yang menghi
Aku pun memanggil Zahra dan Abdul setelah menurunkan semua barang bawaan Adam. Kedua anakku pun segera keluar dari rumah."Umi ingin membesuk abah kalian, siapa yang akan ikut dan tinggal di rumah?" tanyaku."Aku ikut saja, Umi. Biar Halimah di rumah bersama Arkan, kau bagaimana Abdul?" kata Adam."Aku ikut, mungkin Zahra saja yang tetap tinggal di rumah menemani Kak Halimah. Iya 'kan Zahra?" tanya Abdul yang memandangku lalu berganti pada Zahra.Putriku itu mengangguk tetapi mukanya cemberut, ada sebersit rasa kecewa. Namun, aku mencoba memberinya pengertian. Agar dia mau tinggal di rumah, akhirnya gadis kecilku pun setuju.Setelah kata sepakat tercapai, kami bertiga segera masuk ke dalam mobil. Sopir pun melajukan kendaraannya menuju ke Rumah Sakit Bayangkara. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di rumah sakit itu. Keadaan jalanan yang sepi bagai kita mati membuat lalu lintas Surabaya begitu lengang.Kuinjakkan kakiku dengan napas berat, kuatur ulang pola napasku dan hatiku. Mampuka
Aku terdiam cukup lama, mencari jalan keluar untuk masalah ini. Akhirnya kucoba hubungi Adam untuk menyelesaikan masalah ini. Mengingat ini berita sangat penting akhirnya kupaksakan hatiku. Panggilang terhubung tetapi belum diangkat. Hingga panggilan yang kedua barulah diangkat, kudengar suara wanita yang lembut."Assalamualaikum, Umi! Ada apa dini hati seperti ini hubungi mas Adam?" kata Halimah."Waalaikumsalam, Halimah. Ini abah baru saja mengalami kecelakaan bersama istri sirinya, saat ini sudah ditangani oleh polisi dan masuk ke RS. Polda. Sedangkan pesanan ayam bakar untuk esok setelah salat idul fitri ada 150 ayam, tolong Umi!" paparku tanpa ku tutupi.Hening, aku masih menunggu reaksi lanjutan dari seberang. Aku masih diam, tetapi kudengar langkah mendekat dan duduk di sampingku."Biar Abdul yang lihat kondisi abah, Umi. Berhubung ini sudah menjelang dini hari, sebaiknya Umi pejamkan mata agar esok terasa sedikit segar!" pinta Abdul."Benar apa yang dikatakan oleh Abdul, Umi.
Aku pun hanya tersenyum di balik cadar untuk melepas kepergian suamiku. Sebenarnya sudah hal biasa dia pergi tinggalkan aku sendiri dalam memberesi semua pekerjaan, tetapi malam ini ada yang berbeda. Sebuah rasa was was menelusup di relung hati, Abdul pun yang juga ada di dekatku hanya berdiri mematung menatap kepergian abahnya."Apakah ini tidak apa, Umi?" tanya Abdul."Semoga saja tidak, Abdul. Kita bereskan ini lebih dulu, lalu segera istirahat agar esok menjelang subuh bisa bakar ayam dalam keadaan fit!" kataku sambil mulai memberesi barang.Abdul pun segera melakukan apa yang aku perintahkan dengan rapi. Semua lantai teras dibersihkan dan langsung dia pel. Hal ini kami lakukan dengan bekerja sama, bahkan kali ini Zahra juga ikut turun. Putriku itu membantu membereskan semua wadah baskom yang sudah aku cuci. Cukup lama waktu yang kami gunakan untuk membersihkan teras, hingga pukul delapan malam semua baru selesai. Aku menutup warung lebih dulu tetapi masih berada di dalam. Kulih
Sesaat Bulan pun sampai dari belanjanya, kemudian kutatap manik mata wanita itu. Bulan menjadi salah tingkah, dia merasa bingung mengartikan tatapanku padanya. Lalu wanita muda itu mengalihkan pandangannya ke Sambuel sambil mengangkat dagunya. Samuel kulihat menggedikkan bahu."Apa yang sedang kalian sembunyikan?" tanyaku sambil menatap keduanya bergantian.Bulan menggelengkan kepala tanda dia tidak mengerti apa yang aku tanyakan, sedangkan Samuel hanya senyum simpul membuatku semakin geram dan penasaran. "Bisa kau jelaskan alasan kamu masuk pagi, Sam?" tanyaku lebih detail lagi.Samuel menarik napas panjang, lalu dihempas perlahan. Setelahnya dia menatap sepeda motor pengantar ayam gembung. Pak Roni sendiri yang antar ayam gembung itu. Ini kesempatanku untuk bertanya berapa suamiku mengorder ayam hari ini."Bu Arini ini ayamnya masih separo ya, sisanya nanti sekitar jam sepuluhan!" kata Roni."Sebentar to, Pak. Memangnya suamiku pesan berapa?" tanyaku."100 ekor ayam, untuk tiga har
"Apakah Umi sudah lupa? Atau kasih ijin dalam diam?" cerca Yahya padaku.Jujur aku diam bukan karena lupa atau apapun itu, sungguh suamiku itu mahkluk adam yang tidak peka. Siapa dia meminta ijin wanita lain masuk ke dalam rumah pribadiku. Rumah warisan dari orang tuaku, sedangkan dia di sini numpang. Meskipun uang untuk ganti warisan para saudaraku yang lain merupakan hasil kerja ayam bakar tetapi itu tetap hal aku yang terbanyak.Aku hanya bisa mendesah kesal, tetapi untuk terucap rasanya enggan. Lebih baik diam saja daripada nanti lisanku mengeluarkan kata berbobot yang diijabah Allah malaah lebih parah. Seperti kara para orang tua dulu, jika istri atau ibu yang teraniaya mengucapkan kata balas dendam bisa langsung terjadi. Mengingat nasehat itu membuatku menjaga lisanku baik suara maupun batin. Aku tidak mau berucap yang bisa menjadi doa dan berakibat fatal. Apalagi ini menyangkut nasib anak-anak ke depan."Umi, kok diam. Jawab dong!" pinta Yahya dengan nada lembut."Tidak aku ja
Aku dan Zahra melangkah tanpa memedulikan panggilan suamiku. Zahra pun terlihat lebih memilih aku dari abahnya, dia kulihat langsung meraih ponselnya. Entah siapa yang akan dia hubungi, aku hanya menunggu duduk di sebelahnya. Bibir Zahra tersenyum kala panggilannya tersambung."Asslaamualaikum, Kak Abdul! Aku mau curhat ini, dengerin yaa!" sapa Zahra sekalian dia meminta pada kakaknya itu. Aku tersenyum.Lalu Zahra mulai menceritakan semua kejadian yang baru saja dialaminya di teras rumah tadi. Aku yang mendengar hanya geleng kepala, sungguh putriku itu meluapkan emosinya pada kakak tirinya. "Dia abah kamu lho, Kak. Mana ada seorang abah kok kek gitu, bawa anak dari wanita lain yang bahkan bukan darah dagingnya. Pokoknya aku tidak mau tahu, nanti Kak Abdul harus ikut merawat umiku. Enak saja!" Begitu keluh Zahra pada kakaknya, "Dan tanggung jawab padaku juga lho, janji!" lanjutnya memastikan apa yang diucapkan oleh Abdul.Aku hanya tersenyum saat Zahra menutup panggilannya itu. Lalu
Dua hari mereka ikut bekerja di warung ayam bakarku tanpa permisi ataupun mengenalkan identitas dirinya. Aku pun diam saja, selama dua hari ini aku bekerja dari dalam rumah. Baik Bulan ataupun Samuel kubebaskan memberi perintah kedua pemuda itu untuk membantu meringankan pekerjaan mereka.Terkadang pemuda yang lebih muda berani membantah bila disuruh oleh Bulan. Namun, Bulan lebih berkuasa dan pendai menekan mental pemuda itu. Berbeda dengan yang lebih tua, dia hanya diam tidak banyak bicara. Apapun yang diperintahkan oleh Bulan dilaksanakan begitu saja.Aku masih mengamati cara kerja mereka berdua, tiba-tiba ingatanku melayang pada kejadian beberapa bulan yang lalu saat suamiku mengeluarkan alaat masak juga beberapa kayu. "Ah, iya pemuda itu yang datang dengan mobil tepak dan membawa semua barang. Mungkinkah itu anak Salma? Lalu yang kecil itu, apakah dia yang baru saja operasi habis kecelakaan? Kok masih terlihat segar bugar," batinku sambil melihat sosok pemuda itu.Bulan terlihat
Aku masih diam saja mengikuti alur kisah hidupku. Setelah peristiwa Yahya membawa beberapa alat masak, sejak saat itu aku semakin dingin. Hingga berganti bulan pun tidak ada informasi yang keluar dari mulut suamiku itu. Aku biarkan saja sesuai alurnya.Namun, beberapa hari kemudian beberapa tabung elpiji dan kompor dia bawa pulang. Mungkin menyisakan satu kompor dan dua tabung elpiji, kerena dari enam kemarin hanya dibawa pulang empat biji."Puas kamu, Umi!" Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba suamiku berkata kasar. Aku sendiri juga tidak mengerti apa maksud dari kalimatnya itu. Puas untuk apa? Aku saja tidak pernah merasakan sesuatu yang nikmat. Aneh."Jadi istri pertama itu ya mbok sing sabar, kasih suport suami yang sedang berusaha membuka cabang. Nah ini, Umi malah menghina istri siri abi. Apa coba maksudnya?"Aku semakin tidak mengerti dengan ucapannya. Menghina? Apa coba? Bukti pun juga tidak jelas, bagaimana aku bisa menghina jika nomer ponselnya saja aku tidak simpan.
"Iya sudahlah langsung jemput saja, Mbak. Mumpung masih telat sepuluh menit," katq Bulan.Aku segera melajukan kendaraanku tampa melihat siapa yang datang. Sungguh konsentrasi sedikit ambyar gara-gara postingan tok tok tadi. Laju kendaraan sedikit kupercepat dari biasanya, aku khawatir jika putriku tinggal sendiri di sekolah.Sepuluh menit aku sampai di depan sekolah, kulihat masih ada beberapa siswa dan siswi yang belum dijemput. Kuedarkan pandanganku mencari sosok Zahra, rupanya dia sedang mengantri di penjual papeda. Aku pun bernapas lega, kuhampiri dia."Masih lama antrinya, Zahra?" tanyaku."Bentar lagi ... eeh Umi ternyata. Tunggu ya Zahra masih antri, ini tinggal nunggu Lhansa selesai bari dech Zahra," papar anakku.Kulempar senyum untuk putriku, dia membalas menyatukan ibu jari dan jari telunjuk membentuk simbol oke. Aku pun akhirnya menunggu Zahra saambil duduk di jok montor. Lima menit aku menunggu akhirnya selesai juga. Zahra pun siap di boncengan."Untung jemputnya telat,