"Bapak marah ya, Bu?" tanya Topan polos padaku.Aku hanya mengedikkan bahu tanda tidak tahu. Lalu kulihat Topan segera memotong ayam yang sudah dibakar dan memberikan pada pembeli yang sudah menunggu sejak tadi. Setelahnya pemuda itu kembali ke dapur untuk membalik ayam yang dia rebus dalam panci. Sedangkan aku masih duduk membungkusi lalapan dan sambal. Aku sangat bersyukur akan nikmat dam berkah yang dilimpahkan padaku. Bisnis ayam bakar ini sangat membantu perekonomian keluargaku. Pada awalnya aku kurang percaya diri, tetapi berkat keuletan ponakanku itu sekarang bisnis ini cukup menjanjikan.Waktu teris berlalu tanpa terasa malam pun tiba. Hatiku mulai berdebar menunggu pagi. Apa yang terjadi dalam kisah hidupku yang memilki seorang madu yang jelas dan nyata mengucapkan ijab qobul di depan mataku. Sanggupkah aku melihat semua? Tentu sebagian wanita mungkin juga semua wanita pasti akan menjawab aku tidak sanggup, lebih baik ceraikan aku.Namun, semua hal itu tidak berlaku padaku.
"Sah!" Semua yang hadir mengatakan satu kata yang membuat pernikahan mereka berdua menjadi sah secara hukum agama. Aku memeluk putriku yang ada dalam pangkuan, Zahra mendongak menatapku penuh tanya. Aku hanya mengusap ujung kepala si gadis kecilku."Umi, apakah ini ibu tiriku?" lirih Zahra.Aku mendengar apa yang ditanyakan oleh Zahra hanya mengangguk. Bibir Zahra langsung cemberut. Dia semakin menelusupkan kepalanya di dalam pelukan.Akhirnya selesai dalam waktu yang cepat tidak sampai satu jam proses pernikahan itu selesai. Aku menatap sekilas wanita yang menjadi maduku itu. Wanita yang masih muda, usianya pun masih berkisar 30 tahunan. Bila dilihat dari penampilannya wanita itu belum terbiasa memakai hijab dan gamis syar'i."Umi, ini kenalkan Sulastri dan Lastri ini istri pertamaku!" kata Yahya.Aku hanya menatap diam tanpa bersuara. Sulastri mengulurkan tangannya, dia ingin menjabat tanganku. Aku masih terdiam, lalu si Yahya menyikut lenganku agar aku segera menerima uluran tanga
Aku terdiam mencerna apa yang dia katakan, kupindai kamarku mencari barang yang dia katakan. Lalu terhenti pada seonggok tas plastik berwarna merah. Aku oun berjalan mendekat. Timbul pertanyaan dalam otakku, sejak kapan tas kresek itu ada. "Umi, kau masih di sana?" terdengar tanya suamiku.Kuhirup napas panjang, sungguh tidak pernah terpikir olehku jika akan seperti ini jadinya rumah tanggaku. Aku yang setiap hari bekerja memajukan dan melayani setiap pembeli dan dibantu oleh karyawan, belum pernah dibelikan gamis oleh suamiku sendiri. Namun, perempuan ini? Sungguh sakit rasanya."Umi!" panggil Yahya lebih menekan lagi katanya.Aku masih terdiam membuka ikatan pada tas tersebut. Mungkin Yahya yang ada di seberang mendengar bunyi kresek di buka. Kudengar napas lega, tetapi berbeda dengan hatiku. Nyeri dan perih begitu terasa, sesakit inikah bila kita dimadu secara terang-terangan? "Umi!" panggil Yahya untuk ketiga kalinya.Akhirnya aku pun mendesah, melepaskan segala rasa yang menghi
Zahra masuk kamar lagi, tetapi dia kulihat masih melamun. Kuhampiri dia dan duduk di sebelahnya. Kuusap pelan lengannya sambil mencium ujung kepala."Jangan banyak melamun, Nak. Ingat sebaik-baiknya orang akan lebih baik kamu berserah diri pada sang khalik. Padanya lah kita harus bergantung," kataku dengan nada rendah."Zahra ingin jumpa abah, Umi. Apakah beliau malam ini pulang?" tanya Zahra sambil mendekap lenganku manja."Bukankah abah kamu pagi tadi menikah lagi, Nak. Mungkin malam ini dia akan tidur di rumah istrinya yang baru itu," jawabku.Zahra pun akhirnya merebahkan tubuhnya, aku mengusap pelan punggungnya. Lalu aku teringat akan permintaan suamiku mengenai ojek online. Belum aku beranjak dari dudukku, sudah kudengar sebuah notif adanya chat masuk. Gegas kubuka layar gawaiku dan benar memang ada chat masuk dari Yahya, suamiku.[Sampai kapan aku harus menunggu pakaianku di sini, Arini? Apa kau ingin membuatku menjamur?]Aku termangu membaca isi chat dari Yahya. Sungguh tidak
Malam semakin larut membawaku ke alam mimpi. Malam yang penuh dengan kesunyian hati membangunkan aku pada sepertiga malam yang terakhir. Segera kuambil wudlu dan melaksanakan ibadah salat malam. Kali ini dengan hati yang begitu rapuh kutengadahkan kepala dan tanganku hanya memohon pada Robbku."Ya Allah, ya Rahman, hanya Engkaulah penguasa alam dan seisinya. Aku berserah hanya padamu, mengadu juga padamu, jika ini takdirku maka iklaskanlah hati ini, sabarkanlah lidahku dalam berlisan. Hanya padaMu aku berserah diri." Lantunan doa yang menguras air mata aku panjatkan pada Robbku.Pada njunjunganku nabi besar Muhammad SAW. Padanya aku bersholawat untuk mendapatkan syafaat yang baik. Malam ini aku diam memutar ulang kisah hidupku. Timbul sebuah tanya apakah ini karma dari perbuatanku masa silam.Seperti kata pepatah jawa lama bahwa apa yang kamu tanam maka akan kamu panen suatu saat nanti. Mungkinkah saat lalu aku pernah melakukan hal keji hingga mendapat cobaan seperti ini? Kucoba ingat
Sinar mentari mulai menyengat kulit padahal jam masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Hari ini Topan Ijin tidak masuk kerja karena badanya terasa sakit. Aku yang sedari pagi sudah wara-wiri untuk melakukan proses perebusan merasa lelah. Untuk sesaat kuistirahatkan badanku dengan duduk di badukan, bangku yang terbuat dari semen menempel pada dinding."Zahra sekolah hari ini diantar siapa, Umi? Kak Topan tidak masukkah?" tanya Zahra sambil berjalan menuji ke warung, lalu dia duduk di sampingku sambil memakai sepatu."Sebentar ya, Sayang. Umi mau tanya abah kamu dulu," jawabku."Iih, abah mah apa mau antar aku sekolah!" decih Zahra.Aku tersenyum mendengar keluhan putriku. Namun, selang beberapa menit suamiku terlihat keluar dengan pakaian layak dan menstater montor buntutku. Dengan senyum dia pun mulai melajukan perlahan lalu berhenti di depan Zahra."Yuukk, biar abah yang antar!" ucap Yahya.Zahra pun menatapku seakan dia meminta ijin atas kepergiannya ke sekolah. Suamiku melihat Zahra s
"Umi, kok teriak seperti itu. Ada apa?" tanya Yahya dengan nada sedikit terkejut.Aku hanya tersenyum tipis. Lalu dengan pelan aku ungkap semua, suamiku ikut senang. Maka segera dia meraih gawai untuk memesan ayam gembungan. Aku mengernyitkan dahi."Jika pesan gembungan nanti siapa yang akan bedah, Abi?" tanyaku dengan nada ragu."Biar aku saja yang bedah itu ayam, Umi. Nanti aku kerjakan dua kali," jawab Yahya.Aku mendengus lirih dalam hati jika dia yang ngerjain pembedahan ayam nanti pasti malamnya akan mengeluh kecapaian. Hedeh! Sudah bisa aku bayangkan betapa lelahnya jiwa ragaku nanti pada hari itu. Aku berharap semoga si Topan masuk pada hari itu.Aku pun hanya menggelengkan kepala menolak dalam hati tidak ingin terucap agar tidak menyinggung hati suamiku. Setelah mendapat jawaban dari pemasok ayam, Yahya kembali masuk ke dalam rumah. Kulihat dia memegang gawainya untuk main game."Huft huu, sampai kapan hal seperti ini aku lalui. Kuatkan hatiku ya Robb!" lirihku sambil meneguk
Hari terus berjalan dan usaha ayam bakar kami mulai merangkak dan dikenal oleh sebagian warga sekitar bahkan sampai ke luar kecamatan. Aku sangat bahagia atas pencapaian ini. Sungguh sebuah kenikmatan yang tidak terhingga. Masih sama dengan hari biasanya, setiap sore setelah aku melakukan penghitungan untuk laba hasilnya selalu diminya oleh suamiku. Aku tidak diberi uang hasil penjualan sedikitpun. Uang yang aku pegang masih sama asalnya yaitu dari penjualan kaki dan uritan ayam. Masih untung bagiku bagian ayam yang itu tidak dia minta sekalian. Dengan begitu aku bisa memegang uang. Andaikata semua penjualan ayam dia ambil maka aku pasti gigit jari. Beberapa hari ini orderam ayam bakar terbilang sangat ramai, dalam satu minggu ini laba yang terkumpul cukup banyak. Suatu malam, Yahay datang mendekat padaku, lali duduk tepat di sampingku."Umi, kita beli sepeda montor, Yuuk!" ajaknya "Lalu yang ada itu bagaimana?" tanyaku."Biarkan saja, itu sudah rongsok. Abi ingin beli motor baru,"