Sore hari pun tiba, hati ini kembali berdebar. Tanganku sedikit bergetar saat menghitung jumlah uang dari hasil jualanku. Tepat jam 16.30 Topan pamit pulang karena jam kerjanya telah usai. Dan aku pun mulai menghitung keseluruhan uang yang masuk.Hari ini ayam terjual cukup banyak, 50 ekor. Jumlah yang tidak sedikit. Harusnya uang yang masuk sebanyak 5juta. Harga ayam mentah naik sehingga harga jualku pun juga aku naikkan. Hal ini sudah biasa menjelang hari raya islam. Setelah kuhitung beberapa kali akhirnya tetap sama, uang yang masuk ada 4,5 juta dengan menyisakan ayam sejumlah lima ayam. Aku kembali berpikir dan mengulang semua peristiwa, keperluan belanja harian untuk warung pasti di angka dua ratus ribu. Untuk biaya makan seratus ribu dan untuk rokok dia? Secara keseluruhan jumlah yang keluar ada 350k. Sisanya ini kemana? Rasanya kepalaku mau pecah. Akhirnya dengan keberanian yang tersisa aku pun masuk ke dalam untuk menyerahkan uang tersebut pada Yahya."Ini semua hasil penjua
Aku pun mulai beraktifitas pagi hari di warung ayam bakar. Semua harus siap sebelum Topan datang. Jam dinding menunjukkan pukul enam pagi, waktunya Zahra bersiap berangkat ke sekolah. Beberapa hari yang lalu sebelum rencana Yahya mencuat, dialah yang mengantar jemput Zahra. Kini setelah uang dan rencana itu pasti, si Yahya kembali ke rutinitasnya.Aku hanya mendesah lirih, seperti itukah? Disaat dia inginkan sesuatu geraknya ceoat dan cekatan ikut turun membantu kelancaran usaha ayam bakar. Namun, kala keinginannya sudah terpenuhi maka tenaganya kembali untuk keasyikan dia bermain game."Iya, sudahlah! Zahra, ayo berangkat sekolah. Umi tunggu di depan, Ya!" kataku memanggil Zahra.Kutunggu putriku berbenah dan mempersiapkan dirinya untuk berangkat ke sekolah. Zahra sudah aku didik menjadi anak yang mandiri dan tidak manja. Dan semua itu berhasil. Gadis itu tumbuh menjadi anak yang kuat dan mandiri."Zahra sudah siap, Umi!" teriak Zahra, "Abah, aku pamit berangkat sekolah dulu," lanjut
Laju kendaraan buntutku akhirnya sampai juga di sebuah dealer sepeda montor yang diinginkan oleh suamiku. Merknya masih diurutan kedua dari pasaran peminat sepeda montor di desaku. Sebenarnya mesinnya lumayan bandel dan harga terjangkau, tetapi jika dijual lagi harga akan turun. Itu sih apa yang aku dengar dari para pembeli di warungku."Abah, nanti Zahra yang pilih warnanya boleh?" tanya Zahra.Kulihat suamiku tidak memedulikan apa yang ditanyakan oleh putrinya. Pandangannya memindai deretan kendaraan roda dua yang masih bercahaya. Aku tersenyum masam kala kulihat wajah putriku yang sendu. Sungguh rasa sesak menghampiri dadaku lagi."Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya pelayan dealer."Saya butuh kendaraan keluaran terbaru dengan harga terjangkau tetapi lajunya lumayan, Mbak!" kata Yahya."Mari ikut saya, Pak!" ajak karyawan itu.Aku dan Zahra hanya mengikuti langkah karyawan itu. Sedangkan Yahya sudah lebih dulu berdiri pada sebuah kendaraan yang berwarna ungu muda. Telapak tangan
Aku pun segera memarkirkan kendaraanku, laku segera kuhampiri Topan untuk memastikan sebab apa dia kok belum pulang. Topan pun segera menyambutku dengan senyumnya dan dia menyodorkan laporan sore itu sangat detail. Bahkan uang jajan yang biasanya aku belikan untuknya dia tulis."Semua sudah aku bersihkan, Bu Arini. Bahkan ayamnya sudah aku panasi, sengaja aku pulang terlambat karena menunggu Ibu dan Bapak pulang sesuai pesan Pak Yahya," jawab Topan.Aku termangu mendengar apa yang dikatakan oleh Topan. Suamiku berpesan seperti itu? Apa maksudnya? Bukankah sudah waktunya dia pulang, mengapa harus ditahan hingga salah satu dari kami pulang.Akhirnya aku ijinkan Topan untuk pulang, kemudian aku pun menunggu warung hingga suami dan putriku pulang. Namun, hingga adan mahgrib tidak kulihat mereka pulang. Aku menjadi khawatir. Lama aku menunggu mereka pulang hingga waktu menjelang isya barulah kudengar deru montor memasuki halaman.Aku yang masih berada di warung segera keluar, kulihat wajah
Jika seorang manusia dioerbolehkan untuk berucap kata andai, mungkin aku akan selalu berandai-andai. Sayangnya menurut sebagian alim ulama kata andai tidak baik diucapkan oleh seorang muslim. Mengapa? Karena akan memperburuk keadaan dan seakan kita menyesali dengan apa yang sudah terjadi.Memang benar, jika pun kata andai itu berlaku padaku jelaslah sudah bahwa aku menyesali pernikahan ini. Mungki inilah jalanku, harus penuhi kebutuhan hidup tanpa campur tangan suami seutuhnya. Namun, aku tetap bersyukur meskipun suamiku berbuat seperti itu dia masih memiliki sisi yang baik dari sekian pelaku poligami.Jangan tanya sakitnya, semua wanita pasti kerasa sakit banget bila diduakan. Apalagi ini menggunakan alasan untuk menyantuni anak yatim. Bagaimana anak yatim jika mereka bercerai? Bila sekedar memberi santunnan mengapa tidak langsung memberi setiap bulan, selama ini aku hanya diam. Bukan berarti aku setuju, hanya mencoba menerima takdirku."Sudah selesai nyucinya, Umi?" tanya Yahya."Su
"Zahra ingin bermain dengan Mas Abdul, Abah. Apa tidak bisa bila aku bermain sekali waktu?" tanya Zahra pada abahnya.Aku hanya diam mendengarkan semua pembicaraan anara suamiku dan anak. Tidak ada niatku untuk nimbrung, cukup mendengar. Zahra masih terus merajuk ke abahnya yang sejak tadi duduk di sampingnya sambil melihat hasil gambaran Zahra."Ini udah bagus lho, Nak. Mengapa masih ingin menggambar bersama Mas Abdul?" tanya Yahya."Karena asyik ae, Bi. Mas Abdul itu kan pandai, Bi," jawab Zahra."Iya, kita lihat saja nanti ya!" kata Yahya.Setelah berkata begitu, suamiku langsung beranjak meninggalkan putriku. Dia pun masuk kembali ke kamar, kulihat Zahra hanya melongo memandang abahnya yang masuk ke kamar."Ada apa, Ra?" tanyaku."Abah kok gitu ya, Umi? Apa si abah itu tidak sayang dengan Zahra, Ya?" tanya Zahra."Tidak begitu juga, Dek. Abah mungkin lagi lelah saja," jawabku.Kulihat Zahra hanya menganggukkan kepala mengerti akan apa yang aku katakan. Kemudian dia pun segera memb
Akhirnya aku pun menyetujui bahwa Samuel masuk ke dalam usaha ayam bakar. Lelaki muda itu membantu Topan dalam membedah ayam. Pagi itu kulihat Topan sudah datang bersama Samuel."Pan, ajari saja Samuel bagaimana cara bedah ayamnya!" kataku pada Topan."Baik, Bu!" jawab Topan.Aki pun segera membantu di dalam membakar ayam sesuai daftar yang tertulis dipapan. Kebetulan nanti pada jam sembilan ada pesanan ayam bakar sebanyak lima kotak. Akhirnya aku yang mulai bakar. Sementara Topan dan Samuel masih berada di belakang untuk membedah ayam.Setelah lima sudah aku bakar segera kusiapkan lima kotak untuk tempat ayamnya. Sesuai pesanan dari lima itu ya g tiga utuh dan yang dua dipotong. Maka seperti itu pula aku siapkan ayam bakarnya. Setelah semua siap kutata kalima kardus itu di depan dalam keadaan terbuka.Hal ini aku lakukan agar ayam tersebut segera dingin. Pembeli yang memesan pun akhirnya datang juga. Semua segera aku siapkan sesuai takarannya. Pembeli itu merasa puas. Aku kembali mel
Aku terbangun saat adan ashar, gegas aku melaksanakan ibadahku. Kulihat si Yahya masih terlelap dalam mimpi, tetapi aku meneruskan langkahku untuk menjemput Zahra karena waktunya dia pulang. Saat melewati kembali tubuh suamiku, hatiku tergerak untuk membangunkan dia."Bi, Abi, bangun. Sudah ashar!" kataku sambil menyentuh ujung ibu jari kakinya."Hem," jawabnya singkat sambil menatapku sendu.Kulihat kabut hasrat menyelimuti kelopak matanya. Aku tertegun sesaat. Tiba-tiba denting jam berbunyi tiga kali menandakan jam tiga sore, gegas aku menyambar hijabku juga selembar cadar. Sudah waktunya untuk Zahra pulanh."Hai, mau kemana kamu, Umi?!" kata Yahya dengan lantang."Mau jemput Zahra, Abi mau nitip?" tanyaku."Oo, tidak jadi. Pergilah!" jawabnya enteng.Aku pun segera melanjutkan langkahku sambil bernapas lega. Akhirnya bisa terbebas dari sebuah kewajiban yang lain. Apakah aku salah jika merasa muak akan hubungan ranjangku dengan suami? Apalagi jika ingat saat ini dia bukan hanya mili
Aku pun memanggil Zahra dan Abdul setelah menurunkan semua barang bawaan Adam. Kedua anakku pun segera keluar dari rumah."Umi ingin membesuk abah kalian, siapa yang akan ikut dan tinggal di rumah?" tanyaku."Aku ikut saja, Umi. Biar Halimah di rumah bersama Arkan, kau bagaimana Abdul?" kata Adam."Aku ikut, mungkin Zahra saja yang tetap tinggal di rumah menemani Kak Halimah. Iya 'kan Zahra?" tanya Abdul yang memandangku lalu berganti pada Zahra.Putriku itu mengangguk tetapi mukanya cemberut, ada sebersit rasa kecewa. Namun, aku mencoba memberinya pengertian. Agar dia mau tinggal di rumah, akhirnya gadis kecilku pun setuju.Setelah kata sepakat tercapai, kami bertiga segera masuk ke dalam mobil. Sopir pun melajukan kendaraannya menuju ke Rumah Sakit Bayangkara. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di rumah sakit itu. Keadaan jalanan yang sepi bagai kita mati membuat lalu lintas Surabaya begitu lengang.Kuinjakkan kakiku dengan napas berat, kuatur ulang pola napasku dan hatiku. Mampuka
Aku terdiam cukup lama, mencari jalan keluar untuk masalah ini. Akhirnya kucoba hubungi Adam untuk menyelesaikan masalah ini. Mengingat ini berita sangat penting akhirnya kupaksakan hatiku. Panggilang terhubung tetapi belum diangkat. Hingga panggilan yang kedua barulah diangkat, kudengar suara wanita yang lembut."Assalamualaikum, Umi! Ada apa dini hati seperti ini hubungi mas Adam?" kata Halimah."Waalaikumsalam, Halimah. Ini abah baru saja mengalami kecelakaan bersama istri sirinya, saat ini sudah ditangani oleh polisi dan masuk ke RS. Polda. Sedangkan pesanan ayam bakar untuk esok setelah salat idul fitri ada 150 ayam, tolong Umi!" paparku tanpa ku tutupi.Hening, aku masih menunggu reaksi lanjutan dari seberang. Aku masih diam, tetapi kudengar langkah mendekat dan duduk di sampingku."Biar Abdul yang lihat kondisi abah, Umi. Berhubung ini sudah menjelang dini hari, sebaiknya Umi pejamkan mata agar esok terasa sedikit segar!" pinta Abdul."Benar apa yang dikatakan oleh Abdul, Umi.
Aku pun hanya tersenyum di balik cadar untuk melepas kepergian suamiku. Sebenarnya sudah hal biasa dia pergi tinggalkan aku sendiri dalam memberesi semua pekerjaan, tetapi malam ini ada yang berbeda. Sebuah rasa was was menelusup di relung hati, Abdul pun yang juga ada di dekatku hanya berdiri mematung menatap kepergian abahnya."Apakah ini tidak apa, Umi?" tanya Abdul."Semoga saja tidak, Abdul. Kita bereskan ini lebih dulu, lalu segera istirahat agar esok menjelang subuh bisa bakar ayam dalam keadaan fit!" kataku sambil mulai memberesi barang.Abdul pun segera melakukan apa yang aku perintahkan dengan rapi. Semua lantai teras dibersihkan dan langsung dia pel. Hal ini kami lakukan dengan bekerja sama, bahkan kali ini Zahra juga ikut turun. Putriku itu membantu membereskan semua wadah baskom yang sudah aku cuci. Cukup lama waktu yang kami gunakan untuk membersihkan teras, hingga pukul delapan malam semua baru selesai. Aku menutup warung lebih dulu tetapi masih berada di dalam. Kulih
Sesaat Bulan pun sampai dari belanjanya, kemudian kutatap manik mata wanita itu. Bulan menjadi salah tingkah, dia merasa bingung mengartikan tatapanku padanya. Lalu wanita muda itu mengalihkan pandangannya ke Sambuel sambil mengangkat dagunya. Samuel kulihat menggedikkan bahu."Apa yang sedang kalian sembunyikan?" tanyaku sambil menatap keduanya bergantian.Bulan menggelengkan kepala tanda dia tidak mengerti apa yang aku tanyakan, sedangkan Samuel hanya senyum simpul membuatku semakin geram dan penasaran. "Bisa kau jelaskan alasan kamu masuk pagi, Sam?" tanyaku lebih detail lagi.Samuel menarik napas panjang, lalu dihempas perlahan. Setelahnya dia menatap sepeda motor pengantar ayam gembung. Pak Roni sendiri yang antar ayam gembung itu. Ini kesempatanku untuk bertanya berapa suamiku mengorder ayam hari ini."Bu Arini ini ayamnya masih separo ya, sisanya nanti sekitar jam sepuluhan!" kata Roni."Sebentar to, Pak. Memangnya suamiku pesan berapa?" tanyaku."100 ekor ayam, untuk tiga har
"Apakah Umi sudah lupa? Atau kasih ijin dalam diam?" cerca Yahya padaku.Jujur aku diam bukan karena lupa atau apapun itu, sungguh suamiku itu mahkluk adam yang tidak peka. Siapa dia meminta ijin wanita lain masuk ke dalam rumah pribadiku. Rumah warisan dari orang tuaku, sedangkan dia di sini numpang. Meskipun uang untuk ganti warisan para saudaraku yang lain merupakan hasil kerja ayam bakar tetapi itu tetap hal aku yang terbanyak.Aku hanya bisa mendesah kesal, tetapi untuk terucap rasanya enggan. Lebih baik diam saja daripada nanti lisanku mengeluarkan kata berbobot yang diijabah Allah malaah lebih parah. Seperti kara para orang tua dulu, jika istri atau ibu yang teraniaya mengucapkan kata balas dendam bisa langsung terjadi. Mengingat nasehat itu membuatku menjaga lisanku baik suara maupun batin. Aku tidak mau berucap yang bisa menjadi doa dan berakibat fatal. Apalagi ini menyangkut nasib anak-anak ke depan."Umi, kok diam. Jawab dong!" pinta Yahya dengan nada lembut."Tidak aku ja
Aku dan Zahra melangkah tanpa memedulikan panggilan suamiku. Zahra pun terlihat lebih memilih aku dari abahnya, dia kulihat langsung meraih ponselnya. Entah siapa yang akan dia hubungi, aku hanya menunggu duduk di sebelahnya. Bibir Zahra tersenyum kala panggilannya tersambung."Asslaamualaikum, Kak Abdul! Aku mau curhat ini, dengerin yaa!" sapa Zahra sekalian dia meminta pada kakaknya itu. Aku tersenyum.Lalu Zahra mulai menceritakan semua kejadian yang baru saja dialaminya di teras rumah tadi. Aku yang mendengar hanya geleng kepala, sungguh putriku itu meluapkan emosinya pada kakak tirinya. "Dia abah kamu lho, Kak. Mana ada seorang abah kok kek gitu, bawa anak dari wanita lain yang bahkan bukan darah dagingnya. Pokoknya aku tidak mau tahu, nanti Kak Abdul harus ikut merawat umiku. Enak saja!" Begitu keluh Zahra pada kakaknya, "Dan tanggung jawab padaku juga lho, janji!" lanjutnya memastikan apa yang diucapkan oleh Abdul.Aku hanya tersenyum saat Zahra menutup panggilannya itu. Lalu
Dua hari mereka ikut bekerja di warung ayam bakarku tanpa permisi ataupun mengenalkan identitas dirinya. Aku pun diam saja, selama dua hari ini aku bekerja dari dalam rumah. Baik Bulan ataupun Samuel kubebaskan memberi perintah kedua pemuda itu untuk membantu meringankan pekerjaan mereka.Terkadang pemuda yang lebih muda berani membantah bila disuruh oleh Bulan. Namun, Bulan lebih berkuasa dan pendai menekan mental pemuda itu. Berbeda dengan yang lebih tua, dia hanya diam tidak banyak bicara. Apapun yang diperintahkan oleh Bulan dilaksanakan begitu saja.Aku masih mengamati cara kerja mereka berdua, tiba-tiba ingatanku melayang pada kejadian beberapa bulan yang lalu saat suamiku mengeluarkan alaat masak juga beberapa kayu. "Ah, iya pemuda itu yang datang dengan mobil tepak dan membawa semua barang. Mungkinkah itu anak Salma? Lalu yang kecil itu, apakah dia yang baru saja operasi habis kecelakaan? Kok masih terlihat segar bugar," batinku sambil melihat sosok pemuda itu.Bulan terlihat
Aku masih diam saja mengikuti alur kisah hidupku. Setelah peristiwa Yahya membawa beberapa alat masak, sejak saat itu aku semakin dingin. Hingga berganti bulan pun tidak ada informasi yang keluar dari mulut suamiku itu. Aku biarkan saja sesuai alurnya.Namun, beberapa hari kemudian beberapa tabung elpiji dan kompor dia bawa pulang. Mungkin menyisakan satu kompor dan dua tabung elpiji, kerena dari enam kemarin hanya dibawa pulang empat biji."Puas kamu, Umi!" Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba suamiku berkata kasar. Aku sendiri juga tidak mengerti apa maksud dari kalimatnya itu. Puas untuk apa? Aku saja tidak pernah merasakan sesuatu yang nikmat. Aneh."Jadi istri pertama itu ya mbok sing sabar, kasih suport suami yang sedang berusaha membuka cabang. Nah ini, Umi malah menghina istri siri abi. Apa coba maksudnya?"Aku semakin tidak mengerti dengan ucapannya. Menghina? Apa coba? Bukti pun juga tidak jelas, bagaimana aku bisa menghina jika nomer ponselnya saja aku tidak simpan.
"Iya sudahlah langsung jemput saja, Mbak. Mumpung masih telat sepuluh menit," katq Bulan.Aku segera melajukan kendaraanku tampa melihat siapa yang datang. Sungguh konsentrasi sedikit ambyar gara-gara postingan tok tok tadi. Laju kendaraan sedikit kupercepat dari biasanya, aku khawatir jika putriku tinggal sendiri di sekolah.Sepuluh menit aku sampai di depan sekolah, kulihat masih ada beberapa siswa dan siswi yang belum dijemput. Kuedarkan pandanganku mencari sosok Zahra, rupanya dia sedang mengantri di penjual papeda. Aku pun bernapas lega, kuhampiri dia."Masih lama antrinya, Zahra?" tanyaku."Bentar lagi ... eeh Umi ternyata. Tunggu ya Zahra masih antri, ini tinggal nunggu Lhansa selesai bari dech Zahra," papar anakku.Kulempar senyum untuk putriku, dia membalas menyatukan ibu jari dan jari telunjuk membentuk simbol oke. Aku pun akhirnya menunggu Zahra saambil duduk di jok montor. Lima menit aku menunggu akhirnya selesai juga. Zahra pun siap di boncengan."Untung jemputnya telat,