Laju kendaraan buntutku akhirnya sampai juga di sebuah dealer sepeda montor yang diinginkan oleh suamiku. Merknya masih diurutan kedua dari pasaran peminat sepeda montor di desaku. Sebenarnya mesinnya lumayan bandel dan harga terjangkau, tetapi jika dijual lagi harga akan turun. Itu sih apa yang aku dengar dari para pembeli di warungku."Abah, nanti Zahra yang pilih warnanya boleh?" tanya Zahra.Kulihat suamiku tidak memedulikan apa yang ditanyakan oleh putrinya. Pandangannya memindai deretan kendaraan roda dua yang masih bercahaya. Aku tersenyum masam kala kulihat wajah putriku yang sendu. Sungguh rasa sesak menghampiri dadaku lagi."Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya pelayan dealer."Saya butuh kendaraan keluaran terbaru dengan harga terjangkau tetapi lajunya lumayan, Mbak!" kata Yahya."Mari ikut saya, Pak!" ajak karyawan itu.Aku dan Zahra hanya mengikuti langkah karyawan itu. Sedangkan Yahya sudah lebih dulu berdiri pada sebuah kendaraan yang berwarna ungu muda. Telapak tangan
Aku pun segera memarkirkan kendaraanku, laku segera kuhampiri Topan untuk memastikan sebab apa dia kok belum pulang. Topan pun segera menyambutku dengan senyumnya dan dia menyodorkan laporan sore itu sangat detail. Bahkan uang jajan yang biasanya aku belikan untuknya dia tulis."Semua sudah aku bersihkan, Bu Arini. Bahkan ayamnya sudah aku panasi, sengaja aku pulang terlambat karena menunggu Ibu dan Bapak pulang sesuai pesan Pak Yahya," jawab Topan.Aku termangu mendengar apa yang dikatakan oleh Topan. Suamiku berpesan seperti itu? Apa maksudnya? Bukankah sudah waktunya dia pulang, mengapa harus ditahan hingga salah satu dari kami pulang.Akhirnya aku ijinkan Topan untuk pulang, kemudian aku pun menunggu warung hingga suami dan putriku pulang. Namun, hingga adan mahgrib tidak kulihat mereka pulang. Aku menjadi khawatir. Lama aku menunggu mereka pulang hingga waktu menjelang isya barulah kudengar deru montor memasuki halaman.Aku yang masih berada di warung segera keluar, kulihat wajah
Jika seorang manusia dioerbolehkan untuk berucap kata andai, mungkin aku akan selalu berandai-andai. Sayangnya menurut sebagian alim ulama kata andai tidak baik diucapkan oleh seorang muslim. Mengapa? Karena akan memperburuk keadaan dan seakan kita menyesali dengan apa yang sudah terjadi.Memang benar, jika pun kata andai itu berlaku padaku jelaslah sudah bahwa aku menyesali pernikahan ini. Mungki inilah jalanku, harus penuhi kebutuhan hidup tanpa campur tangan suami seutuhnya. Namun, aku tetap bersyukur meskipun suamiku berbuat seperti itu dia masih memiliki sisi yang baik dari sekian pelaku poligami.Jangan tanya sakitnya, semua wanita pasti kerasa sakit banget bila diduakan. Apalagi ini menggunakan alasan untuk menyantuni anak yatim. Bagaimana anak yatim jika mereka bercerai? Bila sekedar memberi santunnan mengapa tidak langsung memberi setiap bulan, selama ini aku hanya diam. Bukan berarti aku setuju, hanya mencoba menerima takdirku."Sudah selesai nyucinya, Umi?" tanya Yahya."Su
"Zahra ingin bermain dengan Mas Abdul, Abah. Apa tidak bisa bila aku bermain sekali waktu?" tanya Zahra pada abahnya.Aku hanya diam mendengarkan semua pembicaraan anara suamiku dan anak. Tidak ada niatku untuk nimbrung, cukup mendengar. Zahra masih terus merajuk ke abahnya yang sejak tadi duduk di sampingnya sambil melihat hasil gambaran Zahra."Ini udah bagus lho, Nak. Mengapa masih ingin menggambar bersama Mas Abdul?" tanya Yahya."Karena asyik ae, Bi. Mas Abdul itu kan pandai, Bi," jawab Zahra."Iya, kita lihat saja nanti ya!" kata Yahya.Setelah berkata begitu, suamiku langsung beranjak meninggalkan putriku. Dia pun masuk kembali ke kamar, kulihat Zahra hanya melongo memandang abahnya yang masuk ke kamar."Ada apa, Ra?" tanyaku."Abah kok gitu ya, Umi? Apa si abah itu tidak sayang dengan Zahra, Ya?" tanya Zahra."Tidak begitu juga, Dek. Abah mungkin lagi lelah saja," jawabku.Kulihat Zahra hanya menganggukkan kepala mengerti akan apa yang aku katakan. Kemudian dia pun segera memb
Akhirnya aku pun menyetujui bahwa Samuel masuk ke dalam usaha ayam bakar. Lelaki muda itu membantu Topan dalam membedah ayam. Pagi itu kulihat Topan sudah datang bersama Samuel."Pan, ajari saja Samuel bagaimana cara bedah ayamnya!" kataku pada Topan."Baik, Bu!" jawab Topan.Aki pun segera membantu di dalam membakar ayam sesuai daftar yang tertulis dipapan. Kebetulan nanti pada jam sembilan ada pesanan ayam bakar sebanyak lima kotak. Akhirnya aku yang mulai bakar. Sementara Topan dan Samuel masih berada di belakang untuk membedah ayam.Setelah lima sudah aku bakar segera kusiapkan lima kotak untuk tempat ayamnya. Sesuai pesanan dari lima itu ya g tiga utuh dan yang dua dipotong. Maka seperti itu pula aku siapkan ayam bakarnya. Setelah semua siap kutata kalima kardus itu di depan dalam keadaan terbuka.Hal ini aku lakukan agar ayam tersebut segera dingin. Pembeli yang memesan pun akhirnya datang juga. Semua segera aku siapkan sesuai takarannya. Pembeli itu merasa puas. Aku kembali mel
Aku terbangun saat adan ashar, gegas aku melaksanakan ibadahku. Kulihat si Yahya masih terlelap dalam mimpi, tetapi aku meneruskan langkahku untuk menjemput Zahra karena waktunya dia pulang. Saat melewati kembali tubuh suamiku, hatiku tergerak untuk membangunkan dia."Bi, Abi, bangun. Sudah ashar!" kataku sambil menyentuh ujung ibu jari kakinya."Hem," jawabnya singkat sambil menatapku sendu.Kulihat kabut hasrat menyelimuti kelopak matanya. Aku tertegun sesaat. Tiba-tiba denting jam berbunyi tiga kali menandakan jam tiga sore, gegas aku menyambar hijabku juga selembar cadar. Sudah waktunya untuk Zahra pulanh."Hai, mau kemana kamu, Umi?!" kata Yahya dengan lantang."Mau jemput Zahra, Abi mau nitip?" tanyaku."Oo, tidak jadi. Pergilah!" jawabnya enteng.Aku pun segera melanjutkan langkahku sambil bernapas lega. Akhirnya bisa terbebas dari sebuah kewajiban yang lain. Apakah aku salah jika merasa muak akan hubungan ranjangku dengan suami? Apalagi jika ingat saat ini dia bukan hanya mili
Bulan puasa akhirnya tiba, aku bersiap secara mental dan tenaga. Untuk awal puasa jualan ayam masih seperti hari biasanya. Kami masih sanggup dan Topan kulihat masih berpuasa. Biasanya jika sudah memasuki minggu ketiga barulah puasa Topan protol seperti halnya suamiku itu.Jika bulan puasa seperti ini, Yahya ikut terjun membantu penjualan meski hanya sesekali menampakkan wajahnya. Paling lama dia hanya membakar ayam lima ekor selanjutnya masuk lagi untuk main gawainya.Selama bulan puasa di dua minggu awal penjualan ayam bakarku masih terbilang stabil. Mereka para pembeli masih sesekali datang, biasanya menjelang berbuka sekitar jam empat sore. Topan pun inginkan ikut lembur sesekali, maklun dia masih lajang dan sedang menjadi tulang punggung ibunya yang sakit-sakitan. Aku memaklumi saja apa yang dia keluhkan, selagi aku bisa bantu tetap aku bantu."Lembur boleh, Pan. Asal tidak menganggu istirahat kamu," kataku suatu hari."Jam paginya saja yang dikurangi, Bu. Jadi tetap delapan jam
"Ada berita apa lho kok sampai seramai itu, Mbak?" tanyaku ketika Mbak Susi menceritakan semua."Ini lho Mbak Arini, ada seorang pria yang selingkuh dan hal ini terjadi di warga kita," jawab Mbak Susi."Iya kah, masak mereka saling sikut, Mbak?" tanyaku yang sedikit tidak percaya."Iya bener, Mbak. Hanya saya belum tahu pasti. O ya, ayam bakar yang aku pesan tadi sudah apa belum?" tanya Mbak Susi memastikan pesanan ayamnya.Topan segera menyerahkan ayam bakar pesanan Mbak Susi. Saat aku tanya buat apa ayam bakar itu, si Mbak nya jawab buat acara bangun rumah. Kebiasan warga jika pasang kuda-kuda nya sebuah bangunan pasti memasak ayam bakar. Ini adalah rezeki bagi usahaku yang jarang ada buka jasa ayam bakar.Aku sangat bersyukur dengan ide awal ponakanku itu. Entahlah, mungkin tanpa bantuan ide dari anak itu keluargaku masih dibawah ekonominya. Ternyata Allah berkehendak lain. Semua doaku terjawab sudah."Mbak Arini, apakah nanti juga akan ikut rekreasi dari rt?" tanya Mbak Susi."Lih