Home / Pernikahan / Kau Peras Peluhku Demi Madu / 52. Jualan Mulai Ramai

Share

52. Jualan Mulai Ramai

Author: Shaveera
last update Last Updated: 2023-08-07 20:04:18

Aku terbangun saat adan ashar, gegas aku melaksanakan ibadahku. Kulihat si Yahya masih terlelap dalam mimpi, tetapi aku meneruskan langkahku untuk menjemput Zahra karena waktunya dia pulang. Saat melewati kembali tubuh suamiku, hatiku tergerak untuk membangunkan dia.

"Bi, Abi, bangun. Sudah ashar!" kataku sambil menyentuh ujung ibu jari kakinya.

"Hem," jawabnya singkat sambil menatapku sendu.

Kulihat kabut hasrat menyelimuti kelopak matanya. Aku tertegun sesaat. Tiba-tiba denting jam berbunyi tiga kali menandakan jam tiga sore, gegas aku menyambar hijabku juga selembar cadar. Sudah waktunya untuk Zahra pulanh.

"Hai, mau kemana kamu, Umi?!" kata Yahya dengan lantang.

"Mau jemput Zahra, Abi mau nitip?" tanyaku.

"Oo, tidak jadi. Pergilah!" jawabnya enteng.

Aku pun segera melanjutkan langkahku sambil bernapas lega. Akhirnya bisa terbebas dari sebuah kewajiban yang lain. Apakah aku salah jika merasa muak akan hubungan ranjangku dengan suami? Apalagi jika ingat saat ini dia bukan hanya mili
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   53. Jualan Mulai Ramai 2

    Bulan puasa akhirnya tiba, aku bersiap secara mental dan tenaga. Untuk awal puasa jualan ayam masih seperti hari biasanya. Kami masih sanggup dan Topan kulihat masih berpuasa. Biasanya jika sudah memasuki minggu ketiga barulah puasa Topan protol seperti halnya suamiku itu.Jika bulan puasa seperti ini, Yahya ikut terjun membantu penjualan meski hanya sesekali menampakkan wajahnya. Paling lama dia hanya membakar ayam lima ekor selanjutnya masuk lagi untuk main gawainya.Selama bulan puasa di dua minggu awal penjualan ayam bakarku masih terbilang stabil. Mereka para pembeli masih sesekali datang, biasanya menjelang berbuka sekitar jam empat sore. Topan pun inginkan ikut lembur sesekali, maklun dia masih lajang dan sedang menjadi tulang punggung ibunya yang sakit-sakitan. Aku memaklumi saja apa yang dia keluhkan, selagi aku bisa bantu tetap aku bantu."Lembur boleh, Pan. Asal tidak menganggu istirahat kamu," kataku suatu hari."Jam paginya saja yang dikurangi, Bu. Jadi tetap delapan jam

    Last Updated : 2023-08-08
  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   54. Minggu ke Tiga

    "Ada berita apa lho kok sampai seramai itu, Mbak?" tanyaku ketika Mbak Susi menceritakan semua."Ini lho Mbak Arini, ada seorang pria yang selingkuh dan hal ini terjadi di warga kita," jawab Mbak Susi."Iya kah, masak mereka saling sikut, Mbak?" tanyaku yang sedikit tidak percaya."Iya bener, Mbak. Hanya saya belum tahu pasti. O ya, ayam bakar yang aku pesan tadi sudah apa belum?" tanya Mbak Susi memastikan pesanan ayamnya.Topan segera menyerahkan ayam bakar pesanan Mbak Susi. Saat aku tanya buat apa ayam bakar itu, si Mbak nya jawab buat acara bangun rumah. Kebiasan warga jika pasang kuda-kuda nya sebuah bangunan pasti memasak ayam bakar. Ini adalah rezeki bagi usahaku yang jarang ada buka jasa ayam bakar.Aku sangat bersyukur dengan ide awal ponakanku itu. Entahlah, mungkin tanpa bantuan ide dari anak itu keluargaku masih dibawah ekonominya. Ternyata Allah berkehendak lain. Semua doaku terjawab sudah."Mbak Arini, apakah nanti juga akan ikut rekreasi dari rt?" tanya Mbak Susi."Lih

    Last Updated : 2023-08-09
  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   55. Minggu Ketiga 2

    Pagi kembali menyapa, runitasku datang lagi. Semua seperti roda yang berputar tanpa lelah. Begitu juga dengan aktifitasku di pagi hari, selalu seperti itu. Pagi ini sedikit berbeda, biasanya makan sahur hanya bertiga sekarang menjadi berlima."Umi beli nasi apa?" tanya Abdul.Setiap puasa aku hampir tidak pernah masak. Hal ini dikarenakan lelahnya jiwa akibat banyaknya order ayam bakar yang semakin meningkat menjelang lebaran. Apalagi minggu ke tiga saatnya banyak godaan untuk berpuasa. Jadi untuk ibadah puasa akan banyak menyusut jumlah yang berpuasa, begitu juga jamaah di masjid."Aku nasi pecel saja, Dul. Yang lain mungkin nasi jotos saja!" kataku."Aku dua porsi ya, Dul. Jangan lupa es teh!" kata Adam."Aku juga mau dong es tehnya, Mas Abdul!" ucap Zahra yang ikut terbangun.Aku segera mengeluarkan dua lembar uang kertas berwarna biru dan menyodorkan pada Abdul. Suasana makan sahur menjadi sepi. Aku pun keluar rumah melihat suasana sekitar dan memang sepi. Tidak seperti waktu aku

    Last Updated : 2023-08-09
  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   56. Malam Takbir

    Hari terus berlalu tanpa terasa puasa sudah menjelang akhir. Seperti biasa pasti ada kerancuan dalam menentukan hilal untuk hari lebaran. Seperti tahun ini ada perbedaan dalam menentukan hari raya. Aku selalu mengikuti hari yang ditentukan oleh pemerintah. Hari ini adalah hari terakhir untuk berpuasa maka semakin sibuklah aku dan semua anggota keluarga dalam melancarkan penjualan ayam bakar. Yahya mengeluarkan hingga empat kompor berskala besar karena omset naik drastis. Setiap hari selama seminggu sebelum lebaran omsetku setiap hari mencapai 50-60 ekor ayam.Apalagi jika malam takbir dan pagi setelah solat ied, pasti banyak yang order. Seperti hari ini, hari terakhir puasa. Yahya suamiku itu sampai mendatangkan ayam sebanyak 200 ekor. Hingga isya hampir tiba pembeli masih saja ada. Aku dan semua anggota keluarga sampai kuwalahan melayani para pembeli. Lebaran adalah lebarnya uang, semua warga kota hampir memilih membeli daripada masak sendiri. Ini merupakan berkah para penjual lauk

    Last Updated : 2023-08-10
  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   57. Lebaran

    Pagi sudah kembali menyapa, suara gema takbir berkumandang sejak semalam hingga pagi. Semua muslim pada tidur tapi tidak dengan kami berempat. Aku, suami dan kedua anak laki-lakiku kini sedang berkutat di warung. Mulai jam dua dini hari, kami sudah mulai membakar ayam sejumlah 100 kotak. Ternyata kemarin itu, suamiku memesan ayam mentah hingga 300 ekor. Pantas saja kelelahan begitu terasa. Namun, semua terbayar lunas pagi ini. Ayam itu ludes habis tanpa sisa.Saat adan subuh semua pekerjaan membakar ayam sudah selesai. Maka kami pun bergantian untuk melaksanakan salat subuh. Eh, tidak dech. Hanya aku yang salat di rumah, sementara ketiga laki-laki dalam keluargaku pergi ke masjid terdekat. Mereka selalu melakukan ibadahnya dengan berjamaah di masjid. Khusus untuk wanita tidak wajib beribadah berjamaah di masjid. Bagi kami kaum wanita cukup melakukan ibadah salat lima waktu di rumah saja. Tidak wajih berjamaah di masjid. Aku mengikuti apa yang sudah diatur dalam agama."Umi, Zahra pa

    Last Updated : 2023-08-10
  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   58. Lebaran 2

    Omset jualan ayam bakarku di lebaran ke dua pun masih ramai. Kedua anak tiriku pun masih aktif membantu, sedangkan Topan masih ingin libur. Untung masih ada Samuel. Pemuda itu hanya mengambil libur satu hari saat lebaran."Sam, jangan lupa ayamnya yang di presto 15 ya. Yang lainnya direbus saja," jawab Samuel.Aku pun segera pergi meninggalkan Samuel lalu aku kembali membungkus lalapan dan sambel. Stock sudah habis, maka dari itu aku langsung membukus apa yang sudah habis. Abdul pun juga ikut membantu dengan membuat kotak ayam bakar. Omset yang begitu ramai membuat tabungannya mengembung cukup banyak. "Selama lebaran sepertinya Mas Abdul banyak duit ya, Umi?" tanya Zahra sambil membantuku membungkus lalapan."Adik juga dikasih abah uang saku 'kan?" tanyaku."Iya, tetapi banyak Mas Abdul, Umi," keluh Zahra sedikit mengerucutkan bibirnya. Aku hanya menatapnya dengan senyum. Selama minggu ketiga, Abdul dan Adam selalu membantu semua mengenai penjualan ayam bakar. Bahkan sekarang kuliha

    Last Updated : 2023-08-12
  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   59. Halal Bi Halal

    Akhirnya keluarga Yahya pun bisa hadir dalam acara halal bi halal keluarga besar Joesni. Keluarga dari ayahku. Memang semua saudara perempuanku sangat rukun dan tidak pernah ada perselisihan paham. Acara ini sangat ramai dengan hidangan yang sederhana. Para kaum muda saling berbicara, sedangkan kami sesama saudara hanya menyisakan empat orang."Bagaimana kabar kamu, Arini?" tanya kakak keduaku yang bernama Murtini."Sehat, Mbak. Semoga Mbak Mur juga sehat selalu," balasku dengan doa tulus."Bagaimana kabar hubunganmu dengan suami, aku kok ada kabar selentingan yang tidak baik?" kata kakak keduaku itu.Aku pun terdiam, tidak mungkin aku menceritakan aib suamiku. Aku harus bisa menjaga marwah suamiku apapun itu. Meski sakit aku harus mampu."Semua sudah ada takarannya, Mbak. Doa kan saja adikmu ini kuat," jawabku mencari jalan tengah."Semua sudah ada jalannya dan takarannya. Kamu pasti kuat, Arini!" kata kakak ketigaku yang lebih hangat.Aku pun mengulas senyum untuk menenangkan hati k

    Last Updated : 2023-08-12
  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   60. Wanita Baru

    Aku masih menguping pembicaraan dari Yahya dengan seseorang di seberang. Saat aku masih asyik menguping kulihat Abdul mengangkat dagunya seakan sedang bertanya padaku. Aku hanya menempelkan jari pada mulutku sendiri agar si Abdul tidak banyak bicara dan untungnya anak itu menurut.Aku bernapas lega, akhirnya Abdul pun pergi menjauh. Dan aku melanjutkan menguping pembicaraan Yahya di telepon."Apa yang kamu mau, Sayang?" suara Yahya yang aku dengar.Hatiku terasa ngilu saat mendengar kata sayang terlontar pada lawan bicaranya itu. Sedangkan saat bersamaku tidak pernah sekali pun menggunakan kata itu. Jujur, dulu mungkin masih sesekali dia memanggilku dengan sebutan sayanh. Namun, saat ini hilang tanpa bekas."Iya, kamu pesan saja beberapa gamis yang berwarna salem. Dan nanti jika sudah datang aku ingin berjalan bersamamu dengan gamis itu, Sayang!" Sebuah kalimat permintaan yang aku dengar.Sungguh tega pria itu, aku yang bekerja hampir setiap hari bangun pagi menyiapkan segalanya dia y

    Last Updated : 2023-08-15

Latest chapter

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   168. Sebuah Keputusan Yang Sakit

    Aku pun memanggil Zahra dan Abdul setelah menurunkan semua barang bawaan Adam. Kedua anakku pun segera keluar dari rumah."Umi ingin membesuk abah kalian, siapa yang akan ikut dan tinggal di rumah?" tanyaku."Aku ikut saja, Umi. Biar Halimah di rumah bersama Arkan, kau bagaimana Abdul?" kata Adam."Aku ikut, mungkin Zahra saja yang tetap tinggal di rumah menemani Kak Halimah. Iya 'kan Zahra?" tanya Abdul yang memandangku lalu berganti pada Zahra.Putriku itu mengangguk tetapi mukanya cemberut, ada sebersit rasa kecewa. Namun, aku mencoba memberinya pengertian. Agar dia mau tinggal di rumah, akhirnya gadis kecilku pun setuju.Setelah kata sepakat tercapai, kami bertiga segera masuk ke dalam mobil. Sopir pun melajukan kendaraannya menuju ke Rumah Sakit Bayangkara. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di rumah sakit itu. Keadaan jalanan yang sepi bagai kita mati membuat lalu lintas Surabaya begitu lengang.Kuinjakkan kakiku dengan napas berat, kuatur ulang pola napasku dan hatiku. Mampuka

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   167. Memberi Kabar

    Aku terdiam cukup lama, mencari jalan keluar untuk masalah ini. Akhirnya kucoba hubungi Adam untuk menyelesaikan masalah ini. Mengingat ini berita sangat penting akhirnya kupaksakan hatiku. Panggilang terhubung tetapi belum diangkat. Hingga panggilan yang kedua barulah diangkat, kudengar suara wanita yang lembut."Assalamualaikum, Umi! Ada apa dini hati seperti ini hubungi mas Adam?" kata Halimah."Waalaikumsalam, Halimah. Ini abah baru saja mengalami kecelakaan bersama istri sirinya, saat ini sudah ditangani oleh polisi dan masuk ke RS. Polda. Sedangkan pesanan ayam bakar untuk esok setelah salat idul fitri ada 150 ayam, tolong Umi!" paparku tanpa ku tutupi.Hening, aku masih menunggu reaksi lanjutan dari seberang. Aku masih diam, tetapi kudengar langkah mendekat dan duduk di sampingku."Biar Abdul yang lihat kondisi abah, Umi. Berhubung ini sudah menjelang dini hari, sebaiknya Umi pejamkan mata agar esok terasa sedikit segar!" pinta Abdul."Benar apa yang dikatakan oleh Abdul, Umi.

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   166. Kabar Duka

    Aku pun hanya tersenyum di balik cadar untuk melepas kepergian suamiku. Sebenarnya sudah hal biasa dia pergi tinggalkan aku sendiri dalam memberesi semua pekerjaan, tetapi malam ini ada yang berbeda. Sebuah rasa was was menelusup di relung hati, Abdul pun yang juga ada di dekatku hanya berdiri mematung menatap kepergian abahnya."Apakah ini tidak apa, Umi?" tanya Abdul."Semoga saja tidak, Abdul. Kita bereskan ini lebih dulu, lalu segera istirahat agar esok menjelang subuh bisa bakar ayam dalam keadaan fit!" kataku sambil mulai memberesi barang.Abdul pun segera melakukan apa yang aku perintahkan dengan rapi. Semua lantai teras dibersihkan dan langsung dia pel. Hal ini kami lakukan dengan bekerja sama, bahkan kali ini Zahra juga ikut turun. Putriku itu membantu membereskan semua wadah baskom yang sudah aku cuci. Cukup lama waktu yang kami gunakan untuk membersihkan teras, hingga pukul delapan malam semua baru selesai. Aku menutup warung lebih dulu tetapi masih berada di dalam. Kulih

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   165. Tiga Hari Akhir Puasa

    Sesaat Bulan pun sampai dari belanjanya, kemudian kutatap manik mata wanita itu. Bulan menjadi salah tingkah, dia merasa bingung mengartikan tatapanku padanya. Lalu wanita muda itu mengalihkan pandangannya ke Sambuel sambil mengangkat dagunya. Samuel kulihat menggedikkan bahu."Apa yang sedang kalian sembunyikan?" tanyaku sambil menatap keduanya bergantian.Bulan menggelengkan kepala tanda dia tidak mengerti apa yang aku tanyakan, sedangkan Samuel hanya senyum simpul membuatku semakin geram dan penasaran. "Bisa kau jelaskan alasan kamu masuk pagi, Sam?" tanyaku lebih detail lagi.Samuel menarik napas panjang, lalu dihempas perlahan. Setelahnya dia menatap sepeda motor pengantar ayam gembung. Pak Roni sendiri yang antar ayam gembung itu. Ini kesempatanku untuk bertanya berapa suamiku mengorder ayam hari ini."Bu Arini ini ayamnya masih separo ya, sisanya nanti sekitar jam sepuluhan!" kata Roni."Sebentar to, Pak. Memangnya suamiku pesan berapa?" tanyaku."100 ekor ayam, untuk tiga har

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   164. Salah Paham

    "Apakah Umi sudah lupa? Atau kasih ijin dalam diam?" cerca Yahya padaku.Jujur aku diam bukan karena lupa atau apapun itu, sungguh suamiku itu mahkluk adam yang tidak peka. Siapa dia meminta ijin wanita lain masuk ke dalam rumah pribadiku. Rumah warisan dari orang tuaku, sedangkan dia di sini numpang. Meskipun uang untuk ganti warisan para saudaraku yang lain merupakan hasil kerja ayam bakar tetapi itu tetap hal aku yang terbanyak.Aku hanya bisa mendesah kesal, tetapi untuk terucap rasanya enggan. Lebih baik diam saja daripada nanti lisanku mengeluarkan kata berbobot yang diijabah Allah malaah lebih parah. Seperti kara para orang tua dulu, jika istri atau ibu yang teraniaya mengucapkan kata balas dendam bisa langsung terjadi. Mengingat nasehat itu membuatku menjaga lisanku baik suara maupun batin. Aku tidak mau berucap yang bisa menjadi doa dan berakibat fatal. Apalagi ini menyangkut nasib anak-anak ke depan."Umi, kok diam. Jawab dong!" pinta Yahya dengan nada lembut."Tidak aku ja

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   163. Penjelasan

    Aku dan Zahra melangkah tanpa memedulikan panggilan suamiku. Zahra pun terlihat lebih memilih aku dari abahnya, dia kulihat langsung meraih ponselnya. Entah siapa yang akan dia hubungi, aku hanya menunggu duduk di sebelahnya. Bibir Zahra tersenyum kala panggilannya tersambung."Asslaamualaikum, Kak Abdul! Aku mau curhat ini, dengerin yaa!" sapa Zahra sekalian dia meminta pada kakaknya itu. Aku tersenyum.Lalu Zahra mulai menceritakan semua kejadian yang baru saja dialaminya di teras rumah tadi. Aku yang mendengar hanya geleng kepala, sungguh putriku itu meluapkan emosinya pada kakak tirinya. "Dia abah kamu lho, Kak. Mana ada seorang abah kok kek gitu, bawa anak dari wanita lain yang bahkan bukan darah dagingnya. Pokoknya aku tidak mau tahu, nanti Kak Abdul harus ikut merawat umiku. Enak saja!" Begitu keluh Zahra pada kakaknya, "Dan tanggung jawab padaku juga lho, janji!" lanjutnya memastikan apa yang diucapkan oleh Abdul.Aku hanya tersenyum saat Zahra menutup panggilannya itu. Lalu

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   162. Anak Salma

    Dua hari mereka ikut bekerja di warung ayam bakarku tanpa permisi ataupun mengenalkan identitas dirinya. Aku pun diam saja, selama dua hari ini aku bekerja dari dalam rumah. Baik Bulan ataupun Samuel kubebaskan memberi perintah kedua pemuda itu untuk membantu meringankan pekerjaan mereka.Terkadang pemuda yang lebih muda berani membantah bila disuruh oleh Bulan. Namun, Bulan lebih berkuasa dan pendai menekan mental pemuda itu. Berbeda dengan yang lebih tua, dia hanya diam tidak banyak bicara. Apapun yang diperintahkan oleh Bulan dilaksanakan begitu saja.Aku masih mengamati cara kerja mereka berdua, tiba-tiba ingatanku melayang pada kejadian beberapa bulan yang lalu saat suamiku mengeluarkan alaat masak juga beberapa kayu. "Ah, iya pemuda itu yang datang dengan mobil tepak dan membawa semua barang. Mungkinkah itu anak Salma? Lalu yang kecil itu, apakah dia yang baru saja operasi habis kecelakaan? Kok masih terlihat segar bugar," batinku sambil melihat sosok pemuda itu.Bulan terlihat

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   161. Bulan Puasa Tiba

    Aku masih diam saja mengikuti alur kisah hidupku. Setelah peristiwa Yahya membawa beberapa alat masak, sejak saat itu aku semakin dingin. Hingga berganti bulan pun tidak ada informasi yang keluar dari mulut suamiku itu. Aku biarkan saja sesuai alurnya.Namun, beberapa hari kemudian beberapa tabung elpiji dan kompor dia bawa pulang. Mungkin menyisakan satu kompor dan dua tabung elpiji, kerena dari enam kemarin hanya dibawa pulang empat biji."Puas kamu, Umi!" Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba suamiku berkata kasar. Aku sendiri juga tidak mengerti apa maksud dari kalimatnya itu. Puas untuk apa? Aku saja tidak pernah merasakan sesuatu yang nikmat. Aneh."Jadi istri pertama itu ya mbok sing sabar, kasih suport suami yang sedang berusaha membuka cabang. Nah ini, Umi malah menghina istri siri abi. Apa coba maksudnya?"Aku semakin tidak mengerti dengan ucapannya. Menghina? Apa coba? Bukti pun juga tidak jelas, bagaimana aku bisa menghina jika nomer ponselnya saja aku tidak simpan.

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   160. Menjemput Zahra

    "Iya sudahlah langsung jemput saja, Mbak. Mumpung masih telat sepuluh menit," katq Bulan.Aku segera melajukan kendaraanku tampa melihat siapa yang datang. Sungguh konsentrasi sedikit ambyar gara-gara postingan tok tok tadi. Laju kendaraan sedikit kupercepat dari biasanya, aku khawatir jika putriku tinggal sendiri di sekolah.Sepuluh menit aku sampai di depan sekolah, kulihat masih ada beberapa siswa dan siswi yang belum dijemput. Kuedarkan pandanganku mencari sosok Zahra, rupanya dia sedang mengantri di penjual papeda. Aku pun bernapas lega, kuhampiri dia."Masih lama antrinya, Zahra?" tanyaku."Bentar lagi ... eeh Umi ternyata. Tunggu ya Zahra masih antri, ini tinggal nunggu Lhansa selesai bari dech Zahra," papar anakku.Kulempar senyum untuk putriku, dia membalas menyatukan ibu jari dan jari telunjuk membentuk simbol oke. Aku pun akhirnya menunggu Zahra saambil duduk di jok montor. Lima menit aku menunggu akhirnya selesai juga. Zahra pun siap di boncengan."Untung jemputnya telat,

DMCA.com Protection Status