Pagi kembali menyapa, runitasku datang lagi. Semua seperti roda yang berputar tanpa lelah. Begitu juga dengan aktifitasku di pagi hari, selalu seperti itu. Pagi ini sedikit berbeda, biasanya makan sahur hanya bertiga sekarang menjadi berlima."Umi beli nasi apa?" tanya Abdul.Setiap puasa aku hampir tidak pernah masak. Hal ini dikarenakan lelahnya jiwa akibat banyaknya order ayam bakar yang semakin meningkat menjelang lebaran. Apalagi minggu ke tiga saatnya banyak godaan untuk berpuasa. Jadi untuk ibadah puasa akan banyak menyusut jumlah yang berpuasa, begitu juga jamaah di masjid."Aku nasi pecel saja, Dul. Yang lain mungkin nasi jotos saja!" kataku."Aku dua porsi ya, Dul. Jangan lupa es teh!" kata Adam."Aku juga mau dong es tehnya, Mas Abdul!" ucap Zahra yang ikut terbangun.Aku segera mengeluarkan dua lembar uang kertas berwarna biru dan menyodorkan pada Abdul. Suasana makan sahur menjadi sepi. Aku pun keluar rumah melihat suasana sekitar dan memang sepi. Tidak seperti waktu aku
Hari terus berlalu tanpa terasa puasa sudah menjelang akhir. Seperti biasa pasti ada kerancuan dalam menentukan hilal untuk hari lebaran. Seperti tahun ini ada perbedaan dalam menentukan hari raya. Aku selalu mengikuti hari yang ditentukan oleh pemerintah. Hari ini adalah hari terakhir untuk berpuasa maka semakin sibuklah aku dan semua anggota keluarga dalam melancarkan penjualan ayam bakar. Yahya mengeluarkan hingga empat kompor berskala besar karena omset naik drastis. Setiap hari selama seminggu sebelum lebaran omsetku setiap hari mencapai 50-60 ekor ayam.Apalagi jika malam takbir dan pagi setelah solat ied, pasti banyak yang order. Seperti hari ini, hari terakhir puasa. Yahya suamiku itu sampai mendatangkan ayam sebanyak 200 ekor. Hingga isya hampir tiba pembeli masih saja ada. Aku dan semua anggota keluarga sampai kuwalahan melayani para pembeli. Lebaran adalah lebarnya uang, semua warga kota hampir memilih membeli daripada masak sendiri. Ini merupakan berkah para penjual lauk
Pagi sudah kembali menyapa, suara gema takbir berkumandang sejak semalam hingga pagi. Semua muslim pada tidur tapi tidak dengan kami berempat. Aku, suami dan kedua anak laki-lakiku kini sedang berkutat di warung. Mulai jam dua dini hari, kami sudah mulai membakar ayam sejumlah 100 kotak. Ternyata kemarin itu, suamiku memesan ayam mentah hingga 300 ekor. Pantas saja kelelahan begitu terasa. Namun, semua terbayar lunas pagi ini. Ayam itu ludes habis tanpa sisa.Saat adan subuh semua pekerjaan membakar ayam sudah selesai. Maka kami pun bergantian untuk melaksanakan salat subuh. Eh, tidak dech. Hanya aku yang salat di rumah, sementara ketiga laki-laki dalam keluargaku pergi ke masjid terdekat. Mereka selalu melakukan ibadahnya dengan berjamaah di masjid. Khusus untuk wanita tidak wajib beribadah berjamaah di masjid. Bagi kami kaum wanita cukup melakukan ibadah salat lima waktu di rumah saja. Tidak wajih berjamaah di masjid. Aku mengikuti apa yang sudah diatur dalam agama."Umi, Zahra pa
Omset jualan ayam bakarku di lebaran ke dua pun masih ramai. Kedua anak tiriku pun masih aktif membantu, sedangkan Topan masih ingin libur. Untung masih ada Samuel. Pemuda itu hanya mengambil libur satu hari saat lebaran."Sam, jangan lupa ayamnya yang di presto 15 ya. Yang lainnya direbus saja," jawab Samuel.Aku pun segera pergi meninggalkan Samuel lalu aku kembali membungkus lalapan dan sambel. Stock sudah habis, maka dari itu aku langsung membukus apa yang sudah habis. Abdul pun juga ikut membantu dengan membuat kotak ayam bakar. Omset yang begitu ramai membuat tabungannya mengembung cukup banyak. "Selama lebaran sepertinya Mas Abdul banyak duit ya, Umi?" tanya Zahra sambil membantuku membungkus lalapan."Adik juga dikasih abah uang saku 'kan?" tanyaku."Iya, tetapi banyak Mas Abdul, Umi," keluh Zahra sedikit mengerucutkan bibirnya. Aku hanya menatapnya dengan senyum. Selama minggu ketiga, Abdul dan Adam selalu membantu semua mengenai penjualan ayam bakar. Bahkan sekarang kuliha
Akhirnya keluarga Yahya pun bisa hadir dalam acara halal bi halal keluarga besar Joesni. Keluarga dari ayahku. Memang semua saudara perempuanku sangat rukun dan tidak pernah ada perselisihan paham. Acara ini sangat ramai dengan hidangan yang sederhana. Para kaum muda saling berbicara, sedangkan kami sesama saudara hanya menyisakan empat orang."Bagaimana kabar kamu, Arini?" tanya kakak keduaku yang bernama Murtini."Sehat, Mbak. Semoga Mbak Mur juga sehat selalu," balasku dengan doa tulus."Bagaimana kabar hubunganmu dengan suami, aku kok ada kabar selentingan yang tidak baik?" kata kakak keduaku itu.Aku pun terdiam, tidak mungkin aku menceritakan aib suamiku. Aku harus bisa menjaga marwah suamiku apapun itu. Meski sakit aku harus mampu."Semua sudah ada takarannya, Mbak. Doa kan saja adikmu ini kuat," jawabku mencari jalan tengah."Semua sudah ada jalannya dan takarannya. Kamu pasti kuat, Arini!" kata kakak ketigaku yang lebih hangat.Aku pun mengulas senyum untuk menenangkan hati k
Aku masih menguping pembicaraan dari Yahya dengan seseorang di seberang. Saat aku masih asyik menguping kulihat Abdul mengangkat dagunya seakan sedang bertanya padaku. Aku hanya menempelkan jari pada mulutku sendiri agar si Abdul tidak banyak bicara dan untungnya anak itu menurut.Aku bernapas lega, akhirnya Abdul pun pergi menjauh. Dan aku melanjutkan menguping pembicaraan Yahya di telepon."Apa yang kamu mau, Sayang?" suara Yahya yang aku dengar.Hatiku terasa ngilu saat mendengar kata sayang terlontar pada lawan bicaranya itu. Sedangkan saat bersamaku tidak pernah sekali pun menggunakan kata itu. Jujur, dulu mungkin masih sesekali dia memanggilku dengan sebutan sayanh. Namun, saat ini hilang tanpa bekas."Iya, kamu pesan saja beberapa gamis yang berwarna salem. Dan nanti jika sudah datang aku ingin berjalan bersamamu dengan gamis itu, Sayang!" Sebuah kalimat permintaan yang aku dengar.Sungguh tega pria itu, aku yang bekerja hampir setiap hari bangun pagi menyiapkan segalanya dia y
Karena sudah tidak kuat lagi untuk mendengar apa yang sedang suamiku bicarakan, akhirnya aku melipir kembali ke dapur menuruskan masakanku yang tertunda. Segera kurampungkan semau menu makanan untuk sore nanti. Begitu terdengar adan asar aku segera mengambil air wudlu.Dengan penuh khitmad kulaksanakan ibadahku hanya pada Allah semau kuadukan sakitnya hati ini hanya pada-Nya. Hingga tanpa terasa air mata jatuh menerpa punggung tanganku.Suara perempuan itu sangat aku kenal, tetapi aku tidak berani untuk memulai perselisihan dengan wanita itu. Posisi suaminya sebagai kakak sepupuku lah yang menyebabkan hal itu menjadi pertimbanganku. Selain itu tidak ada sejarahnya anak dari Joesni menyalak pada wanita lain meski tersakiti."Ya Allah kuatkan hati ini, iklaskan hatiku jika memang mereka memiliki rasa. Namun, jika masih ada jodoh aku dan Yahya maka pisahkan keduanya dengan caramu!" doaku dalam isak tangis tertahan.Setelah semua kuadukan pada Allah, maka kubuka kitabku. Kulantunkan bebe
Aku pun duduk di deretan nomer dua sebelah kanan pas deretan bangku sopir. Aku dan Zahra duduk satu deret. Dan seharusnya suamiku duduk di tepat belakangku atau di samping kiri. Namun, hal itu tidak berlaku olehnya. Yahya justru memilih duduk di belakang bersama para pengurus lainnya. Aku hanya diam."Nanti kita jadi berenang ya, Umi?" tanya Zahra."Iya, Nak. Apapun maunya kamu, umi pasti ikuti asal kamu bisa jaga diri!" kataku dengan nada rendah.Perjalanan semakin terasa lama kala kudapati suamiku tidak kunjung datang menghampiri bangku kami. Zahra sampai mengeluh akan keberadaan abahnya, terdengar selentingan kabar yang membuatku panas. Namun, segera kuusap dadaku agar bisa mereda. Perjalanan cukup lancar dan sesuai waktu yang diperhitungkan, rombongan kami pun sampai.Zahra terlihat sangat gembira, aku pun mengikuti langkah putriku menuju wahana kolam renang. Aku sudah tidak memedulikan keberadaan Yahya. Sunggu diluar dugaan, suamiku itu berjalan berdua dengan seorang wanita yang