Aku masih menguping pembicaraan dari Yahya dengan seseorang di seberang. Saat aku masih asyik menguping kulihat Abdul mengangkat dagunya seakan sedang bertanya padaku. Aku hanya menempelkan jari pada mulutku sendiri agar si Abdul tidak banyak bicara dan untungnya anak itu menurut.Aku bernapas lega, akhirnya Abdul pun pergi menjauh. Dan aku melanjutkan menguping pembicaraan Yahya di telepon."Apa yang kamu mau, Sayang?" suara Yahya yang aku dengar.Hatiku terasa ngilu saat mendengar kata sayang terlontar pada lawan bicaranya itu. Sedangkan saat bersamaku tidak pernah sekali pun menggunakan kata itu. Jujur, dulu mungkin masih sesekali dia memanggilku dengan sebutan sayanh. Namun, saat ini hilang tanpa bekas."Iya, kamu pesan saja beberapa gamis yang berwarna salem. Dan nanti jika sudah datang aku ingin berjalan bersamamu dengan gamis itu, Sayang!" Sebuah kalimat permintaan yang aku dengar.Sungguh tega pria itu, aku yang bekerja hampir setiap hari bangun pagi menyiapkan segalanya dia y
Karena sudah tidak kuat lagi untuk mendengar apa yang sedang suamiku bicarakan, akhirnya aku melipir kembali ke dapur menuruskan masakanku yang tertunda. Segera kurampungkan semau menu makanan untuk sore nanti. Begitu terdengar adan asar aku segera mengambil air wudlu.Dengan penuh khitmad kulaksanakan ibadahku hanya pada Allah semau kuadukan sakitnya hati ini hanya pada-Nya. Hingga tanpa terasa air mata jatuh menerpa punggung tanganku.Suara perempuan itu sangat aku kenal, tetapi aku tidak berani untuk memulai perselisihan dengan wanita itu. Posisi suaminya sebagai kakak sepupuku lah yang menyebabkan hal itu menjadi pertimbanganku. Selain itu tidak ada sejarahnya anak dari Joesni menyalak pada wanita lain meski tersakiti."Ya Allah kuatkan hati ini, iklaskan hatiku jika memang mereka memiliki rasa. Namun, jika masih ada jodoh aku dan Yahya maka pisahkan keduanya dengan caramu!" doaku dalam isak tangis tertahan.Setelah semua kuadukan pada Allah, maka kubuka kitabku. Kulantunkan bebe
Aku pun duduk di deretan nomer dua sebelah kanan pas deretan bangku sopir. Aku dan Zahra duduk satu deret. Dan seharusnya suamiku duduk di tepat belakangku atau di samping kiri. Namun, hal itu tidak berlaku olehnya. Yahya justru memilih duduk di belakang bersama para pengurus lainnya. Aku hanya diam."Nanti kita jadi berenang ya, Umi?" tanya Zahra."Iya, Nak. Apapun maunya kamu, umi pasti ikuti asal kamu bisa jaga diri!" kataku dengan nada rendah.Perjalanan semakin terasa lama kala kudapati suamiku tidak kunjung datang menghampiri bangku kami. Zahra sampai mengeluh akan keberadaan abahnya, terdengar selentingan kabar yang membuatku panas. Namun, segera kuusap dadaku agar bisa mereda. Perjalanan cukup lancar dan sesuai waktu yang diperhitungkan, rombongan kami pun sampai.Zahra terlihat sangat gembira, aku pun mengikuti langkah putriku menuju wahana kolam renang. Aku sudah tidak memedulikan keberadaan Yahya. Sunggu diluar dugaan, suamiku itu berjalan berdua dengan seorang wanita yang
Aku hanya diam tanpa berniat menoleh ke belakang. Aku hanya menjaga mata dan hatiku agar tidak terkontaminasi lagi. Sudah cukup bagiku kisah poligami Yahya selama ini. Mungkin sudah menjadi karakter lelaki itu untuk berpoligami, jika aku telaah lagi selama menikah tidak sekali pun aku menolaknya di ranjang.Kapan pun dan apa yang dia inginkan, aku selalu mencoba memberikan padanya tanpa terkecuali. Meski tubuhki terasa lemah dan letih, bagiku itu semua adalah ibadah serta baktiku pada suami agar mendapat ridho."Umi, kok abah masih duduk di belakang sana!" keluh Zahra sambil menatap abahnya."Biarkan saja, Ra. Nanti saja kamu panggil saat tujuan kedua sampai!" kataku pada Zahra."Tujuan kedua kemana, Umi?" tanya Zahra."Malioboro, Nak. Umi tidur dulu ya, Nak. Nanti bangunkan jika bis sudah sampai!" pesanku.Zahra hanya mengangguk. Sempat kulihat si Zahra sedang asyik bermain game pada ponselnya. Aku sengaja membiarkan putriku memegang ponselnya selama acara rekreasi kampung. Aku akhir
Yahya dan Zahra masih terus berjalan menyusuri jalanan Malioboro. Sejauh mata memandang hanya ada pertokoan yang rapi. Pengamen jalanan juga tertata rapi, mereja mencari ruang yang cukup lebar untuk memberi sebuah pertunjukan saweran. Zahra tertegun sesaat kala ada beberapa pengamen yang menggunakan alat terbuat dari bambu. Kulihat anakku sedang duduk berpangku tangan sendirian. Lalu segera kuhampiri dia."Kok sendiri lho, Nak? Mana abah kamu?" tanyaku."Lho, tadi abah berdiri di sini, Umi! Di sampingku," jawab Zahra."Buktinya kamu duduk sendiri, Nak. Berarti abah kamu pergi dengan yang lain," jawabku.Aku pun memcari sosok suamiku itu. Bola mataku membeliak kala kulihat sebuah tangan memeluk pinggang Mbak Ana. Hatiku teriris, di depan umum mereka berani berbuat seperti itu. Aku hanya mendengus kasar sambil beristigfar."Kuatkan hatimu, Bu Arini. Mereka sudah biasa seperti itu, bahkan jika di kampung kita mereka berdua sering boncengan pakai motor Pak Yahya. Bu Anan memeluk erat pin
Aku hanya diam menatap kebersamaan mereka selama memilih varian bakpia. Mereka seakan tidak punya malu, aku yang istri sahnya berdiri di tempat yang sama. Dia, wanita itu dengan santainya berjalan beriringan menuju setiap rak untuk mengambil beberapa oleh-oleh khas Jogja. Bahkan beberapa teguran dari para panitia tidak mereka pedulikan. Aku hanya geleng kepala melihat semua perbuatan mereka berdua. Namun, yang aku heran kok masih ada yang membela kelakuan aneh kedua orang dewasa itu."Mbak Arini mungkin harus bersabar, karena mereka belum tentu selingkuh lho. Kan hanya berjalan bersama dan becanda doang, bagi saya selama tidak menjalar jauh masih tidak apa. Wajar dong seorang pria membelikan beberapa jajanan kecil seperti ini pada wanita!" kata Bu Endah.Hallo! Seperti itu dibilang wajar, lalu apakah artinya jika suami dia membelikan beberapa pakaian, jajan, bahkan lembaran uang pada wanita lain dia bisa berkata seperti itu? Oh, Tuhan. Kemana si bulu keket itu pikirannya. Sungguh aku
Bis akhirnya sampai juga di desaku, semua warga segera turun. Aku segera melangkah menuju ke arah pulang bersama Zahra. Putriku terlihat lelah dan beberapa kali menguap. "Zahra lelah sekali, Umi. Boleh ya jika besok aku tidak masuk sekolah?" lirihnya."Boleh, tapi janji lho tidak boleh main handpone jika meliburkan diri!" pintaku."Iya, Umi," jawabnya dengan nada lemah.Mata dan tenaganya seakan sudah lelah, untuk berjalan saja sedikit terhuyung karena kantuk yang teramat. Sedangkan kulihat suamiku masih berbincang dengan beberapa bapak-bapak yang seserver dengannya. Mengagungkan poligami. Di sana masih ada Yahya--suamiku, Rafi dan Surosa yang sama suka begadangan hanya membahas poligami. Hanya keduanya sudah duda meskipun ekonomi pas-pasan. Aku tidak habis pikir dengan pola pikir para kaum adam. Kita boleh berpoligami asal ekonomi mapan, mampu berbuat adil dalam segala hal sesuai porsinya.Selayaknya ustad ternama yang sudah almarhum, beliau mampu secara finansial dan semua hartany
Aku merasa tidak percaya akan pikiranku sendiri. Entah apa yang membuat rasaku saat ini sedikit berkurang, perhatiannya padaku sudah berkurang bahkan kasih sayangnya dulu kini juga berkurang. Apakah ini yang membuat rasaku juga berkurang. Entahlah."Bu, ayam bakarnya dua ya. Satu dipotong yang satu utuh!" kata seorang pembeli."Iya, Bu. Mohon tunggu sebentar!" jawabku.Lalu aku pun mulai membakar ayam tersebut. Tidak butuh waktu lama ayam pun sudah siap. Segera aku bungkus dengan rapi lalu masuk ke dalam tas kresek tidak lupa aku masukkan juga sebungkus lalapan."Ini ayamnya, Bu. Semua 190k," kataku.Pembeli itu pun mengangsurkan uang merah dua lembar. Segera kuterima uang tersebut dan mengambil uamg kertas yang lebih kecil nominalnya sebagai kembalian pembeli itu.Pagi ini sebelum Topan datang aku sudah menerima pelanggan sepuluh orang. Mereka sangat hafal akan cara penyajiannya. Aku hanya geleng kepala, mengingat sejak pagi aku yang lakukan penjualan ini.Jangan tanya padaku dimana