Hari terus berlalu tanpa terasa puasa sudah menjelang akhir. Seperti biasa pasti ada kerancuan dalam menentukan hilal untuk hari lebaran. Seperti tahun ini ada perbedaan dalam menentukan hari raya. Aku selalu mengikuti hari yang ditentukan oleh pemerintah. Hari ini adalah hari terakhir untuk berpuasa maka semakin sibuklah aku dan semua anggota keluarga dalam melancarkan penjualan ayam bakar. Yahya mengeluarkan hingga empat kompor berskala besar karena omset naik drastis. Setiap hari selama seminggu sebelum lebaran omsetku setiap hari mencapai 50-60 ekor ayam.Apalagi jika malam takbir dan pagi setelah solat ied, pasti banyak yang order. Seperti hari ini, hari terakhir puasa. Yahya suamiku itu sampai mendatangkan ayam sebanyak 200 ekor. Hingga isya hampir tiba pembeli masih saja ada. Aku dan semua anggota keluarga sampai kuwalahan melayani para pembeli. Lebaran adalah lebarnya uang, semua warga kota hampir memilih membeli daripada masak sendiri. Ini merupakan berkah para penjual lauk
Pagi sudah kembali menyapa, suara gema takbir berkumandang sejak semalam hingga pagi. Semua muslim pada tidur tapi tidak dengan kami berempat. Aku, suami dan kedua anak laki-lakiku kini sedang berkutat di warung. Mulai jam dua dini hari, kami sudah mulai membakar ayam sejumlah 100 kotak. Ternyata kemarin itu, suamiku memesan ayam mentah hingga 300 ekor. Pantas saja kelelahan begitu terasa. Namun, semua terbayar lunas pagi ini. Ayam itu ludes habis tanpa sisa.Saat adan subuh semua pekerjaan membakar ayam sudah selesai. Maka kami pun bergantian untuk melaksanakan salat subuh. Eh, tidak dech. Hanya aku yang salat di rumah, sementara ketiga laki-laki dalam keluargaku pergi ke masjid terdekat. Mereka selalu melakukan ibadahnya dengan berjamaah di masjid. Khusus untuk wanita tidak wajib beribadah berjamaah di masjid. Bagi kami kaum wanita cukup melakukan ibadah salat lima waktu di rumah saja. Tidak wajih berjamaah di masjid. Aku mengikuti apa yang sudah diatur dalam agama."Umi, Zahra pa
Omset jualan ayam bakarku di lebaran ke dua pun masih ramai. Kedua anak tiriku pun masih aktif membantu, sedangkan Topan masih ingin libur. Untung masih ada Samuel. Pemuda itu hanya mengambil libur satu hari saat lebaran."Sam, jangan lupa ayamnya yang di presto 15 ya. Yang lainnya direbus saja," jawab Samuel.Aku pun segera pergi meninggalkan Samuel lalu aku kembali membungkus lalapan dan sambel. Stock sudah habis, maka dari itu aku langsung membukus apa yang sudah habis. Abdul pun juga ikut membantu dengan membuat kotak ayam bakar. Omset yang begitu ramai membuat tabungannya mengembung cukup banyak. "Selama lebaran sepertinya Mas Abdul banyak duit ya, Umi?" tanya Zahra sambil membantuku membungkus lalapan."Adik juga dikasih abah uang saku 'kan?" tanyaku."Iya, tetapi banyak Mas Abdul, Umi," keluh Zahra sedikit mengerucutkan bibirnya. Aku hanya menatapnya dengan senyum. Selama minggu ketiga, Abdul dan Adam selalu membantu semua mengenai penjualan ayam bakar. Bahkan sekarang kuliha
Akhirnya keluarga Yahya pun bisa hadir dalam acara halal bi halal keluarga besar Joesni. Keluarga dari ayahku. Memang semua saudara perempuanku sangat rukun dan tidak pernah ada perselisihan paham. Acara ini sangat ramai dengan hidangan yang sederhana. Para kaum muda saling berbicara, sedangkan kami sesama saudara hanya menyisakan empat orang."Bagaimana kabar kamu, Arini?" tanya kakak keduaku yang bernama Murtini."Sehat, Mbak. Semoga Mbak Mur juga sehat selalu," balasku dengan doa tulus."Bagaimana kabar hubunganmu dengan suami, aku kok ada kabar selentingan yang tidak baik?" kata kakak keduaku itu.Aku pun terdiam, tidak mungkin aku menceritakan aib suamiku. Aku harus bisa menjaga marwah suamiku apapun itu. Meski sakit aku harus mampu."Semua sudah ada takarannya, Mbak. Doa kan saja adikmu ini kuat," jawabku mencari jalan tengah."Semua sudah ada jalannya dan takarannya. Kamu pasti kuat, Arini!" kata kakak ketigaku yang lebih hangat.Aku pun mengulas senyum untuk menenangkan hati k
Aku masih menguping pembicaraan dari Yahya dengan seseorang di seberang. Saat aku masih asyik menguping kulihat Abdul mengangkat dagunya seakan sedang bertanya padaku. Aku hanya menempelkan jari pada mulutku sendiri agar si Abdul tidak banyak bicara dan untungnya anak itu menurut.Aku bernapas lega, akhirnya Abdul pun pergi menjauh. Dan aku melanjutkan menguping pembicaraan Yahya di telepon."Apa yang kamu mau, Sayang?" suara Yahya yang aku dengar.Hatiku terasa ngilu saat mendengar kata sayang terlontar pada lawan bicaranya itu. Sedangkan saat bersamaku tidak pernah sekali pun menggunakan kata itu. Jujur, dulu mungkin masih sesekali dia memanggilku dengan sebutan sayanh. Namun, saat ini hilang tanpa bekas."Iya, kamu pesan saja beberapa gamis yang berwarna salem. Dan nanti jika sudah datang aku ingin berjalan bersamamu dengan gamis itu, Sayang!" Sebuah kalimat permintaan yang aku dengar.Sungguh tega pria itu, aku yang bekerja hampir setiap hari bangun pagi menyiapkan segalanya dia y
Karena sudah tidak kuat lagi untuk mendengar apa yang sedang suamiku bicarakan, akhirnya aku melipir kembali ke dapur menuruskan masakanku yang tertunda. Segera kurampungkan semau menu makanan untuk sore nanti. Begitu terdengar adan asar aku segera mengambil air wudlu.Dengan penuh khitmad kulaksanakan ibadahku hanya pada Allah semau kuadukan sakitnya hati ini hanya pada-Nya. Hingga tanpa terasa air mata jatuh menerpa punggung tanganku.Suara perempuan itu sangat aku kenal, tetapi aku tidak berani untuk memulai perselisihan dengan wanita itu. Posisi suaminya sebagai kakak sepupuku lah yang menyebabkan hal itu menjadi pertimbanganku. Selain itu tidak ada sejarahnya anak dari Joesni menyalak pada wanita lain meski tersakiti."Ya Allah kuatkan hati ini, iklaskan hatiku jika memang mereka memiliki rasa. Namun, jika masih ada jodoh aku dan Yahya maka pisahkan keduanya dengan caramu!" doaku dalam isak tangis tertahan.Setelah semua kuadukan pada Allah, maka kubuka kitabku. Kulantunkan bebe
Aku pun duduk di deretan nomer dua sebelah kanan pas deretan bangku sopir. Aku dan Zahra duduk satu deret. Dan seharusnya suamiku duduk di tepat belakangku atau di samping kiri. Namun, hal itu tidak berlaku olehnya. Yahya justru memilih duduk di belakang bersama para pengurus lainnya. Aku hanya diam."Nanti kita jadi berenang ya, Umi?" tanya Zahra."Iya, Nak. Apapun maunya kamu, umi pasti ikuti asal kamu bisa jaga diri!" kataku dengan nada rendah.Perjalanan semakin terasa lama kala kudapati suamiku tidak kunjung datang menghampiri bangku kami. Zahra sampai mengeluh akan keberadaan abahnya, terdengar selentingan kabar yang membuatku panas. Namun, segera kuusap dadaku agar bisa mereda. Perjalanan cukup lancar dan sesuai waktu yang diperhitungkan, rombongan kami pun sampai.Zahra terlihat sangat gembira, aku pun mengikuti langkah putriku menuju wahana kolam renang. Aku sudah tidak memedulikan keberadaan Yahya. Sunggu diluar dugaan, suamiku itu berjalan berdua dengan seorang wanita yang
Aku hanya diam tanpa berniat menoleh ke belakang. Aku hanya menjaga mata dan hatiku agar tidak terkontaminasi lagi. Sudah cukup bagiku kisah poligami Yahya selama ini. Mungkin sudah menjadi karakter lelaki itu untuk berpoligami, jika aku telaah lagi selama menikah tidak sekali pun aku menolaknya di ranjang.Kapan pun dan apa yang dia inginkan, aku selalu mencoba memberikan padanya tanpa terkecuali. Meski tubuhki terasa lemah dan letih, bagiku itu semua adalah ibadah serta baktiku pada suami agar mendapat ridho."Umi, kok abah masih duduk di belakang sana!" keluh Zahra sambil menatap abahnya."Biarkan saja, Ra. Nanti saja kamu panggil saat tujuan kedua sampai!" kataku pada Zahra."Tujuan kedua kemana, Umi?" tanya Zahra."Malioboro, Nak. Umi tidur dulu ya, Nak. Nanti bangunkan jika bis sudah sampai!" pesanku.Zahra hanya mengangguk. Sempat kulihat si Zahra sedang asyik bermain game pada ponselnya. Aku sengaja membiarkan putriku memegang ponselnya selama acara rekreasi kampung. Aku akhir
Aku pun memanggil Zahra dan Abdul setelah menurunkan semua barang bawaan Adam. Kedua anakku pun segera keluar dari rumah."Umi ingin membesuk abah kalian, siapa yang akan ikut dan tinggal di rumah?" tanyaku."Aku ikut saja, Umi. Biar Halimah di rumah bersama Arkan, kau bagaimana Abdul?" kata Adam."Aku ikut, mungkin Zahra saja yang tetap tinggal di rumah menemani Kak Halimah. Iya 'kan Zahra?" tanya Abdul yang memandangku lalu berganti pada Zahra.Putriku itu mengangguk tetapi mukanya cemberut, ada sebersit rasa kecewa. Namun, aku mencoba memberinya pengertian. Agar dia mau tinggal di rumah, akhirnya gadis kecilku pun setuju.Setelah kata sepakat tercapai, kami bertiga segera masuk ke dalam mobil. Sopir pun melajukan kendaraannya menuju ke Rumah Sakit Bayangkara. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di rumah sakit itu. Keadaan jalanan yang sepi bagai kita mati membuat lalu lintas Surabaya begitu lengang.Kuinjakkan kakiku dengan napas berat, kuatur ulang pola napasku dan hatiku. Mampuka
Aku terdiam cukup lama, mencari jalan keluar untuk masalah ini. Akhirnya kucoba hubungi Adam untuk menyelesaikan masalah ini. Mengingat ini berita sangat penting akhirnya kupaksakan hatiku. Panggilang terhubung tetapi belum diangkat. Hingga panggilan yang kedua barulah diangkat, kudengar suara wanita yang lembut."Assalamualaikum, Umi! Ada apa dini hati seperti ini hubungi mas Adam?" kata Halimah."Waalaikumsalam, Halimah. Ini abah baru saja mengalami kecelakaan bersama istri sirinya, saat ini sudah ditangani oleh polisi dan masuk ke RS. Polda. Sedangkan pesanan ayam bakar untuk esok setelah salat idul fitri ada 150 ayam, tolong Umi!" paparku tanpa ku tutupi.Hening, aku masih menunggu reaksi lanjutan dari seberang. Aku masih diam, tetapi kudengar langkah mendekat dan duduk di sampingku."Biar Abdul yang lihat kondisi abah, Umi. Berhubung ini sudah menjelang dini hari, sebaiknya Umi pejamkan mata agar esok terasa sedikit segar!" pinta Abdul."Benar apa yang dikatakan oleh Abdul, Umi.
Aku pun hanya tersenyum di balik cadar untuk melepas kepergian suamiku. Sebenarnya sudah hal biasa dia pergi tinggalkan aku sendiri dalam memberesi semua pekerjaan, tetapi malam ini ada yang berbeda. Sebuah rasa was was menelusup di relung hati, Abdul pun yang juga ada di dekatku hanya berdiri mematung menatap kepergian abahnya."Apakah ini tidak apa, Umi?" tanya Abdul."Semoga saja tidak, Abdul. Kita bereskan ini lebih dulu, lalu segera istirahat agar esok menjelang subuh bisa bakar ayam dalam keadaan fit!" kataku sambil mulai memberesi barang.Abdul pun segera melakukan apa yang aku perintahkan dengan rapi. Semua lantai teras dibersihkan dan langsung dia pel. Hal ini kami lakukan dengan bekerja sama, bahkan kali ini Zahra juga ikut turun. Putriku itu membantu membereskan semua wadah baskom yang sudah aku cuci. Cukup lama waktu yang kami gunakan untuk membersihkan teras, hingga pukul delapan malam semua baru selesai. Aku menutup warung lebih dulu tetapi masih berada di dalam. Kulih
Sesaat Bulan pun sampai dari belanjanya, kemudian kutatap manik mata wanita itu. Bulan menjadi salah tingkah, dia merasa bingung mengartikan tatapanku padanya. Lalu wanita muda itu mengalihkan pandangannya ke Sambuel sambil mengangkat dagunya. Samuel kulihat menggedikkan bahu."Apa yang sedang kalian sembunyikan?" tanyaku sambil menatap keduanya bergantian.Bulan menggelengkan kepala tanda dia tidak mengerti apa yang aku tanyakan, sedangkan Samuel hanya senyum simpul membuatku semakin geram dan penasaran. "Bisa kau jelaskan alasan kamu masuk pagi, Sam?" tanyaku lebih detail lagi.Samuel menarik napas panjang, lalu dihempas perlahan. Setelahnya dia menatap sepeda motor pengantar ayam gembung. Pak Roni sendiri yang antar ayam gembung itu. Ini kesempatanku untuk bertanya berapa suamiku mengorder ayam hari ini."Bu Arini ini ayamnya masih separo ya, sisanya nanti sekitar jam sepuluhan!" kata Roni."Sebentar to, Pak. Memangnya suamiku pesan berapa?" tanyaku."100 ekor ayam, untuk tiga har
"Apakah Umi sudah lupa? Atau kasih ijin dalam diam?" cerca Yahya padaku.Jujur aku diam bukan karena lupa atau apapun itu, sungguh suamiku itu mahkluk adam yang tidak peka. Siapa dia meminta ijin wanita lain masuk ke dalam rumah pribadiku. Rumah warisan dari orang tuaku, sedangkan dia di sini numpang. Meskipun uang untuk ganti warisan para saudaraku yang lain merupakan hasil kerja ayam bakar tetapi itu tetap hal aku yang terbanyak.Aku hanya bisa mendesah kesal, tetapi untuk terucap rasanya enggan. Lebih baik diam saja daripada nanti lisanku mengeluarkan kata berbobot yang diijabah Allah malaah lebih parah. Seperti kara para orang tua dulu, jika istri atau ibu yang teraniaya mengucapkan kata balas dendam bisa langsung terjadi. Mengingat nasehat itu membuatku menjaga lisanku baik suara maupun batin. Aku tidak mau berucap yang bisa menjadi doa dan berakibat fatal. Apalagi ini menyangkut nasib anak-anak ke depan."Umi, kok diam. Jawab dong!" pinta Yahya dengan nada lembut."Tidak aku ja
Aku dan Zahra melangkah tanpa memedulikan panggilan suamiku. Zahra pun terlihat lebih memilih aku dari abahnya, dia kulihat langsung meraih ponselnya. Entah siapa yang akan dia hubungi, aku hanya menunggu duduk di sebelahnya. Bibir Zahra tersenyum kala panggilannya tersambung."Asslaamualaikum, Kak Abdul! Aku mau curhat ini, dengerin yaa!" sapa Zahra sekalian dia meminta pada kakaknya itu. Aku tersenyum.Lalu Zahra mulai menceritakan semua kejadian yang baru saja dialaminya di teras rumah tadi. Aku yang mendengar hanya geleng kepala, sungguh putriku itu meluapkan emosinya pada kakak tirinya. "Dia abah kamu lho, Kak. Mana ada seorang abah kok kek gitu, bawa anak dari wanita lain yang bahkan bukan darah dagingnya. Pokoknya aku tidak mau tahu, nanti Kak Abdul harus ikut merawat umiku. Enak saja!" Begitu keluh Zahra pada kakaknya, "Dan tanggung jawab padaku juga lho, janji!" lanjutnya memastikan apa yang diucapkan oleh Abdul.Aku hanya tersenyum saat Zahra menutup panggilannya itu. Lalu
Dua hari mereka ikut bekerja di warung ayam bakarku tanpa permisi ataupun mengenalkan identitas dirinya. Aku pun diam saja, selama dua hari ini aku bekerja dari dalam rumah. Baik Bulan ataupun Samuel kubebaskan memberi perintah kedua pemuda itu untuk membantu meringankan pekerjaan mereka.Terkadang pemuda yang lebih muda berani membantah bila disuruh oleh Bulan. Namun, Bulan lebih berkuasa dan pendai menekan mental pemuda itu. Berbeda dengan yang lebih tua, dia hanya diam tidak banyak bicara. Apapun yang diperintahkan oleh Bulan dilaksanakan begitu saja.Aku masih mengamati cara kerja mereka berdua, tiba-tiba ingatanku melayang pada kejadian beberapa bulan yang lalu saat suamiku mengeluarkan alaat masak juga beberapa kayu. "Ah, iya pemuda itu yang datang dengan mobil tepak dan membawa semua barang. Mungkinkah itu anak Salma? Lalu yang kecil itu, apakah dia yang baru saja operasi habis kecelakaan? Kok masih terlihat segar bugar," batinku sambil melihat sosok pemuda itu.Bulan terlihat
Aku masih diam saja mengikuti alur kisah hidupku. Setelah peristiwa Yahya membawa beberapa alat masak, sejak saat itu aku semakin dingin. Hingga berganti bulan pun tidak ada informasi yang keluar dari mulut suamiku itu. Aku biarkan saja sesuai alurnya.Namun, beberapa hari kemudian beberapa tabung elpiji dan kompor dia bawa pulang. Mungkin menyisakan satu kompor dan dua tabung elpiji, kerena dari enam kemarin hanya dibawa pulang empat biji."Puas kamu, Umi!" Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba suamiku berkata kasar. Aku sendiri juga tidak mengerti apa maksud dari kalimatnya itu. Puas untuk apa? Aku saja tidak pernah merasakan sesuatu yang nikmat. Aneh."Jadi istri pertama itu ya mbok sing sabar, kasih suport suami yang sedang berusaha membuka cabang. Nah ini, Umi malah menghina istri siri abi. Apa coba maksudnya?"Aku semakin tidak mengerti dengan ucapannya. Menghina? Apa coba? Bukti pun juga tidak jelas, bagaimana aku bisa menghina jika nomer ponselnya saja aku tidak simpan.
"Iya sudahlah langsung jemput saja, Mbak. Mumpung masih telat sepuluh menit," katq Bulan.Aku segera melajukan kendaraanku tampa melihat siapa yang datang. Sungguh konsentrasi sedikit ambyar gara-gara postingan tok tok tadi. Laju kendaraan sedikit kupercepat dari biasanya, aku khawatir jika putriku tinggal sendiri di sekolah.Sepuluh menit aku sampai di depan sekolah, kulihat masih ada beberapa siswa dan siswi yang belum dijemput. Kuedarkan pandanganku mencari sosok Zahra, rupanya dia sedang mengantri di penjual papeda. Aku pun bernapas lega, kuhampiri dia."Masih lama antrinya, Zahra?" tanyaku."Bentar lagi ... eeh Umi ternyata. Tunggu ya Zahra masih antri, ini tinggal nunggu Lhansa selesai bari dech Zahra," papar anakku.Kulempar senyum untuk putriku, dia membalas menyatukan ibu jari dan jari telunjuk membentuk simbol oke. Aku pun akhirnya menunggu Zahra saambil duduk di jok montor. Lima menit aku menunggu akhirnya selesai juga. Zahra pun siap di boncengan."Untung jemputnya telat,